layananhukum

Punya IUP Tapi Menanam di Luar HGU? Pahami Konsekuensi Hukum dan Sanksinya

 

Pertanyaan

Selamat pagi bang, izin mau nanya bang, jadi begini, di daerah saya ada sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi. Perusahaan ini memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) untuk area yang sangat luas, katakanlah 10.000 hektar. Namun, setelah kami cek, Hak Guna Usaha (HGU) yang mereka miliki ternyata hanya mencakup sebagian kecil dari area itu, misalnya hanya 3.000 hektar.

Masalahnya, perusahaan tersebut melakukan penanaman kelapa sawit secara masif di area yang berada di luar batas HGU mereka, meskipun area tanam tersebut masih masuk dalam peta wilayah IUP. Ketika dikonfirmasi, pihak perusahaan mengklaim bahwa tindakan mereka sah dan legal karena mereka berpegangan pada IUP yang mereka miliki. Menurut mereka, IUP sudah cukup menjadi dasar untuk melakukan kegiatan penanaman.

Saya merasa ada yang tidak beres dengan argumentasi ini dan butuh pencerahan hukum yang mendalam. Mohon bantuannya untuk dianalisis secara objektif dan komprehensif, bang. Pertanyaan saya adalah:

1.        Secara fundamental, apa perbedaan sifat, fungsi, dan dasar hukum antara Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan Hak Guna Usaha (HGU) dalam konteks hukum Indonesia?

2.       Bagaimana sebenarnya hubungan yuridis dan hierarki antara IUP dan HGU? Apakah benar salah satunya saja sudah cukup, atau keduanya merupakan satu kesatuan yang wajib dipenuhi?

3.      Bagaimana status hukum tanah yang berada di dalam wilayah IUP, tetapi belum dilekati dengan Sertipikat HGU? Apakah itu bisa dianggap sebagai Tanah Negara?

4.       Bagaimana hukumnya terhadap klaim perusahaan yang menyatakan IUP sudah cukup sebagai dasar legalitas untuk menanam? Apakah klaim tersebut dapat dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku? Adakah putusan pengadilan, baik dari Mahkamah Agung atau pengadilan lainnya, yang bisa menjadi rujukan atau contoh konkret untuk kasus seperti ini?

5.       Terakhir, apa saja konsekuensi dan spektrum sanksi hukum (baik sanksi administratif, perdata, maupun pidana) yang dapat menjerat perusahaan jika terbukti tindakan penanaman di luar HGU tersebut adalah perbuatan melawan hukum?

Mohon penjelasannya secara rinci dan terstruktur ya, bang. Terima kasih banyak atas waktu dan pencerahannya. Terima kasih.

Jawaban

Pendahuluan

Sektor perkebunan di Indonesia, khususnya kelapa sawit, merupakan pilar strategis dalam perekonomian nasional. Namun, di balik kontribusinya yang signifikan, terdapat kompleksitas yuridis yang kerap menjadi sumber sengketa dan ketidakpastian hukum. Satu di antara masalah fundamental yang paling sering mengemuka adalah dualisme antara Izin Usaha Perkebunan (IUP) sebagai instrumen hukum administrasi dan Hak Guna Usaha (HGU) sebagai instrumen hukum pertanahan.

Fenomena perusahaan perkebunan yang melakukan kegiatan penanaman di atas lahan yang secara administratif tercakup dalam Peta Lampiran IUP, namun secara yuridis belum dilekati dengan Sertipikat HGU, telah menjadi praktik yang mengakar dan sistemik. Pemerintah sendiri telah mengidentifikasi ratusan perusahaan yang beroperasi dalam kondisi demikian, mencakup jutaan hektar lahan di seluruh Indonesia.  

Kondisi ini melahirkan sebuah klaim argumentatif dari sebagian pelaku usaha, yang menyatakan bahwa kepemilikan IUP telah memberikan legitimasi yang cukup untuk melakukan kegiatan fisik di lapangan, termasuk penanaman.

Artikel ini berupaya menelaah secara mendalam dan komprehensif kerangka peraturan perundang-undangan yang relevan (mulai dari hukum agraria hingga hukum perizinan sectoral) serta memperkaya pembahasan dengan analisis yurisprudensi. Tulisan ini akan menguraikan secara sistematis kedudukan hukum, hubungan hierarkis antara IUP dan HGU, sekaligus menelusuri konsekuensi yuridis yang muncul dari praktik penanaman dalam wilayah IUP tetapi berada di luar batas HGU.

Dualisme Perizinan dan Hak Atas Tanah dalam Sektor Perkebunan

Sistem hukum di Indonesia secara tegas memisahkan antara izin untuk menjalankan suatu kegiatan usaha (business permit) dengan hak untuk menguasai dan memanfaatkan tanah (land right). Pemisahan ini merupakan manifestasi dari dua rezim hukum yang berbeda yaitu hukum administrasi negara yang mengatur tata kelola pemerintahan dan perizinan, serta hukum agraria (hukum keperdataan) yang mengatur hubungan hukum antara subjek hukum dengan tanah sebagai objek hak.

Dalam konteks perkebunan, dualisme ini terwujud dalam bentuk Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU). Kegagalan dalam memahami perbedaan fundamental dan hubungan hierarkis antara keduanya menjadi akar dari berbagai permasalahan hukum di sektor ini.

Izin Usaha Perkebunan (IUP): Definisi, Sifat, Fungsi, dan Dasar Hukum

Secara historis dan konseptual, instrumen hukum yang memberikan legalitas bagi suatu badan hukum untuk menyelenggarakan kegiatan usaha perkebunan dikenal dengan terminologi “Izin Usaha Perkebunan” atau yang lazim disingkat IUP. Meskipun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (sebelum diubah) tidak memuat definisi eksplisit mengenai IUP dalam Bab Ketentuan Umumnya, istilah ini digunakan secara konsisten di seluruh norma di dalamnya.

Landasan operasional dan definisi yang lebih terperinci mengenai IUP justru diatur dalam peraturan pelaksananya, yaitu Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 21/PERMENTAN/KB.410/6/2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Peraturan Menteri inilah yang menjadi rujukan utama bagi pemerintah daerah dalam menerbitkan IUP dan menjadi sumber hukum bagi penggunaan istilah IUP secara luas di sektor perkebunan sebelum era UU Cipta Kerja.

Namun, pasca berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut dengan “UU Perkebunan”, terjadi perubahan paradigma dan standardisasi terminologi perizinan. UU Perkebunan yang telah diperbarui kini secara sistematis mengganti frasa “Izin Usaha Perkebunan” dengan terminologi yang lebih umum dan terstandarisasi, yaitu “Perizinan Berusaha”.

Definisi “Perizinan Berusaha” ini merujuk pada definisi yang termaktub dalam Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023, yang menyatakan:

“Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.”

Perubahan ini secara jelas terlihat dalam revisi pasal-pasal krusial. Sebagai contoh, Pasal 47 ayat (1) UU Perkebunan yang baru menyatakan:

“Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.”

Dengan demikian, meskipun istilah IUP masih melekat dalam praktik dan merujuk pada izin-izin yang terbit sebelum era UU Cipta Kerja, kerangka hukum positif saat ini secara resmi menggunakan istilah “Perizinan Berusaha”.

Terlepas dari perubahan terminologi tersebut, sifat dan fungsi dasarnya sebagai sebuah penetapan administratif (beschikking) tetap tidak berubah. Di dalam Perizinan Berusaha (dahulu IUP) melekat serangkaian komitmen dan kewajiban fundamental yang harus dipenuhi oleh perusahaan sebagai prasyarat operasional.

Kewajiban-kewajiban ini secara eksplisit diatur dalam peraturan perundang-undangan dan berfungsi sebagai jaminan bahwa kegiatan usaha akan dilaksanakan secara bertanggung jawab. Kewajiban tersebut antara lain:

-        Pertama, kewajiban untuk menyelesaikan perolehan hak atas tanah. Sebelum berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja, kewajiban ini secara tegas diatur dalam Pasal 34 huruf a Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, yang menyatakan bahwa perusahaan perkebunan yang telah memiliki IUP wajib: “menyelesaikan hak atas tanah selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak [IUP diterbitkan].

Pasca-Undang-Undang Cipta Kerja, kewajiban ini dipertegas menjadi syarat kumulatif, di mana kegiatan budidaya hanya dapat dilakukan setelah perusahaan memiliki hak atas tanah dan Perizinan Berusaha, sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut.

-        Kedua, kewajiban untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar (plasma). Kewajiban ini diamanatkan secara imperatif oleh Pasal 58 ayat (1) UU Perkebunan, yang menyatakan:

“Perusahaan Perkebunan yang mendapatkan Perizinan Berusaha untuk budi daya...wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 20% (dua puluh persen) dari luas lahan tersebut.”.

Kewajiban ini merupakan manifestasi dari fungsi sosial usaha perkebunan dan menjadi salah satu komitmen utama dalam pengajuan Perizinan Berusaha.  

-        Ketiga, kewajiban untuk mematuhi standar lingkungan dan praktik perkebunan yang baik (good agricultural practices). Hal ini diatur secara umum dalam Pasal 67 ayat (1) UU Perkebunan, yang menyatakan:

“Pelaku Usaha Perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup.”

Kewajiban ini dirinci lebih lanjut dalam komitmen-komitmen teknis saat pengajuan Perizinan Berusaha, seperti kesanggupan untuk melakukan pengendalian organisme pengganggu tanaman serta melakukan pembukaan lahan tanpa bakar dan pengendalian kebakaran.  

Dengan demikian, Perizinan Berusaha (dahulu IUP) menandai tahap awal dari legalitas operasional, yang memberikan hak prosedural kepada perusahaan untuk memulai proses-proses persiapan usaha, termasuk dan terutama, pengurusan hak atas tanahnya.

Hak Guna Usaha (HGU): Definisi, Sifat, Kekuatan, dan Dasar Hukum

Berbeda secara diametral dengan IUP, Hak Guna Usaha (HGU) adalah salah satu jenis hak atas tanah yang diatur secara imperatif dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang selanjutnya disebut dengan “UUPA”. Ketentuan lebih lanjut mengenai HGU diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, yang selanjutnya disebut dengan “PP 18/2021”.

Pasal 28 ayat (1) UUPA mendefinisikan HGU sebagai:

“hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.”

HGU merupakan alas hak atau titel hukum yang bersifat keperdataan, yang menciptakan hubungan hukum secara langsung antara pemegang hak dengan bidang tanah yang dikuasainya. Pendaftaran HGU pada Kantor Pertanahan akan menghasilkan Sertipikat hak atas tanah, yang menurut sistem pendaftaran tanah di Indonesia, berfungsi sebagai alat bukti kepemilikan hak yang paling kuat dan sempurna.

Proses perolehan HGU adalah serangkaian tahapan hukum yang terpisah dan kompleks, yang dimulai setelah diperolehnya izin lokasi sebagai bagian dari proses IUP, meliputi penyelesaian hak dengan para penggarap, pengukuran bidang tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), hingga akhirnya pendaftaran hak. Hal ini menegaskan bahwa HGU adalah kulminasi dari proses legalisasi penguasaan tanah, bukan sesuatu yang secara otomatis melekat pada IUP.  

Hubungan Yuridis dan Hierarki antara IUP dan HGU

Hubungan antara IUP dan HGU bersifat sekuensial, komplementer, dan tidak dapat saling menggantikan. IUP berfungsi sebagai prasyarat administratif bagi perusahaan untuk dapat mengajukan permohonan HGU kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Tanpa adanya rencana usaha yang telah disetujui melalui IUP, permohonan HGU tidak dapat diproses.  

Ambiguitas penafsiran mengenai hubungan keduanya diakhiri secara yudisial melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XIII/2015, tertanggal 27 Oktober 2016. Putusan ini secara spesifik menguji konstitusionalitas Pasal 42 UU Perkebunan yang berbunyi:

“Kegiatan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan/atau izin Usaha Perkebunan.”

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyoroti bahwa penggunaan frasa “dan/atau” menciptakan ketidakpastian hukum yang serius. Frasa tersebut membuka kemungkinan penafsiran disjungtif, yang berarti perusahaan dapat melakukan kegiatan usaha budidaya (termasuk land clearing dan penanaman) hanya dengan bermodalkan IUP, tanpa terlebih dahulu memiliki hak atas tanah berupa HGU.

Mahkamah kemudian mengajukan pertanyaan yuridis fundamental: apakah berdasar hukum suatu perusahaan perkebunan dapat melakukan usaha budidaya tanpa terlebih dahulu memegang hak atas tanah?

Untuk menjawabnya, Mahkamah merujuk pada norma lain dalam UU Perkebunan itu sendiri, yaitu Pasal 16. Pasal tersebut secara eksplisit mengaitkan kewajiban perusahaan untuk mengusahakan lahan perkebunan dengan momen “setelah pemberian status hak atas tanah”. Dengan demikian, kewajiban untuk melakukan kegiatan fisik di lapangan baru timbul setelah hak atas tanahnya definitif. Mahkamah berpendapat bahwa apabila Pasal 42 ditafsirkan secara disjungtif (membolehkan hanya dengan IUP), maka akan terjadi pertentangan norma (antinomi) di dalam undang-undang yang sama. Hal ini akan melegalkan suatu kondisi di mana perusahaan dapat melakukan kegiatan fisik di atas tanah yang secara hukum belum menjadi haknya, yang berpotensi menimbulkan konflik agraria dan merugikan negara.

Oleh karena itu, untuk menghilangkan ketidakpastian hukum dan menciptakan harmonisasi norma, Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa “dan/atau” dalam Pasal 42 UU Perkebunan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan harus dimaknai secara kumulatif sebagai “dan”. Konsekuensi yuridis dari putusan ini sangat fundamental yaitu setiap perusahaan perkebunan wajib memiliki IUP dan HGU untuk dapat menjalankan usahanya secara sah.

Putusan ini melahirkan sebuah prinsip yang dapat dianalogikan sebagai “Sistem Dua Kunci” (Two-Key System). IUP adalah kunci legalitas usaha (business key), sementara HGU adalah kunci legalitas penguasaan lahan (property key). Untuk dapat secara sah melakukan kegiatan fisik di atas suatu lahan perkebunan, perusahaan mutlak membutuhkan kedua kunci tersebut.

Status Hukum Tanah dalam Wilayah IUP yang Belum Dilekati HGU

Untuk memahami status hukum tanah dalam wilayah IUP yang belum dilekati HGU, perlu merujuk pada prinsip fundamental hukum agraria Indonesia yang bersumber dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut dengan “UUD NRI 1945”, yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Konsep “dikuasai oleh negara” ini kemudian diartikulasikan dalam UUPA sebagai “Hak Menguasai dari Negara”, yang memberikan wewenang kepada negara untuk mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah di seluruh wilayah Indonesia. Ratio legis dari prinsip ini adalah untuk memastikan bahwa tanah sebagai sumber daya yang terbatas dan strategis tidak menjadi objek penguasaan mutlak oleh individu atau badan hukum, melainkan dikelola oleh negara demi kepentingan publik. Sebagai konsekuensi logis, setiap bidang tanah yang tidak dilekati dengan hak atas tanah yang spesifik (seperti Hak Milik, HGU, HGB, atau Hak Pakai) secara otomatis berstatus sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara, atau yang dikenal dengan istilah Tanah Negara.

Definisi yuridis mengenai Tanah Negara secara eksplisit ditegaskan dalam Pasal 1 Angka 2 PP 18/2021, yang menyatakan:

“Tanah Negara atau Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara adalah Tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah, bukan Tanah wakaf, bukan Tanah Ulayat dan/atau bukan merupakan aset barang milik negara/barang milik daerah.”

Lebih lanjut, Pasal 2 ayat (1) PP 18/2021 memperjelas bahwa:

“Tanah Negara atau Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara merupakan seluruh bidang Tanah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh pihak lain.”  

Berdasarkan kerangka hukum tersebut, lahan yang dialokasikan untuk perkebunan skala besar yang berada di dalam peta lampiran IUP namun belum diterbitkan Sertipikat HGU di atasnya, secara yuridis memenuhi kriteria sebagai Tanah Negara. Hal ini karena pada tahap tersebut, belum ada hak atas tanah yang melekat pada perusahaan. Dalam kondisi ini, tidak ada hubungan hukum keperdataan (hak kebendaan) yang tercipta antara perusahaan dengan bidang tanah tersebut. Kepemilikan IUP hanya menciptakan hubungan hukum di ranah administrasi negara antara perusahaan dan pemerintah yang menerbitkan izin, tidak dengan tanahnya itu sendiri.

Klaim Perusahaan dan Relevansi Putusan Pengadilan

Klaim bahwa IUP memberikan dasar yang sah untuk melakukan penanaman adalah sebuah argumentasi yang keliru secara fundamental (error in objecto). Argumen ini mencampuradukkan antara izin untuk berkegiatan dengan hak untuk menguasai properti. Prinsip dasar dalam UUPA menegaskan bahwa setiap kegiatan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah harus didasarkan pada alas hak yang sah.

Melakukan kegiatan penanaman, yang merupakan bentuk penguasaan fisik dan pemanfaatan tanah secara intensif, secara mutlak memerlukan alas hak berupa HGU. IUP hanya memberikan hak prosedural untuk memulai proses pengurusan HGU, bukan hak substantif untuk menggarap tanah sebelum HGU terbit.  

Prinsip ini diperkuat melalui preseden yurisprudensi, salah satunya dalam sengketa tumpang tindih perizinan pemanfaatan ruang yang diputus hingga tingkat kasasi. Meskipun tidak secara langsung mengadili sengketa antara IUP Perkebunan dengan HGU, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 47 K/TUN/2020, tertanggal 10 Maret 2020, memberikan panduan krusial mengenai hierarki dan kehati-hatian dalam penerbitan hak atas tanah. Perkara ini melibatkan sengketa antara Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Brian Anjat Sentosa dengan HGU milik PT Sasana Yudha Bhakti.  

Rangkaian putusan dalam perkara ini, mulai dari Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda Nomor 41/G/2018/PTUN.SMD, tertanggal 8 Mei 2019, yang mengabulkan gugatan sebagian dan menyatakan batal salah satu Sertipikat HGU, hingga Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 215/B/2019/PT.TUN.JKT, tertanggal 22 Agustus 2019, yang menguatkan putusan tingkat pertama dengan perbaikan amar yang membatalkan kedua Sertipikat HGU yang menjadi objek sengketa, menunjukkan adanya cacat prosedur dalam penerbitan HGU tersebut.

Puncaknya, dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim Agung pada tingkat kasasi menegaskan bahwa penerbitan HGU oleh Kantor Pertanahan tidak cermat karena mengabaikan eksistensi IUP Pertambangan yang telah terbit lebih dahulu. Majelis Hakim Agung menyoroti bahwa Izin Kuasa Pertambangan Eksplorasi milik PT Brian Anjat Sentosa telah terbit sejak tahun 2006, jauh sebelum HGU milik PT Sasana Yudha Bhakti diterbitkan pada tahun 2009 dan 2010. Sebagaimana termuat dalam pertimbangan hukum pada Halaman 8 Putusan Kasasi, Majelis Hakim menyatakan:

“Bahwa penerbitan objek sengketa 1 dan 2 oleh Termohon Kasasi I/Tergugat tidak cermat dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), karena pada saat proses penerbitan objek sengketa 1 dan 2, di atas tanah objek sengketa telah terbit terlebih dahulu izin di bidang pertambangan atas nama Penggugat/Termohon Kasasi II…”  

Putusan ini secara analogis sangat relevan dengan isu legalitas penanaman sawit. Putusan tersebut mengafirmasi adagium hukum prior in tempore, potior in jure (yang lebih dahulu dalam waktu, lebih kuat dalam hukum), di mana izin atau hak yang terbit lebih awal harus dihormati. Lebih penting lagi, putusan ini menegaskan bahwa proses penerbitan HGU bukanlah formalitas belaka, melainkan sebuah proses verifikasi yuridis dan fisik yang wajib memastikan bahwa lahan yang akan diberikan hak tidak memiliki sengketa atau tumpang tindih dengan kepentingan pihak lain yang sah.

Ini secara implisit menolak gagasan bahwa IUP secara otomatis memberikan hak untuk menguasai fisik tanah, karena status tanah tersebut harus terlebih dahulu “dibersihkan” (clean and clear) melalui prosedur perolehan HGU yang cermat dan sesuai hukum.

Konsekuensi dan Spektrum Sanksi Hukum

Tindakan penanaman di luar HGU, meskipun berada di dalam wilayah IUP, menempatkan perusahaan pada spektrum risiko hukum yang berlapis, mulai dari sanksi administratif hingga sanksi pidana.

1.       Sanksi Administratif

Sejalan dengan semangat ultimum remedium yang diusung oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, sanksi administratif menjadi instrumen penegakan hukum utama. Hal ini terkonfirmasi dengan kebijakan terkini Kementerian ATR/BPN yang berencana mengenakan sanksi berupa denda administratif kepada ratusan perusahaan yang teridentifikasi memiliki IUP tanpa HGU. Penting untuk dicatat bahwa pembayaran denda ini tidak serta-merta melegalisasi perbuatan tersebut atau menjamin penerbitan HGU;

2.       Gugatan Perdata

Perusahaan terbuka terhadap gugatan perdata. Negara, melalui Jaksa Pengacara Negara, dapat mengajukan gugatan ganti rugi atas penggunaan Tanah Negara secara tidak sah dan atas keuntungan yang telah dinikmati dari lahan tersebut. Apabila lahan yang ditanami tumpang tindih dengan tanah hak milik masyarakat atau tanah ulayat, risiko gugatan dari para pemegang hak menjadi sangat tinggi;

3.       Sanksi Pidana

Ini merupakan risiko tertinggi, terutama jika lokasi penanaman memiliki status hukum khusus.

-         Berdasarkan UU Perkebunan: Larangan inti terhadap penggunaan tanah perkebunan tanpa izin tetap berpotensi menimbulkan konsekuensi pidana, terutama jika dilakukan dengan kesengajaan dan menimbulkan kerugian;

-         Berdasarkan UU Kehutanan: Apabila lahan non-HGU yang ditanami tersebut ternyata berada di dalam kawasan hutan, maka tindakan perusahaan dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan kehutanan. Pasal 50 ayat (2) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023, menyatakan: Setiap orang dilarang mengerjakan dan/atau menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan sanksi pidana yang sangat berat, baik bagi individu pengurus maupun bagi korporasi. Perlu ditegaskan bahwa IUP yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengesampingkan status kawasan hutan yang penetapannya merupakan kewenangan pemerintah pusat.  

Kesimpulan

Berdasarkan penelaahan yang telah diuraikan, dapat ditarik kesimpulan yang tegas dan tidak ambigu bahwa klaim perusahaan yang menyatakan IUP memberikan dasar hukum yang cukup untuk melakukan penanaman kelapa sawit di luar batas HGU adalah tidak sah dan tidak dapat dibenarkan menurut hukum positif Indonesia. Tindakan tersebut secara yuridis harus dikualifikasikan sebagai bentuk penguasaan dan penggunaan Tanah Negara secara tidak sah, yang secara langsung melanggar prinsip-prinsip fundamental dalam UUPA dan UU Perkebunan, sebagaimana telah ditegaskan pula oleh Putusan Mahkamah Konstitusi. Konsekuensinya, perusahaan yang melakukan praktik ini menghadapkan dirinya pada spektrum risiko hukum yang serius, mulai dari sanksi administratif berupa denda, gugatan perdata, hingga ancaman sanksi pidana, terutama apabila lahan yang digarap terbukti berada di dalam kawasan hutan.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.