layananhukum

Apa itu Regulatory Sandbox? Begini Penjelasannya

 

Pengantar

Sektor jasa keuangan global tengah mengalami transformasi fundamental yang didorong oleh gelombang inovasi teknologi finansial, atau yang lebih dikenal dengan terminologi financial technology (fintech).

Perkembangan ini, yang mencakup spektrum luas dari sistem pembayaran digital, layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi (peer-to-peer lending), hingga pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk manajemen investasi, telah mendisrupsi model bisnis perbankan dan lembaga keuangan konvensional.

Kecepatan evolusi teknologi ini seringkali melampaui siklus pembentukan regulasi yang secara inheren bersifat lebih lambat dan deliberatif, sehingga menimbulkan tantangan signifikan bagi otoritas regulator di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.  

Kondisi ini menempatkan regulator dalam sebuah dilema kebijakan yang kompleks. Di satu sisi, regulasi yang terlalu ketat dan kaku berisiko menghambat inovasi, menekan daya saing ekonomi nasional, dan membatasi potensi inklusi keuangan yang ditawarkan oleh fintech. Di sisi lain, pendekatan regulasi yang terlalu permisif atau laissez-faire dapat membuka celah bagi munculnya risiko-risiko baru yang berpotensi mengancam stabilitas sistem keuangan, mengeksploitasi data pribadi konsumen, dan menimbulkan kerugian finansial bagi masyarakat luas. Paradoks antara fasilitasi inovasi dan mitigasi risiko ini menuntut adanya sebuah pendekatan regulasi yang lebih adaptif, dinamis, dan responsif, di mana regulator diharapkan mampu merancang peraturan yang melindungi kepentingan publik tanpa menghalangi inovasi.[1]

Menjawab tantangan tersebut, berbagai yurisdiksi di dunia mulai mengadopsi sebuah instrumen kebijakan inovatif yang dikenal sebagai Regulatory Sandbox.

Secara konseptual, Regulatory Sandbox berfungsi sebagai jembatan kebijakan (policy bridge), sebuah “ruang uji coba terbatas” yang dirancang secara spesifik untuk mengatasi dilema regulasi di era digital. Mekanisme ini memungkinkan para inovator, baik perusahaan rintisan (startup) maupun lembaga keuangan yang sudah mapan, untuk menguji produk, layanan, dan model bisnis baru mereka dalam sebuah lingkungan yang terkendali (controlled environment) dan di bawah pengawasan langsung oleh regulator, sebelum diluncurkan secara penuh ke pasar yang lebih luas.  

Namun, memandang Regulatory Sandbox hanya sebagai fasilitas uji coba teknis adalah sebuah penyederhanaan. Pada hakikatnya, instrumen ini merepresentasikan sebuah pergeseran paradigma yang lebih fundamental dalam filsafat regulasi. Ia bertransformasi menjadi sebuah mekanisme dialog kelembagaan (institutional dialogue mechanism) yang terstruktur antara inovator yang bergerak cepat dan regulator yang secara tradisional cenderung berhati-hati.

Fenomena ini menandai transisi dari pendekatan regulasi yang bersifat ex-post (di mana regulator bereaksi setelah terjadinya pelanggaran atau krisis) menuju pendekatan yang bersifat ex-ante, di mana regulator secara proaktif terlibat dalam membentuk arah inovasi yang bertanggung jawab sejak tahap awal. Melalui interaksi intensif di dalam sandbox, regulator memperoleh pemahaman mendalam mengenai teknologi dan risiko yang menyertainya, sementara inovator mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai prinsip-prinsip kepatuhan, manajemen risiko, dan pelindungan konsumen.

Dengan demikian, fungsi utama sandbox bukanlah sekadar “menguji kode” perangkat lunak, melainkan “menguji keselarasan” antara model bisnis yang disruptif dengan tujuan kebijakan publik yang lebih luas, seperti stabilitas sistem keuangan, integritas pasar, dan pelindungan konsumen.  

Artikel ini bertujuan untuk menjabarkan secara komprehensif mengenai konsep, kerangka hukum, dan implementasi Regulatory Sandbox di Indonesia. Kami akan menjabarkan telaah mendalam terhadap peraturan perundang-undangan yang relevan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), evaluasi kritis terhadap kondisi, tantangan, dan peluang implementasinya berdasarkan kajian dari lembaga riset terkemuka, serta tinjauan yuridis komparatif dengan beberapa negara lain untuk menarik pelajaran berharga bagi pengembangan ekosistem inovasi keuangan digital di Indonesia.

Definisi dan Konsep Fundamental Regulatory Sandbox

Untuk memahami secara utuh fungsi dan implikasi dari Regulatory Sandbox, diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai definisi, prinsip-prinsip inti, serta tujuan ganda yang melandasinya.

Definisi Akademis dan Praktis

Secara akademis dan praktis, Regulatory Sandbox dapat didefinisikan sebagai sebuah kerangka kerja formal yang sengaja dibentuk oleh regulator untuk memungkinkan pengujian inovasi secara langsung (live testing) dalam skala terbatas dan dalam lingkungan yang terkendali.

Ini adalah sebuah “ruang aman” (safe space) di mana pelaku bisnis dapat menguji coba produk, layanan, model bisnis, atau mekanisme penyampaian (delivery mechanism) yang inovatif tanpa harus segera menanggung seluruh konsekuensi peraturan yang normalnya berlaku untuk aktivitas tersebut. Pendekatan ini memberikan fleksibilitas regulasi yang diperlukan bagi inovator untuk bereksperimen tanpa segera terikat oleh seluruh kerangka peraturan yang ada.[2]

Definisi ini sejalan dengan pandangan yang disajikan dalam berbagai literatur, termasuk yang dirujuk dalam karya-karya seperti Financial Technology: Case Studies in Fintech Innovation oleh Niels Pedersen, yang menyoroti sandbox sebagai salah satu pilar dalam ekosistem regulasi fintech modern.  

Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk merelaksasi atau mengubah persyaratan regulasi yang ada dalam sebuah ruang yang terkontrol dan terevaluasi untuk menjalankan eksperimen di dunia nyata. Pengalaman dan data yang terkumpul dari eksperimen ini kemudian dapat menjadi dasar bagi pembentukan skema regulasi berbasis bukti (evidence-based regulatory schemes). Pentingnya kerangka kerja seperti ini semakin meningkat di sektor-sektor yang didorong oleh data dan algoritma kompleks, di mana dampak penuh dari sebuah inovasi sulit diprediksi tanpa pengujian di dunia nyata.[3]

Prinsip-Prinsip Inti

Operasionalisasi Regulatory Sandbox didasarkan pada beberapa prinsip fundamental yang membedakannya dari pendekatan regulasi lainnya:

1.       Lingkungan Uji Coba Terkendali (Controlled Environment)

Pengujian tidak dilakukan secara bebas, melainkan dibatasi oleh parameter yang jelas dan disepakati bersama antara regulator dan peserta. Batasan ini dapat mencakup jumlah maksimum nasabah yang dilayani, total nilai transaksi, fitur produk yang diuji, serta durasi pengujian. Tujuan dari pengendalian ini adalah untuk memitigasi dan mengelola potensi risiko yang mungkin timbul, sehingga jika terjadi kegagalan, dampaknya dapat dibatasi dan tidak menyebar ke sistem keuangan yang lebih luas;

2.       Pengujian Langsung (Live Testing)

Inovasi diuji coba dengan melibatkan konsumen riil dan transaksi yang sebenarnya di pasar, bukan hanya dalam simulasi atau lingkungan laboratorium. Pendekatan ini krusial karena memungkinkan pengumpulan data dan umpan balik yang valid mengenai perilaku konsumen, keandalan teknis produk, dan efektivitas model bisnis dalam kondisi pasar yang sesungguhnya;

3.       Pengawasan Regulator Aktif

Selama periode pengujian, regulator tidak bersikap pasif. Sebaliknya, regulator terlibat secara intensif dalam memantau jalannya eksperimen, melakukan evaluasi berkala, memberikan panduan, dan berdialog secara kontinu dengan peserta sandbox. Keterlibatan aktif ini memastikan bahwa proses pengujian berjalan sesuai rencana dan setiap risiko yang muncul dapat segera diidentifikasi dan ditangani; dan

4.       Pengecualian Regulasi Terbatas (Limited Regulatory Waivers)

Untuk memungkinkan inovasi yang mungkin belum sepenuhnya sesuai dengan kerangka regulasi yang ada dapat diuji, regulator memiliki kewenangan untuk memberikan relaksasi atau pengecualian sementara dari beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengecualian ini bersifat spesifik, terbatas waktu, dan hanya berlaku selama periode pengujian di dalam sandbox.  

Tujuan Ganda: Pembelajaran Bisnis dan Pembelajaran Regulasi

Regulatory Sandbox dirancang untuk melayani dua tujuan utama yang saling melengkapi, yaitu sebagai sarana pembelajaran bagi inovator dan sebagai sarana pembelajaran bagi regulator. Bagi Inovator (Business Learning), yaitu mekanisme sandbox memberikan sejumlah manfaat signifikan. Pertama, ia dapat mengurangi biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk meluncurkan sebuah inovasi ke pasar dengan menyediakan jalur yang lebih jelas dan terstruktur. Kedua, ia memberikan kejelasan regulasi (regulatory clarity), yang merupakan salah satu hambatan terbesar bagi perusahaan fintech. Dengan berinteraksi langsung dengan regulator, perusahaan dapat memahami ekspektasi kepatuhan dan menyesuaikan produk mereka sejak dini. Ketiga, status sebagai peserta atau lulusan sandbox dapat meningkatkan kredibilitas di mata investor, sehingga mempermudah akses ke pendanaan.

Bagi Regulator (Regulatory Learning), yaitu Sandbox memungkinkan regulator untuk memahami secara langsung dan mendalam mengenai teknologi, model bisnis, dan risiko-risiko baru yang muncul. Dengan mengamati inovasi dalam lingkungan terkendali, regulator dapat mengumpulkan data dan bukti empiris yang solid. Informasi ini menjadi landasan yang sangat berharga untuk merumuskan atau menyesuaikan peraturan di masa depan, sebuah proses yang dikenal sebagai pembuatan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policymaking).

Meskipun demikian, terdapat sebuah tegangan inheren antara dua tujuan utama sandbox tersebut. Di satu sisi, tujuan untuk mempromosikan inovasi menuntut adanya fleksibilitas dan pengurangan beban regulasi. Di sisi lain, mandat untuk melindungi konsumen dan menjaga stabilitas sistem keuangan menuntut adanya batasan dan pengawasan yang ketat. Keberhasilan sebuah kerangka  

Regulatory Sandbox pada akhirnya terletak pada kemampuannya untuk mengelola “ambiguitas yang terstruktur” ini secara efektif. Desain sandbox yang baik bukanlah yang paling fleksibel atau yang paling aman, melainkan yang paling cerdas dalam mengkalibrasi keseimbangan antara kedua kutub tersebut.

Kegagalan dalam kalibrasi ini dapat menyebabkan sandbox menjadi tidak relevan bagi inovator jika terlalu ketat, atau menjadi berbahaya bagi konsumen jika terlalu longgar. Ini merupakan tantangan desain kebijakan yang fundamental dan harus dihadapi oleh setiap regulator yang mengimplementasikan mekanisme ini.

Landasan Hukum dan Kerangka Regulasi di Indonesia

Di Indonesia, pengaturan dan pengawasan terhadap inovasi di sektor keuangan, termasuk penyelenggaraan Regulatory Sandbox, merupakan kewenangan dari dua otoritas utama yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).

Pengaturan Regulatory Sandbox di Indonesia merupakan manifestasi dari peran ganda regulator dalam ekosistem ekonomi digital yang mana di satu sisi mendorong inovasi layanan keuangan, dan di sisi lain memastikan stabilitas dan pelindungan konsumen.[4] Kedua lembaga ini memiliki kerangka hukum yang terpisah dengan yurisdiksi yang berbeda, namun saling melengkapi dalam menciptakan ekosistem keuangan digital yang komprehensif.

Pengaturan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK): Era Baru di Bawah POJK 3/2024

OJK memegang peranan sentral dalam mengatur inovasi di seluruh sektor jasa keuangan, mulai dari perbankan, pasar modal, hingga industri keuangan non-bank. Pendekatan OJK terhadap Regulatory Sandbox telah mengalami evolusi signifikan dengan diterbitkannya peraturan terbaru.

Landasan hukum utama bagi penyelenggaraan Regulatory Sandbox oleh OJK adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, yang selanjutnya disebut “POJK 3/2024”. Peraturan ini secara resmi diundangkan pada 19 Februari 2024 dan secara eksplisit mencabut serta menyatakan tidak berlaku lagi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Penerbitan POJK 3/2024 ini menandai sebuah era baru yang lebih matang dalam pendekatan regulasi OJK, yang didasarkan pada amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

POJK 3/2024 mengatur secara detail mengenai mekanisme Regulatory Sandbox, yang dapat diuraikan melalui analisis pasal-pasal kuncinya sebagai berikut:

-        Peraturan ini mendefinisikan Sandbox sebagai “Ruang Uji Coba/Pengembangan Inovasi... yaitu sarana dan mekanisme untuk memfasilitasi uji coba dan pengembangan inovasi yang disediakan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk menilai kelayakan dan keandalan ITSK”. Definisi ini menekankan fungsi sandbox sebagai alat evaluasi bagi OJK.[5];

-        Tujuan penyediaan Sandbox dirumuskan secara lugas, yaitu “untuk memastikan inovasi dan pengembangan teknologi di sektor keuangan dilakukan secara bertanggung jawab dengan pengelolaan risiko yang baik”. Pasal ini menggarisbawahi prinsip kehati-hatian (prudent) dan tanggung jawab sebagai landasan utama[6];

-        Ruang lingkup fasilitas yang disediakan dalam Sandbox mencakup:

(a)   pemberian fasilitas untuk melakukan uji coba dalam jangka waktu dan lingkungan terbatas;

(b)   pemberian fasilitas untuk mendapatkan penjelasan atas ketentuan yang berlaku;

(c)   pemberian fasilitas untuk pengembangan ITSK pada tahap awal; dan

(d)   fasilitas lainnya.

Adapun ruang lingkup model bisnis ITSK yang dapat diuji sangat luas, meliputi penyelesaian transaksi surat berharga, penghimpunan modal (capital raising), pengelolaan investasi, pengelolaan risiko, penghimpunan dan/atau penyaluran dana, pendukung pasar (market support), serta aktivitas terkait aset keuangan digital, termasuk aset kripto.[7]  

-        Tidak semua inovasi dapat masuk ke dalam Sandbox. Calon peserta harus memenuhi serangkaian kriteria kelayakan, antara lain:

(a)   memiliki cakupan pada sektor jasa keuangan di Indonesia;

(b)   memenuhi unsur kebaruan atau memiliki pembeda signifikan dengan yang telah ada;

(c)   memberikan manfaat dan nilai tambah bagi konsumen dan ekosistem keuangan;

(d)   telah siap untuk diuji dari sisi teknologi dan operasional; dan

(e)   memerlukan dukungan pengujian karena belum diatur secara spesifik dalam ketentuan yang berlaku.[8]  

-        Proses penyelenggaraan Sandbox diatur secara bertahap, mulai dari pengajuan permohonan oleh calon peserta, penilaian kelayakan oleh OJK, kewajiban penyampaian Rencana Pengujian yang komprehensif, hingga pelaksanaan uji coba. Jangka waktu pelaksanaan uji coba ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang oleh OJK selama 6 (enam) bulan apabila diperlukan;

-        Setelah periode pengujian berakhir, OJK akan melakukan penilaian akhir dan menetapkan hasil Sandbox dengan dua status yang tegas yaitu Lulus; atau b. Gagal. Peserta yang dinyatakan Lulus akan menerima surat keterangan lulus yang berlaku selama 6 (enam) bulan. Dalam periode tersebut, mereka wajib mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK. Jika tidak, status kelulusannya akan gugur. Sebaliknya, peserta yang dinyatakan Gagal wajib menghentikan seluruh aktivitas operasional yang diuji dalam Sandbox dan menyelesaikan semua kewajibannya kepada konsumen.[9] 

Pengaturan oleh Bank Indonesia (BI): Fokus pada Sistem Pembayaran

Bank Indonesia, dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, memiliki mandat untuk menjaga stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan, serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Oleh karena itu, yurisdiksi Regulatory Sandbox BI secara spesifik tertuju pada inovasi fintech di ranah sistem pembayaran.

Dasar Hukum Utama

Kerangka regulasi Regulatory Sandbox oleh BI didasarkan pada dua peraturan utama:

1.        Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial, yang selanjutnya disebut “PBI 19/2017”.  

2.       Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial, yang selanjutnya disebut “PADG 19/2017”.  

Dalam ketentuan Peraturan yang dibuat oleh BI ini mendefinisikan Regulatory Sandbox sebagai “ruang uji coba terbatas yang aman untuk menguji Penyelenggara Teknologi Finansial dan produk, layanan, teknologi dan/atau model bisnisnya”. Definisi ini menekankan aspek keamanan dan pengujian yang komprehensif.[10] Kemudian, kewenangan BI secara eksklusif tertuju pada penyelenggara fintech yang bergerak di bidang sistem pembayaran. Ini mencakup inovasi-inovasi seperti uang elektronik (e-money), dompet elektronik (e-wallet), penyelenggaraan transfer dana, mobile payments, dan penggunaan teknologi blockchain atau distributed ledger technology (DLT) untuk aktivitas pembayaran.

Proses uji coba dalam Regulatory Sandbox BI ditetapkan berlangsung dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. Apabila diperlukan, periode ini dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan berikutnya. Hasil pengujian akan ditetapkan dengan status “Berhasil” atau “Tidak Berhasil”. Penyelenggara yang dinyatakan berhasil dapat melanjutkan proses untuk memperoleh izin dari BI, sedangkan yang tidak berhasil dilarang untuk memasarkan produk atau layanannya.  

Diferensiasi Kewenangan dan Potensi Sinergi OJK-BI

Dari hasil temuan di atas, terlihat adanya demarkasi atau pembagian kewenangan yang jelas antara OJK dan BI. OJK berwenang mengawasi inovasi fintech di seluruh sektor jasa keuangan (di luar sistem pembayaran), seperti P2P lending, equity crowdfunding, insurtech, agregator keuangan, dan manajemen investasi digital. Sementara itu, BI secara spesifik mengawasi inovasi fintech yang masuk dalam kategori sistem pembayaran, seperti Go-Pay dan layanan dompet digital lainnya.  

Meskipun keduanya menyelenggarakan Regulatory Sandbox, terdapat perbedaan fundamental dalam kerangka kerja OJK dan BI. Dari sisi dasar hukum, OJK berlandaskan pada POJK 3/2024, sementara BI mengacu pada PBI 19/2017 dan PADG 19/2017. Fokus dan ruang lingkup keduanya pun berbeda secara signifikan; OJK mencakup seluruh Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) seperti P2P Lending dan aset digital, sedangkan BI secara eksklusif menangani teknologi finansial di bidang sistem pembayaran seperti e-money dan QRIS.

Perbedaan juga terlihat pada durasi uji coba, di mana OJK menetapkan periode maksimal satu tahun yang dapat diperpanjang enam bulan, sementara BI menetapkan periode enam bulan yang juga dapat diperpanjang selama enam bulan.

Penetapan hasil uji coba pun menggunakan terminologi yang berbeda; OJK menggunakan status “Lulus” atau “Gagal”, sedangkan BI menggunakan “Berhasil” atau “Tidak Berhasil”.

Terakhir, tindak lanjut dari hasil tersebut juga memiliki mekanisme yang sedikit berbeda. Peserta yang “Lulus” dari OJK wajib mengajukan izin usaha dalam waktu enam bulan, sedangkan yang “Berhasil” dari BI dapat melanjutkan proses perizinan sesuai ketentuan yang berlaku.

Perkembangan inovasi fintech yang semakin konvergen seringkali mengaburkan batas-batas yurisdiksi ini. Sebagai contoh, sebuah platform wealthtech (pengelolaan investasi) yang diawasi OJK mungkin memiliki fitur dompet digital terintegrasi yang masuk dalam ranah sistem pembayaran yang diawasi BI.

Kondisi ini menciptakan “area abu-abu” yang memerlukan koordinasi dan sinergi yang erat antar-regulator. Tanpa adanya mekanisme koordinasi yang efektif, terdapat risiko terjadinya tumpang tindih pengaturan (overlapping regulation) yang membebani inovator, atau sebaliknya, celah regulasi (regulatory gap) yang dapat dieksploitasi dan menimbulkan risiko baru.

Sejarah dan Implementasi Regulatory Sandbox di Indonesia

Perjalanan Regulatory Sandbox di Indonesia merupakan cerminan dari respons dinamis pemerintah dan otoritas terhadap pesatnya laju transformasi digital di sektor keuangan dan sektor-sektor lainnya.

Fase Awal (2017-2018): Respons terhadap Ledakan Fintech

Implementasi formal pertama dari konsep Regulatory Sandbox di Indonesia dipelopori secara paralel oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan pada periode 2017-2018. Langkah ini merupakan respons strategis terhadap pertumbuhan eksponensial ekosistem fintech nasional, yang evolusinya telah dimulai jauh sebelum era digital modern dan semakin terakselerasi pasca-krisis keuangan global 2008,[11] yang ditandai dengan munculnya ratusan perusahaan rintisan yang menawarkan berbagai solusi keuangan inovatif. Regulator menyadari bahwa pendekatan “satu ukuran untuk semua” (one-size-fits-all) tidak lagi memadai dan diperlukan sebuah mekanisme baru untuk membina inovasi sambil tetap menjaga koridor kehati-hatian.

Evolusi Pendekatan BI: Menuju Sandbox 2.0

Seiring dengan pematangan ekosistem dan pembelajaran dari implementasi awal, Bank Indonesia mengambil langkah evolusioner pada tahun 2021 dengan meluncurkan kerangka kerja Sandbox 2.0. Inisiatif ini menandai perluasan fungsi sandbox dari sekadar ruang uji coba menjadi sebuah platform fasilitasi inovasi yang lebih holistik. Sandbox 2.0 dibangun di atas tiga pilar utama:  

1.       Innovation Lab (Laboratorium Inovasi)

Sebuah wadah untuk menampung dan membina ide-ide inovatif yang masih berada pada tahap sangat awal (ideation stage), di mana para inovator dapat berkonsultasi dan mendapatkan bimbingan dari BI sebelum memasuki tahap pengembangan yang lebih serius;

2.       Industrial Sandbox (Uji Coba Industri)

Sebuah ruang kolaboratif yang memungkinkan para pelaku industri, baik fintech maupun perbankan, untuk bersama-sama menguji coba standar teknis atau model bisnis baru yang berpotensi diadopsi secara luas oleh industri, seperti standar API (Application Programming Interface) atau infrastruktur pasar;

3.       Regulatory Sandbox (Regulasi)

Tetap menjadi pilar utama untuk uji coba formal produk, layanan, atau model bisnis baru yang siap diuji di pasar secara terbatas, sebagaimana diatur dalam kerangka hukum yang ada. Evolusi menuju Sandbox 2.0 ini menunjukkan pemahaman BI yang semakin mendalam bahwa inovasi perlu didukung di setiap tahap siklus hidupnya, mulai dari ide hingga implementasi pasar.

Ekspansi di Luar Sektor Keuangan: Adopsi sebagai Model Tata Kelola

Keberhasilan dan fleksibilitas konsep Regulatory Sandbox di sektor keuangan telah menginspirasi adopsi model serupa di sektor-sektor lain yang juga mengalami disrupsi teknologi. Salah satu contoh paling signifikan adalah di sektor kesehatan. Pada bulan April 2023, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia meluncurkan kembali Program Regulatory Sandbox untuk Inovasi Digital Kesehatan, dengan fokus khusus pada teknologi diagnostik medis. Langkah ini didasari oleh kebutuhan untuk memfasilitasi dan mengawasi perkembangan pesat di bidang telemedicine, aplikasi kesehatan berbasis AI, dan perangkat medis digital, yang regulasinya belum sepenuhnya mapan.

Adopsi konsep sandbox oleh Kementerian Kesehatan ini memiliki implikasi yang jauh lebih luas dari sekadar replikasi kebijakan. Fenomena ini menandakan bahwa Regulatory Sandbox telah bertransformasi dari sebuah alat regulasi yang spesifik untuk sektor fintech menjadi sebuah model tata kelola inovasi (innovation governance model) yang bersifat lintas-sektor di Indonesia.

Prinsip-prinsip inti sandbox (seperti uji coba terkendali, pengawasan aktif, pembelajaran regulator, dan mitigasi risiko) terbukti bersifat universal dan dapat diterapkan pada domain kebijakan lain yang menghadapi tantangan serupa akibat disrupsi teknologi. Hal ini sejalan dengan potensi penerapan sandbox di sektor pangan untuk mengawasi produk olahan berisiko tinggi atau di sektor transportasi untuk menguji coba kendaraan otonom.

Dengan demikian, Indonesia secara bertahap sedang membangun sebuah doktrin kebijakan yang lebih adaptif untuk mengelola masa depan teknologinya, di mana sandbox menjadi salah satu instrumen strategis utamanya.

Kondisi, Tantangan, dan Peluang di Indonesia (Berdasarkan Laporan TFGI dan CIPS)

Evaluasi terhadap efektivitas dan arah pengembangan Regulatory Sandbox di Indonesia memerlukan analisis kritis yang melampaui telaah peraturan semata. Laporan dan kajian dari lembaga riset independen seperti Tech for Good Institute (TFGI) dan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) memberikan perspektif eksternal yang berharga untuk memahami kondisi aktual, tantangan yang dihadapi, dan peluang strategis yang ada.  

Kondisi Aktual: Dominasi Pendekatan Berorientasi Kepatuhan

Salah satu temuan kunci dari laporan TFGI dan CIPS adalah bahwa implementasi Regulatory Sandbox di Indonesia, dan di kawasan Asia Tenggara pada umumnya, cenderung didominasi oleh pendekatan yang berorientasi pada kepatuhan terhadap regulasi yang ada (compliance-focused). Artinya, tujuan utama dari proses sandbox lebih diarahkan untuk memastikan bahwa sebuah inovasi baru dapat sesuai dan patuh terhadap kerangka hukum yang berlaku saat ini.  

Dalam model ini, sebuah inovasi dianggap “lulus” atau berhasil jika pada akhir masa uji coba, penyelenggara mampu menunjukkan bahwa produk atau model bisnisnya dapat beroperasi di dalam koridor regulasi yang ada. Meskipun pendekatan ini penting untuk memastikan pelindungan konsumen dan stabilitas, ia memiliki keterbatasan yang signifikan. Fokus yang terlalu berat pada kepatuhan ini berisiko membatasi potensi sandbox sebagai alat untuk mendorong evolusi regulasi (regulatory evolution).

Seharusnya, sandbox tidak hanya berfungsi sebagai “gerbang kepatuhan”, tetapi juga sebagai “laboratorium kebijakan”, di mana data dan pengalaman dari uji coba inovasi yang disruptif dapat menjadi bukti kuat bagi regulator untuk mempertimbangkan perlunya mengubah atau memperbarui peraturan yang sudah usang dan tidak lagi relevan dengan perkembangan teknologi.  

Tantangan Utama dalam Ekosistem Sandbox Indonesia

Meskipun telah berjalan selama beberapa tahun, ekosistem Regulatory Sandbox di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan fundamental yang perlu diatasi untuk mengoptimalkan dampaknya. Kajian yang ada menyoroti tiga tantangan utama:  

1.       Peluang Berusaha yang Tidak Setara (Uneven Playing Field)

Terdapat indikasi dan kekhawatiran bahwa proses seleksi dan pelaksanaan sandbox dapat secara tidak langsung lebih menguntungkan peserta tertentu, terutama yang ditunjuk sebagai “prototype” atau yang memiliki kedekatan lebih dengan regulator. Hal ini dapat menciptakan persepsi ketidakadilan dan menghambat partisipasi dari inovator-inovator yang lebih kecil atau yang berasal dari luar jejaring yang sudah ada. Kondisi ini berpotensi mengurangi keragaman inovasi yang diuji dan membatasi pertukaran informasi yang sehat dalam ekosistem;

2.       Kurangnya Kejelasan Proses (Lack of Process Clarity)

Ambiguitas dalam beberapa aspek krusial dari proses sandbox menjadi tantangan berikutnya. Kurangnya transparansi mengenai metrik evaluasi yang digunakan, hasil yang diharapkan secara spesifik, dan terutama skenario serta prosedur kebijakan keluar (exit policy) dapat menciptakan ketidakpastian yang signifikan bagi peserta. Ketidakpastian ini dapat merusak kepercayaan investor dan mitra bisnis terhadap legitimasi proses sandbox, yang pada akhirnya dapat mengurangi minat perusahaan berkualitas untuk berpartisipasi; dan

3.       Keterbatasan Kapasitas Regulator (Regulatory Capacity Constraints)

Keberhasilan sebuah Regulatory Sandbox sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya, keahlian teknis yang mendalam, dan alokasi waktu yang memadai dari pihak regulator. Mengingat kompleksitas inovasi fintech yang terus berkembang, regulator seringkali menghadapi keterbatasan dalam hal jumlah personil dengan keahlian spesifik di bidang teknologi, keamanan siber, dan analisis data. Keterbatasan ini dapat menyebabkan proses evaluasi yang berjalan lambat, umpan balik yang kurang substantif bagi peserta, dan pengawasan yang kurang optimal selama masa uji coba, sebuah tantangan yang umum dihadapi dalam implementasi praktik regulasi yang baik di kawasan ini[12]

Peluang Strategis untuk Penguatan Ekosistem

Di tengah tantangan yang ada, terdapat pula peluang strategis yang signifikan bagi Indonesia untuk memperkuat dan meningkatkan peran Regulatory Sandbox sebagai motor inovasi dan reformasi kebijakan, antara lain:

1.       Transformasi Menjadi Alat Pembelajaran Regulasi

Indonesia didorong untuk mengadopsi perspektif yang lebih luas, yaitu menggunakan sandbox tidak hanya untuk menguji kepatuhan produk, tetapi juga sebagai platform untuk secara proaktif mempelajari, memahami, dan mulai membentuk kerangka regulasi untuk gelombang teknologi berikutnya. Ini termasuk teknologi-teknologi disruptif seperti Kecerdasan Buatan (AI) dalam layanan keuangan, aset keuangan digital yang kompleks, dan infrastruktur untuk kota cerdas (smart city);

2.       Penguatan Kolaborasi Lintas Batas

Dalam konteks ekonomi digital ASEAN yang semakin terintegrasi, terdapat peluang besar untuk mendorong inisiatif sandbox yang bersifat kolaboratif dengan negara-negara tetangga. Kolaborasi ini bisa sangat relevan di bidang sistem pembayaran lintas batas (cross-border payment), di mana harmonisasi pendekatan regulasi dapat secara signifikan mengurangi friksi, meningkatkan interoperabilitas, dan memungkinkan penyelesaian isu-isu kompleks seperti pelindungan konsumen dan kedaulatan data (data sovereignty) secara bersama-sama;

3.       Memperkuat Landasan Kelembagaan

Untuk memastikan bahwa pembelajaran yang diperoleh dari sandbox tidak berhenti sebagai laporan internal regulator, perlu ada upaya untuk memperkuat fondasi kelembagaan. Ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan mekanisme umpan balik dari sandbox ke dalam proses penyusunan dan evaluasi peraturan perundang-undangan di tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, sandbox dapat menjadi sumber masukan empiris yang secara efektif menginformasikan perubahan undang-undang dan peraturan pemerintah, menjadikannya alat reformasi kebijakan yang nyata.  

Sengketa dan Kerangka Regulasi di Negara Lain

Untuk menempatkan kerangka Regulatory Sandbox Indonesia dalam konteks yang lebih luas, analisis komparatif dengan yurisdiksi lain menjadi esensial, karena tata kelola regulasi yang baik (good governance) merupakan bahan krusial untuk memastikan efektivitas regulator dalam menghadapi perubahan yang cepat.[13] Perbandingan ini tidak hanya menyoroti perbedaan pendekatan, tetapi juga memberikan pelajaran berharga mengenai praktik terbaik, potensi risiko, dan model-model alternatif yang dapat diadaptasi.

Indonesia: Sengketa di Ekosistem Fintech

Data sengketa di Indonesia menunjukkan sebuah pola yang menarik. Pencarian pada direktori putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengidentifikasi berbagai sengketa hukum yang melibatkan perusahaan-perusahaan fintech. Contoh representatif dari sengketa ini dapat dilihat dalam dua jenis perkara yang berbeda secara fundamental.  

Pertama, adalah sengketa perdata umum antara penyelenggara fintech dengan penggunanya. Salah satu contohnya adalah Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 401/Pdt.G/2021/PN.JKT.SEL, tertanggal 2 Juni 2021. Dalam perkara ini, PT Alfa Fintech Indonesia bertindak sebagai Penggugat melawan seorang nasabah sebagai Tergugat, yang kemungkinan besar berkaitan dengan wanprestasi atau gagal bayar. Namun, yang menarik dari perkara ini adalah prosesnya tidak berlanjut ke putusan akhir mengenai pokok perkara, melainkan berakhir dengan sebuah penetapan yang mengabulkan permohonan pencabutan gugatan dari pihak Penggugat sendiri. Kasus seperti ini, bersama dengan perkara lain yang melibatkan PT Barracuda Fintech Indonesia, mengilustrasikan bahwa sengketa yang terjadi adalah pada level operasional bisnis sehari-hari, bukan pada tahap pengujian inovasi.

Kedua, adalah upaya hukum yang lebih sistemik dan fundamental melalui mekanisme Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit), seperti yang tercatat dalam Perkara Nomor 689/Pdt.G/2021/PN Jkt.Pst. Dalam gugatan ini, sekelompok warga negara tidak menuntut satu Perusahaan fintech secara spesifik, melainkan menggugat lembaga-lembaga negara tertinggi, termasuk Presiden Republik Indonesia dan, secara krusial, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Tergugat V.

Pokok gugatan ini adalah tuduhan bahwa negara, khususnya OJK, telah lalai dan gagal dalam menjalankan kewajiban hukumnya untuk menciptakan regulasi yang memadai guna mengendalikan industri pinjaman online. Para Penggugat mendalilkan bahwa kelalaian ini telah mengakibatkan kerugian masif bagi masyarakat, seperti yang tertuang dalam surat gugatan yaitu “Negara telah gagal mengendalikan Pinjaman Online yang telah menyebabkan ribuan orang mengalami pelanggaran hukum dan hak asasi manusia”. Lebih lanjut, gugatan tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa “OJK tidak pernah mengeluarkan kebijakan yang menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi ditengah masyarakat akibat kehadiran pinjaman online”.  

Dari penelaahan kedua jenis perkara tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan yuridis yang penting yaitu sengketa-sengketa yang muncul di Indonesia hingga saat ini tidak berkaitan langsung dengan proses atau hasil dari Regulatory Sandbox. Sebaliknya, litigasi tersebut timbul dari kegiatan operasional perusahaan fintech di pasar bebas, setelah mereka beroperasi dan mendapatkan izin. Gugatan Warga Negara dalam Perkara 689/Pdt.G/2021/PN Jkt.Pst, meskipun tidak menyebut kata sandbox, secara implisit mengkritik hasil akhir dari keseluruhan kerangka regulasi yang ada, di mana sandbox merupakan salah satu instrumen awalnya. Isu-isu yang menjadi pokok sengketa (praktik penagihan yang melanggar hukum, penyalahgunaan data pribadi, bunga eksesif, dan wanprestasi) adalah manifestasi dari tantangan pengawasan pasca-perizinan (post-licensing supervision).  

Hal ini membawa pada sebuah implikasi krusial: keberhasilan sebuah Regulatory Sandbox tidak seharusnya hanya diukur dari jumlah “lulusan” yang berhasil memperoleh izin, tetapi juga dari kemampuannya untuk membekali para lulusan tersebut dengan kerangka tata kelola perusahaan (corporate governance), manajemen risiko, dan standar etika yang kuat.

Lebih dari itu, sandbox harus mampu memberikan data dan wawasan yang cukup bagi regulator untuk merumuskan peraturan yang efektif dan protektif, sehingga dapat mencegah timbulnya sengketa-sengketa operasional di kemudian hari dan menjawab kritik fundamental seperti yang diajukan dalam Gugatan Warga Negara tersebut.

Australia: Model Pengecualian Lisensi dan Perlindungan Konsumen

Australia, melalui Australian Securities and Investments Commission (ASIC), mengadopsi model sandbox yang dikenal sebagai Enhanced Regulatory Sandbox (ERS). Kerangka ini menggantikan model sebelumnya, yaitu Fintech Licensing Exemption (FLE), dan mulai berlaku pada September 2020. Model ERS ini secara fundamental beroperasi berdasarkan prinsip pengecualian dari kewajiban memiliki lisensi jasa keuangan (Australian Financial Services Licence - AFSL) atau lisensi kredit (Australian Credit Licence - ACL) untuk periode pengujian yang dapat berlangsung hingga 24 bulan.  

Pendekatan ini secara efektif menurunkan hambatan masuk (barrier to entry) bagi para inovator. Namun, model ini juga memicu perdebatan signifikan di Australia mengenai keseimbangan antara mendorong inovasi dan menjaga standar pelindungan konsumen. Para kritikus, termasuk kelompok advokasi konsumen, menyuarakan kekhawatiran bahwa pengecualian dari kewajiban lisensi penuh dapat melemahkan perlindungan esensial bagi konsumen. Sebagai contoh, peserta sandbox mungkin dikecualikan dari persyaratan untuk memiliki sistem manajemen konflik kepentingan yang memadai atau kerangka manajemen risiko yang komprehensif, yang merupakan pilar utama dalam rezim lisensi AFSL. Menanggapi risiko ini, kerangka ERS memberikan ASIC kewenangan untuk melakukan intervensi, termasuk membatalkan pengecualian atau mengajukan perintah ke pengadilan (court order) jika terjadi pelanggaran atau jika aktivitas peserta terbukti merugikan konsumen.  

Singapura: Model Tata Kelola Inovasi Terstruktur

Singapura, melalui Monetary Authority of Singapore (MAS), diakui secara global sebagai salah satu pelopor dengan pendekatan Regulatory Sandbox yang paling matang dan terstruktur. Diluncurkan pertama kali pada tahun 2016, FinTech Regulatory Sandbox Guidelines dari MAS menekankan pada proses aplikasi yang ketat, kriteria evaluasi yang transparan, dan dialog yang intensif antara pemohon dan regulator.  

Keberhasilan pendekatan Singapura dapat dilihat dari studi kasus perusahaan-perusahaan yang telah “lulus” dari sandbox MAS dan kini menjadi pemain yang diakui di tingkat regional maupun global. Salah satu contohnya adalah ADDX, sebuah platform pasar swasta berbasis teknologi blockchain. Pengalaman ADDX di dalam sandbox MAS memungkinkan mereka untuk menguji coba teknologi inovatifnya secara langsung dalam lingkungan yang aman, sambil terus berdialog dengan MAS untuk memitigasi risiko.

Proses yang terstruktur ini tidak hanya membantu ADDX menyempurnakan produknya, tetapi juga memberikan “stempel persetujuan” dari regulator yang sangat dihormati, yang pada gilirannya meningkatkan kepercayaan dari investor, mitra, dan nasabah di seluruh dunia. Pelajaran utama dari Singapura bagi Indonesia adalah pentingnya kejelasan, kepastian, dan transparansi dalam seluruh tahapan proses sandbox untuk membangun legitimasi dan kepercayaan.

Amerika Serikat: Pendekatan Terfragmentasi

Berbeda dengan negara-negara lain yang memiliki kerangka sandbox nasional yang terpusat, pendekatan di Amerika Serikat cenderung terfragmentasi. Meskipun konsep sandbox modern banyak dipengaruhi oleh inisiatif “Project Catalyst” yang diluncurkan oleh Consumer Financial Protection Bureau (CFPB) pada tahun 2012, hingga saat ini belum ada Regulatory Sandbox tunggal yang komprehensif di tingkat federal.  

Sebaliknya, inisiatif sandbox lebih banyak muncul di tingkat negara bagian. Sebagai contoh, negara bagian Arizona meluncurkan sandbox untuk teknologi finansial pada tahun 2018, dengan tujuan spesifik untuk menarik investasi dan mendorong kewirausahaan di bidang blockchain, aset kripto, dan teknologi baru lainnya. Pendekatan yang terdesentralisasi ini memungkinkan adanya eksperimen kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan prioritas masing-masing negara bagian, namun juga menciptakan tantangan dalam hal harmonisasi regulasi secara nasional dan potensi terjadinya arbitrase regulasi (regulatory arbitrage), di mana perusahaan memilih yurisdiksi dengan peraturan yang paling longgar.

Sebagai rangkuman dari analisis komparatif ini, dapat ditarik beberapa perbedaan kunci. Indonesia, dengan model ganda OJK dan BI, berfokus pada kepatuhan terhadap regulasi yang ada, dengan kekuatan pada cakupan yang luas namun menghadapi tantangan koordinasi. Di sisi lain, Australia mengadopsi model pengecualian lisensi yang efektif menurunkan hambatan masuk, namun memunculkan risiko pelemahan pelindungan konsumen. Singapura menonjol dengan model tata kelola yang sangat terstruktur, yang memberikan kejelasan dan kepastian hukum sehingga membangun reputasi global, meskipun prosesnya bisa sangat intensif. Terakhir, Amerika Serikat menunjukkan pendekatan yang terfragmentasi di tingkat negara bagian, yang memungkinkan eksperimen kebijakan lokal namun menciptakan tantangan harmonisasi di tingkat nasional.

Sintesis Temuan

Analisis yuridis yang komprehensif terhadap konsep, kerangka regulasi, dan implementasi Regulatory Sandbox di Indonesia dan perbandingannya dengan yurisdiksi lain menghasilkan beberapa temuan kunci. Pertama, Regulatory Sandbox telah terbukti menjadi instrumen kebijakan yang esensial dalam menavigasi dilema antara inovasi dan regulasi di era digital. Namun, ia bukanlah sebuah panasea atau obat mujarab; efektivitasnya sangat bergantung pada desain, implementasi, dan kapasitas kelembagaan yang mendukungnya.

Kedua, kerangka hukum di Indonesia telah cukup maju dengan adanya demarkasi yurisdiksi yang relatif jelas antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk sektor jasa keuangan dan Bank Indonesia (BI) untuk sistem pembayaran. Penerbitan POJK No. 3 Tahun 2024 oleh OJK menunjukkan adanya evolusi dan pematangan pendekatan regulasi. Meskipun demikian, tantangan implementasi yang signifikan masih ada, terutama terkait kebutuhan koordinasi yang lebih erat untuk menangani inovasi yang bersifat lintas-sektor.

Ketiga, fokus implementasi sandbox di Indonesia saat ini yang cenderung berorientasi pada kepatuhan (compliance-focused) membatasi potensinya sebagai motor penggerak reformasi regulasi. Agar dapat menjawab tantangan teknologi masa depan, sandbox perlu bertransformasi menjadi laboratorium kebijakan yang proaktif.

Keempat, pola sengketa hukum di sektor fintech Indonesia, yang lebih banyak terjadi pada ranah operasional pasca-perizinan, menyoroti pentingnya peran sandbox dalam menanamkan budaya tata kelola, manajemen risiko, dan etika bisnis yang kuat pada para pesertanya, bukan hanya sekadar memberikan validasi teknis dan stempel perizinan.

Kelima, pelajaran dari yurisdiksi lain sangat relevan. Model Singapura menunjukkan pentingnya kejelasan, transparansi, dan proses yang terstruktur untuk membangun kepercayaan dan kredibilitas global. Sementara itu, perdebatan di Australia menjadi pengingat penting bahwa fasilitasi inovasi tidak boleh mengorbankan pilar-pilar fundamental pelindungan konsumen.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.


[1] OECD, The Governance of Regulators: Driving Performance at Brazil's Electricity Regulatory Agency, (Paris: OECD Publishing, 2021), hlm. 3.

[2] OECD, Good Regulatory Practices to Support Small and Medium Enterprises in Southeast Asia, (Paris, OECD Publishing, 2018), hlm. 184.

[3] World Health Organization, Regulatory considerations on artificial intelligence for health, Geneva, (World Health Organization, 2023), hlm. 37.

[4] Dewi Sartika Nasution, dkk., Ekonomi Digital, (Mataram: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Mataram & Sanabil, 2019), hlm. 67

[5] vide Pasal 1 Angka 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan.

[6] vide Pasal 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan.

[7] vide Pasal 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan.

[8] vide Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan.

[9] vide Pasal 18 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan.

[10] vide Pasal 1 ayat (4) Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial.

[11] Dewi Sartika Nasution, dkk., op.cit, hlm. 38-42.

[12] OECD, Good Regulatory Practices to Support Small and Medium Enterprises in Southeast Asia, op.cit., hlm. 16.

[13] OECD, The Governance of Regulators: Driving Performance at Brazil's Electricity Regulatory Agency, op.cit., hlm. 3.