Pertanyaan
Izin bertanya pak, Saya orang awam dan bingung, sebenarnya Perhutanan Sosial itu apa? Kenapa
pemerintah yang tadinya memberikan izin hutan ke perusahaan besar, sekarang
seolah-olah memberikannya ke masyarakat? Apakah ini benar-benar untuk
kesejahteraan rakyat atau ada tujuan lain?
Terima Kasih.
Jawaban
Perhutanan Sosial sebagai Paradigma Korektif
Secara historis, model pengelolaan hutan di Indonesia cenderung
sentralistik dan berorientasi pada korporasi melalui skema Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Paradigma ini, yang
mendominasi selama beberapa dekade, secara faktual telah meminggirkan
masyarakat lokal dan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dari sumber daya yang telah
mereka kelola secara turun-temurun. Akibatnya, terjadi eskalasi konflik
tenurial yang meluas, ketimpangan akses, deforestasi, serta degradasi
lingkungan.
Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
secara konsisten menunjukkan bahwa konflik agraria di sektor kehutanan terus
menjadi masalah kronis, bahkan cenderung meningkat dari waktu ke waktu, yang
mencerminkan kegagalan struktural dalam tata kelola kehutanan masa lalu.
Sebagai respons dan koreksi atas kegagalan tersebut, Pemerintah meluncurkan
program Perhutanan Sosial (PS) sebagai salah satu agenda prioritas nasional.
Program ini merupakan manifestasi dari pergeseran paradigma, dari
pengelolaan hutan berbasis korporasi (corporation-based forest management) menjadi pengelolaan berbasis masyarakat (people-based forest management). Perhutanan Sosial dirancang sebagai instrumen kebijakan untuk
meredistribusi akses kelola kawasan hutan kepada masyarakat setempat dan
MHA, sejalan dengan semangat reforma agraria.
Tujuannya bersifat multifaset
yaitu
menyelesaikan konflik tenurial, meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui pemberian kepastian hukum, dan pada saat yang sama, menjaga
kelestarian fungsi ekologis hutan.
Fungsi Strategis Perhutanan Sosial
Keberadaan program Perhutanan Sosial memiliki fungsi strategis yang
signifikan bagi berbagai pemangku kepentingan:
-
Bagi Negara:
Program ini berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan
nasional yang lebih luas. Secara sosial-politik, PS menjadi alat untuk
meredam dan menyelesaikan konflik tenurial yang telah berlangsung lama.
Secara ekonomi, program ini merupakan bagian dari strategi pengentasan
kemiskinan bagi masyarakat yang bergantung pada hutan. Secara ekologis, PS
diharapkan dapat berkontribusi pada pencapaian target komitmen iklim
Indonesia, khususnya Forestry and Other Land Use (FOLU)
Net Sink 2030, dengan mendorong praktik pengelolaan hutan yang
lestari di tingkat tapak;
-
Bagi Masyarakat:
Manfaat paling fundamental bagi masyarakat adalah diperolehnya kepastian
hukum melalui akses legal untuk mengelola lahan yang seringkali telah mereka
garap secara turun-temurun tanpa pengakuan formal. Kepastian ini membuka
pintu bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi, pengembangan usaha berbasis
hasil hutan, serta penguatan kelembagaan sosial di tingkat lokal;
-
Bagi Pelaku Usaha:
Meskipun sering dipandang sebagai dua kutub yang berlawanan, Perhutanan
Sosial juga menawarkan peluang bagi pelaku usaha. Melalui skema Kemitraan
Kehutanan, perusahaan dapat membangun hubungan yang lebih harmonis dengan
masyarakat sekitar. Kolaborasi ini tidak hanya memenuhi kewajiban hukum
untuk pemberdayaan masyarakat, tetapi juga dapat meningkatkan keamanan
sosial investasi (social license to operate), mengurangi risiko
konflik, dan membangun citra korporasi yang bertanggung jawab.
Pergeseran menuju Perhutanan Sosial ini sejatinya menandai sebuah evolusi
dalam politik hukum kehutanan Indonesia. Ia merefleksikan pengakuan bahwa
model pengelolaan yang mengabaikan hak dan peran serta masyarakat terbukti
gagal dan tidak berkelanjutan. Namun, transisi dari paradigma yang berpusat
pada negara (state-centric) ke paradigma yang berpusat pada
masyarakat (people-centric) ini tidaklah berjalan mulus.
Meskipun secara formal akses diberikan kepada masyarakat, data konflik yang
persisten menunjukkan bahwa akar masalah terkait hak atas tanah versus hak
kelola masih menjadi arena kontestasi yang sengit, di mana kepentingan
masyarakat seringkali masih harus berhadapan dengan kekuatan modal dan klaim
negara yang dominan.
Arsitektur Hukum Perhutanan Sosial: Regulasi dari Hulu ke Hilir
Kerangka hukum yang menopang program Perhutanan Sosial di Indonesia
bersifat hierarkis dan berlapis, mulai dari undang-undang sebagai landasan
utama hingga peraturan teknis di tingkat Kementerian dan Direktorat Jenderal. Memahami arsitektur ini krusial untuk mengapresiasi bagaimana
cita-cita keadilan sosial diterjemahkan ke dalam norma hukum yang
operasional.
Undang-Undang
Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
yang selanjutnya disebut dengan “UU
tentang
Kehutanan”
merupakan payung hukum tertinggi yang mengatur seluruh aspek pengurusan
hutan di Indonesia. Bahkan sebelum program Perhutanan Sosial digalakkan
secara masif, undang-undang ini telah memuat pasal-pasal yang menjadi embrio
bagi pemberdayaan masyarakat. Pasal 35 Angka 9 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
sebagaimana telah ditetapkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Cipta Kerja menjadi Undang-Undang,
sebagaimana yang telah mengubah ketentuan Pasal 30 UU
tentang
Kehutanan
misalnya,
secara eksplisit mewajibkan badan usaha pemegang izin pemanfaatan hutan
untuk bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat. Sementara itu, Pasal 67
UU tentang Kehutanan
memberikan pengakuan atas hak-hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) untuk memungut
hasil hutan bagi kebutuhan sehari-hari dan mengelola hutan berdasarkan hukum
adat.
Dinamika hukum modern membawa perubahan signifikan terhadap UU tentang Kehutanan melalui
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian
ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. UU tentang Cipta Kerja, dengan pendekatan omnibus law, mengubah beberapa
ketentuan dalam UU tentang Kehutanan dengan tujuan utama menyederhanakan perizinan dan meningkatkan
ekosistem investasi. Salah satu perubahan paling fundamental adalah
penyisipan
Pasal 29A
ayat (2)
dan Pasal 29B
UU tentang Kehutanan. Pasal-pasal baru ini secara eksplisit dan untuk pertama kalinya
memasukkan terminologi “Perhutanan Sosial” ke dalam batang tubuh
undang-undang sebagai salah satu bentuk pemanfaatan hutan, serta
mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaannya kepada
Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pelaksana Inti: Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (PP 23/2021)
Sebagai amanat langsung dari UU tentang Cipta Kerja, Pemerintah menerbitkan PP 23/2021. Peraturan ini berfungsi sebagai “peraturan sapu jagat” yang
mengonsolidasikan, mencabut, dan mengubah berbagai peraturan pemerintah
sebelumnya di sektor kehutanan, menciptakan satu kerangka kerja yang lebih
terintegrasi.
Dalam konteks Perhutanan Sosial, PP 23/2021 menjadi peraturan
pelaksana inti. Bab VI Peraturan
Pemerintah
ini didedikasikan secara khusus untuk “Pengelolaan Perhutanan Sosial”. Di
sinilah definisi legal formal Perhutanan Sosial ditetapkan, yaitu
sebagai
“sistem pengelolaan Hutan lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan
Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat
setempat atau Masyarakat Hukum Adat”.
PP ini meletakkan dasar hukum bagi kelima skema Perhutanan Sosial dan
memberikan mandat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk
mengatur lebih lanjut ketentuan teknisnya.
Panduan Teknis Pengelolaan: Peraturan Menteri LHK Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial (Permen LHK 9/2021)
Permen LHK 9/2021
adalah regulasi paling detail, komprehensif, dan operasional yang menjadi
kitab suci pelaksanaan Perhutanan Sosial di tingkat tapak. Peraturan ini
mencabut beberapa regulasi sebelumnya, termasuk Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016
tentang Perhutanan Sosial, untuk menyelaraskannya dengan kerangka hukum baru pasca-UU Cipta Kerja.
Peraturan ini membedah secara rinci setiap aspek program, antara lain:
1)
Skema Perhutanan Sosial:
Mendefinisikan secara jelas kelima skema yang tersedia, yaitu Hutan Desa
(HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat,
dan Kemitraan Kehutanan;
2)
Subjek dan Objek:
Menetapkan kriteria yang berhak menjadi pemohon (subjek) dan di mana lokasi
(objek) yang dapat diajukan untuk setiap skema, memberikan panduan yang
jelas bagi masyarakat dan pendamping;
3)
Prosedur dan Kelembagaan:
Mengatur alur permohonan, verifikasi teknis, hingga penerbitan persetujuan,
termasuk mengukuhkan peran Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial
(Pokja PPS) di tingkat provinsi sebagai fasilitator;
4)
Jangka Waktu dan Kepastian Hukum:
Memberikan kepastian hukum jangka panjang bagi masyarakat dengan menetapkan
masa berlaku persetujuan pengelolaan (HD, HKm, HTR) selama 35 tahun dan
dapat dievaluasi serta diperpanjang;
5)
Hak dan Kewajiban:
Menguraikan hak-hak pemegang persetujuan untuk memanfaatkan kawasan hutan
serta kewajiban mereka untuk menjaga kelestarian, termasuk kewajiban
menyusun Rencana Kelola Perhutanan Sosial (RKPS) sebagai panduan
pengelolaan.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas,
Permen LHK 9/2021 menguraikan secara spesifik kelima skema
Perhutanan Sosial sebagai berikut:
-
Hutan Desa (HD), didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 2
Permen LHK 9/2021
sebagai
“kawasan hutan yang belum dibebani izin, yang dikelola oleh desa dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa”.
Fokus utama skema ini adalah kesejahteraan kolektif desa. Akses legal
diberikan dalam bentuk Persetujuan Pengelolaan Hutan Desa, dengan subjek
penerima adalah Lembaga Desa. Objek atau lokasi yang dapat diajukan adalah
kawasan Hutan Lindung dan/atau Hutan Produksi yang belum dibebani perizinan
lain. Jangka waktu persetujuan ini adalah 35 (tiga puluh lima) tahun dan
dapat diperpanjang.
-
Hutan Kemasyarakatan (HKm), didefinisikan dalam
Pasal 1 Angka 3
Permen LHK 9/2021 sebagai
“kawasan hutan yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan
masyarakat”.
Fokusnya adalah pemberdayaan masyarakat secara langsung. Bentuk
legalitasnya adalah Persetujuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan. Subjek
penerimanya lebih fleksibel, dapat berupa perseorangan,
-
Kelompok Tani Hutan (KTH), atau koperasi setempat. Sama seperti HD,
objeknya dapat berada di kawasan Hutan Lindung dan/atau Hutan Produksi yang
belum dibebani izin. Jangka waktu persetujuannya juga 35 (tiga puluh lima)
tahun dan dapat diperpanjang.
-
Hutan Tanaman Rakyat (HTR), merupakan skema yang berfokus pada
peningkatan produktivitas melalui penanaman, khususnya di Hutan Produksi.
Legalitasnya berupa Persetujuan Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat. Subjek
penerimanya adalah KTH, gabungan KTH, atau koperasi. Sesuai fokusnya, objek
HTR hanya dapat diajukan pada kawasan Hutan Produksi yang belum dibebani
izin. Jangka waktu persetujuannya adalah 35 (tiga puluh lima) tahun dan
dapat diperpanjang.
-
Hutan Adat, memiliki posisi yang unik karena didasarkan pada pengakuan hak
asal-usul. Skema ini didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 8
Permen LHK 9/2021
sebagai
“hutan yang berada di dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat”.
Fokus utamanya adalah pengakuan hak ulayat dan kearifan lokal. Bentuk
legalitasnya bukan persetujuan pengelolaan, melainkan Penetapan Status Hutan
Adat. Subjeknya secara eksklusif adalah Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang
keberadaannya telah diakui melalui Peraturan Daerah (Perda). Objeknya dapat
berupa kawasan Hutan Negara atau di luar Hutan Negara yang berada dalam
wilayah adat. Karena melekat pada hak ulayat yang bersifat turun-temurun,
jangka waktunya tidak terbatas.
-
Kemitraan Kehutanan, merupakan skema kerja sama yang berfokus pada
kolaborasi yang saling menguntungkan. Bentuk legalitasnya adalah Persetujuan
Kemitraan Kehutanan. Subjeknya adalah masyarakat setempat (dalam bentuk KTH
atau Gabungan Kelompok Tani) yang bermitra dengan pemegang perizinan
berusaha Pemanfaatan Hutan atau pemegang persetujuan penggunaan kawasan
hutan yang sudah ada. Objeknya adalah areal kerja dari pemegang izin
tersebut, yang dapat berada di kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, maupun
Hutan Konservasi. Jangka waktu kemitraan ini, sebagaimana diatur dalam
peraturan tersebut, disesuaikan dengan masa berlaku izin yang dimiliki oleh
mitra usahanya.
Instrumen Kebijakan Teknis
Di bawah Permen LHK 9/2021, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen
PSKL) juga menerbitkan berbagai peraturan teknis berupa Peraturan Direktur
Jenderal (Perdirjen) yang berfungsi sebagai panduan operasional di tingkat
tapak. Beberapa peraturan kunci tersebut antara lain:
a)
Pedoman Pendampingan Masyarakat:
Untuk memastikan masyarakat mendapatkan bimbingan yang memadai, diterbitkan
Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
Nomor P.1/PSKL/KELING/KUM.1/1/2019 tentang Panduan Umum Pendampingan
Perhutanan Sosial. Peraturan ini bertujuan
“agar proses pendampingan masyarakat Perhutanan Sosial yang telah
mendapat izin akses kelola hutan dapat berjalan optimal dalam mencapai
tujuan akhir program perhutanan sosial yakni terwujudnya hutan lestari,
masyarakat sejahtera”;
b)
Metodologi Asesmen Konflik Tenurial:
Untuk menangani salah satu isu paling krusial, yakni konflik lahan,
diterbitkan
Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
Nomor P.6/PSKL/SET/PSL.1/5/2016 tentang Pedoman Asesmen Konflik Tenurial
Kawasan Hutan. Pedoman ini dimaksudkan untuk
“memberikan panduan teknis kepada asesor yang ditugaskan oleh Direktur
Jenderal dalam melaksanakan kegiatan asesmen konflik tenurial kawasan
hutan”
dengan tujuan
“mengumpulkan dan menganalisis fakta, data dan informasi untuk memberikan
rekomendasi”
penyelesaian;
c)
Petunjuk Teknis Penyusunan Rencana Pengelolaan:
Untuk panduan teknis perencanaan di tingkat tapak, diterbitkan
Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
Nomor P.16/PSKL/SET/PSL.0/12/2016 tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan Desa, Rencana Kerja Usaha Izin Usaha Pemanfaatan Hutan
Kemasyarakatan dan Rencana Kerja Usaha Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu Hutan Tanaman Rakyat. Peraturan ini berfungsi sebagai petunjuk teknis bagi pemegang persetujuan
dalam menyusun dokumen perencanaan pengelolaan hutannya.
Arsitektur hukum ini, dari UU tentang Cipta Kerja hingga Perdirjen, menunjukkan adanya suatu tegangan inheren. Di
satu sisi, semangat UU tentang Cipta Kerja adalah efisiensi dan kemudahan investasi. Di sisi lain,
semangat reforma agraria yang mendasari Perhutanan Sosial adalah keadilan
dan pemberdayaan masyarakat. Permen LHK 9/2021 menjadi arena di mana kedua
tarikan kepentingan ini dinegosiasikan. Skema seperti Kemitraan Kehutanan
secara eksplisit dirancang untuk “mendamaikan” keberadaan korporasi dengan
masyarakat. Namun, skema lain seperti Hutan Adat dan HKm/HD berpotensi
berbenturan langsung dengan alokasi lahan untuk investasi. Dualisme tujuan
ini menciptakan sebuah pertanyaan fundamental dalam implementasinya
yaitu apakah Perhutanan Sosial akan diprioritaskan sebagai instrumen keadilan
sosial, ataukah
ia akan berfungsi sebagai “sabuk pengaman sosial” untuk melancarkan
investasi skala besar?
Data konflik yang masih tinggi mengindikasikan bahwa kepentingan investasi
seringkali masih lebih dominan.
Syarat dan Tata Cara Penetapan Perhutanan Sosial
Proses untuk mendapatkan akses secara hukum dalam program Perhutanan Sosial diatur secara terperinci dalam
Peraturan Menteri LHK Nomor 9 Tahun 2021. Proses ini meliputi pemenuhan syarat subjek dan objek, pengajuan
permohonan, hingga melalui tahapan verifikasi administrasi dan teknis
sebelum diterbitkannya persetujuan atau penetapan oleh Menteri.
Secara umum, alur proses untuk skema Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan
(HKm), dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) memiliki kemiripan, yang meliputi:
1.
Permohonan:
Diajukan oleh subjek yang memenuhi syarat kepada Menteri LHK, dengan
tembusan kepada instansi terkait di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Permohonan harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen administratif, gambaran
umum wilayah, dan peta usulan areal.
2.
Verifikasi Administrasi:
Direktur Jenderal PSKL melakukan pemeriksaan kelengkapan dan kesesuaian
dokumen permohonan dalam waktu 3 (tiga) hari kerja. Jika tidak lengkap,
pemohon diberi waktu 14 (empat belas) hari untuk melengkapi.
3.
Verifikasi Teknis:
Setelah lolos verifikasi administrasi, tim verifikasi teknis yang dibentuk
oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen PSKL akan turun ke lapangan.
Tim ini melakukan verifikasi terhadap kondisi faktual objek (areal) dan
subjek (pemohon) dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, yang dapat diperpanjang
sesuai kondisi lapangan.
4.
Penerbitan Keputusan:
Berdasarkan berita acara hasil verifikasi teknis, Direktur Jenderal atas
nama Menteri akan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Persetujuan Pengelolaan
atau surat penolakan.
Berikut adalah rincian syarat dan tata cara spesifik untuk masing-masing
skema:
Hutan Desa (HD)
-
Syarat Subjek
(vide Pasal 10
Permen LHK 9/2021): Permohonan diajukan oleh Lembaga Desa (dapat berupa gabungan
beberapa lembaga desa) yang dibentuk melalui Peraturan Desa (Perdes).
Penerima manfaatnya adalah warga desa setempat;
-
Syarat Objek
(vide
Pasal 11
Permen LHK 9/2021):
Areal yang dapat diajukan adalah kawasan
Hutan Lindung dan/atau Hutan Produksi yang belum dibebani izin dan
berada dalam Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). Luas maksimal
per unit pengelolaan adalah 5.000 hektare;
Dokumen Permohonan (vide Pasal 12 Permen LHK 9/2021): Selain surat permohonan, wajib melampirkan Perdes tentang pembentukan Lembaga Desa, SK Kepala Desa tentang susunan pengurus, daftar nama pengurus dan penerima manfaat, fotokopi KTP/KK, gambaran umum wilayah, pakta integritas, dan peta usulan areal.
Hutan Kemasyarakatan (HKm)
-
Syarat Subjek
(vide
Pasal 21
Permen LHK 9/2021): Permohonan dapat diajukan oleh perseorangan (yang tergabung dalam
kelompok), Kelompok Tani Hutan (KTH), atau koperasi setempat.
Anggota kelompok minimal 15 orang;
-
Syarat Objek
(vide
Pasal 22
Permen LHK 9/2021): Areal yang dapat diajukan adalah kawasan
Hutan Lindung dan/atau Hutan Produksi yang belum dibebani izin,
berada dalam PIAPS, dan/atau sudah dikelola oleh pemohon. Luas maksimal per
unit pengelolaan adalah 5.000 hektare dan per kepala keluarga adalah 15
hektare;
Dokumen Permohonan (vide Pasal 23 Permen LHK 9/2021): Melampirkan surat pembentukan kelompok atau akta pendirian koperasi, daftar nama pengurus dan anggota beserta fotokopi KTP/KK, gambaran umum wilayah, peta usulan lokasi, dan pakta integritas.
Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
-
Syarat Subjek
(vide
Pasal 32 & 33
Permen LHK 9/2021): Permohonan diajukan oleh
KTH, gabungan KTH, atau koperasi tani hutan. Anggota kelompok minimal
15 orang.
-
Syarat Objek
(vide
Pasal 34
Permen LHK 9/2021): Areal yang dapat diajukan adalah kawasan Hutan Produksi yang
belum dibebani izin, berada dalam PIAPS, dan diutamakan pada hutan yang
tidak produktif. Luas maksimal per unit pengelolaan adalah 5.000 hektare dan
per kepala keluarga adalah 15 hektare.
Dokumen Permohonan (vide Pasal 35 Permen LHK 9/2021): Persyaratan dokumen serupa dengan HKm, yaitu melampirkan surat pembentukan kelompok atau akta pendirian koperasi, daftar nama pengurus dan anggota, gambaran umum wilayah, peta usulan, dan pakta integritas.
Kemitraan Kehutanan
Proses untuk skema ini sedikit berbeda karena melibatkan kerja sama dengan
pemegang izin yang sudah ada.
-
Tahapan
(vide
Pasal 47
Permen LHK 9/2021): Prosesnya meliputi sosialisasi, pembentukan dan penguatan kelembagaan
kelompok masyarakat, serta penyusunan
Naskah Kesepakatan Kerja Sama (NKK);
-
Syarat Subjek
(vide
Pasal 44
Permen LHK 9/2021): Permohonan diajukan oleh
pemegang perizinan berusaha Pemanfaatan Hutan atau pemegang persetujuan
penggunaan kawasan hutan, yang bermitra dengan masyarakat setempat dalam bentuk KTH atau gabungan
KTH.
-
Syarat Objek
(vide
Pasal 45
Permen LHK 9/2021): Areal kemitraan berada di dalam kawasan
Hutan Produksi, Hutan Lindung, atau Hutan Konservasi yang telah
dibebani izin mitra usaha. Areal tersebut harus memiliki potensi sebagai
sumber penghidupan masyarakat atau merupakan areal konflik/berpotensi
konflik. Batas luas per keluarga adalah 5 hektare’
-
Dokumen Permohonan
(vide
Pasal 53
Permen LHK 9/2021): Permohonan diajukan oleh pemegang izin dengan melampirkan NKK yang telah
disepakati, peta areal kemitraan, dan daftar anggota kelompok mitra beserta
identitasnya;
Verifikasi Teknis (vide Pasal 58 & Pasal 59 Permen LHK 9/2021): Verifikasi tidak hanya mencakup subjek dan objek, tetapi juga substansi NKK untuk memastikan adanya prinsip kesetaraan dan keadilan bagi para pihak.
Hutan Adat
Proses penetapan Hutan Adat memiliki alur yang paling berbeda karena
menyangkut pengakuan hak asal-usul.
-
Syarat Utama
(vide
Pasal 63 & 64
Permen LHK 9/2021): Syarat fundamental adalah keberadaan
Masyarakat Hukum Adat (MHA) harus terlebih dahulu diakui dan
ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda) jika berada di kawasan
hutan negara, atau Perda/Keputusan Kepala Daerah jika di luar kawasan hutan
negara;
-
Syarat Objek
(vide
Pasal 65
Permen LHK 9/2021): Areal yang diajukan harus berada di dalam Wilayah Adat yang telah
ditetapkan, merupakan areal berhutan, dan dikelola sesuai kearifan
local;
-
Permohonan
(vide
Pasal 66
Permen LHK 9/2021): Diajukan oleh pemangku adat kepada Menteri LHK, dengan
melampirkan peta Wilayah Adat dan Perda/Keputusan pengukuhan MHA;
-
Verifikasi
(vide
Pasal 68 & 69
Permen LHK 9/2021): Verifikasi lapangan dilakukan oleh tim terpadu yang dibentuk oleh
Direktur Jenderal, yang terdiri dari berbagai unsur (kementerian, pemerintah
daerah, akademisi, dan LSM). Tim ini bertugas memastikan keabsahan dokumen,
letak dan fungsi calon Hutan Adat, serta kelayakan areal di lapangan;
-
Penetapan
(vide
Pasal 70 & 75
Permen LHK 9/2021): Berdasarkan hasil verifikasi, Menteri menerbitkan
Keputusan Penetapan Status Hutan Adat. Dengan penetapan ini, wilayah
tersebut secara hukum dikeluarkan dari status Hutan Negara dan menjadi Hutan
Hak yang melekat pada MHA.
Hutan Adat dalam Pusaran Hukum dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Di antara kelima skema Perhutanan Sosial, Hutan Adat memiliki posisi yang
unik dan fundamental, baik secara historis maupun yuridis. Kedudukannya
tidak hanya diatur dalam peraturan teknis, tetapi juga telah menjadi subjek
pengujian konstitusional yang mengubah lanskap hukum kehutanan di Indonesia
secara mendasar.
Sebelum adanya intervensi yudisial dari Mahkamah Konstitusi, definisi Hutan
Adat dalam Pasal 1 Angka 6 UU
tentang Kehutanan
adalah sebagai
“hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Definisi ini, meskipun tampak mengakui keberadaan MHA, secara yuridis
menempatkan Hutan Adat di bawah domain dan rezim hukum Hutan Negara.
Konsekuensinya sangat besar
yaitu
hak ulayat (hak komunal) MHA atas wilayah adatnya menjadi subordinat atau
berada di bawah hak menguasai negara.
Hal ini memberikan legitimasi bagi negara untuk secara sepihak menetapkan
wilayah adat sebagai kawasan hutan negara dan kemudian memberikan izin
konsesi (HPH, HTI, tambang, perkebunan) kepada pihak ketiga di atas
tanah-tanah tersebut. Praktik inilah yang menjadi sumber utama dari ribuan
konflik agraria yang berkepanjangan, di mana MHA seringkali terusir dari
tanah leluhurnya dan bahkan dikriminalisasi karena dianggap menduduki
kawasan hutan negara secara ilegal.
Pada tahun 2012, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama dua
kesatuan MHA mengajukan permohonan uji materiil terhadap beberapa pasal
dalam UU Kehutanan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Puncaknya adalah lahirnya
Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, sebuah putusan monumental yang
mengubah secara drastis paradigma hukum mengenai Hutan Adat.
Dalam pertimbangannya, MK menggali makna filosofis dan historis dari
pengakuan MHA dalam konstitusi.
1.
MK menyatakan bahwa frasa “hutan negara” dalam definisi Hutan Adat
bertentangan dengan jaminan konstitusional dalam
Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun
1945, yang secara eksplisit menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya;
2.
Majelis Hakim Konstitusi berargumen bahwa MHA dan hak-hak ulayatnya telah
eksis jauh sebelum Negara Republik Indonesia terbentuk. Oleh karena itu,
menempatkan Hutan Adat sebagai bagian dari Hutan Negara adalah sebuah
kekeliruan historis dan yuridis yang mereduksi hak asal-usul MHA;
3.
Putusan ini secara tegas memisahkan dan membedakan antara Hutan Negara
dengan Hutan Adat. Hutan Adat tidak lagi dipandang sebagai bagian dari Hutan
Negara, melainkan diklasifikasikan sebagai Hutan Hak, di mana hak
kepemilikannya melekat pada MHA sebagai suatu subjek hukum komunal.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan para
Pemohon dan menyatakan:
Frasa “negara” dalam Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan... bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan demikian, amar putusan ini secara efektif melakukan redefinisi
yuridis, sehingga Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan harus dibaca dan dimaknai
menjadi:
“Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum
adat”.
Implementasi Pasca-Putusan: Jurang Antara Pengakuan Konstitusional dan Realitas Administratif
Meskipun Putusan MK 35/2012 merupakan sebuah kemenangan
konstitusional yang bersejarah, implementasinya di lapangan menciptakan
tantangan baru. Putusan MK tersebut tidak serta-merta membuat seluruh hutan
adat secara otomatis diakui. Terdapat syarat prosedural yang harus
dipenuhi.
Mengingat, untuk dapat ditetapkan statusnya sebagai Hutan Adat oleh Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, keberadaan MHA dan wilayah adatnya harus terlebih
dahulu diakui dan ditetapkan melalui sebuah produk hukum daerah, lazimnya
dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).
Persyaratan Perda ini menjadi hambatan utama (bottleneck). Proses
pembentukan Perda adalah sebuah proses politik di tingkat daerah yang
seringkali berjalan lambat, memakan biaya tinggi, dan sarat dengan berbagai
kepentingan politik dan ekonomi. Banyak pemerintah daerah yang tidak
memiliki kemauan politik (political will) atau kapasitas teknis dan
anggaran untuk melakukan identifikasi, verifikasi, dan penetapan MHA melalui
Perda.
Akibatnya, terjadi kelambatan yang luar biasa dalam proses penetapan Hutan
Adat secara resmi. Data KLHK menunjukkan bahwa progres realisasi Hutan Adat
merupakan yang paling rendah dibandingkan empat skema Perhutanan Sosial
lainnya. Hal ini menciptakan sebuah “limbo hukum” bagi banyak MHA
yaitu
hak mereka telah diakui secara luhur oleh konstitusi melalui putusan MK,
namun mereka terganjal oleh prosedur administratif yang berbelit di
tingkat daerah.
Putusan MK 35/2012 dapat dilihat sebagai sebuah tindakan aktivisme yudisial
(judicial activism) yang progresif, di mana Mahkamah Konstitusi
menjalankan fungsinya sebagai penjaga konstitusi dengan mengoreksi
undang-undang yang dinilai tidak adil. Namun, kemenangan di ranah yudisial
ini menciptakan “jurang implementasi” (implementation gap).
Pengadilan tidak memiliki kewenangan eksekusi; pelaksanaan putusannya
bergantung sepenuhnya pada kemauan dan kapasitas lembaga eksekutif (KLHK)
dan pemerintah daerah. Ketergantungan pada proses politik di daerah untuk
pengakuan formal menempatkan MHA pada posisi di mana mereka harus kembali
berjuang untuk mendapatkan hak yang secara konstitusional sudah menjadi
milik mereka. Status yang tidak pasti ini membuat mereka tetap rentan
terhadap perampasan wilayah oleh proyek-proyek investasi yang legalitasnya
bersumber dari izin yang dikeluarkan oleh negara.
Tumpang Tindih Perizinan (Overlapping Permits)
Tumpang tindih perizinan merupakan masalah sistemik dan kronis dalam tata
kelola sumber daya alam di Indonesia. Fenomena ini terjadi ketika satu
hamparan lahan yang sama dibebani oleh berbagai jenis izin yang dikeluarkan
oleh instansi pemerintah yang berbeda untuk sektor yang berbeda pula,
seperti kehutanan, pertambangan, dan perkebunan. Akibatnya, klaim legal
saling berbenturan di tingkat tapak, menciptakan ketidakpastian hukum dan
memicu konflik.
Contoh nyata dari masalah ini adalah kasus rencana tambang emas
oleh
PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dimiliki perusahaan tersebut
teridentifikasi tumpang tindih dengan ribuan hektar kawasan hutan, termasuk
Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Situasi ini memicu penolakan keras dari
masyarakat dan pemerintah daerah setempat, yang khawatir akan dampak
kerusakan lingkungan dan bencana ekologis.
Selanjutnya, kasus
PT Sari Persada Raya di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan,
menunjukkan bagaimana perusahaan perkebunan kelapa sawit melakukan aktivitas di dalam kawasan Hutan
Produksi (HP) dan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK), yang secara
hukum merupakan pelanggaran. Laporan investigasi oleh Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait proyek satu juta hektar perkebunan sawit di Kalimantan Timur
juga menyoroti bagaimana izin-izin perkebunan secara masif tumpang tindih
dengan wilayah adat, mengabaikan hak-hak masyarakat yang telah ada
sebelumnya.
Akar masalah dari tumpang tindih ini bersifat struktural, mencakup lemahnya
koordinasi antar-kementerian dan lembaga pemerintah, data dasar pertanahan
dan kehutanan yang tidak sinkron (menegaskan urgensi kebijakan Satu Peta
atau One Map Policy yang efektif), serta adanya tekanan politik dan
ekonomi yang kuat untuk mempercepat penerbitan izin investasi tanpa melalui
proses verifikasi dan uji tuntas yang cermat.
Tumpang tindih perizinan adalah salah satu pemicu utama dari konflik
tenurial, yakni perselisihan terkait klaim atas penguasaan, pengelolaan, dan
pemanfaatan lahan dan sumber daya hutan.
Laporan Tahunan KPA 2023
mencatat setidaknya terjadi
17 letusan konflik agraria di sektor kehutanan yang berdampak pada
10.900 Kepala Keluarga di 28 desa. Tipologi konflik yang paling dominan
adalah klaim tumpang tindih oleh negara (misalnya, penetapan kawasan hutan
di atas pemukiman warga) dan penguasaan lahan oleh korporasi Hutan Tanaman
Industri (HTI). Laporan tersebut juga menyoroti tingginya angka kekerasan
dan kriminalisasi yang dialami oleh warga yang berusaha mempertahankan tanah
mereka, dengan ratusan orang ditangkap atau dianiaya.
Kemudian, Program Perhutanan Sosial, khususnya skema Kemitraan Kehutanan, seringkali
diposisikan oleh pemerintah sebagai instrumen untuk menyelesaikan atau
memitigasi konflik. Idenya adalah menciptakan kerja sama yang saling
menguntungkan antara masyarakat dan pemegang izin. Namun, implementasinya di
lapangan menghadapi berbagai tantangan, seperti perbedaan persepsi mengenai
konsep kemitraan, prosedur birokrasi yang rumit, serta kapasitas para pihak
(baik masyarakat maupun perusahaan) yang terbatas untuk bernegosiasi dan
mengelola kemitraan secara efektif.
Masalah tumpang tindih perizinan dan konflik tenurial ini bukanlah sekadar
“kecelakaan” administratif. Ia merupakan manifestasi dari model pembangunan
yang cenderung ekstraktif, yang secara inheren memprioritaskan akumulasi
modal dan pencapaian target investasi di atas pengakuan hak-hak tenurial
masyarakat dan pertimbangan kelestarian ekologis. Dalam kerangka ini,
negara, melalui berbagai kementerian sektoral, seringkali mengeluarkan
izin-izin yang saling bertabrakan. Ketika konflik meletus sebagai akibatnya,
skema Perhutanan Sosial kemudian ditawarkan sebagai “solusi”.
Namun, solusi ini seringkali tidak menyentuh akar masalah ketimpangan
penguasaan lahan. Masyarakat mungkin diberikan akses kelola di sebagian
kecil areal, sementara korporasi tetap mengendalikan mayoritas lahan
konsesi. Dengan demikian, Perhutanan Sosial berisiko berfungsi hanya sebagai
mekanisme mitigasi konflik agar operasi skala besar dapat terus berjalan
dengan lebih aman, bukan sebagai alat transformasi struktural untuk
mewujudkan reforma agraria yang sejati.
Sengketa Administratif Izin Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Sebagaimana Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor
40/G/2019/PTUN.JKT,
tertanggal 28 Agustus 2019., jo. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 314/B/2019/PT.TUN.JKT., tertanggal 18 November 2019., jo. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 250 K/TUN/2020., tertanggal 9 Maret 2020, yang pada intinya dalam perkara ini, pihak penggugat, yang merupakan pemegang izin lain di
sektor kehutanan, mengajukan gugatan terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (Tergugat). Objek sengketa adalah Surat Keputusan (SK) Menteri LHK
tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm)
kepada Gabungan Kelompok Tani Naga Jaya di Sumatera Utara.
Argumen kunci dari Penggugat adalah bahwa penerbitan IUPHKm tersebut
tumpang tindih dengan areal izin yang telah mereka miliki sebelumnya. Kasus
ini merupakan contoh klasik bagaimana alokasi lahan untuk program Perhutanan
Sosial dapat berbenturan secara langsung dengan hak-hak legal yang telah
ada, sehingga membawa sengketa tersebut ke ranah peradilan tata usaha
negara.
Putusan dalam perkara ini menjadi cerminan bagaimana pengadilan
administrasi menguji sebuah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Hakim akan
menimbang berbagai aspek, termasuk legalitas formal penerbitan SK (apakah
sudah sesuai prosedur dan kewenangan), serta substansi dari keputusan
tersebut, termasuk argumen mengenai tumpang tindih. Putusan ini menjadi
penting untuk melihat sejauh mana pengadilan memberikan bobot pada program
prioritas nasional seperti Perhutanan Sosial ketika dihadapkan pada klaim
hak dari pemegang izin yang sudah ada sebelumnya.
Sengketa Tumpang Tindih dan Konflik dengan Masyarakat Adat
Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
(IPPKH) PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Pulau Wawonii, Sulawesi
Tenggara
, serta putusan terkait seperti
Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta Nomor 167/G/2023/PTUN.JKT.,
tertanggal 12 September 2023., jo. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 367/B/2023/PT.TUN.JKT., tertanggal 16 November 2023., jo. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 403 K/TUN/TF/2024., tertanggal 21 Mei 2024., yang juga menggugat IPPKH.
Perkara Wawonii merepresentasikan konflik vertikal antara masyarakat lokal
dan adat melawan korporasi pertambangan nikel dan negara (pemberi izin).
Warga menggugat keabsahan IPPKH yang diberikan kepada PT GKP dengan argumen
bahwa aktivitas pertambangan tersebut mengancam ruang hidup, sumber air
bersih, lahan pertanian, dan melanggar peraturan perundang-undangan yang
melarang kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil.
Kemenangan masyarakat dalam kasus ini, yang dikuatkan hingga tingkat
Mahkamah Agung, menunjukkan bahwa pertimbangan hakim melampaui sekadar aspek
prosedural penerbitan izin. Dalam putusannya, pengadilan mempertimbangkan
dampak ekologis dan sosial yang lebih luas, hak konstitusional warga atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta penerapan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AUPB), seperti asas kecermatan. Putusan ini
menegaskan bahwa meskipun pemerintah memiliki kewenangan untuk menerbitkan
izin, kewenangan tersebut tidak absolut dan dapat dibatalkan jika terbukti
merugikan kepentingan publik yang lebih besar dan bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi.
Perkembangan yurisprudensi di bidang kehutanan dan lingkungan hidup ini
menunjukkan adanya sebuah pergeseran, meskipun berjalan lambat. Pengadilan,
terutama di tingkat kasasi dan peninjauan kembali, mulai bergerak dari
pendekatan yang sangat legalistik-formalistik menuju pendekatan yang lebih
substantif dan progresif. Jika sebelumnya pengadilan tata usaha negara
cenderung membatasi diri pada pengujian formalitas sebuah keputusan,
kasus-kasus strategis seperti Wawonii menunjukkan bahwa hakim semakin berani
merujuk pada prinsip-prinsip konstitusional, hak asasi manusia, dan keadilan
ekologis. Putusan MK 35/2012 tentang Hutan Adat juga telah memberikan
preseden penting yang mendorong pengadilan di bawahnya untuk lebih sensitif
dan berani dalam mengakui hak-hak masyarakat. Pergeseran ini menandakan
bahwa ruang untuk memperjuangkan keadilan lingkungan dan sosial melalui
jalur litigasi menjadi semakin terbuka, menjadikan peradilan sebagai salah
satu benteng harapan bagi masyarakat.
Perhutanan Sosial adalah sebuah perjalanan panjang menuju keadilan agraria dan ekologis. Kerangka hukum yang ada telah menyediakan fondasi, namun keberhasilannya akan sangat bergantung pada kemauan politik yang kuat, implementasi yang konsisten, dan keberpihakan yang tulus kepada masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.