layananhukum

Tanah Desa dan SHM Masuk Kawasan Hutan? Begini Penjelasannya

 

Pertanyaan

Selamat malam bang, tanah kami sudah menjadi desa turun-temurun, bahkan ada yang sudah punya sertipikat hak milik (SHM) dan ada juga yang merupakan lahan transmigrasi resmi dari pemerintah. Kenapa tiba-tiba tanah kami ini diklaim masuk ke dalam kawasan hutan oleh pemerintah? Sebenarnya, apa saja masalah hukum yang timbul dari situasi ini dan bagaimana cara menyelesaikannya, termasuk jika melihat dari keputusan-keputusan pengadilan yang sudah ada? Saya juga ingin abang membahas terkait dengan PT PTS di Ketapang bang yang pernah menggugat KLHK terkait kawasan hutan, itu pandangan abang seperti apa? Terima kasih.

Jawaban

    Pengantar

    Di jantung bentang alam Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, khususnya di kawasan seperti Kalimantan Barat, tersembunyi sebuah paradoks mendasar yang menjadi akar dari konflik agraria yang berkepanjangan. Di satu sisi, Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut dengan “UU NRI 1945menetapkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

    Ketentuan ini menempatkan negara sebagai subjek hukum pengatur tertinggi yang memiliki hak menguasai, bukan memiliki, terhadap sumber daya alam tersebut. Hak menguasai negara mencakup kewenangan untuk membuat kebijakan (beleid), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (bestuurdaad), pengurusan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) terhadap sumber daya alam yang vital bagi kesejahteraan rakyat.[1]

    Mandat konstitusional tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam kebijakan sektoral, seperti yang dijalankan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI), melalui kewenangan untuk menunjuk, menata batas, dan menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagai Kawasan Hutan. Penetapan ini tidak hanya berdampak pada tata kelola lingkungan, tetapi juga berimplikasi langsung pada hak-hak masyarakat lokal dan adat yang telah lama hidup berdampingan secara harmonis dengan hutan, jauh sebelum konsep negara modern hadir seperti saat ini.[2]

    Lebih lanjut, pendekatan negara dalam mengelola sumber daya hutan acapkali menghadirkan ketegangan antara kepentingan konservasi ekologi dan ambisi pembangunan ekonomi. Seiring dengan diberlakukannya berbagai kebijakan besar seperti Undang-Undang Cipta Kerja, pergeseran paradigma regulasi kehutanan kerap kali mencerminkan posisi dominan ideologi pembangunan dalam lanskap politik dan hukum nasional ala ala cara berpikir Jakarta.

    Namun, di sisi lain, di atas bentang tanah yang secara administratif ditetapkan sebagai Kawasan Hutan oleh negara, telah lama hadir subjek-subjek yuridis dan sosial yang hak-haknya dijamin oleh sistem hukum lain yang tidak kalah sah secara normative berdasarkan hukum positif. Desa-desa definitif dengan pemerintahan yang diakui oleh negara, wilayah administrasi yang terpetakan dalam sistem kependudukan nasional, dan akses terhadap anggaran pembangunan telah lama eksis sebelum status kawasan ditentukan. Tidak sedikit dari wilayah tersebut yang juga telah diterbitkan Sertipikat Hak Milik (SHM) oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)—sebuah bukti kepemilikan yang secara hukum agraria merupakan bukti terkuat dan tidak mudah dibatalkan begitu saja.[3]

    Ironisnya, negara sendiri melalui program transmigrasi sejak Orde Baru hingga Reformasi turut memfasilitasi pemukiman warga di wilayah-wilayah yang kemudian justru belakangan dinyatakan sebagai bagian dari Kawasan Hutan. Hal ini menciptakan konflik yang tak terhindarkan. Ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI) menetapkan status Kawasan Hutan secara ex post facto, tanpa mempertimbangkan eksistensi historis dan legalitas sosial yuridis tersebut, maka terjadilah benturan antar-rezim hukum yang kompleks dan tumpang tindih.[4]

    Situasi ini bukan semata soal disharmonisasi peraturan atau teknis pemetaan yang keliru, tetapi merupakan potret nyata dari persoalan tenurial struktural. Masyarakat yang secara turun-temurun menghuni dan mengelola lahan, bahkan yang telah memperoleh pengakuan hukum secara sah, tiba-tiba dikonstruksikan secara administratif sebagai pelaku perambahan hutan atau pengguna lahan ilegal. Akibatnya tidak hanya sebatas kehilangan kepastian hukum atas tanah dan akses terhadap program pembangunan, tetapi juga berpotensi menghadapi kriminalisasi.[5]

    Konflik tenurial ini menjadi titik temu krusial antara paradigma konservasi yang berbasis penguasaan negara dan hak-hak warga yang dibentuk melalui sejarah panjang relasi sosial, agraria, dan pembangunan nasional. Ketiadaan mekanisme sinkronisasi antar-lembaga dan lemahnya pengakuan terhadap hukum lokal memperparah simpul persoalan ini, hingga menggerus legitimasi negara sebagai penjamin keadilan dan kepastian hukum.[6]

    Kompleksitas permasalahan yang telah diuraikan di atas memunculkan beberapa pertanyaan hukum fundamental yang memerlukan analisis mendalam dan komprehensif. Artikel ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

    1.          Bagaimana kekuatan hukum penetapan Kawasan Hutan oleh KLHK ketika berhadapan dengan hak-hak yang telah ada sebelumnya (pre-existing rights), yang meliputi:

    (a)    batas wilayah administratif desa yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan daerah;

    (b)    Sertipikat Hak Milik (SHM) dan hak atas tanah lainnya yang telah diterbitkan secara sah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN); dan

    (c)    Hak atas tanah bagi para transmigran yang diberikan oleh negara melalui program resmi?

    2.         Bagaimana analisis yuridis terhadap yurisprudensi, khususnya Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam sengketa antara korporasi (studi kasus PT Prakarsa Tani Sejati di Kabupaten Ketapang) melawan KLHK, dan apa implikasi dari putusan tersebut bagi upaya penyelesaian sengketa serupa yang dialami oleh masyarakat luas?

    3.        Bagaimana efektivitas, tantangan, dan evolusi mekanisme penyelesaian konflik yang ditawarkan oleh pemerintah, mulai dari kebijakan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) hingga kerangka Percepatan Reforma Agraria yang berlaku saat ini?

    Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kami dalam artikel ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif. Pendekatan ini berfokus pada analisis terhadap berbagai produk hukum untuk menguji sinkronisasi dan disharmoni, baik secara vertikal (antara peraturan yang lebih tinggi dan lebih rendah) maupun horizontal (antara peraturan setingkat yang dikeluarkan oleh sektor atau kementerian yang berbeda). Kerangka peraturan yang dianalisis mencakup, namun tidak terbatas pada, peraturan di bidang kehutanan, agraria, pemerintahan desa, transmigrasi, dan penataan ruang, baik di tingkat pusat maupun daerah (Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Ketapang).

    Pendekatan normatif ini diperkuat dengan metode studi kasus (case study) terhadap yurisprudensi yang relevan, yaitu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Studi kasus ini berfungsi untuk menguji bagaimana norma-norma hukum yang seringkali tumpang tindih tersebut ditafsirkan dan diterapkan dalam praktik peradilan untuk menyelesaikan sengketa konkret. Analisis yang digunakan bersifat kualitatif-deskriptif, yang bertujuan untuk membedah secara mendalam kompleksitas regulasi, pertimbangan hukum hakim, serta implikasi kebijakan dan sosial dari setiap instrumen hukum dan putusan pengadilan yang dikaji.

    Dualisme Kewenangan dan Fragmentasi Regulasi: Akar Konflik Tata Ruang

    Akar dari permasalahan tumpang tindih klaim atas tanah di dalam Kawasan Hutan terletak pada fragmentasi kerangka hukum dan dualisme kewenangan antar lembaga negara. Masing-masing sektor—kehutanan, agraria, dan pemerintahan dalam negeri—beroperasi di bawah payung undang-undang dan peraturan turunan yang kuat dalam lingkupnya sendiri, namun seringkali gagal untuk saling berkoordinasi. Fenomena “ego sektoral” ini menciptakan produk-produk hukum yang saling bertentangan di lapangan, dengan masyarakat sebagai korban utamanya.

    Kewenangan KLHK untuk menetapkan Kawasan Hutan bersumber dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut “UU tentang Kehutanan”). UU ini memberikan dasar bagi negara untuk melakukan pengurusan hutan yang meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan, pemanfaatan hutan, hingga pengukuhan Kawasan Hutan.  

    Proses untuk memberikan kepastian hukum atas status suatu wilayah sebagai Kawasan Hutan dikenal dengan istilah “pengukuhan”. Prosedur teknisnya diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (selanjutnya disebut “PP 23/2021”) dan peraturan pelaksananya, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, Serta Penggunaan Kawasan Hutan. Proses pengukuhan ini terdiri dari empat tahapan sekuensial:  

    1.        Penunjukan Kawasan Hutan

    Tahap awal di mana Menteri menetapkan suatu wilayah tertentu sebagai Kawasan Hutan, biasanya didasarkan pada peta dengan skala yang relatif kecil.

    2.       Penataan Batas Kawasan Hutan

    Kegiatan di lapangan yang meliputi pemancangan patok batas, pengumuman, dan yang paling krusial, “inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga” yang berada di sepanjang trayek batas.  

    3.      Pemetaan Kawasan Hutan

    Pembuatan peta definitif berdasarkan hasil penataan batas di lapangan.

    4.      Penetapan Kawasan Hutan

    Tahap akhir berupa penerbitan Surat Keputusan (SK) Menteri yang menegaskan status, batas, dan luas suatu Kawasan Hutan menjadi Kawasan Hutan Tetap.  


    Titik kritis yang menjadi sumber utama konflik terletak pada tahap kedua, yaitu penataan batas. Meskipun regulasi secara normatif menyebutkan adanya “penyelesaian hak-hak pihak ketiga”, praktiknya di lapangan seringkali bersifat hegemonik dan top-down. Proses ini kerap kali minim partisipasi publik dan tidak melakukan verifikasi yang mendalam terhadap penguasaan riil dan alas hak yang dimiliki masyarakat. Akibatnya, permukiman, lahan pertanian, kebun masyarakat, dan bahkan tanah bersertipikat seringkali secara sepihak dimasukkan ke dalam berita acara tata batas dan pada akhirnya ditetapkan sebagai bagian dari Kawasan Hutan.  

    Bertolak belakang dengan pendekatan sektoral kehutanan, sistem hukum pertanahan nasional Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut “UUPA”). UUPA merupakan hukum induk (lex generalis) di bidang pertanahan yang secara fundamental mengubah paradigma hukum tanah kolonial. Salah satu prinsip utamanya adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh rakyat. Di antara berbagai jenis hak atas tanah, Hak Milik adalah “hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah”.  

    Untuk memberikan kepastian hukum, UUPA mengamanatkan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Ketentuan fundamental mengenai pendaftaran tanah ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang kemudian disempurnakan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. Adapun peraturan pelaksananya adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021. Produk akhir dari pendaftaran tanah adalah penerbitan sertipikat, yang berfungsi sebagai surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Artinya, pemegang sertipikat secara hukum diakui sebagai pemilik sah atas tanah tersebut, dan negara berkewajiban untuk melindungi haknya. Ketika KLHK menetapkan tanah yang telah bersertipikat SHM sebagai Kawasan Hutan, terjadi benturan langsung antara dua produk hukum yang sama-sama dikeluarkan oleh negara, menciptakan dualisme yang merusak kepastian hukum.

    Rezim Hukum Pemerintahan Desa: Kedaulatan Teritorial dan Perlindungan Hak

    Pengakuan negara terhadap eksistensi desa sebagai entitas pemerintahan otonom diperkuat melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut “UU tentang Desa”). UU ini tidak hanya mengatur tentang pemerintahan dan keuangan desa, tetapi juga mengakui desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa, termasuk kewenangan atas wilayahnya. Perubahan terakhir bahkan secara spesifik menyisipkan ketentuan baru yang mengakui hak desa yang berada di dalam kawasan hutan untuk mendapatkan dana konservasi dan/atau dana rehabilitasi, yang secara implisit memperkuat pengakuan negara atas eksistensi desa di dalam area tersebut.  


    Prosedur untuk memberikan kepastian hukum terhadap wilayah administratif desa diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2016 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Desa (selanjutnya disebut “Permendagri 45/2016”). Peraturan ini menyediakan mekanisme teknis dan yuridis bagi pemerintah kabupaten/kota untuk menetapkan dan menegaskan batas-batas antar desa. Yang paling fundamental dari peraturan ini adalah adanya klausul perlindungan hak yang sangat eksplisit. Pasal 23 ayat (1) Permendagri 45/2016 menyatakan:  

    “Penetapan dan penegasan batas Desa tidak menghapus hak atas tanah, hak ulayat, dan hak adat serta hak lainnya pada masyarakat.”.  

    Klausul ini mengandung makna bahwa proses penetapan batas desa adalah murni tindakan administratif untuk menertibkan wilayah pemerintahan. Proses ini tidak boleh ditafsirkan sebagai tindakan yang dapat menghilangkan atau mengurangi hak-hak kebendaan (seperti hak milik) atau hak-hak komunal (seperti hak ulayat) yang sudah ada di dalam wilayah tersebut. Dengan demikian, ketika KLHK mengklaim suatu wilayah desa sebagai Kawasan Hutan, tindakan tersebut berpotensi melanggar tidak hanya hak agraria individu, tetapi juga kedaulatan teritorial desa yang dijamin oleh rezim hukum pemerintahan daerah.

    Rezim Hukum Transmigrasi: Hak yang Diberikan Negara

    Program transmigrasi merupakan salah satu program pembangunan nasional yang telah berjalan selama beberapa dekade, diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian, dengan peraturan pelaksanaan terbarunya adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Melalui program ini, negara secara sadar dan terencana menempatkan penduduk di lokasi-lokasi baru dan memberikan mereka hak atas tanah untuk lahan usaha dan pekarangan sebagai modal untuk memulai kehidupan baru.  

    Dilema yuridis muncul ketika lokasi-lokasi transmigrasi yang telah ditetapkan dan dihuni selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, kemudian dimasukkan ke dalam peta Kawasan Hutan oleh KLHK. Dalam kasus ini, negara secara efektif menciptakan kontradiksi internal yaitu satu organ negara (Kementerian Transmigrasi) memberikan hak atas tanah kepada warganya, sementara organ negara lain (KLHK) meniadakan hak tersebut dengan mengklaim tanah itu sebagai Kawasan Hutan. Ini adalah bentuk inkonsistensi kebijakan yang paling nyata, di mana negara mengingkari produk hukum dan komitmennya sendiri, meninggalkan para transmigran dalam posisi yang sangat rentan secara hukum.

    Peran Kunci Tata Ruang Daerah (RTRW) yang Terabaikan

    Idealnya, instrumen yang berfungsi sebagai “konstitusi” pemanfaatan ruang di suatu daerah adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda). Landasan hukum utama untuk penataan ruang adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Berdasarkan kerangka hukum ini, RTRW berfungsi sebagai acuan dalam penyusunan rencana pembangunan jangka panjang dan menengah, serta menjadi pedoman bagi semua pemanfaatan ruang, termasuk oleh sektor-sektor pemerintah.  

    Di konteks Kalimantan Barat, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 8 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2024-2043 dan di tingkat kabupaten, Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang Nomor 3 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Ketapang Tahun 2015-2035, seharusnya menjadi rujukan utama bagi KLHK sebelum menetapkan Kawasan Hutan. Perda-Perda ini telah mengalokasikan ruang untuk berbagai peruntukan, seperti kawasan lindung, kawasan budidaya pertanian, perkebunan, permukiman, dan Areal Penggunaan Lain (APL).

    Namun, dalam banyak kasus, terjadi ketidaksinkronan yang parah. SK Penetapan Kawasan Hutan oleh KLHK seringkali diterbitkan tanpa merujuk atau bahkan bertentangan dengan Perda RTRW yang sudah ada. Wilayah yang oleh Perda RTRW ditetapkan sebagai APL atau kawasan budidaya pertanian, oleh SK Menteri ditetapkan sebagai Hutan Produksi atau Hutan Lindung. Kegagalan sinkronisasi ini menunjukkan lemahnya posisi Perda RTRW di hadapan keputusan menteri yang bersifat sektoral, sekaligus menjadi bukti nyata dari kegagalan koordinasi antar-tingkatan pemerintahan (pusat dan daerah).


    Benturan antara berbagai rezim hukum ini bukanlah sekadar tumpang tindih peta, melainkan cerminan dari pertarungan filosofi hukum yang lebih dalam. Di satu kutub, terdapat filosofi state-centric dalam hukum kehutanan, yang cenderung memandang hutan sebagai domain eksklusif negara yang dapat diatur secara terpusat. Praktik ini, meskipun tidak secara eksplisit, seringkali mereplikasi logika domein verklaring era kolonial, di mana semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya dianggap sebagai tanah negara. Di kutub lain, terdapat filosofi people-centric yang diusung oleh UUPA dan UU tentang Desa, yang justru lahir untuk mendekonstruksi domein verklaring dan menempatkan pengakuan serta perlindungan hak-hak rakyat sebagai prioritas utama. Konflik agraria di dalam Kawasan Hutan adalah manifestasi dari ketegangan yang belum terselesaikan antara dua filosofi fundamental dalam sistem hukum Indonesia.

    Yurisprudensi sebagai Titik Terang Penyelesaian Sengketa

    Di tengah kebuntuan akibat fragmentasi regulasi, lembaga peradilan muncul sebagai arena penting untuk menguji kekuatan hukum dari klaim-klaim yang saling bertentangan. Sebuah kasus signifikan yang terjadi di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, memberikan yurisprudensi penting yang dapat menjadi titik terang bagi penyelesaian sengketa serupa. Kasus ini melibatkan gugatan yang diajukan oleh sebuah perusahaan perkebunan, PT Prakarsa Tani Sejati, melawan Kementerian LHK di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

    Sengketa ini terdaftar di PTUN Jakarta dengan nomor perkara 49/G/2021/PTUN.JKT. Penggugat, PT Prakarsa Tani Sejati (selanjutnya disebut PT PTS), adalah sebuah badan hukum yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Ketapang. Tergugat adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.  

    Objek sengketa dalam perkara ini adalah Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK. 733/Menhut-II/2014 Tanggal 02 September 2014 Tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Propinsi Kalimantan Barat. Pokok permasalahannya adalah bahwa PT PTS merupakan pemegang sah Sertipikat Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 22 dan Nomor 24, yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Ketapang jauh sebelum SK Menhut 733/2014 tersebut diterbitkan. Namun, SK Menhut 733/2014 yang terbit kemudian, secara sepihak menetapkan sebagian besar areal HGU milik PT PTS sebagai bagian dari Kawasan Hutan (Hutan Produksi dan Hutan Produksi Konversi).  

    Tindakan Menteri Kehutanan (saat itu, kini Menteri LHK) ini secara langsung menciptakan tumpang tindih status hukum atas lahan yang sama. Di satu sisi, PT PTS memiliki hak kebendaan yang sah dan dilindungi oleh hukum agraria. Di sisi lain, KLHK mengklaim yurisdiksi atas lahan tersebut berdasarkan hukum kehutanan. Tumpang tindih ini menimbulkan kerugian bagi PT PTS, karena status lahannya menjadi tidak pasti, menghambat kegiatan operasional, dan berpotensi menimbulkan sanksi hukum karena dianggap beroperasi di dalam Kawasan Hutan. Atas dasar kerugian tersebut, PT PTS mengajukan gugatan ke PTUN untuk meminta pembatalan SK Menhut 733/2014 sebatas areal yang tumpang tindih dengan HGU miliknya.  

    Perkara ini telah melalui seluruh jenjang peradilan dan menghasilkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, memberikan landasan yuridis yang kuat.

    Putusan Tingkat Pertama: PTUN Jakarta

    Bahwa pada tanggal 2 Agustus 2021, Majelis Hakim PTUN Jakarta menjatuhkan Putusan Nomor 49/G/2021/PTUN.JKT. Amar putusan tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut:  

    1.          Mengabulkan gugatan Penggugat (PT. PTS) untuk seluruhnya.

    2.         Menyatakan batal Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK. 733/Menhut-II/2014 sebatas pada bidang tanah yang tercakup dalam Sertipikat HGU Nomor 22 dan Nomor 24 milik PT. PTS.

    3.        Mewajibkan Tergugat (Menteri LHK) untuk mencabut SK tersebut pada bagian yang tumpang tindih dengan HGU Penggugat.

    4.        Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.  

    Ratio decidendi atau pertimbangan hukum utama yang menjadi dasar putusan Majelis Hakim sangatlah fundamental dan relevan dengan konflik agraria yang lebih luas. Hakim mendasarkan putusannya pada beberapa pilar argumen yang saling menguatkan:

    -           Asas Kepastian Hukum (Legal Certainty)

    Majelis Hakim berpendapat bahwa Sertipikat HGU yang diterbitkan oleh BPN adalah produk hukum yang sah dan telah memberikan kepastian hukum kepada pemegangnya. SK Menteri yang diterbitkan di kemudian hari tidak dapat secara sepihak menganulir atau menciptakan ketidakpastian terhadap hak atas tanah yang telah ada dan diakui oleh negara melalui lembaga lain (BPN). Tindakan Tergugat telah melanggar hak konstitusional Penggugat atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

    -           Prinsip Prior in Tempore, Potior in Jure

    Prinsip hukum universal ini, yang berarti “yang lebih dulu dalam waktu, lebih kuat dalam hukum”, menjadi landasan penting. Majelis Hakim menegaskan bahwa HGU milik PT PTS telah terbit dan ada secara hukum jauh sebelum SK Menhut 733/2014 diterbitkan. Oleh karena itu, hak yang lahir lebih dulu (HGU) memiliki kedudukan hukum yang lebih superior dan harus dilindungi dari klaim yang datang kemudian (penetapan Kawasan Hutan);

    -           Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)

    Tindakan Menteri LHK dalam menerbitkan SK objek sengketa dinilai telah melanggar AUPB, khususnya Asas Kecermatan. Tergugat seharusnya melakukan penelitian dan verifikasi yang cermat dan komprehensif terhadap status tanah dan keberadaan hak-hak pihak ketiga di lapangan sebelum menerbitkan SK penetapan Kawasan Hutan. Fakta bahwa terdapat HGU yang sah di atas lahan tersebut menunjukkan bahwa Tergugat telah bertindak tidak cermat, sehingga keputusannya mengandung cacat yuridis.  

    Menteri LHK kemudian mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta dan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun, kedua upaya hukum tersebut ditolak. Puncak dari proses peradilan ini adalah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 379 K/TUN/2022, tertanggal 16 Agustus 2022, yang menolak permohonan kasasi dari Menteri LHK. Dengan putusan MA ini, Putusan PTUN Jakarta Nomor 49/G/2021/PTUN.JKT telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Mahkamah Agung pada dasarnya setuju dan menguatkan pertimbangan hukum yang telah dibangun oleh PTUN Jakarta, menegaskan kembali supremasi kepastian hukum atas hak-hak pertanahan yang telah ada.


    Implikasi Putusan bagi Masyarakat dan Korporasi

    Putusan dalam perkara PT PTS ini memiliki implikasi yang sangat luas, jauh melampaui kepentingan para pihak yang bersengketa.

    -           Sebagai Yurisprudensi yang Mengikat: Putusan ini menjadi yurisprudensi penting yang dapat dijadikan rujukan bagi hakim dalam memutus perkara-perkara serupa di masa depan. Ia menciptakan preseden bahwa klaim Kawasan Hutan oleh KLHK tidaklah absolut. Kekuatan hukum sebuah SK Menteri dapat diuji dan dibatalkan oleh pengadilan apabila terbukti melanggar hukum, AUPB, dan hak-hak pihak ketiga yang telah ada sebelumnya.  

    -           Instrumen Perlindungan Hak Masyarakat: Meskipun kasus ini melibatkan korporasi pemegang HGU, prinsip hukum yang ditegakkan berlaku secara universal untuk semua jenis hak atas tanah yang sah. Dengan demikian, masyarakat pemegang SHM, pemegang hak atas tanah transmigrasi, atau bahkan masyarakat adat yang hak komunalnya diakui, kini memiliki dasar argumen yuridis yang jauh lebih kuat untuk mempertahankan tanah mereka dari klaim sepihak Kawasan Hutan. Putusan ini memberdayakan masyarakat untuk menggunakan jalur hukum sebagai mekanisme untuk memperjuangkan hak-hak mereka.  

    -           Koreksi Terhadap Kebijakan KLHK: Putusan ini merupakan sebuah “teguran yudisial” yang keras terhadap praktik pengukuhan Kawasan Hutan oleh KLHK. Ia secara implisit menyatakan bahwa prosedur yang selama ini dijalankan, yang seringkali mengabaikan verifikasi hak di lapangan, adalah keliru dan cacat hukum. Idealnya, putusan ini mendorong KLHK untuk melakukan reformasi internal yang fundamental dalam proses pengukuhan Kawasan Hutan, dengan menjadikan koordinasi lintas sektor (terutama dengan ATR/BPN dan Pemda) dan verifikasi partisipatif sebagai prasyarat mutlak sebelum menerbitkan SK penetapan.  

    Kemenangan PT. PTS di pengadilan bukanlah sebuah anomali, melainkan konsekuensi logis dari kegagalan negara dalam menjalankan fungsi koordinasi. Ketika dua lembaga negara (BPN dan KLHK) menerbitkan produk hukum yang saling bertentangan atas objek yang sama, pengadilan sebagai penjaga supremasi hukum harus turun tangan. Dalam menegakkan asas kepastian hukum, pengadilan secara konsisten akan melindungi hak yang lahir lebih dulu dan memiliki dasar hukum yang kuat. Putusan ini secara efektif mendelegitimasi proses pengukuhan Kawasan Hutan yang tidak cermat dan membuka jalan bagi “yudisialisasi” konflik tenurial, di mana jalur pengadilan menjadi pilihan strategis bagi para pihak yang haknya dirugikan.

    Mekanisme Penyelesaian Sistemik: Dari PPTKH Menuju Percepatan Reforma Agraria

    Menyadari masifnya konflik tenurial di dalam Kawasan Hutan, pemerintah telah mencoba mengembangkan berbagai mekanisme kebijakan untuk menyelesaikannya. Kebijakan ini berevolusi dari pendekatan yang bersifat administratif-sektoral menjadi pendekatan yang lebih terintegrasi dalam kerangka besar Reforma Agraria.

    Sebelum adanya kerangka Reforma Agraria yang komprehensif, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (selanjutnya disebut “Perpres 88/2017”). Peraturan ini merupakan upaya pertama yang bersifat sistemik untuk mengatasi masalah ini.  

    Perpres 88/2017 membentuk Tim Percepatan PPTKH di tingkat pusat dan daerah, yang bertugas untuk menginventarisasi dan merekomendasikan pola penyelesaian. Pola penyelesaian yang ditawarkan bervariasi, tergantung pada fungsi kawasan hutan (konservasi, lindung, atau produksi) dan waktu penguasaan tanah (sebelum atau sesudah penunjukan kawasan hutan). Opsi-opsi tersebut antara lain:  

    -           Mengeluarkan bidang tanah dari Kawasan Hutan;

    -           Tukar menukar Kawasan Hutan;

    -           Memberikan akses pengelolaan melalui program Perhutanan Sosial;

    -           Resettlement atau pemukiman kembali.  


    Meskipun memiliki niat baik, implementasi Perpres 88/2017 di lapangan menghadapi banyak kendala dan seringkali dinilai gagal memenuhi ekspektasi masyarakat. Beberapa kelemahan utamanya adalah:

    -           Proses Birokratis dan Lambat: Mekanisme yang diatur sangat panjang dan birokratis, melibatkan koordinasi antar berbagai kementerian yang seringkali terhambat oleh ego sektoral, terutama antara KLHK dan Kementerian ATR/BPN;

    -           Dominasi Pendekatan Kehutanan: Karena inisiatif ini berada di bawah kerangka kehutanan, solusi yang paling sering ditawarkan kepada masyarakat adalah program Perhutanan Sosial. Meskipun memberikan akses legal untuk mengelola kawasan, skema ini tidak memberikan pengakuan hak milik (legalisasi aset), sehingga tidak memberikan kepastian tenurial jangka panjang yang diinginkan masyarakat;

    -           Capaian Terbatas: Selama masa berlakunya, capaian pelepasan kawasan hutan melalui mekanisme PPTKH untuk menjadi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) sangat terbatas dan jauh dari target yang diharapkan.  

    Paradigma Baru: Percepatan Reforma Agraria sebagai Solusi Komprehensif

    Kegagalan PPTKH dan desakan yang terus menerus dari masyarakat sipil mendorong pemerintah untuk mengadopsi paradigma baru. Paradigma ini memandang bahwa penyelesaian konflik di dalam Kawasan Hutan bukanlah masalah kehutanan semata, melainkan masalah agraria yang fundamental. Oleh karena itu, solusinya harus diintegrasikan ke dalam program strategis nasional Reforma Agraria. Landasan hukum untuk paradigma baru ini adalah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria (selanjutnya disebut “Perpres 62/2023”). Perpres ini secara tegas mencabut Perpres 88/2017 tentang PPTKH dan Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria, menyatukan semua upaya penyelesaian konflik agraria di bawah satu payung kebijakan.  

    Perpres 62/2023 mengusung beberapa strategi utama, di antaranya adalah Legalisasi Aset dan Redistribusi Tanah yang bersumber dari TORA. Secara signifikan, Perpres ini menegaskan kembali dan memperkuat mekanisme pelepasan Kawasan Hutan untuk dijadikan sumber TORA. Beberapa sumber TORA dari Kawasan Hutan yang diatur meliputi:  

    -           Lahan dari hasil penyelesaian konflik tenurial;

    -           Tanah dalam Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) yang tidak produktif;

    -           Kewajiban alokasi 20% dari total luas pelepasan Kawasan Hutan untuk perkebunan besar.  

    Di Kalimantan Barat, termasuk Kabupaten Ketapang, di mana puluhan ribu desa dan jutaan warga hidup di dalam atau di sekitar wilayah yang diklaim sebagai Kawasan Hutan, Perpres 62/2023 menawarkan harapan baru. Ia memberikan landasan kebijakan yang lebih kuat bagi pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengusulkan pelepasan kawasan hutan yang secara de facto telah menjadi permukiman, fasilitas sosial, dan lahan garapan, untuk kemudian dilegalisasi haknya melalui program Reforma Agraria.

    Namun, tantangan implementasinya tetap sangat besar. Keberhasilan Perpres ini akan sangat bergantung pada beberapa faktor krusial:

    1.          Kemauan Politik (Political Will): Diperlukan kemauan politik yang kuat dari pemerintah pusat untuk mengatasi resistensi birokrasi dan ego sektoral, terutama dari KLHK yang mungkin enggan melepaskan “aset” kawasannya.

    2.         Kelembagaan yang Efektif: Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di tingkat pusat dan daerah harus berfungsi secara efektif sebagai forum koordinasi yang mampu mengambil keputusan lintas sektor yang mengikat.

    3.         Data yang Akurat dan Partisipatif: Proses identifikasi dan verifikasi subjek (siapa yang berhak) dan objek (lahan mana yang bisa dilepaskan) TORA harus dilakukan secara transparan, partisipatif, dan akurat untuk memastikan program ini tepat sasaran dan tidak dibajak oleh kepentingan elite.  

    Pergeseran dari Perpres 88/2017 ke Perpres 62/2023 menandai sebuah evolusi penting dalam cara pandang negara. Ini adalah pengakuan bahwa akar masalahnya adalah ketidakadilan agraria, dan solusinya harus berorientasi pada penataan kembali penguasaan dan pemilikan tanah (penataan aset), bukan sekadar memberikan izin akses pemanfaatan. Namun, tanpa penegakan yang kuat dan pengawalan dari masyarakat sipil, Perpres ini berisiko menjadi “macan kertas” yang indah di atas kertas namun tumpul dalam implementasi di lapangan.

    Menuju Rekonstruksi Kebijakan dan Kepastian Hukum

    Analisis mendalam terhadap permasalahan batas desa, SHM, dan transmigran di dalam Kawasan Hutan, dengan mengambil konteks di Kalimantan Barat dan studi kasus di Kabupaten Ketapang, menghasilkan beberapa kesimpulan fundamental:

    1.          Akar Masalah adalah Fragmentasi Regulasi dan Ego Sektoral.

    Konflik tenurial yang terjadi bukanlah akibat dari ketiadaan hukum, melainkan akibat dari terlalu banyaknya hukum yang saling bertentangan dan tidak terkoordinasi. Rezim hukum kehutanan, agraria, pemerintahan desa, dan transmigrasi berjalan dalam silo-silo terpisah, menciptakan produk hukum yang tumpang tindih di lapangan. Proses pengukuhan Kawasan Hutan oleh KLHK yang bersifat top-down dan hegemonik menjadi pemicu utama konflik karena seringkali mengabaikan hak-hak atas tanah, batas desa, dan permukiman transmigran yang telah ada dan diakui oleh rezim hukum lainnya.

    2.         Yurisprudensi Menawarkan Terobosan Berbasis Kepastian Hukum.

    Di tengah kebuntuan regulasi, lembaga peradilan telah memberikan kontribusi signifikan. Putusan Mahkamah Agung Nomor 379 K/TUN/2022 yang menguatkan Putusan PTUN Jakarta Nomor 49/G/2021/PTUN.JKT menjadi yurisprudensi penting. Putusan ini menegakkan prinsip supremasi hak atas tanah yang terbit lebih dulu (prior in tempore, potior in jure) dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Ini memberikan landasan hukum yang kokoh bagi masyarakat dan entitas hukum lainnya untuk mempertahankan hak mereka dari klaim sepihak Kawasan Hutan, sekaligus menjadi koreksi yudisial terhadap praktik pengukuhan yang tidak cermat.

    3.        Evolusi Kebijakan Menuju Solusi Sistemik Reforma Agraria.

    Kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan konflik ini telah berevolusi dari pendekatan sektoral melalui PPTKH (Perpres 88/2017) yang terbukti tidak efektif, menjadi pendekatan yang lebih holistik dan sistemik melalui Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria (Perpres 62/2023). Pendekatan baru ini secara konseptual lebih tepat karena menempatkan penyelesaian konflik sebagai bagian dari upaya penataan aset agraria secara nasional. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada kemauan politik untuk mengatasi ego sektoral dan memastikan implementasi yang partisipatif dan tepat sasaran.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


    [1] S. Suparto, “Interpreting The State's Right to Control in the Provisions of Article 33 Paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia,” UIRL Review 4, no. 2 (2020): 1–8.

    [2] Xavier Nugraha et al., “Strengthening Customary Forest Rights for Indigenous People in Indonesia Green Constitution Framework,” Jurnal Kajian Pembaruan Hukum 3, no. 2 (2023).

    [3] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya (Jakarta: Djambatan, 2005), 393.

    [4] Zenzi Suhadi dan Chalid Muhammad, Kritik terhadap Rezim Kehutanan: Dari Sentralisasi ke Desentralisasi Kebijakan (Jakarta: WALHI Press, 2013), 87.

    [5] Fitriani, Eko Cahyono, dan Iqbal Damanik, Ketika Negara Mengklaim Hutan: Konflik Kawasan Hutan dan Permukiman Transmigran di Sumatera (Bogor: Sajogyo Institute, 2017), 51

    [6] Otto Hospes dan Atie Punt, “Governance and Conflict in the Management of Indonesia’s Forests: A Legal and Institutional Perspective,” Forest Policy and Economics 21 (2012): 12.