Pengantar
Sektor jasa
keuangan global tengah mengalami transformasi fundamental yang didorong oleh
gelombang inovasi teknologi finansial, atau yang lebih dikenal dengan
terminologi financial technology (fintech).
Perkembangan
ini, yang mencakup spektrum luas dari sistem pembayaran digital, layanan pinjam
meminjam berbasis teknologi informasi (peer-to-peer lending), hingga
pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk manajemen
investasi, telah mendisrupsi model bisnis perbankan dan lembaga keuangan
konvensional.
Kecepatan
evolusi teknologi ini seringkali melampaui siklus pembentukan regulasi yang
secara inheren bersifat lebih lambat dan deliberatif, sehingga menimbulkan
tantangan signifikan bagi otoritas regulator di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia.
Kondisi ini
menempatkan regulator dalam sebuah dilema kebijakan yang kompleks. Di satu
sisi, regulasi yang terlalu ketat dan kaku berisiko menghambat inovasi, menekan
daya saing ekonomi nasional, dan membatasi potensi inklusi keuangan yang
ditawarkan oleh fintech. Di sisi lain, pendekatan regulasi yang terlalu
permisif atau laissez-faire dapat membuka celah bagi munculnya
risiko-risiko baru yang berpotensi mengancam stabilitas sistem keuangan,
mengeksploitasi data pribadi konsumen, dan menimbulkan kerugian finansial bagi
masyarakat luas. Paradoks antara fasilitasi inovasi dan mitigasi risiko ini
menuntut adanya sebuah pendekatan regulasi yang lebih adaptif, dinamis, dan
responsif, di mana regulator diharapkan mampu merancang peraturan yang
melindungi kepentingan publik tanpa menghalangi inovasi.[1]
Menjawab
tantangan tersebut, berbagai yurisdiksi di dunia mulai mengadopsi sebuah
instrumen kebijakan inovatif yang dikenal sebagai Regulatory Sandbox.
Secara
konseptual, Regulatory Sandbox berfungsi sebagai jembatan kebijakan (policy
bridge), sebuah “ruang uji coba terbatas” yang dirancang secara
spesifik untuk mengatasi dilema regulasi di era digital. Mekanisme ini
memungkinkan para inovator, baik perusahaan rintisan (startup) maupun
lembaga keuangan yang sudah mapan, untuk menguji produk, layanan, dan model
bisnis baru mereka dalam sebuah lingkungan yang terkendali (controlled
environment) dan di bawah pengawasan langsung oleh regulator, sebelum
diluncurkan secara penuh ke pasar yang lebih luas.
Namun,
memandang Regulatory Sandbox hanya sebagai fasilitas uji coba teknis
adalah sebuah penyederhanaan. Pada hakikatnya, instrumen ini merepresentasikan
sebuah pergeseran paradigma yang lebih fundamental dalam filsafat regulasi. Ia
bertransformasi menjadi sebuah mekanisme dialog kelembagaan (institutional
dialogue mechanism) yang terstruktur antara inovator yang bergerak cepat
dan regulator yang secara tradisional cenderung berhati-hati.
Fenomena
ini menandai transisi dari pendekatan regulasi yang bersifat ex-post (di
mana regulator bereaksi setelah terjadinya pelanggaran atau krisis) menuju
pendekatan yang bersifat ex-ante, di mana regulator secara proaktif
terlibat dalam membentuk arah inovasi yang bertanggung jawab sejak tahap awal.
Melalui interaksi intensif di dalam sandbox, regulator memperoleh
pemahaman mendalam mengenai teknologi dan risiko yang menyertainya, sementara
inovator mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai prinsip-prinsip
kepatuhan, manajemen risiko, dan pelindungan konsumen.
Dengan
demikian, fungsi utama sandbox bukanlah sekadar “menguji kode” perangkat
lunak, melainkan “menguji keselarasan” antara model bisnis yang disruptif
dengan tujuan kebijakan publik yang lebih luas, seperti stabilitas sistem
keuangan, integritas pasar, dan pelindungan konsumen.
Artikel ini
bertujuan untuk menjabarkan secara komprehensif mengenai konsep, kerangka
hukum, dan implementasi Regulatory Sandbox di Indonesia. Kami akan menjabarkan
telaah mendalam terhadap peraturan perundang-undangan yang relevan dari
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), evaluasi kritis terhadap
kondisi, tantangan, dan peluang implementasinya berdasarkan kajian dari lembaga
riset terkemuka, serta tinjauan yuridis komparatif dengan beberapa negara lain
untuk menarik pelajaran berharga bagi pengembangan ekosistem inovasi keuangan
digital di Indonesia.
Definisi dan Konsep Fundamental Regulatory Sandbox
Untuk
memahami secara utuh fungsi dan implikasi dari Regulatory Sandbox,
diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai definisi, prinsip-prinsip inti,
serta tujuan ganda yang melandasinya.
Definisi Akademis dan Praktis
Secara
akademis dan praktis, Regulatory Sandbox dapat didefinisikan sebagai
sebuah kerangka kerja formal yang sengaja dibentuk oleh regulator untuk
memungkinkan pengujian inovasi secara langsung (live testing) dalam
skala terbatas dan dalam lingkungan yang terkendali.
Ini adalah
sebuah “ruang aman” (safe space) di mana pelaku bisnis dapat menguji
coba produk, layanan, model bisnis, atau mekanisme penyampaian (delivery
mechanism) yang inovatif tanpa harus segera menanggung seluruh konsekuensi
peraturan yang normalnya berlaku untuk aktivitas tersebut. Pendekatan ini
memberikan fleksibilitas regulasi yang diperlukan bagi inovator untuk
bereksperimen tanpa segera terikat oleh seluruh kerangka peraturan yang ada.[2]
Definisi
ini sejalan dengan pandangan yang disajikan dalam berbagai literatur, termasuk
yang dirujuk dalam karya-karya seperti Financial Technology: Case Studies in
Fintech Innovation oleh Niels Pedersen, yang menyoroti sandbox
sebagai salah satu pilar dalam ekosistem regulasi fintech
modern.
Tujuan dari
pendekatan ini adalah untuk merelaksasi atau mengubah persyaratan regulasi yang
ada dalam sebuah ruang yang terkontrol dan terevaluasi untuk menjalankan
eksperimen di dunia nyata. Pengalaman dan data yang terkumpul dari eksperimen
ini kemudian dapat menjadi dasar bagi pembentukan skema regulasi berbasis bukti
(evidence-based regulatory schemes). Pentingnya kerangka kerja seperti
ini semakin meningkat di sektor-sektor yang didorong oleh data dan algoritma
kompleks, di mana dampak penuh dari sebuah inovasi sulit diprediksi tanpa
pengujian di dunia nyata.[3]
Prinsip-Prinsip Inti
Operasionalisasi
Regulatory Sandbox didasarkan pada beberapa prinsip fundamental yang
membedakannya dari pendekatan regulasi lainnya:
1. Lingkungan
Uji Coba Terkendali (Controlled Environment)
Pengujian tidak dilakukan secara
bebas, melainkan dibatasi oleh parameter yang jelas dan disepakati bersama
antara regulator dan peserta. Batasan ini dapat mencakup jumlah maksimum
nasabah yang dilayani, total nilai transaksi, fitur produk yang diuji, serta
durasi pengujian. Tujuan dari pengendalian ini adalah untuk memitigasi dan
mengelola potensi risiko yang mungkin timbul, sehingga jika terjadi kegagalan,
dampaknya dapat dibatasi dan tidak menyebar ke sistem keuangan yang lebih luas;
2. Pengujian
Langsung (Live Testing)
Inovasi diuji coba dengan melibatkan
konsumen riil dan transaksi yang sebenarnya di pasar, bukan hanya dalam
simulasi atau lingkungan laboratorium. Pendekatan ini krusial karena
memungkinkan pengumpulan data dan umpan balik yang valid mengenai perilaku konsumen,
keandalan teknis produk, dan efektivitas model bisnis dalam kondisi pasar yang
sesungguhnya;
3. Pengawasan
Regulator Aktif
Selama periode pengujian, regulator
tidak bersikap pasif. Sebaliknya, regulator terlibat secara intensif dalam
memantau jalannya eksperimen, melakukan evaluasi berkala, memberikan panduan,
dan berdialog secara kontinu dengan peserta sandbox. Keterlibatan aktif
ini memastikan bahwa proses pengujian berjalan sesuai rencana dan setiap risiko
yang muncul dapat segera diidentifikasi dan ditangani; dan
4. Pengecualian
Regulasi Terbatas (Limited Regulatory Waivers)
Untuk memungkinkan inovasi yang
mungkin belum sepenuhnya sesuai dengan kerangka regulasi yang ada dapat diuji,
regulator memiliki kewenangan untuk memberikan relaksasi atau pengecualian
sementara dari beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengecualian
ini bersifat spesifik, terbatas waktu, dan hanya berlaku selama periode
pengujian di dalam sandbox.
Tujuan Ganda: Pembelajaran Bisnis dan Pembelajaran Regulasi
Regulatory
Sandbox dirancang untuk melayani dua tujuan utama yang saling
melengkapi, yaitu sebagai sarana pembelajaran bagi inovator dan sebagai sarana
pembelajaran bagi regulator. Bagi Inovator (Business Learning), yaitu
mekanisme sandbox memberikan sejumlah manfaat signifikan. Pertama,
ia dapat mengurangi biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk meluncurkan sebuah
inovasi ke pasar dengan menyediakan jalur yang lebih jelas dan terstruktur. Kedua,
ia memberikan kejelasan regulasi (regulatory clarity), yang merupakan
salah satu hambatan terbesar bagi perusahaan fintech. Dengan
berinteraksi langsung dengan regulator, perusahaan dapat memahami ekspektasi
kepatuhan dan menyesuaikan produk mereka sejak dini. Ketiga, status
sebagai peserta atau lulusan sandbox dapat meningkatkan kredibilitas di
mata investor, sehingga mempermudah akses ke pendanaan.
Bagi
Regulator (Regulatory Learning), yaitu Sandbox memungkinkan
regulator untuk memahami secara langsung dan mendalam mengenai teknologi, model
bisnis, dan risiko-risiko baru yang muncul. Dengan mengamati inovasi dalam
lingkungan terkendali, regulator dapat mengumpulkan data dan bukti empiris yang
solid. Informasi ini menjadi landasan yang sangat berharga untuk merumuskan
atau menyesuaikan peraturan di masa depan, sebuah proses yang dikenal sebagai
pembuatan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policymaking).
Meskipun
demikian, terdapat sebuah tegangan inheren antara dua tujuan utama sandbox
tersebut. Di satu sisi, tujuan untuk mempromosikan inovasi menuntut adanya
fleksibilitas dan pengurangan beban regulasi. Di sisi lain, mandat untuk
melindungi konsumen dan menjaga stabilitas sistem keuangan menuntut adanya
batasan dan pengawasan yang ketat. Keberhasilan sebuah kerangka
Regulatory
Sandbox pada akhirnya terletak pada kemampuannya untuk mengelola “ambiguitas
yang terstruktur” ini secara efektif. Desain sandbox yang baik bukanlah
yang paling fleksibel atau yang paling aman, melainkan yang paling cerdas dalam
mengkalibrasi keseimbangan antara kedua kutub tersebut.
Kegagalan
dalam kalibrasi ini dapat menyebabkan sandbox menjadi tidak relevan bagi
inovator jika terlalu ketat, atau menjadi berbahaya bagi konsumen jika terlalu
longgar. Ini merupakan tantangan desain kebijakan yang fundamental dan harus
dihadapi oleh setiap regulator yang mengimplementasikan mekanisme ini.
Landasan Hukum dan Kerangka Regulasi di Indonesia
Di
Indonesia, pengaturan dan pengawasan terhadap inovasi di sektor keuangan,
termasuk penyelenggaraan Regulatory Sandbox, merupakan kewenangan dari
dua otoritas utama yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).
Pengaturan Regulatory
Sandbox di Indonesia merupakan manifestasi dari peran ganda regulator dalam
ekosistem ekonomi digital yang mana di satu sisi mendorong inovasi
layanan keuangan, dan di sisi lain memastikan stabilitas dan
pelindungan konsumen.[4]
Kedua lembaga ini memiliki kerangka hukum yang terpisah dengan yurisdiksi yang
berbeda, namun saling melengkapi dalam menciptakan ekosistem keuangan digital
yang komprehensif.
Pengaturan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK): Era Baru di Bawah POJK 3/2024
OJK
memegang peranan sentral dalam mengatur inovasi di seluruh sektor jasa
keuangan, mulai dari perbankan, pasar modal, hingga industri keuangan non-bank.
Pendekatan OJK terhadap Regulatory Sandbox telah mengalami evolusi
signifikan dengan diterbitkannya peraturan terbaru.
Landasan
hukum utama bagi penyelenggaraan Regulatory Sandbox oleh OJK adalah Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 tentang
Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, yang selanjutnya
disebut “POJK 3/2024”. Peraturan ini secara resmi diundangkan
pada 19 Februari 2024 dan secara eksplisit mencabut serta menyatakan tidak
berlaku lagi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018
tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Penerbitan POJK
3/2024 ini menandai sebuah era baru yang lebih matang dalam pendekatan
regulasi OJK, yang didasarkan pada amanat Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
POJK 3/2024 mengatur
secara detail mengenai mekanisme Regulatory Sandbox, yang dapat
diuraikan melalui analisis pasal-pasal kuncinya sebagai berikut:
-
Peraturan ini mendefinisikan Sandbox
sebagai “Ruang Uji Coba/Pengembangan Inovasi... yaitu sarana dan mekanisme
untuk memfasilitasi uji coba dan pengembangan inovasi yang disediakan oleh
Otoritas Jasa Keuangan untuk menilai kelayakan dan keandalan ITSK”. Definisi
ini menekankan fungsi sandbox sebagai alat evaluasi bagi OJK.[5];
-
Tujuan penyediaan Sandbox dirumuskan
secara lugas, yaitu “untuk memastikan inovasi dan pengembangan teknologi di sektor
keuangan dilakukan secara bertanggung jawab dengan pengelolaan risiko yang baik”.
Pasal ini menggarisbawahi prinsip kehati-hatian (prudent) dan tanggung
jawab sebagai landasan utama[6];
-
Ruang lingkup fasilitas yang disediakan
dalam Sandbox mencakup:
(a) pemberian
fasilitas untuk melakukan uji coba dalam jangka waktu dan lingkungan terbatas;
(b) pemberian
fasilitas untuk mendapatkan penjelasan atas ketentuan yang berlaku;
(c) pemberian
fasilitas untuk pengembangan ITSK pada tahap awal; dan
(d) fasilitas
lainnya.
Adapun ruang lingkup model bisnis
ITSK yang dapat diuji sangat luas, meliputi penyelesaian transaksi surat
berharga, penghimpunan modal (capital raising), pengelolaan investasi,
pengelolaan risiko, penghimpunan dan/atau penyaluran dana, pendukung pasar (market
support), serta aktivitas terkait aset keuangan digital, termasuk aset
kripto.[7]
-
Tidak semua inovasi dapat masuk ke dalam Sandbox.
Calon peserta harus memenuhi serangkaian kriteria kelayakan, antara lain:
(a) memiliki
cakupan pada sektor jasa keuangan di Indonesia;
(b) memenuhi
unsur kebaruan atau memiliki pembeda signifikan dengan yang telah ada;
(c) memberikan
manfaat dan nilai tambah bagi konsumen dan ekosistem keuangan;
(d) telah siap
untuk diuji dari sisi teknologi dan operasional; dan
(e) memerlukan
dukungan pengujian karena belum diatur secara spesifik dalam ketentuan yang
berlaku.[8]
-
Proses penyelenggaraan Sandbox diatur
secara bertahap, mulai dari pengajuan permohonan oleh calon peserta, penilaian
kelayakan oleh OJK, kewajiban penyampaian Rencana Pengujian yang komprehensif,
hingga pelaksanaan uji coba. Jangka waktu pelaksanaan uji coba ditetapkan
paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang oleh OJK selama 6 (enam)
bulan apabila diperlukan;
-
Setelah periode pengujian berakhir, OJK akan
melakukan penilaian akhir dan menetapkan hasil Sandbox dengan dua status
yang tegas yaitu Lulus; atau b. Gagal. Peserta yang dinyatakan Lulus
akan menerima surat keterangan lulus yang berlaku selama 6 (enam) bulan. Dalam
periode tersebut, mereka wajib mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK.
Jika tidak, status kelulusannya akan gugur. Sebaliknya, peserta yang dinyatakan
Gagal wajib menghentikan seluruh aktivitas operasional yang diuji dalam Sandbox
dan menyelesaikan semua kewajibannya kepada konsumen.[9]
Pengaturan oleh Bank Indonesia (BI): Fokus pada Sistem Pembayaran
Bank
Indonesia, dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, memiliki mandat untuk
menjaga stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan, serta mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran. Oleh karena itu, yurisdiksi Regulatory
Sandbox BI secara spesifik tertuju pada inovasi fintech di ranah
sistem pembayaran.
Dasar Hukum Utama
Kerangka
regulasi Regulatory Sandbox oleh BI didasarkan pada dua peraturan utama:
1.
Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial, yang
selanjutnya disebut “PBI 19/2017”.
2. Peraturan
Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas
(Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial, yang selanjutnya disebut “PADG
19/2017”.
Dalam ketentuan
Peraturan yang dibuat oleh BI ini mendefinisikan Regulatory Sandbox
sebagai “ruang uji coba terbatas yang aman untuk menguji Penyelenggara
Teknologi Finansial dan produk, layanan, teknologi dan/atau model bisnisnya”.
Definisi ini menekankan aspek keamanan dan pengujian yang komprehensif.[10]
Kemudian, kewenangan BI secara eksklusif tertuju pada penyelenggara fintech
yang bergerak di bidang sistem pembayaran. Ini mencakup inovasi-inovasi
seperti uang elektronik (e-money), dompet elektronik (e-wallet),
penyelenggaraan transfer dana, mobile payments, dan penggunaan teknologi
blockchain atau distributed ledger technology (DLT) untuk
aktivitas pembayaran.
Proses uji
coba dalam Regulatory Sandbox BI ditetapkan berlangsung dalam jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan. Apabila diperlukan, periode ini dapat
diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
berikutnya. Hasil pengujian akan ditetapkan dengan status “Berhasil” atau “Tidak
Berhasil”. Penyelenggara yang dinyatakan berhasil dapat melanjutkan proses
untuk memperoleh izin dari BI, sedangkan yang tidak berhasil dilarang untuk
memasarkan produk atau layanannya.
Diferensiasi Kewenangan dan Potensi Sinergi OJK-BI
Dari hasil
temuan di atas, terlihat adanya demarkasi atau pembagian kewenangan yang jelas
antara OJK dan BI. OJK berwenang mengawasi inovasi fintech di seluruh
sektor jasa keuangan (di luar sistem pembayaran), seperti P2P lending, equity
crowdfunding, insurtech, agregator keuangan, dan manajemen investasi
digital. Sementara itu, BI secara spesifik mengawasi inovasi fintech
yang masuk dalam kategori sistem pembayaran, seperti Go-Pay dan layanan dompet
digital lainnya.
Meskipun
keduanya menyelenggarakan Regulatory Sandbox, terdapat perbedaan
fundamental dalam kerangka kerja OJK dan BI. Dari sisi dasar hukum, OJK
berlandaskan pada POJK 3/2024, sementara BI mengacu pada PBI
19/2017 dan PADG 19/2017. Fokus dan ruang lingkup
keduanya pun berbeda secara signifikan; OJK mencakup seluruh Inovasi
Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) seperti P2P Lending dan aset digital,
sedangkan BI secara eksklusif menangani teknologi finansial di bidang
sistem pembayaran seperti e-money dan QRIS.
Perbedaan
juga terlihat pada durasi uji coba, di mana OJK menetapkan periode maksimal
satu tahun yang dapat diperpanjang enam bulan, sementara BI menetapkan periode
enam bulan yang juga dapat diperpanjang selama enam bulan.
Penetapan
hasil uji coba pun menggunakan terminologi yang berbeda; OJK menggunakan status
“Lulus” atau “Gagal”, sedangkan BI menggunakan “Berhasil” atau “Tidak Berhasil”.
Terakhir, tindak
lanjut dari hasil tersebut juga memiliki mekanisme yang sedikit berbeda.
Peserta yang “Lulus” dari OJK wajib mengajukan izin usaha dalam waktu enam
bulan, sedangkan yang “Berhasil” dari BI dapat melanjutkan proses perizinan
sesuai ketentuan yang berlaku.
Perkembangan
inovasi fintech yang semakin konvergen seringkali mengaburkan
batas-batas yurisdiksi ini. Sebagai contoh, sebuah platform wealthtech
(pengelolaan investasi) yang diawasi OJK mungkin memiliki fitur dompet digital
terintegrasi yang masuk dalam ranah sistem pembayaran yang diawasi BI.
Kondisi ini
menciptakan “area abu-abu” yang memerlukan koordinasi dan sinergi yang erat
antar-regulator. Tanpa adanya mekanisme koordinasi yang efektif, terdapat
risiko terjadinya tumpang tindih pengaturan (overlapping regulation)
yang membebani inovator, atau sebaliknya, celah regulasi (regulatory gap)
yang dapat dieksploitasi dan menimbulkan risiko baru.
Sejarah dan Implementasi Regulatory Sandbox di Indonesia
Perjalanan Regulatory
Sandbox di Indonesia merupakan cerminan dari respons dinamis pemerintah dan
otoritas terhadap pesatnya laju transformasi digital di sektor keuangan dan
sektor-sektor lainnya.
Fase Awal (2017-2018): Respons terhadap Ledakan Fintech
Implementasi
formal pertama dari konsep Regulatory Sandbox di Indonesia dipelopori
secara paralel oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan pada periode
2017-2018. Langkah ini merupakan respons strategis terhadap pertumbuhan
eksponensial ekosistem fintech nasional, yang evolusinya telah dimulai
jauh sebelum era digital modern dan semakin terakselerasi pasca-krisis keuangan
global 2008,[11] yang
ditandai dengan munculnya ratusan perusahaan rintisan yang menawarkan berbagai
solusi keuangan inovatif. Regulator menyadari bahwa pendekatan “satu ukuran
untuk semua” (one-size-fits-all) tidak lagi memadai dan diperlukan
sebuah mekanisme baru untuk membina inovasi sambil tetap menjaga koridor
kehati-hatian.
Evolusi Pendekatan BI: Menuju Sandbox 2.0
Seiring
dengan pematangan ekosistem dan pembelajaran dari implementasi awal, Bank
Indonesia mengambil langkah evolusioner pada tahun 2021 dengan meluncurkan
kerangka kerja Sandbox 2.0. Inisiatif ini menandai perluasan fungsi sandbox
dari sekadar ruang uji coba menjadi sebuah platform fasilitasi inovasi yang
lebih holistik. Sandbox 2.0 dibangun di atas tiga pilar utama:
1. Innovation
Lab (Laboratorium Inovasi)
Sebuah wadah untuk menampung dan
membina ide-ide inovatif yang masih berada pada tahap sangat awal (ideation
stage), di mana para inovator dapat berkonsultasi dan mendapatkan bimbingan
dari BI sebelum memasuki tahap pengembangan yang lebih serius;
2. Industrial
Sandbox (Uji Coba Industri)
Sebuah ruang kolaboratif yang
memungkinkan para pelaku industri, baik fintech maupun perbankan, untuk
bersama-sama menguji coba standar teknis atau model bisnis baru yang berpotensi
diadopsi secara luas oleh industri, seperti standar API (Application
Programming Interface) atau infrastruktur pasar;
3. Regulatory
Sandbox (Regulasi)
Tetap menjadi pilar utama untuk uji
coba formal produk, layanan, atau model bisnis baru yang siap diuji di pasar
secara terbatas, sebagaimana diatur dalam kerangka hukum yang ada. Evolusi
menuju Sandbox 2.0 ini menunjukkan pemahaman BI yang semakin mendalam bahwa
inovasi perlu didukung di setiap tahap siklus hidupnya, mulai dari ide hingga
implementasi pasar.
Ekspansi di Luar Sektor Keuangan: Adopsi sebagai Model Tata Kelola
Keberhasilan
dan fleksibilitas konsep Regulatory Sandbox di sektor keuangan telah
menginspirasi adopsi model serupa di sektor-sektor lain yang juga mengalami
disrupsi teknologi. Salah satu contoh paling signifikan adalah di sektor
kesehatan. Pada bulan April 2023, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
meluncurkan kembali Program Regulatory Sandbox untuk Inovasi Digital
Kesehatan, dengan fokus khusus pada teknologi diagnostik medis. Langkah ini
didasari oleh kebutuhan untuk memfasilitasi dan mengawasi perkembangan pesat di
bidang
telemedicine, aplikasi kesehatan berbasis AI, dan perangkat medis
digital, yang regulasinya belum sepenuhnya mapan.
Adopsi
konsep sandbox oleh Kementerian Kesehatan ini memiliki implikasi yang
jauh lebih luas dari sekadar replikasi kebijakan. Fenomena ini menandakan bahwa
Regulatory Sandbox telah bertransformasi dari sebuah alat regulasi yang
spesifik untuk sektor fintech menjadi sebuah model tata kelola
inovasi (innovation governance model) yang bersifat lintas-sektor di
Indonesia.
Prinsip-prinsip
inti sandbox (seperti uji coba terkendali, pengawasan aktif,
pembelajaran regulator, dan mitigasi risiko) terbukti bersifat universal dan
dapat diterapkan pada domain kebijakan lain yang menghadapi tantangan serupa
akibat disrupsi teknologi. Hal ini sejalan dengan potensi penerapan sandbox
di sektor pangan untuk mengawasi produk olahan berisiko tinggi atau di sektor
transportasi untuk menguji coba kendaraan otonom.
Dengan
demikian, Indonesia secara bertahap sedang membangun sebuah doktrin kebijakan
yang lebih adaptif untuk mengelola masa depan teknologinya, di mana sandbox
menjadi salah satu instrumen strategis utamanya.
Kondisi, Tantangan, dan Peluang di Indonesia (Berdasarkan Laporan TFGI dan CIPS)
Evaluasi
terhadap efektivitas dan arah pengembangan Regulatory Sandbox di
Indonesia memerlukan analisis kritis yang melampaui telaah peraturan semata.
Laporan dan kajian dari lembaga riset independen seperti Tech
for Good Institute (TFGI) dan Center
for Indonesian Policy Studies (CIPS) memberikan perspektif eksternal yang
berharga untuk memahami kondisi aktual, tantangan yang dihadapi, dan peluang
strategis yang ada.
Kondisi Aktual: Dominasi Pendekatan Berorientasi Kepatuhan
Salah satu
temuan kunci dari laporan TFGI dan CIPS adalah bahwa implementasi Regulatory
Sandbox di Indonesia, dan di kawasan Asia Tenggara pada umumnya, cenderung
didominasi oleh pendekatan yang berorientasi pada kepatuhan terhadap
regulasi yang ada (compliance-focused). Artinya, tujuan utama
dari proses sandbox lebih diarahkan untuk memastikan bahwa sebuah
inovasi baru dapat sesuai dan patuh terhadap kerangka hukum yang berlaku saat
ini.
Dalam model
ini, sebuah inovasi dianggap “lulus” atau berhasil jika pada akhir masa uji
coba, penyelenggara mampu menunjukkan bahwa produk atau model bisnisnya dapat
beroperasi di dalam koridor regulasi yang ada. Meskipun pendekatan ini penting
untuk memastikan pelindungan konsumen dan stabilitas, ia memiliki keterbatasan
yang signifikan. Fokus yang terlalu berat pada kepatuhan ini berisiko membatasi
potensi sandbox sebagai alat untuk mendorong evolusi regulasi (regulatory
evolution).
Seharusnya,
sandbox tidak hanya berfungsi sebagai “gerbang kepatuhan”, tetapi juga
sebagai “laboratorium kebijakan”, di mana data dan pengalaman dari uji coba
inovasi yang disruptif dapat menjadi bukti kuat bagi regulator untuk
mempertimbangkan perlunya mengubah atau memperbarui peraturan yang sudah usang
dan tidak lagi relevan dengan perkembangan teknologi.
Tantangan Utama dalam Ekosistem Sandbox Indonesia
Meskipun
telah berjalan selama beberapa tahun, ekosistem Regulatory Sandbox di
Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan fundamental yang perlu diatasi
untuk mengoptimalkan dampaknya. Kajian yang ada menyoroti tiga tantangan utama:
1. Peluang
Berusaha yang Tidak Setara (Uneven Playing Field)
Terdapat indikasi dan kekhawatiran
bahwa proses seleksi dan pelaksanaan sandbox dapat secara tidak langsung
lebih menguntungkan peserta tertentu, terutama yang ditunjuk sebagai “prototype”
atau yang memiliki kedekatan lebih dengan regulator. Hal ini dapat menciptakan
persepsi ketidakadilan dan menghambat partisipasi dari inovator-inovator yang
lebih kecil atau yang berasal dari luar jejaring yang sudah ada. Kondisi ini
berpotensi mengurangi keragaman inovasi yang diuji dan membatasi pertukaran
informasi yang sehat dalam ekosistem;
2. Kurangnya
Kejelasan Proses (Lack of Process Clarity)
Ambiguitas dalam beberapa aspek
krusial dari proses sandbox menjadi tantangan berikutnya. Kurangnya
transparansi mengenai metrik evaluasi yang digunakan, hasil yang diharapkan
secara spesifik, dan terutama skenario serta prosedur kebijakan keluar (exit
policy) dapat menciptakan ketidakpastian yang signifikan bagi peserta.
Ketidakpastian ini dapat merusak kepercayaan investor dan mitra bisnis terhadap
legitimasi proses sandbox, yang pada akhirnya dapat mengurangi minat
perusahaan berkualitas untuk berpartisipasi; dan
3. Keterbatasan
Kapasitas Regulator (Regulatory Capacity Constraints)
Keberhasilan sebuah Regulatory
Sandbox sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya, keahlian teknis
yang mendalam, dan alokasi waktu yang memadai dari pihak regulator. Mengingat
kompleksitas inovasi fintech yang terus berkembang, regulator seringkali
menghadapi keterbatasan dalam hal jumlah personil dengan keahlian spesifik di
bidang teknologi, keamanan siber, dan analisis data. Keterbatasan ini dapat
menyebabkan proses evaluasi yang berjalan lambat, umpan balik yang kurang
substantif bagi peserta, dan pengawasan yang kurang optimal selama masa uji
coba, sebuah tantangan yang umum dihadapi dalam implementasi praktik regulasi
yang baik di kawasan ini[12]
Peluang Strategis untuk Penguatan Ekosistem
Di tengah
tantangan yang ada, terdapat pula peluang strategis yang signifikan bagi
Indonesia untuk memperkuat dan meningkatkan peran Regulatory Sandbox
sebagai motor inovasi dan reformasi kebijakan, antara lain:
1. Transformasi
Menjadi Alat Pembelajaran Regulasi
Indonesia didorong untuk mengadopsi
perspektif yang lebih luas, yaitu menggunakan sandbox tidak hanya untuk
menguji kepatuhan produk, tetapi juga sebagai platform untuk secara proaktif
mempelajari, memahami, dan mulai membentuk kerangka regulasi untuk gelombang
teknologi berikutnya. Ini termasuk teknologi-teknologi disruptif seperti
Kecerdasan Buatan (AI) dalam layanan keuangan, aset keuangan digital yang
kompleks, dan infrastruktur untuk kota cerdas (smart city);
2. Penguatan
Kolaborasi Lintas Batas
Dalam konteks ekonomi digital ASEAN
yang semakin terintegrasi, terdapat peluang besar untuk mendorong inisiatif sandbox
yang bersifat kolaboratif dengan negara-negara tetangga. Kolaborasi ini bisa
sangat relevan di bidang sistem pembayaran lintas batas (cross-border
payment), di mana harmonisasi pendekatan regulasi dapat secara signifikan
mengurangi friksi, meningkatkan interoperabilitas, dan memungkinkan
penyelesaian isu-isu kompleks seperti pelindungan konsumen dan kedaulatan data
(data sovereignty) secara bersama-sama;
3. Memperkuat
Landasan Kelembagaan
Untuk memastikan bahwa pembelajaran
yang diperoleh dari sandbox tidak berhenti sebagai laporan internal
regulator, perlu ada upaya untuk memperkuat fondasi kelembagaan. Ini dapat
dilakukan dengan mengintegrasikan mekanisme umpan balik dari sandbox ke
dalam proses penyusunan dan evaluasi peraturan perundang-undangan di tingkat
yang lebih tinggi. Dengan demikian, sandbox dapat menjadi sumber masukan
empiris yang secara efektif menginformasikan perubahan undang-undang dan
peraturan pemerintah, menjadikannya alat reformasi kebijakan yang nyata.
Sengketa dan Kerangka Regulasi di Negara Lain
Untuk
menempatkan kerangka Regulatory Sandbox Indonesia dalam konteks yang
lebih luas, analisis komparatif dengan yurisdiksi lain menjadi esensial, karena
tata kelola regulasi yang baik (good governance) merupakan bahan krusial
untuk memastikan efektivitas regulator dalam menghadapi perubahan yang cepat.[13]
Perbandingan ini tidak hanya menyoroti perbedaan pendekatan, tetapi juga
memberikan pelajaran berharga mengenai praktik terbaik, potensi risiko, dan
model-model alternatif yang dapat diadaptasi.
Indonesia: Sengketa di Ekosistem Fintech
Data
sengketa di Indonesia menunjukkan sebuah pola yang menarik. Pencarian pada
direktori putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengidentifikasi berbagai
sengketa hukum yang melibatkan perusahaan-perusahaan fintech. Contoh
representatif dari sengketa ini dapat dilihat dalam dua jenis perkara yang
berbeda secara fundamental.
Pertama, adalah
sengketa perdata umum antara penyelenggara fintech dengan penggunanya.
Salah satu contohnya adalah Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor 401/Pdt.G/2021/PN.JKT.SEL, tertanggal 2 Juni 2021. Dalam perkara ini,
PT Alfa Fintech Indonesia bertindak sebagai Penggugat melawan seorang nasabah
sebagai Tergugat, yang kemungkinan besar berkaitan dengan wanprestasi atau
gagal bayar. Namun, yang menarik dari perkara ini adalah prosesnya tidak
berlanjut ke putusan akhir mengenai pokok perkara, melainkan berakhir dengan
sebuah penetapan yang mengabulkan permohonan pencabutan gugatan dari pihak
Penggugat sendiri. Kasus seperti ini, bersama dengan perkara lain yang
melibatkan PT Barracuda Fintech Indonesia, mengilustrasikan bahwa sengketa yang
terjadi adalah pada level operasional bisnis sehari-hari, bukan pada tahap
pengujian inovasi.
Kedua, adalah
upaya hukum yang lebih sistemik dan fundamental melalui mekanisme Gugatan Warga
Negara (Citizen Lawsuit), seperti yang tercatat dalam Perkara Nomor
689/Pdt.G/2021/PN Jkt.Pst. Dalam gugatan ini, sekelompok warga negara tidak
menuntut satu Perusahaan fintech secara spesifik, melainkan menggugat
lembaga-lembaga negara tertinggi, termasuk Presiden Republik Indonesia dan,
secara krusial, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai
Tergugat V.
Pokok
gugatan ini adalah tuduhan bahwa negara, khususnya OJK, telah lalai dan gagal
dalam menjalankan kewajiban hukumnya untuk menciptakan regulasi yang memadai
guna mengendalikan industri pinjaman online. Para Penggugat mendalilkan bahwa
kelalaian ini telah mengakibatkan kerugian masif bagi masyarakat, seperti yang
tertuang dalam surat gugatan yaitu “Negara telah gagal mengendalikan
Pinjaman Online yang telah menyebabkan ribuan orang mengalami pelanggaran hukum
dan hak asasi manusia”. Lebih lanjut, gugatan tersebut secara eksplisit
menyatakan bahwa “OJK tidak pernah mengeluarkan kebijakan yang menjawab
permasalahan-permasalahan yang terjadi ditengah masyarakat akibat kehadiran
pinjaman online”.
Dari
penelaahan kedua jenis perkara tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan
yuridis yang penting yaitu sengketa-sengketa yang muncul di Indonesia hingga
saat ini tidak berkaitan langsung dengan proses atau hasil dari Regulatory
Sandbox. Sebaliknya, litigasi tersebut timbul dari kegiatan operasional
perusahaan fintech di pasar bebas, setelah mereka beroperasi dan
mendapatkan izin. Gugatan Warga Negara dalam Perkara 689/Pdt.G/2021/PN Jkt.Pst,
meskipun tidak menyebut kata sandbox, secara implisit mengkritik
hasil akhir dari keseluruhan kerangka regulasi yang ada, di mana sandbox
merupakan salah satu instrumen awalnya. Isu-isu yang menjadi pokok sengketa
(praktik penagihan yang melanggar hukum, penyalahgunaan data pribadi, bunga
eksesif, dan wanprestasi) adalah manifestasi dari tantangan pengawasan
pasca-perizinan (post-licensing supervision).
Hal ini
membawa pada sebuah implikasi krusial: keberhasilan sebuah Regulatory
Sandbox tidak seharusnya hanya diukur dari jumlah “lulusan” yang berhasil
memperoleh izin, tetapi juga dari kemampuannya untuk membekali para lulusan
tersebut dengan kerangka tata kelola perusahaan (corporate governance),
manajemen risiko, dan standar etika yang kuat.
Lebih dari
itu, sandbox harus mampu memberikan data dan wawasan yang cukup bagi
regulator untuk merumuskan peraturan yang efektif dan protektif, sehingga dapat
mencegah timbulnya sengketa-sengketa operasional di kemudian hari dan menjawab
kritik fundamental seperti yang diajukan dalam Gugatan Warga Negara tersebut.
Australia: Model Pengecualian Lisensi dan Perlindungan Konsumen
Australia,
melalui Australian Securities and Investments Commission (ASIC), mengadopsi
model sandbox
yang dikenal sebagai Enhanced
Regulatory Sandbox (ERS). Kerangka ini menggantikan model
sebelumnya, yaitu Fintech Licensing Exemption (FLE), dan mulai berlaku
pada September 2020. Model ERS ini secara fundamental beroperasi berdasarkan
prinsip pengecualian dari kewajiban memiliki lisensi jasa keuangan
(Australian Financial Services Licence - AFSL) atau lisensi kredit (Australian
Credit Licence - ACL) untuk periode pengujian yang dapat berlangsung hingga 24
bulan.
Pendekatan
ini secara efektif menurunkan hambatan masuk (barrier to entry) bagi
para inovator. Namun, model ini juga memicu perdebatan signifikan di Australia
mengenai keseimbangan antara mendorong inovasi dan menjaga standar pelindungan
konsumen. Para kritikus, termasuk kelompok advokasi konsumen, menyuarakan
kekhawatiran bahwa pengecualian dari kewajiban lisensi penuh dapat melemahkan
perlindungan esensial bagi konsumen. Sebagai contoh, peserta sandbox
mungkin dikecualikan dari persyaratan untuk memiliki sistem manajemen konflik
kepentingan yang memadai atau kerangka manajemen risiko yang komprehensif, yang
merupakan pilar utama dalam rezim lisensi AFSL. Menanggapi risiko ini, kerangka
ERS memberikan ASIC kewenangan untuk melakukan intervensi, termasuk membatalkan
pengecualian atau mengajukan perintah ke pengadilan (court order) jika
terjadi pelanggaran atau jika aktivitas peserta terbukti merugikan konsumen.
Singapura: Model Tata Kelola Inovasi Terstruktur
Singapura,
melalui Monetary Authority of Singapore (MAS), diakui secara global sebagai
salah satu pelopor dengan pendekatan Regulatory Sandbox yang paling
matang dan terstruktur. Diluncurkan pertama kali pada tahun 2016, FinTech
Regulatory Sandbox Guidelines dari MAS menekankan pada proses aplikasi yang
ketat, kriteria evaluasi yang transparan, dan dialog yang intensif antara
pemohon dan regulator.
Keberhasilan
pendekatan Singapura dapat dilihat dari studi kasus perusahaan-perusahaan yang
telah “lulus” dari sandbox MAS dan kini menjadi pemain yang diakui di
tingkat regional maupun global. Salah satu contohnya adalah ADDX, sebuah
platform pasar swasta berbasis teknologi blockchain. Pengalaman ADDX di
dalam sandbox MAS memungkinkan mereka untuk menguji coba teknologi
inovatifnya secara langsung dalam lingkungan yang aman, sambil terus berdialog
dengan MAS untuk memitigasi risiko.
Proses yang
terstruktur ini tidak hanya membantu ADDX menyempurnakan produknya, tetapi juga
memberikan “stempel persetujuan” dari regulator yang sangat dihormati, yang
pada gilirannya meningkatkan kepercayaan dari investor, mitra, dan nasabah di
seluruh dunia. Pelajaran utama dari Singapura bagi Indonesia adalah pentingnya
kejelasan, kepastian, dan transparansi dalam seluruh tahapan proses sandbox
untuk membangun legitimasi dan kepercayaan.
Amerika Serikat: Pendekatan Terfragmentasi
Berbeda
dengan negara-negara lain yang memiliki kerangka sandbox nasional yang
terpusat, pendekatan di Amerika Serikat cenderung terfragmentasi. Meskipun
konsep sandbox modern banyak dipengaruhi oleh inisiatif “Project
Catalyst” yang diluncurkan oleh Consumer Financial Protection Bureau (CFPB)
pada tahun 2012, hingga saat ini belum ada Regulatory Sandbox tunggal
yang komprehensif di tingkat federal.
Sebaliknya,
inisiatif sandbox lebih banyak muncul di tingkat negara bagian. Sebagai
contoh, negara bagian Arizona meluncurkan sandbox untuk teknologi
finansial pada tahun 2018, dengan tujuan spesifik untuk menarik investasi dan
mendorong kewirausahaan di bidang blockchain, aset kripto, dan teknologi
baru lainnya. Pendekatan yang terdesentralisasi ini memungkinkan adanya
eksperimen kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan prioritas
masing-masing negara bagian, namun juga menciptakan tantangan dalam hal
harmonisasi regulasi secara nasional dan potensi terjadinya arbitrase regulasi
(regulatory arbitrage), di mana perusahaan memilih yurisdiksi dengan
peraturan yang paling longgar.
Sebagai
rangkuman dari analisis komparatif ini, dapat ditarik beberapa perbedaan kunci.
Indonesia, dengan model ganda OJK dan BI, berfokus pada kepatuhan
terhadap regulasi yang ada, dengan kekuatan pada cakupan yang luas namun
menghadapi tantangan koordinasi. Di sisi lain, Australia mengadopsi
model pengecualian lisensi yang efektif menurunkan hambatan masuk, namun
memunculkan risiko pelemahan pelindungan konsumen. Singapura menonjol
dengan model tata kelola yang sangat terstruktur, yang memberikan kejelasan dan
kepastian hukum sehingga membangun reputasi global, meskipun prosesnya bisa
sangat intensif. Terakhir, Amerika Serikat menunjukkan pendekatan yang
terfragmentasi di tingkat negara bagian, yang memungkinkan eksperimen kebijakan
lokal namun menciptakan tantangan harmonisasi di tingkat nasional.
Sintesis Temuan
Analisis
yuridis yang komprehensif terhadap konsep, kerangka regulasi, dan implementasi Regulatory
Sandbox di Indonesia dan perbandingannya dengan yurisdiksi lain
menghasilkan beberapa temuan kunci. Pertama, Regulatory Sandbox telah
terbukti menjadi instrumen kebijakan yang esensial dalam menavigasi dilema
antara inovasi dan regulasi di era digital. Namun, ia bukanlah sebuah panasea
atau obat mujarab; efektivitasnya sangat bergantung pada desain, implementasi,
dan kapasitas kelembagaan yang mendukungnya.
Kedua,
kerangka hukum di Indonesia telah cukup maju dengan adanya demarkasi yurisdiksi
yang relatif jelas antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk sektor jasa
keuangan dan Bank Indonesia (BI) untuk sistem pembayaran. Penerbitan POJK No. 3
Tahun 2024 oleh OJK menunjukkan adanya evolusi dan pematangan pendekatan
regulasi. Meskipun demikian, tantangan implementasi yang signifikan masih ada,
terutama terkait kebutuhan koordinasi yang lebih erat untuk menangani inovasi
yang bersifat lintas-sektor.
Ketiga,
fokus implementasi sandbox di Indonesia saat ini yang cenderung
berorientasi pada kepatuhan (compliance-focused) membatasi potensinya
sebagai motor penggerak reformasi regulasi. Agar dapat menjawab tantangan
teknologi masa depan, sandbox perlu bertransformasi menjadi laboratorium
kebijakan yang proaktif.
Keempat,
pola sengketa hukum di sektor fintech Indonesia, yang lebih banyak
terjadi pada ranah operasional pasca-perizinan, menyoroti pentingnya peran sandbox
dalam menanamkan budaya tata kelola, manajemen risiko, dan etika bisnis yang
kuat pada para pesertanya, bukan hanya sekadar memberikan validasi teknis dan
stempel perizinan.
Kelima,
pelajaran dari yurisdiksi lain sangat relevan. Model Singapura menunjukkan
pentingnya kejelasan, transparansi, dan proses yang terstruktur untuk membangun
kepercayaan dan kredibilitas global. Sementara itu, perdebatan di Australia
menjadi pengingat penting bahwa fasilitasi inovasi tidak boleh mengorbankan
pilar-pilar fundamental pelindungan konsumen.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.
[1] OECD, The Governance of
Regulators: Driving Performance at Brazil's Electricity Regulatory Agency, (Paris:
OECD Publishing, 2021), hlm. 3.
[2] OECD, Good Regulatory Practices to
Support Small and Medium Enterprises in Southeast Asia, (Paris, OECD
Publishing, 2018), hlm. 184.
[3] World Health Organization, Regulatory
considerations on artificial intelligence for health, Geneva, (World Health
Organization, 2023), hlm. 37.
[4] Dewi Sartika Nasution, dkk., Ekonomi
Digital, (Mataram: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Mataram & Sanabil,
2019), hlm. 67
[5] vide Pasal 1 Angka
7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024
tentang Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan.
[6] vide Pasal 6 Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 tentang
Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan.
[7] vide Pasal 7 Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 tentang
Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan.
[8] vide Pasal 10 Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 tentang
Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan.
[9] vide Pasal 18 Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 tentang
Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan.
[10] vide Pasal 1 ayat (4) Peraturan
Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas
(Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial.
[11] Dewi Sartika Nasution, dkk., op.cit,
hlm. 38-42.
[12] OECD, Good Regulatory Practices to
Support Small and Medium Enterprises in Southeast Asia, op.cit., hlm. 16.
[13] OECD, The Governance of
Regulators: Driving Performance at Brazil's Electricity Regulatory Agency, op.cit.,
hlm. 3.