layananhukum

Kritis di Medsos, Masih Bisa Dipenjara? Ini Aturan Main Baru Pencemaran Nama Baik di UU ITE 2024

 

Pertanyaan

Selamat Malam Bapak Eka, saya mau nanya.

Saya seorang aktivis lingkungan yang mengelola sebuah akun media sosial untuk advokasi. Baru-baru ini, saya mengunggah serangkaian postingan yang berisi data dan kritik tajam terhadap dugaan pencemaran limbah oleh sebuah perusahaan besar di daerah kami. Tujuannya murni untuk pengawasan publik dan mendorong transparansi.

Nah, sekarang saya mendapatkan somasi dari pihak perusahaan tersebut. Mereka mengancam akan melaporkan saya ke polisi atas dasar pencemaran nama baik menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Saya dengar ada UU ITE baru, yaitu UU Nomor 1 Tahun 2024. Katanya, aturannya sudah berubah dan lebih melindungi kebebasan berpendapat. Tapi saya bingung, Pak.

Pertanyaan saya, sejauh mana sebenarnya perubahan aturan pencemaran nama baik ini? Apakah postingan saya yang jelas-jelas untuk kepentingan umum dan didasari data itu masih bisa dipidanakan? Lalu, apakah korporasi atau badan hukum seperti perusahaan itu masih bisa melaporkan saya dengan pasal pencemaran nama baik yang baru ini? Saya juga sempat dengar ada putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini yang katanya mengubah lagi aturannya, ini membuat saya semakin tidak yakin dengan posisi hukum saya.

Bisakah Bapak memberikan analisis yang komprehensif mengenai bagaimana aturan pencemaran nama baik di media sosial ini sekarang, mulai dari akarnya di KUHP, perubahannya di UU ITE yang baru, sampai implikasi dari putusan MK terkini? Saya butuh pemahaman yang utuh dan mendalam agar bisa mengambil langkah yang tepat. Terima kasih banyak, Pak.

Jawaban

    Pengantar

    Sebelumnya, Anda dapat membaca terlebih dahulu artikel kami sebelumnya yang berjudul “Begini Aturan Pencemaran Nama Baik di Media Sosial“. Tulisan yang sedang Anda baca ini merupakan elaborasi, penyempurnaan, sekaligus pembaruan komprehensif yang menjawab secara konkret, jelas, dan relevan perkembangan peraturan perundang-undangan terkini. Artikel ini akan membedah secara kritis, sistematis, dan konseptual logika hukum di balik dilema abadi antara kebebasan berekspresi dan perlindungan kehormatan, terutama pasca-disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024.

    Fondasi Konstitusional - Dilema Abadi Antara Kebebasan Berekspresi dan Perlindungan Kehormatan

    Negara hukum Indonesia, dalam fondasi konstitusionalnya, menggariskan sebuah dilema yang melekat dalam setiap masyarakat demokratis: tarik-menarik antara kebebasan individu untuk berekspresi dan kewajiban negara untuk melindungi kehormatan setiap warganya. Di satu sisi, Konstitusi secara tegas menjamin hak fundamental setiap orang atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut “UUD NRI 1945”. Hak ini merupakan pilar utama demokrasi, memungkinkan adanya diskursus publik, kritik terhadap kekuasaan, dan pengawasan sosial yang esensial bagi tata kelola pemerintahan yang baik.  

    Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut tidaklah absolut. Konstitusi juga memberikan jaminan yang sama kuatnya terhadap hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda di bawah kekuasaannya, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945. Keseimbangan ini ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, yang menyatakan:

    “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”.  

    Ketegangan antara dua hak fundamental inilah yang menjadi episentrum perdebatan panjang mengenai regulasi pencemaran nama baik di Indonesia, terutama di era digital. Pengesahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik selanjutnya disebut “UU ITE Perubahan Kedua”) menjadi kulminasi dari diskursus hukum, sosial, dan politik selama lebih dari satu dekade.

    Perubahan ini bukanlah sekadar revisi teknis, melainkan sebuah respons legislatif yang tak terhindarkan terhadap kritik publik yang masif dan serangkaian putusan yudisial, khususnya dari Mahkamah Konstitusi, yang secara konsisten menyoroti potensi efek dingin (chilling effect) dari pasal-pasal karet yang membungkam kebebasan berpendapat.

    Akar Historis Delik Penghinaan - Tinjauan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

    Untuk memahami secara utuh logika di balik pengaturan pencemaran nama baik dalam UU ITE, penelusuran terhadap akar historisnya dalam hukum pidana konvensional menjadi sebuah keniscayaan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai lex generalis atau hukum yang bersifat umum, telah lebih dahulu meletakkan fondasi mengenai delik penghinaan (belediging) dalam Bab XVI. UU ITE, dalam perannya sebagai lex specialis, pada hakikatnya tidak menciptakan delik yang sepenuhnya baru, melainkan “memigrasikan” konsep delik penghinaan dari KUHP ke dalam konteks digital dengan penyesuaian-penyesuaian krusial. Oleh karena itu, pemahaman terhadap KUHP adalah prasyarat mutlak untuk menafsirkan UU ITE secara benar.

    Secara konseptual, KUHP mendefinisikan penghinaan sebagai perbuatan “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang” yang mengakibatkan orang yang diserang tersebut merasa malu. Delik ini, sebagai genus delict (kejahatan induk), kemudian dirinci menjadi beberapa bentuk spesifik (species delict), yaitu :  

    1.        Menista (smaad), sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selanjutnya disebut “KUHP”, yang menyatakan: “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”;

    2.       Menista dengan surat (smaadschrift), diatur dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP, yang merupakan bentuk tertulis atau gambar dari penistaan lisan dan diancam dengan pidana yang lebih berat;

    3.      Memfitnah (laster), diatur dalam Pasal 311 KUHP, yang terjadi apabila pelaku diberi kesempatan untuk membuktikan kebenaran tuduhannya namun gagal, dan tuduhan tersebut dilakukannya bertentangan dengan apa yang diketahuinya sebagai kebenaran;

    4.       Penghinaan ringan (eenvoudige belediging), diatur dalam Pasal 315 KUHP, yang mencakup penghinaan yang tidak bersifat penistaan atau penistaan dengan surat, yang dilakukan baik di muka umum secara lisan atau tulisan, maupun di muka orang yang dihina itu sendiri;

    5.       Mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht), diatur dalam Pasal 317 KUHP, yaitu perbuatan mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang;

    6.      Tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking), diatur dalam Pasal 318 KUHP, yaitu perbuatan secara melawan hukum menuduhkan suatu hal kepada seseorang dengan cara selain yang dimaksud dalam Pasal 317 KUHP.

    Dari berbagai bentuk tersebut, unsur-unsur esensial dari delik pencemaran nama baik (khususnya menista) dapat diidentifikasi menjadi dua kategori. Unsur objektif meliputi perbuatan:

    (1)      menyerang kehormatan atau nama baik, dan

    (2)     menuduhkan suatu perbuatan tertentu.

    Sementara unsur subjektif adalah adanya:

    (1)      kesengajaan (opzet) dari pelaku, dan

    (2)     maksud agar tuduhan tersebut diketahui oleh umum (kenbaar voor het publiek).

    Unsur-unsur fundamental inilah yang menjadi cetak biru (blueprint) bagi perumusan delik serupa di ranah siber, di mana setiap ambiguitas dalam UU ITE seringkali dirujuk kembali ke doktrin dan elemen-elemen yang telah mapan dalam KUHP.  

    Era Kontroversi Regulasi Siber - Analisis Kritis Pasal 27 ayat (3) UU ITE Lama

    Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 menandai masuknya Indonesia ke era regulasi siber. Namun, satu di antara pasalnya, yaitu Pasal 27 ayat (3), sejak awal telah menjadi sumber kontroversi dan perdebatan hukum yang sengit. Pasal ini, yang dikenal luas sebagai “pasal karet”, dianggap memiliki rumusan yang terlalu luas dan multitafsir, sehingga rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik dan mengkriminalisasi ekspresi yang sah di ruang digital.  

    Sebelumnya, rumusan delik ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik selanjutnya disebut “UU ITE Lama”, yang menyatakan:

    “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”.  

    Problem utama dari rumusan ini adalah ketiadaan definisi yang jelas mengenai “muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”, serta klasifikasinya sebagai delik biasa dalam naskah awal undang-undang. Hal ini membuka peluang bagi siapa saja, bukan hanya korban langsung, untuk membuat laporan, yang berujung pada banyaknya kasus kriminalisasi terhadap aktivis, jurnalis, maupun masyarakat biasa yang menyampaikan keluhan atau kritik.  

    Dinamika hukum kemudian berubah secara signifikan berkat intervensi yudisial. Mahkamah Konstitusi, dalam perannya sebagai pengawal konstitusi, bertindak sebagai “korektor” terhadap legislasi yang berpotensi opresif ini. Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, tertanggal 25 Mei 2009, Mahkamah memberikan dua penafsiran fundamental yang membatasi daya rusak pasal tersebut:  

    1.       Perubahan Sifat Delik

    Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict. Karena delik dalam KUHP tersebut mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, maka Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus ditafsirkan sebagai delik aduan (klacht delic), bukan delik biasa. Ini merupakan intervensi krusial yang memastikan hanya korban yang merasa dirugikan secara langsung yang memiliki hak untuk mengadu;

    2.       Ekstensi Unsur “Di Muka Umum”

    Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa frasa “diketahui umum” atau “di muka umum” dalam KUHP kurang memadai untuk menjangkau penyebaran informasi di dunia maya. Oleh karena itu, frasa mendistribusikan, dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam UU ITE merupakan rumusan khusus yang bersifat ekstensif untuk menggantikan unsur tersebut dalam konteks digital.

    Dengan ditetapkannya sebagai delik aduan, maka ketentuan mengenai daluwarsa pengaduan dan pencabutan aduan merujuk pada KUHP, karena UU ITE Lama tidak mengaturnya secara spesifik. Pasal 74 KUHP mengatur bahwa pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan. Selanjutnya, Pasal 75 KUHP memberikan hak kepada pengadu untuk menarik kembali aduannya dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan. Perkembangan yurisprudensi, seperti dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1600 K/PID/2009, tertanggal 23 November 2009, bahkan menunjukkan fleksibilitas dalam penerapan batas waktu pencabutan aduan jika perdamaian telah tercapai, dengan pertimbangan bahwa pemulihan keseimbangan sosial memiliki nilai yang lebih tinggi.  

    Meskipun demikian, putusan MK tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah. Rumusan delik yang masih kabur dan ancaman pidana yang tinggi (penjara paling lama 4 tahun) tetap menjadi momok, yang pada akhirnya mendorong perlunya reformasi legislatif yang lebih komprehensif.  

    Titik Balik Regulasi - Bedah Tuntas Ketentuan Pencemaran Nama Baik dalam UU Nomor 1 Tahun 2024

    UU ITE Perubahan Kedua yang disahkan pada 2 Januari 2024 menandai sebuah titik balik fundamental dalam pengaturan delik pencemaran nama baik di ruang digital. Perubahan ini bukan sekadar penyesuaian redaksional, melainkan sebuah restrukturisasi norma yang secara sadar mengadopsi berbagai kritik, doktrin hukum, dan yurisprudensi yang telah berkembang selama ini.  

    Transisi Norma dari Pasal 27 ayat (3) ke Pasal 27A

    Perubahan paling mendasar adalah penghapusan total norma pencemaran nama baik dari Pasal 27. Sebelumnya, ketentuan mengenai pencemaran nama baik tercantum dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE Lama. Kemudian, Pasal tersebut dihapus dan digantikan dengan norma baru yang disisipkan sebagai Pasal 27A UU ITE Perubahan Kedua, yang menyatakan:

    Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.”

    Rumusan baru ini jauh lebih presisi dan terukur. Frasa “memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” yang ambigu digantikan dengan unsur-unsur yang lebih konkret dan selaras dengan Pasal 310 KUHP, yaitu “menyerang kehormatan atau nama baik”, “dengan cara menuduhkan suatu hal”, dan “dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum”. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 27A memberikan definisi operasional bahwa yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau nama baik” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menista dan/atau memfitnah.  

    Rekalibrasi Sanksi dan Pembedaan Delik: Analisis Pasal 45

    UU ITE Perubahan Kedua juga melakukan rekalibrasi sanksi pidana secara signifikan dan untuk pertama kalinya secara eksplisit membedakan antara delik penistaan (smaad) dan fitnah (laster) di ranah digital, sebuah pembedaan yang sebelumnya hanya ada dalam doktrin KUHP.

    -        Pencemaran Nama Baik (Menista) sebagaimana ketentuan Pasal 45 ayat (4) UU ITE Perubahan Kedua mengatur sanksi untuk pelanggaran Pasal 27A, dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Ini merupakan penurunan ancaman pidana yang signifikan dari sebelumnya 4 tahun penjara, sebuah langkah yang diapresiasi sebagai upaya dekriminalisasi parsial;  

    -        Fitnah, sebagaimana ketentuan Pasal 45 ayat (6) UU ITE Perubahan Kedua memperkenalkan ketentuan khusus untuk fitnah. Apabila tuduhan dalam Pasal 27A tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan bertentangan dengan apa yang diketahui pelaku, maka perbuatan tersebut dipidana karena fitnah dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Ketentuan ini menciptakan diferensiasi yang jelas dan proporsional, di mana tuduhan yang terbukti tidak benar dan dilandasi niat buruk diancam dengan sanksi yang lebih berat.  

    Penegasan Sifat Delik dan Pengecualian Pidana

    Reformasi ini juga mengakhiri perdebatan panjang mengenai sifat delik dan pihak yang berhak melapor, serta memperkenalkan “katup pengaman” (safety valve) untuk melindungi kebebasan berekspresi.

    -        Delik Aduan Absolut: Pasal 45 ayat (5) UU ITE Perubahan Kedua secara tegas mengodifikasikan putusan MK, yang menyatakan bahwa delik ini merupakan tindak pidana aduan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan korban atau orang yang terkena tindak pidana, dan secara eksplisit menambahkan frasa krusial dan bukan oleh badan hukum. Penegasan ini menutup pintu bagi institusi, korporasi, atau lembaga pemerintah untuk menggunakan pasal pidana ini sebagai alat pembungkaman;

    -        Pengecualian Pidana: Untuk pertama kalinya, UU ITE memperkenalkan alasan penghapus pidana secara eksplisit dalam Pasal 45 ayat (7) UU ITE Perubahan Kedua, yang menyatakan bahwa perbuatan pencemaran nama baik tidak dipidana jika:

    a.          dilakukan untuk kepentingan umum; atau

    b.          dilakukan karena terpaksa membela diri.  

    Penjelasan Pasal 45 ayat (7) huruf a lebih lanjut menguraikan bahwa yang dimaksud dengan “dilakukan untuk kepentingan umum” adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa atau kritik. Ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi jurnalis, aktivis, dan warga negara untuk melakukan pengawasan sosial tanpa dihantui ancaman kriminalisasi.  

    Secara ringkas, perubahan-perubahan fundamental ini meliputi transisi dari Pasal 27 ayat (3) yang multitafsir ke Pasal 27A yang lebih presisi, penurunan sanksi pidana untuk pencemaran biasa, pembedaan yang jelas dengan delik fitnah, penegasan sifat delik aduan absolut yang hanya bisa dilaporkan oleh orang perseorangan (bukan badan hukum), dan adanya pengecualian pidana untuk tindakan yang dilakukan demi kepentingan umum atau pembelaan diri.

    Hukum sebagai Sesuatu yang Dinamis: Tafsir Final Mahkamah Konstitusi sebagai Penjaga Demokrasi

    Namun, dialektika hukum tidak berhenti di gerbang parlemen. Meskipun UU Nomor 1 Tahun 2024 telah menjadi langkah maju yang diapresiasi, praktik di lapangan masih menyisakan celah kerentanan yang signifikan. Dua frasa sederhana dalam Pasal 27A—yaitu “orang lain” dan “suatu hal”—ternyata menjadi episentrum baru bagi ketidakpastian hukum dan berpotensi menjadi alat represi yang terselubung.

    Inilah inti permasalahannya, siapakah “orang lain” yang kehormatannya dilindungi? Apakah sebuah korporasi raksasa, lembaga pemerintah, atau kementerian bisa mengklaim dirinya sebagai “orang” yang nama baiknya tercemar? Ini adalah pertanyaan krusial yang dihadapi oleh aktivis, jurnalis, dan masyarakat pada umumnya dalam skenario kita. Tanpa batasan yang jelas, perusahaan yang kita kritik bisa saja bersembunyi di balik frasa ini untuk melancarkan serangan hukum strategis (Strategic Lawsuit Against Public Participation atau SLAPP) dan membungkam suara kritisnya.

    Selanjutnya, apa sebenarnya makna dari “menuduhkan suatu hal”? Apakah kritik yang berbasis data, opini yang tajam, atau bahkan satire bisa dikategorikan sebagai tuduhan atas “suatu hal”? Tanpa definisi yang presisi, pasal ini berisiko menjadi “keranjang sampah” (catch-all provision) yang dapat menjerat segala bentuk ekspresi yang dianggap tidak menyenangkan, mencampuradukkan antara delik pencemaran nama baik (yang menuntut adanya tuduhan perbuatan spesifik) dengan penghinaan biasa (yang berupa makian atau ejekan).

    Kerisauan inilah yang kembali membawa pasal tersebut ke hadapan penjaga konstitusi. Dalam sebuah perkembangan hukum yang sangat signifikan, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024, tertanggal 29 April 2025, memberikan pukulan palu yang final dan mengikat, memberikan penafsiran konstitusional bersyarat yang secara radikal mempersempit ruang lingkup penerapan Pasal 27A. Putusan ini menyatakan:  

    1.        Frasa “orang lain” dalam Pasal 27A harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai “orang perseorangan”. Implikasinya sangat mendalam. Mahkamah Konstitusi secara final menegaskan bahwa subjek hukum yang dilindungi oleh pasal pidana ini hanyalah individu atau manusia pribadi. Dengan demikian, pintu telah tertutup rapat bagi pemerintah, lembaga negara, kementerian, maupun badan hukum/korporasi untuk menggunakan pasal ini sebagai senjata kriminalisasi. Bagi aktivis lingkungan seperti Anda, ini adalah perisai hukum yang kokoh yang mana korporasi tidak lagi memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk melaporkannya atas dasar Pasal 27A;

    2.       Frasa “suatu hal” dalam Pasal 27A juga dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai “suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang”. Penafsiran ini menarik garis demarkasi yang tegas dan sangat dibutuhkan. Mahkamah memastikan bahwa delik ini hanya dapat diterapkan pada tuduhan yang menunjuk pada sebuah tindakan atau perbuatan tertentu, bukan sekadar opini, penilaian subjektif, atau penghinaan umum. Ini mencegah pasal tersebut menjadi “keranjang sampah” yang dapat digunakan untuk menjerat ejekan atau cemoohan yang seharusnya masuk dalam kualifikasi penghinaan ringan, bukan pencemaran nama baik.  

    Putusan ini adalah demonstrasi nyata bahwa hukum adalah entitas yang hidup dan terus berdialektika. Pemahaman yang utuh dan objektif atas aturan main pencemaran nama baik di era digital saat ini tidak bisa lagi hanya bersandar pada teks undang-undang semata. Ia harus merupakan sintesis yang koheren dari tiga elemen fundamental:

    (1)      doktrin hukum pidana dalam KUHP sebagai fondasi konseptual;

    (2)     norma yang telah direformasi dalam UU ITE Perubahan Kedua sebagai hukum positif; dan

    (3)    Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir final yang memberikan batasan dan pemaknaan yang mengikat dan sejalan dengan semangat demokrasi.

    Adagium Hukum sebagai Kompas Yuridis dalam Penegakan Hukum Siber

    Di tengah kompleksitas norma dan interpretasi, adagium atau pepatah hukum hadir sebagai kompas yuridis yang merefleksikan prinsip-prinsip keadilan universal. Adagium bukan sekadar hiasan retoris, melainkan jiwa yang seharusnya menuntun penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal UU ITE Perubahan Kedua agar tidak terjerumus pada legalisme sempit.  

    -        Ei incumbit probatio qui dicit, non qui negat (Beban pembuktian ada pada pihak yang menuduh, bukan yang menyangkal). Adagium ini menjadi sangat relevan dalam konteks delik fitnah sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (6) UU ITE Perubahan Kedua. Ketika seorang terdakwa dituduh melakukan fitnah, maka beban pembuktian ada pada Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan bahwa tuduhan yang dilontarkan terdakwa tersebut adalah tidak benar dan dilandasi itikad buruk. Terdakwa tidak dibebani untuk membuktikan kebenaran pernyataannya, melainkan penuntutlah yang harus membuktikan ketidakbenarannya;

    -        In dubio pro reo (Jika ada keraguan, hakim harus memutuskan hal yang lebih menguntungkan bagi terdakwa). Prinsip ini fundamental dalam pembuktian unsur kesengajaan (mens rea). Dalam kasus pencemaran nama baik, penuntut umum harus mampu membuktikan tanpa keraguan yang beralasan (beyond reasonable doubt) bahwa terdakwa memiliki niat jahat untuk menyerang kehormatan korban. Jika terdapat keraguan apakah sebuah unggahan dimaksudkan sebagai kritik yang sah atau serangan personal, hakim harus memutuskannya untuk keuntungan terdakwa;

    -        Fiat justitia ruat caelum (Keadilan harus ditegakkan sekalipun langit runtuh). Adagium ini membingkai tujuan akhir dari penegakan hukum. Keadilan dalam konteks ini bersifat dua sisi: menghukum mereka yang terbukti secara sah dan meyakinkan menyalahgunakan kebebasan berekspresi untuk merusak reputasi orang lain, sekaligus melindungi secara penuh mereka yang menggunakan haknya untuk menyampaikan pendapat, kritik, dan informasi demi kepentingan umum, sebagaimana kini dijamin oleh Pasal 45 ayat (7). Penerapan adagium-adagium ini dalam praktik peradilan akan menjadi ujian sesungguhnya apakah reformasi hukum ini berhasil mencapai tujuannya untuk menciptakan ruang digital yang lebih adil dan demokratis.

    Implikasi Praktis dan Arah Baru bagi Kebebasan Berekspresi

    Kombinasi reformasi legislatif dalam UU ITE Perubahan Kedua dengan tafsir final dari Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024 tidak hanya mengubah teks hukum, tetapi secara fundamental merombak peta kekuatan di ruang digital Indonesia. Implikasi praktisnya sangat signifikan dan menciptakan “aturan main baru” yang lebih berpihak pada demokrasi dan kebebasan sipil.

    1)       Bagi Jurnalis, Aktivis, dan Pengawas Publik: Perisai Hukum Berlapis

    Kemenangan bagi kelompok ini bersifat ganda. Pertama, pengenalan klausul kepentingan umum sebagai alasan penghapus pidana dalam Pasal 45 ayat (7) memberikan perisai hukum substantif yang kokoh. Kerja-kerja pengawasan, investigasi, dan advokasi yang berbasis data dan bertujuan untuk kepentingan publik (seperti yang dilakukan oleh aktivis lingkungan dalam skenario kita) kini memiliki landasan perlindungan hukum yang eksplisit. Kedua, dan ini yang paling krusial, Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 secara efektif melucuti senjata utama para pihak yang sering menjadi objek kritik: korporasi dan lembaga negara. Dengan ditutupnya pintu bagi badan hukum untuk menjadi pelapor, ancaman SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) dari ranah pidana menjadi tumpul. Kini, seorang aktivis yang mengkritik korporasi tidak hanya bisa berlindung di balik argumen “kepentingan umum”, tetapi juga dapat menepis laporan pidana sejak awal karena pelapor (korporasi) tidak lagi memiliki kedudukan hukum untuk mengadu;

    2)      Bagi Masyarakat Umum: Berkurangnya Efek Dingin (Chilling Effect)

    Bagi warga negara biasa, kombinasi dari tiga perubahan ini sangat memberdayakan. Penurunan ancaman pidana untuk delik penistaan menjadi maksimal 2 tahun penjara, penegasan sifat delik aduan absolut, dan larangan pelaporan oleh badan hukum secara kolektif mengurangi “efek dingin” yang selama ini membayangi diskusi di media sosial. Kekhawatiran untuk dilaporkan oleh perusahaan besar karena ulasan produk yang jujur, oleh rumah sakit karena keluhan pelayanan, atau oleh institusi lain karena kritik yang sah, kini berkurang secara drastis. Warga negara dapat merasa lebih aman untuk berpartisipasi dalam diskursus publik, menyampaikan keluhan, atau berbagi opini tanpa rasa takut yang berlebihan akan kriminalisasi yang sewenang-wenang;

    3)      Bagi Lembaga Negara dan Korporasi: Pergeseran Paradigma ke Ranah Perdata

    Implikasi paling dramatis adalah bagi entitas non-perorangan. Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 secara final dan mengikat menutup pintu bagi pemerintah, kementerian, lembaga negara, BUMN, maupun perusahaan swasta untuk menggunakan Pasal 27A sebagai instrumen pidana. Ini memaksa terjadinya pergeseran paradigma yang fundamental dan sehat bagi demokrasi. Sengketa reputasi yang melibatkan entitas-entitas kuat ini kini harus beralih dari ranah pidana ke ranah perdata. Mereka tidak kehilangan hak untuk mencari keadilan, namun jalurnya adalah melalui mekanisme gugatan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perbuatan melawan hukum. Pergeseran ini sangat positif karena memindahkan sengketa dari arena kekuasaan negara (pidana) yang bersifat represif ke arena peradilan yang lebih seimbang (perdata), di mana mereka harus membuktikan secara konkret adanya kerugian materiil akibat perbuatan yang dituduhkan, bukan sekadar menyerang kehormatan yang abstrak. Ini memisahkan secara tegas antara perlindungan reputasi personal individu dengan penggunaan instrumen pidana oleh entitas yang memiliki sumber daya superior.

    Kesimpulan - Menuju Keseimbangan Baru di Ruang Digital Indonesia

    Revisi ketentuan pencemaran nama baik melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 merupakan sebuah langkah maju yang signifikan dalam upaya menyeimbangkan perlindungan hak atas kehormatan dengan jaminan kebebasan berekspresi di Indonesia. Reformasi ini telah berhasil mentransformasi “pasal karet” yang problematik menjadi serangkaian norma yang lebih presisi, proporsional, dan berkeadilan. Perubahan-perubahan fundamental (mulai dari perumusan delik yang lebih spesifik dalam Pasal 27A, rekalibrasi sanksi yang membedakan penistaan dan fitnah, kodifikasi delik aduan absolut yang mengecualikan badan hukum, hingga pengenalan katup pengaman “kepentingan umum”) secara kolektif telah membangun kerangka hukum yang lebih demokratis.  

    Tulisan kami ini menunjukkan bahwa pemahaman yang komprehensif atas hukum pencemaran nama baik di era digital saat ini harus berdiri di atas tiga pilar yang saling terkait:

    (1)      KUHP sebagai genus delict yang menyediakan fondasi doktrinal;

    (2)     UU ITE Perubahan Kedua sebagai lex specialis yang mengontekstualisasikan delik tersebut ke dalam ranah siber; dan

    (3)    Putusan Mahkamah Konstitusi, khususnya Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024, sebagai penafsir konstitusional final yang memberikan batasan dan pemaknaan lebih lanjut yang mengikat.

    Meskipun demikian, tantangan sesungguhnya kini beralih dari ranah legislasi ke ranah implementasi. Keberhasilan reformasi ini pada akhirnya akan ditentukan oleh bagaimana aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) menafsirkan dan menerapkan semangat baru dari undang-undang ini dalam praktik sehari-hari. Pengawasan publik yang berkelanjutan dan komitmen dari seluruh elemen sistem peradilan pidana menjadi kunci untuk memastikan bahwa keseimbangan baru yang telah dirumuskan di atas kertas dapat benar-benar terwujud, menciptakan ruang digital Indonesia yang tidak hanya tertib, tetapi juga bebas dan mencerahkan.

    Informasi dan Konsultasi Lanjutan

    Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.