layananhukum

Problematika antara Hutan Adat vs. Hutan Negara

 

    Pengantar

    Kerangka hukum kehutanan modern Indonesia secara fundamental dibangun di atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Kehutanan”. Sebelum adanya intervensi yudisial, undang-undang ini secara eksplisit menempatkan Hutan Adat dalam posisi subordinat di bawah Hutan Negara. Pasal 1 Angka 6 UU tentang Kehutanan pada saat itu mendefinisikan Hutan Adat sebagai  

    “hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.  

    Definisi ini memiliki implikasi yuridis yang sangat mendalam. Dengan menyematkan frasa “hutan negara”, legislator secara efektif menegaskan bahwa Hutan Adat bukanlah subjek hukum yang mandiri, melainkan bagian tak terpisahkan dari domain kehutanan yang dikuasai oleh negara.

    Konsekuensinya, hak yang dimiliki oleh Masyarakat Hukum Adat (MHA) atas hutannya bukanlah hak kepemilikan yang setara dengan hak-hak atas tanah lainnya, melainkan sebatas hak untuk melakukan kegiatan pengelolaan yang diizinkan oleh negara. Hak ini pun dibatasi lebih lanjut oleh Pasal 4 ayat (3) UU tentang Kehutanan, yang menyatakan bahwa penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak MHA, “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. Klausul “kepentingan nasional” inilah yang menjadi celah hukum yang sangat fleksibel, yang dalam praktiknya seringkali ditafsirkan sebagai kepentingan pembangunan ekonomi dan investasi, sehingga memungkinkan negara untuk memberikan izin konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), maupun perkebunan di atas wilayah yang secara turun-temurun diakui sebagai milik MHA.  

    Lebih lanjut, UU tentang Kehutanan memberikan kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah untuk melaksanakan serangkaian kegiatan pengukuhan kawasan hutan, yang meliputi penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan. Dalam banyak kasus, proses ini dilakukan secara sepihak (top-down) tanpa partisipasi bermakna dari MHA yang wilayahnya terdampak, mengakibatkan klaim historis dan hak-hak adat mereka terabaikan dan secara administratif terhapus oleh peta kawasan Hutan Negara. Paradigma ini menjadi akar dari ribuan konflik agraria dan kehutanan yang meletus di seluruh nusantara.  

    Pergeseran Paradigma Yudisial: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012

    Sebuah pergeseran paradigma yang fundamental terjadi pada tanggal 16 Mei 2013, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan Putusan Nomor 35/PUU-X/2012. Putusan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan beberapa komunitas adat ini sering disebut sebagai “revolusi senyap” dalam hukum kehutanan Indonesia. Amar putusan yang paling krusial adalah mengabulkan permohonan untuk menghapus kata “negara” dari definisi Hutan Adat dalam Pasal 1 Angka 6 UU tentang Kehutanan.  

    Dengan putusan ini, definisi Hutan Adat secara hukum berubah menjadi:

    “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.

    Dampak hukum dari penghapusan satu kata ini sangatlah monumental. Secara yuridis, Putusan MK 35/2012 secara tegas mengeluarkan Hutan Adat dari kategori Hutan Negara. Mahkamah berpendapat bahwa pengkategorian Hutan Adat sebagai Hutan Negara adalah keliru dan bertentangan dengan UUD 1945. Hutan Adat, menurut MK, adalah hutan hak, yang kepemilikannya melekat pada MHA sebagai subjek hukum, dan bukan merupakan bagian dari hutan yang dikuasai negara. Putusan ini memberikan landasan konstitusional yang kokoh untuk mengakui Hutan Adat sebagai entitas hukum yang setara dan mandiri.  

    Namun, di tengah euforia kemenangan tersebut, terdapat satu catatan kritis yang signifikan. Putusan MK ini bersifat mengabulkan permohonan untuk sebagian. Artinya, tidak semua tuntutan pemohon dikabulkan. Mahkamah Konstitusi secara tegas menolak permohonan untuk menghapus frasa-frasa yang menjadi syarat pengakuan keberadaan MHA, seperti frasa “sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya” dalam Pasal 5 ayat (3) UU tentang Kehutanan. Dengan demikian, meskipun Hutan Adat secara konseptual telah dikeluarkan dari Hutan Negara, proses untuk mendapatkan penetapan Hutan Adat secara formal masih harus melalui tahapan pengakuan MHA itu sendiri. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah berpendapat bahwa pengaturan melalui produk hukum daerah dapat dibenarkan, dengan menyatakan:  

    “Dengan demikian, pengaturan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat dibenarkan sepanjang peraturan tersebut menjamin kepastian hukum yang berkeadilan.”

    Pengakuan ini, sebagaimana ditegaskan dalam berbagai peraturan turunan, harus ditetapkan melalui produk hukum daerah, lazimnya dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Kondisionalitas inilah yang di kemudian hari menjadi tantangan implementasi terbesar, memindahkan medan perjuangan MHA dari ranah yudisial di tingkat nasional ke arena birokrasi dan politik yang kompleks di tingkat daerah.

    Rekontekstualisasi Hutan Adat dalam Kerangka Investasi

    Momentum krusial ketiga dalam evolusi hukum Hutan Adat adalah lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Cipta Kerja”. Dengan dalih penyederhanaan perizinan dan peningkatan investasi, UU tentang Cipta Kerja mengubah puluhan undang-undang sektoral, termasuk UU tentang Kehutanan.  

    Perubahan yang paling signifikan terkait Hutan Adat tidak terletak pada definisi, melainkan pada penempatannya dalam kerangka kebijakan yang lebih besar. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (selanjutnya disebut “PP 23/2021”), sebagai peraturan pelaksana utama UU Cipta Kerja di sektor kehutanan, secara eksplisit memasukkan Hutan Adat sebagai salah satu skema dalam program Perhutanan Sosial. Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial (selanjutnya disebut “Permen LHK 9/2021”).  

    Integrasi ini menimbulkan perdebatan sengit. Di satu sisi, pemerintah berargumen bahwa ini adalah cara untuk memberikan kepastian akses dan pemberdayaan ekonomi bagi MHA. Namun, di sisi lain, banyak kalangan masyarakat sipil dan pakar hukum mengkritik langkah ini sebagai sebuah kemunduran. Kerangka Perhutanan Sosial, yang mencakup skema seperti Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), dan Kemitraan Kehutanan, pada dasarnya adalah program pemberian akses kelola oleh negara kepada masyarakat di dalam kawasan Hutan Negara. Dengan memasukkan Hutan Adat—yang oleh Putusan MK 35/2012 telah dinyatakan bukan Hutan Negara—ke dalam payung program yang sama, dikhawatirkan terjadi pergeseran paradigma.

    Perjuangan MHA yang semula berbasis pengakuan hak kepemilikan (rights-based) berisiko direduksi menjadi sekadar partisipasi dalam program berbasis akses (program-based). Hal ini secara implisit dapat mengembalikan Hutan Adat ke bawah kontrol negara, selaras dengan semangat utama UU tentang Cipta Kerja yang memprioritaskan kemudahan investasi di atas segalanya.  

    Pergeseran mekanisme yuridis ini terlihat jelas dalam evolusi peraturan perundang-undangan yang ada. Apabila sebelum UU tentang Cipta Kerja, KLHK menerbitkan peraturan khusus seperti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak , yang secara eksplisit membedakan Hutan Adat dari skema lain, maka Permen LHK 9/2021 melebur semuanya ke dalam satu wadah “Pengelolaan Perhutanan Sosial” dan mencabut peraturan sebelumnya. Perubahan nomenklatur ini bukan sekadar teknis, melainkan sebuah rekontekstualisasi ideologis yang berpotensi melemahkan ruh Putusan MK 35/2012.  

    Pengakuan Hutan Adat yang secara konstitusional telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi menghadapi ujian terberatnya di tingkat implementasi. Kesenjangan antara regulasi di tingkat nasional dan realitas di daerah menjadi faktor penentu nasib MHA. Provinsi Kalimantan Barat, dengan keragaman etnis dan tingginya tekanan investasi berbasis lahan, menjadi laboratorium yang ideal untuk mengkaji bagaimana desentralisasi kewenangan dan politik hukum daerah membentuk lansekap perjuangan pengakuan Hutan Adat.

    Desentralisasi Kewenangan dan Hambatan Politik

    Struktur pemerintahan di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menciptakan pembagian kewenangan yang kompleks dalam proses penetapan Hutan Adat. Kewenangan untuk menetapkan status Hutan Adat berada di tangan Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, prasyarat utama untuk dapat diprosesnya penetapan tersebut adalah adanya pengakuan terhadap eksistensi Masyarakat Hukum Adat (MHA) itu sendiri, dan kewenangan untuk memberikan pengakuan ini didelegasikan kepada Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota).  

    Mekanisme ini menciptakan sebuah “gerbang” yang harus dilalui oleh setiap komunitas adat, yaitu produk hukum daerah berupa Peraturan Daerah (Perda) atau Surat Keputusan (SK) Bupati/Walikota tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA. Tanpa adanya “tiket masuk” berupa produk hukum daerah ini, KLHK secara prosedural tidak dapat melanjutkan proses verifikasi dan penetapan Hutan Adat. Akibatnya, nasib hak konstitusional MHA atas hutannya menjadi sangat bergantung pada dinamika politik, birokrasi, dan kemauan politik (political will) pemerintah di tingkat kabupaten/kota.

    Beberapa kabupaten di Kalimantan Barat telah merespons mandat ini dengan menerbitkan Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA. Di antaranya adalah Kabupaten Sanggau, Kapuas Hulu, dan Ketapang. Meskipun memiliki tujuan yang sama, analisis komparatif terhadap perda-perda ini menunjukkan adanya variasi dalam prosedur dan kelembagaan yang dibentuk.

    Secara umum, prosedur pengakuan yang diatur dalam Perda-perda tersebut mengikuti alur yang serupa, yakni dimulai dari pengajuan oleh komunitas, diikuti oleh proses identifikasi, verifikasi, dan validasi oleh sebuah tim khusus, yang hasilnya menjadi dasar bagi Bupati untuk menerbitkan SK pengakuan. Kunci dari keseluruhan proses ini terletak pada sebuah lembaga yang disebut “Panitia Masyarakat Hukum Adat” atau Panitia Pengakuan dan Perlindungan MHA.

    Panitia ini, yang dibentuk dengan Keputusan Bupati, biasanya beranggotakan perwakilan dari pemerintah daerah (Sekda, OPD terkait), akademisi, dan perwakilan MHA itu sendiri. Peran panitia ini sangat sentral karena merekalah yang melakukan verifikasi data sejarah, wilayah adat, hukum adat, dan kelembagaan adat yang diajukan oleh komunitas, sebelum memberikan rekomendasi kepada Bupati.  

    Meskipun kerangka hukum daerah telah tersedia, implementasinya di lapangan menunjukkan hasil yang sangat beragam. Ada kisah sukses yang menjadi preseden baik, namun lebih banyak cerita tentang perjuangan yang tak berujung.

    Contoh keberhasilan yang paling sering dirujuk adalah pengakuan MHA Dayak Iban Menua Sungai Utik di Kabupaten Kapuas Hulu. Berbekal Peraturan Daerah Kabupaten Kapuas Hulu Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dan melalui proses verifikasi yang didampingi oleh organisasi masyarakat sipil, komunitas ini berhasil mendapatkan pengakuan formal melalui Keputusan Bupati Kapuas Hulu Nomor 561 Tahun 2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak Iban Menua Sungai Utik Ketemenggungan Jalai Lintang Kecamatan Embaloh Hulu Kabupaten Kapuas Hulu. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa jika terdapat kemauan politik yang kuat dari pemerintah daerah dan dukungan solid dari masyarakat sipil, mekanisme Perda dapat berfungsi sebagaimana mestinya.  

    Namun, kasus Sungai Utik cenderung menjadi sebuah anomali. Laporan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) secara konsisten menunjukkan bahwa ribuan komunitas adat lainnya di Kalimantan Barat masih berjuang dalam ketidakpastian. Banyak usulan pengakuan MHA yang mandek di meja birokrasi selama bertahun-tahun. Proses verifikasi oleh Panitia MHA seringkali berjalan sangat lambat, terhambat oleh masalah klasik seperti kekurangan alokasi anggaran dalam APBD, kapasitas teknis yang terbatas, dan yang paling utama, sarat dengan kepentingan politik. Hambatan menjadi semakin besar ketika wilayah adat yang diusulkan untuk diakui ternyata tumpang tindih dengan izin-izin konsesi perkebunan, pertambangan, atau HTI yang telah lebih dulu diterbitkan oleh pemerintah daerah itu sendiri.  

    Kondisi ini melahirkan sebuah fenomena yang dapat disebut sebagai “lotre kode pos” (postcode lottery) bagi hak-hak adat. Pengakuan hak konstitusional sebuah komunitas adat tidak lagi ditentukan oleh kebenaran historis atau kelengkapan bukti-bukti adat mereka, melainkan oleh “keberuntungan” karena berada di wilayah administratif (kabupaten) yang kepala daerahnya memiliki kemauan politik untuk memproses pengakuan tersebut. Sebaliknya, komunitas yang kurang beruntung, yang berada di kabupaten di mana pemerintah daerahnya lebih memprioritaskan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor ekstraktif, akan mendapati perjuangan mereka menemui jalan buntu.

    Dengan demikian, Perda yang seharusnya menjadi instrumen perlindungan dan kepastian hukum, dalam banyak kasus justru berubah fungsi menjadi “bottleneck” politik yang efektif untuk menunda, menghambat, bahkan menggagalkan pengakuan hak-hak MHA.

    Konflik Agraria Masyarakat Adat di Kalimantan Barat

    Kesenjangan antara pengakuan hukum di atas kertas dan realitas implementasi di lapangan melahirkan medan konflik yang subur. Kalimantan Barat, dengan lanskap hutannya yang luas dan derasnya arus investasi, menjadi arena di mana pertarungan antara klaim adat dan konsesi perusahaan terjadi dengan intensitas tinggi. Analisis terhadap pola konflik dan studi kasus yang mendalam dapat memberikan gambaran nyata tentang bagaimana sengketa ini berwujud dan berdampak pada kehidupan MHA.

    Laporan-laporan yang dirilis secara berkala oleh organisasi masyarakat sipil seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) secara konsisten menunjukkan sebuah pola konflik yang berulang di Kalimantan Barat. Pemicu utamanya adalah ekspansi masif perusahaan, terutama di sektor perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI), ke dalam wilayah-wilayah yang secara turun-temurun merupakan wilayah kelola MHA.  

    Konflik ini umumnya melibatkan tiga aktor utama. Pertama, Masyarakat Hukum Adat sebagai pihak yang hak-haknya terlanggar, yang seringkali didampingi oleh organisasi masyarakat sipil (seperti AMAN dan WALHI) yang berperan sebagai advokat, fasilitator, dan pendamping hukum. Kedua, perusahaan sebagai pemegang izin konsesi dari pemerintah, yang beroperasi dengan legitimasi hukum formal. Ketiga, pemerintah daerah (Bupati, dinas terkait) dan aparat penegak hukum (Kepolisian), yang perannya seringkali ambivalen; di satu sisi mereka memiliki mandat untuk melindungi warga, namun di sisi lain mereka juga berkepentingan untuk menjaga iklim investasi dan seringkali berpihak pada korporasi.  

    Konflik ini seringkali berujung pada tiga dampak destruktif yaitu perampasan lahan (land grabbing) di mana sumber-sumber penghidupan MHA seperti ladang, kebun karet, dan hutan keramat digusur; kerusakan lingkungan berupa deforestasi dan degradasi ekosistem; dan kriminalisasi terhadap anggota MHA yang melakukan perlawanan, di mana mereka dituduh melakukan tindak pidana seperti pencurian, perusakan, atau pemerasan.

    Sengketa Masyarakat Adat Dayak Simpang Dua & Dayak Kualan vs. PT Mayawana Persada di Kabupaten Ketapang

    Untuk memahami dinamika konflik ini secara mendalam, kasus sengketa antara Masyarakat Adat Dayak Simpang Dua dan Dayak Kualan melawan PT Mayawana Persada di Kabupaten Ketapang dapat dijadikan studi kasus yang representatif. Kasus ini memuat seluruh elemen pola konflik yang telah dijelaskan yaitu ekspansi korporasi, perlawanan adat, kegagalan mediasi, dan kriminalisasi.

    PT Mayawana Persada adalah perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) dengan area konsesi yang sangat luas, mencakup lebih dari 136.000 hektar di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara. Sejak beberapa tahun terakhir, perusahaan ini dilaporkan melakukan pembabatan hutan alam dan lahan gambut secara masif, termasuk di dalam wilayah adat Masyarakat Dayak Simpang Dua dan Dayak Kualan di Kecamatan Simpang Hulu dan Simpang Dua.  

    Kronologi konflik ini dapat dirangkum sebagai berikut:

    1.          Awal Ekspansi dan Pengabaian Hak (2020-2022)

    PT Mayawana Persada memulai aktivitas pembukaan lahan di wilayah adat tanpa melalui proses musyawarah yang layak dan tanpa mendapatkan persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (Free, Prior, and Informed Consent - FPIC) dari masyarakat setempat. Teguran lisan yang disampaikan oleh para tetua adat diabaikan oleh perusahaan yang terus melanjutkan operasinya;

    2.         Eskalasi Perlawanan (2022)

    Merasa diabaikan, masyarakat adat melakukan aksi perlawanan, salah satunya dengan menahan alat-alat berat milik perusahaan yang sedang beroperasi di wilayah mereka. Tindakan ini dibalas oleh perusahaan dengan melaporkan beberapa anggota masyarakat ke pihak kepolisian dengan tuduhan melakukan provokasi dan perbuatan tidak menyenangkan;

    3.        Penyelesaian Melalui Peradilan Adat (September 2022)

    Setelah upaya-upaya formal tidak membuahkan hasil, MHA Dayak Simpang Dua memutuskan untuk menempuh jalur peradilan adat. Melalui sebuah musyawarah adat besar yang dihadiri oleh para Demong Adat dan Patih Jaga Pati, pada 15 September 2022, PT Mayawana Persada secara resmi dinyatakan bersalah telah melakukan tiga jenis pelanggaran berat terhadap hukum adat :  

    -           Penguncang Bumi Peruroh Alam: Merusak bumi dan alam, karena aktivitas pembabatan hutan dan penggusuran lahan di tanah ulayat;

    -           Pemancal Agong: Melecehkan pemimpin adat, karena tidak menghargai dan meminta izin kepada tetua adat sebelum masuk dan beroperasi;

    -           Pelanggar Banua: Melanggar wilayah adat, karena melakukan kegiatan di dalam wilayah kedaulatan adat tanpa mematuhi aturan-aturan adat setempat. Atas pelanggaran tersebut, perusahaan dijatuhi sanksi adat yang terdiri dari denda uang (230 real atau setara Rp 46 juta), dan penyerahan benda-benda sakral berupa 1 buah gong dan 20 buah tajau (tempayan keramik kuno) yang memiliki nilai spiritual tinggi.  

    4.        Implementasi Sanksi yang Gagal dan Konflik Berlanjut (2022-2024)

    PT Mayawana Persada menunjukkan sikap ambivalen. Di satu sisi, mereka memenuhi sebagian sanksi yang bersifat ritualistik, seperti membayar denda uang dan menyerahkan gong serta tajau. Tindakan ini tampaknya dilakukan untuk meredam kemarahan masyarakat secara seremonial. Namun, di sisi lain, perusahaan gagal memenuhi kesepakatan-kesepakatan substantif yang menyertainya, seperti menghentikan total aktivitas di wilayah sengketa dan menyelesaikan pembayaran ganti rugi lahan milik warga yang telah digusur. Laporan dari berbagai organisasi masyarakat sipil menunjukkan bahwa deforestasi oleh perusahaan bahkan terus berlanjut hingga tahun 2023 dan 2024.

    5.        Kriminalisasi Lanjutan (2024)

    Karena perusahaan tidak kunjung memenuhi seluruh kesepakatan adat, konflik kembali memanas. Puncaknya, pada September 2024, dua tokoh masyarakat dari Desa Kualan Hilir yang aktif menuntut pemenuhan sanksi adat justru dilaporkan kembali ke Kepolisian Daerah Kalimantan Barat dengan tuduhan pemerasan dan pengancaman (Pasal 368 dan 335 KUHP).  

    Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang dalam konflik ini dinilai sangat lemah. Meskipun telah memiliki Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, Pemda dianggap gagal dan lamban dalam menegakkan mandat perda tersebut untuk melindungi hak-hak warganya. Pemerintah lebih terlihat sebagai fasilitator kepentingan investasi ketimbang sebagai pelindung hak konstitusional MHA, yang pada akhirnya membiarkan konflik berlarut-larut dan MHA menjadi korban.  

    Fenomena ini menunjukkan adanya sebuah benturan sistem hukum atau clash of legalities. Di satu sisi, hukum adat yang diakui oleh Perda memiliki legitimasi sosial dan spiritual yang kuat di mata masyarakat. Di sisi lain, hukum positif negara yang memberikan izin konsesi kepada perusahaan dan menyediakan instrumen hukum pidana memiliki kekuatan paksa yang superior.

    Korporasi, dengan kekuatan modal dan aksesnya terhadap aparat negara, mampu “bermain” di kedua arena hukum tersebut. Mereka dapat menggunakan ritual adat untuk menenangkan masyarakat secara simbolis, sementara pada saat yang sama menggunakan instrumen hukum negara untuk menekan perlawanan yang lebih substantif. Kriminalisasi terhadap anggota MHA yang mempertahankan haknya adalah puncak dari asimetri kekuasaan ini, di mana tindakan mempertahankan hak adat justru ditafsirkan sebagai tindak kejahatan oleh negara.

    Ini bukan sekadar sengketa lahan biasa, melainkan sebuah pertarungan legitimasi hukum di mana hukum adat diuji dan seringkali dikalahkan oleh supremasi hukum negara yang berpihak pada modal.

    Mekanisme Penyelesaian Sengketa: Arena Peradilan Adat, Mediasi, dan Pengadilan Negara

    Dalam menghadapi sengketa tenurial, Masyarakat Hukum Adat dihadapkan pada beberapa pilihan arena penyelesaian, masing-masing dengan logika, kekuatan, dan kelemahannya sendiri. Tiga arena utama yang seringkali ditempuh adalah peradilan adat, mediasi yang difasilitasi pemerintah, dan pengadilan negara. Pengalaman MHA dalam menavigasi ketiga arena ini seringkali berujung pada sebuah labirin keadilan yang fragmentaris dan melelahkan.

    Peradilan adat merupakan mekanisme penyelesaian sengketa yang paling dekat dengan nilai dan kosmologi masyarakat. Kekuatannya terletak pada kemampuannya untuk memobilisasi solidaritas komunal, menegaskan kembali norma-norma adat yang berlaku, dan mencapai solusi yang bertujuan memulihkan keharmonisan sosial, bukan sekadar menentukan siapa yang menang dan kalah. Sanksi yang dijatuhkan, seperti dalam kasus PT Mayawana Persada, tidak hanya bersifat material (denda uang) tetapi juga spiritual dan simbolis (penyerahan gong dan tajau), yang memiliki makna mendalam untuk memulihkan keseimbangan hubungan antara manusia, alam, dan leluhur.  

    Namun, kekuatan peradilan adat ini menjadi tumpul ketika berhadapan dengan aktor eksternal seperti korporasi. Subjek hukum bisnis modern tidak terikat oleh nilai-nilai sosial dan spiritual yang menjadi dasar legitimasi hukum adat. Seperti yang ditunjukkan dalam kasus PT Mayawana, perusahaan dapat “mematuhi” putusan adat secara seremonial untuk meredam konflik sesaat, namun mengabaikan esensi putusan tersebut karena tidak ada mekanisme paksa yang diakui oleh negara. Tanpa adanya dukungan penegakan dari aparat negara, putusan adat tidak memiliki kekuatan eksekutorial yang efektif terhadap pihak luar yang melanggar.  

    Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan seperti Bab X Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang Nomor 8 Tahun 2020, memiliki mandat untuk bertindak sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa. Perda tersebut bahkan mengamanatkan pembentukan tim penyelesaian sengketa ad hoc yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan jika jalur musyawarah mufakat dalam peradilan adat gagal. Secara teori, peran ini menempatkan Pemda sebagai penengah yang netral.

    Akan tetapi, dalam praktiknya, peran Pemda seringkali ambivalen, bahkan kontradiktif. Di satu sisi, mereka adalah regulator yang seharusnya melindungi hak warganya. Di sisi lain, mereka jugalah yang menerbitkan izin-izin usaha yang menjadi pemicu utama konflik. Kepentingan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menjaga “iklim investasi yang kondusif” seringkali lebih dominan daripada kepentingan untuk melindungi hak-hak MHA. Akibatnya, mediasi yang difasilitasi pemerintah seringkali tidak berimbang dan lebih menekan MHA untuk menerima kompensasi yang minim ketimbang memperjuangkan pengembalian hak atas wilayah adat mereka. Dalam banyak kasus, pemerintah justru menjadi bagian dari masalah, bukan solusi.  

    Ketika jalur adat dan mediasi buntu, pengadilan negara menjadi benteng terakhir bagi MHA untuk mencari keadilan. Namun, arena ini pun penuh dengan tantangan. Analisis terhadap putusan-putusan pengadilan yang relevan menunjukkan gambaran yang beragam.

    -         Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 dan Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014 merupakan kemenangan hukum yang sangat penting di tingkat tertinggi. Putusan 35/2012 memberikan dasar konstitusional yang kuat bagi kemandirian Hutan Adat, sementara Putusan 95/2014 mengkritik UU P3H yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat adat atas dasar penetapan kawasan hutan yang inkonstitusional. Seharusnya, kedua putusan ini menjadi pedoman utama bagi hakim di semua tingkatan dalam memutus perkara terkait sengketa adat;

    -         Praktik di tingkat kasasi dan peninjauan kembali menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Dalam beberapa kasus, MA menunjukkan pemahaman terhadap hak adat. Namun, dalam banyak sengketa lain, seperti yang terlihat dalam Putusan MA Nomor 1983 K/Pdt/2015 terkait sengketa Hutan Adat Ahli Waris Ejant melawan PT. Kruing Lestari Jaya, pengadilan cenderung lebih memprioritaskan bukti kepemilikan formal yang diterbitkan negara (seperti izin konsesi atau sertifikat hak) daripada bukti kepemilikan adat yang seringkali bersifat komunal, turun-temurun, dan tidak terdokumentasi secara tertulis. Logika hukum positif yang legalistik-formalistik seringkali mengalahkan logika hukum adat yang substantif-historis;

    Pengalaman ini menunjukkan adanya fragmentasi keadilan. MHA dihadapkan pada tiga forum penyelesaian sengketa yang terpisah dan seringkali menghasilkan putusan yang kontradiktif. Peradilan adat memberikan legitimasi sosial tetapi tidak memiliki kekuatan paksa. Mediasi pemerintah seringkali tidak netral. Pengadilan negara memiliki kekuatan paksa tetapi seringkali abai terhadap realitas hukum adat. Tidak adanya mekanisme yang jelas untuk menyelaraskan atau mengharmonisasikan putusan dari ketiga arena ini menciptakan sebuah “labirin keadilan”. Proses ini sangat menguras sumber daya, waktu, dan energi MHA, sementara pihak korporasi dengan kekuatan finansial dan legal yang superior dapat dengan mudah menavigasi labirin ini untuk kepentingannya. Ini bukan hanya cerminan dari kegagalan penegakan hukum, melainkan kegagalan struktural negara dalam menyediakan forum penyelesaian sengketa yang koheren, aksesibel, dan adil dalam masyarakat yang plural secara hukum.

    Kesenjangan Regulasi dan Implementasi (The Governance Gap)

    Sintesis dari pembahasan sebelumnya menyoroti tiga kesenjangan kritis yang menjadi akar masalah:

    1. Kesenjangan antara Hukum dan Politik (The Law vs. Politics Gap): Terdapat jurang yang dalam antara pengakuan hak Hutan Adat sebagai Hutan Hak yang setara oleh Putusan MK 35/2012 dengan keengganan politik untuk melaksanakannya secara penuh. Di tingkat pusat, UU Cipta Kerja merekontekstualisasi Hutan Adat ke dalam kerangka program Perhutanan Sosial yang lebih berorientasi pada kontrol negara dan kemudahan investasi. Di tingkat daerah, mandat untuk menerbitkan Perda pengakuan MHA seringkali terhambat oleh kepentingan politik dan ekonomi lokal, menjadikan hak konstitusional MHA sebagai komoditas politik.
    2. Kesenjangan antara Regulasi dan Realitas (The Regulation vs. Reality Gap): Sekalipun Perda MHA telah berhasil diterbitkan, terdapat kesenjangan antara prosedur ideal yang tertulis dalam peraturan dengan praktik di lapangan. Proses identifikasi dan verifikasi oleh Panitia MHA seringkali berjalan lambat, birokratis, mahal, dan kekurangan dukungan anggaran yang memadai dari pemerintah daerah. Bagi MHA, menempuh jalur birokrasi ini menjadi sebuah perjuangan tersendiri yang penuh ketidakpastian.
    3. Kesenjangan antara Keadilan Adat dan Keadilan Negara (The Adat Justice vs. State Justice Gap): Seperti yang ditunjukkan oleh kasus PT Mayawana Persada, terdapat benturan legitimasi antara sistem peradilan adat dan sistem peradilan negara. Putusan adat yang memiliki legitimasi sosial dan spiritual yang kuat di mata masyarakat ternyata tidak berdaya menghadapi kekuatan korporasi yang dilindungi oleh hukum positif negara. Ketiadaan mekanisme penghormatan dan penegakan putusan adat oleh negara menciptakan impunitas bagi pelanggar dari luar komunitas adat.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.