layananhukum

Apa itu Peradilan Tata Usaha Negara?

 

Pengantar

Adagium hukum klasik “ubi societas, ibi ius” yang berarti di mana ada masyarakat, di situ ada hukum, telah lama menjadi landasan pemikiran tentang keniscayaan hukum dalam tatanan sosial. Dalam konteks negara modern yang berperan aktif dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat (welfare state), adagium tersebut berevolusi menjadi “ubi administratio, ibi ius administrativum et iudex eius”, di mana ada pemerintahan, di situ ada hukum administrasi dan hakimnya.[1]

Kehadiran pemerintah yang semakin intervensionis dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat menuntut adanya suatu mekanisme kontrol yuridis yang efektif untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dan memastikan setiap tindakan pemerintah berlandaskan pada hukum. Di sinilah Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) menemukan relevansi fundamentalnya.

Sebagai salah satu pilar kekuasaan kehakiman di Indonesia, PTUN mengemban peran ganda yang krusial. Pada satu sisi, ia berfungsi sebagai benteng perlindungan hukum bagi hak-hak individu dan badan hukum perdata (individual legal protection) dari tindakan administrasi negara yang merugikan.[2] Pada sisi lain, PTUN berperan sebagai instrumen pengawasan yudisial untuk memastikan bahwa setiap keputusan dan tindakan pemerintah senantiasa sejalan dengan asas legalitas (rechtmatigheid) dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (doelmatigheid).[3]

Fungsi kedua inilah yang menempatkan PTUN sebagai garda terdepan dalam mengawal terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Artikel ini akan mengupas secara sistematis dan mendalam mengenai eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Pembahasan akan dimulai dari fondasi filosofis dan konstitusionalnya dalam sistem kekuasaan kehakiman, menelusuri evolusi historis pembentukannya yang penuh liku, membedah kerangka yuridis yang menjadi landasannya, hingga menganalisis aspek-aspek praktis mengenai kewenangan, asas-asas fundamental yang membentuk karakternya, serta ragam sengketa yang menjadi yurisdiksinya. Melalui analisis komprehensif ini, diharapkan dapat terbangun pemahaman yang utuh mengenai peran strategis PTUN sebagai pilar penjaga supremasi hukum dalam ranah administrasi negara di Indonesia.

Memahami Kekuasaan Kehakiman dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Untuk memahami kedudukan PTUN, pertama-tama perlu dipahami konsep kekuasaan kehakiman dalam arsitektur ketatanegaraan Indonesia. Landasan konstitusional utama bagi kekuasaan kehakiman tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut dengan “UUD NRI 1945” yang menyatakan: 

“kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Norma ini merupakan mandat konstitusional yang menegaskan prinsip independensi yudisial, yakni suatu kekuasaan yang bebas dari segala bentuk campur tangan maupun pengaruh dari cabang kekuasaan lain, khususnya eksekutif dan legislatif, dalam menjalankan fungsi peradilannya.[4]

Selanjutnya, Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 memetakan struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia dengan mengidentifikasi empat lingkungan peradilan yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung. Keempat pilar peradilan tersebut adalah Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.[5] PTUN, dengan demikian, diposisikan sebagai pilar keempat yang secara spesifik diberi mandat konstitusional untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa yang timbul dalam ranah hukum administrasi negara.

Seluruh lingkungan peradilan tersebut, termasuk PTUN, berpuncak pada Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai pengadilan negara tertinggi.[6] Mahkamah Agung menjalankan fungsi sebagai pengadilan kasasi, yakni memeriksa kemungkinan adanya kesalahan penerapan hukum pada putusan-putusan pengadilan di tingkat bawahnya. Penempatan PTUN di bawah satu atap Mahkamah Agung ini mencerminkan pilihan politik hukum Indonesia untuk menganut sistem unity of judiciary (kesatuan peradilan).

Sistem ini berbeda dengan model dualisme peradilan yang dianut beberapa negara seperti Prancis, di mana peradilan umum dan peradilan administrasi memiliki jalur hierarki yang terpisah dengan puncaknya masing-masing (di Prancis, Cour de Cassation untuk peradilan umum dan Conseil d'État untuk peradilan administrasi).[7]

Pilihan sistem kesatuan peradilan ini bertujuan untuk menjaga konsistensi dan kesatuan hukum (yurisprudensi) secara nasional. Namun, di sisi lain, hal ini secara inheren melahirkan tantangan tersendiri terkait kebutuhan akan spesialisasi hakim.

Dalam sistem terintegrasi, di mana hakim secara teoretis dapat berotasi antar lingkungan peradilan, terdapat potensi bahwa hakim yang menangani sengketa administrasi yang kompleks tidak selalu memiliki latar belakang atau keahlian yang mendalam di bidang hukum tata usaha negara.

Oleh karena itu, sistem ini menuntut Mahkamah Agung untuk secara berkelanjutan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan khusus guna meningkatkan spesialisasi dan kompetensi hakim PTUN, demi menjamin kualitas putusan yang berkeadilan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Sejarah dan Cikal Bakal Lahirnya Peradilan Tata Usaha Negara

Pembentukan PTUN di Indonesia merupakan buah dari perjalanan historis dan perjuangan legislatif yang panjang. Cita-cita untuk mewujudkan suatu badan peradilan yang dapat mengontrol tindakan pemerintah sesungguhnya telah mengakar sejak era kolonial, meskipun dalam bentuk yang sangat terbatas.[8] Namun, secara formal dalam kerangka negara Indonesia merdeka, gagasan ini pertama kali diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan. Undang-undang ini, meskipun tidak pernah sepenuhnya efektif, telah memperkenalkan istilah “Peradilan Tata Usaha Pemerintah” dan menempatkan kewenangannya pada Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat kedua.[9]

Meskipun telah digagas sejak awal kemerdekaan, realisasi PTUN menempuh jalan yang berliku dan memakan waktu hampir empat dekade. Proses legislasi RUU tentang PTUN mengalami pasang surut di era Orde Lama dan baru berhasil diundangkan pada masa Orde Baru.[10] Kelahiran PTUN yang tertunda selama periode tersebut merupakan cerminan dari pertarungan ideologis antara prinsip negara hukum (rechtsstaat), yang menuntut adanya kontrol yudisial terhadap pemerintah, dengan realitas negara kekuasaan (machtsstaat), di mana cabang eksekutif cenderung enggan untuk diawasi dan dikoreksi oleh cabang yudikatif.

Tonggak sejarah monumental akhirnya terwujud dengan disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang selanjutnya disebut “UU PTUN 1986”.[11] Namun, undang-undang ini tidak serta-merta berlaku efektif. Pasal 145 UU PTUN 1986 memberikan masa transisi selambat-lambatnya lima tahun untuk penerapan secara penuh.[12] Selama masa transisi tersebut, sengketa yang materiilnya merupakan sengketa tata usaha negara tetap diperiksa dan diputus oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Umum berdasarkan konsep perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad).[13]

Implementasi konkret dari UU PTUN 1986 dimulai pada awal tahun 1990-an. Melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang. Disusul kemudian dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 1990 yang membentuk lima Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pertama di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Ujung Pandang.[14] Akhirnya, melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1991, UU PTUN 1986 dinyatakan berlaku efektif di seluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 14 Januari 1991.[15] Pengesahan UU PTUN 1986, meskipun dengan kewenangan yang pada awalnya masih terbatas, dapat dipandang sebagai sebuah konsesi politik penting dari rezim Orde Baru untuk memperkuat legitimasinya sebagai negara hukum.

Dasar-Dasar Hukum Peradilan Tata Usaha Negara

Eksistensi dan operasionalisasi Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dilandasi oleh suatu kerangka hukum yang hierarkis dan komprehensif, mulai dari konstitusi hingga peraturan teknis pelaksanaannya.

Fondasi utamanya adalah Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, serta Pasal 24 UUD NRI 1945 yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman.[16] Prinsip negara hukum ini menjadi justifikasi fundamental bagi keberadaan lembaga peradilan yang berfungsi mengawasi tindakan pemerintah. Landasan organik selanjutnya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menjabarkan lebih lanjut prinsip-prinsip dan struktur kekuasaan kehakiman, termasuk kedudukan PTUN di dalamnya.[17]

Adapun legislasi pokok yang secara spesifik mengatur mengenai PTUN adalah:

1.        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menjadi landasan awal pembentukan PTUN;[18]

2.       Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang antara lain secara eksplisit memasukkan pelanggaran terhadap Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai dasar gugatan.[19]

3.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyempurnakan berbagai aspek, termasuk mengenai hukum acara dan pelaksanaan putusan.[20] Ketiga undang-undang ini secara kolektif sering disebut sebagai “UU PTUN”.

Kerangka hukum tersebut diperkuat oleh legislasi pendukung yang krusial, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-undang ini tidak hanya mengkodifikasi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, tetapi juga secara signifikan memperluas kewenangan PTUN untuk mengadili permohonan penilaian unsur penyalahgunaan wewenang dan sengketa mengenai tindakan faktual pemerintah.[21]

Di tingkat peraturan pelaksana, terdapat berbagai peraturan yang bersifat teknis, di antaranya:

1.        Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara;[22]

2.       Berbagai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang memberikan petunjuk pelaksanaan teknis yudisial, seperti Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.[23]

Rangkaian peraturan perundang-undangan ini menunjukkan adanya evolusi legislatif yang progresif. Jika UU PTUN 1986 pada awalnya lebih berfokus pada pengujian legalitas formal dari suatu keputusan (beschikking), maka perubahan-perubahan selanjutnya, terutama dengan hadirnya UU Administrasi Pemerintahan, telah menggeser fokus tersebut. Kini, pengujian oleh PTUN mencakup aspek yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada keputusan tertulis, tetapi juga menyangkut substansi kewenangan (bevoegdheid) dan tindakan (handelingen) pemerintah secara keseluruhan. Pergeseran ini didorong oleh kebutuhan untuk mengawasi penggunaan diskresi pemerintah yang semakin luas dalam negara modern, sehingga hukum acara PTUN terus beradaptasi untuk menjembatani celah perlindungan hukum bagi warga negara.

Konsep Good Governance dalam Tata Usaha Negara

Konsep good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik merupakan paradigma sentral dalam hukum administrasi modern. Hal ini merujuk pada penyelenggaraan pemerintahan yang transparan, akuntabel, partisipatif, efektif, dan berlandaskan supremasi hukum.[24] Dalam konteks hukum acara PTUN, instrumen utama untuk menegakkan prinsip-prinsip good governance adalah melalui pengujian terhadap Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) atau yang dalam terminologi Belanda dikenal sebagai algemene beginselen van behoorlijk bestuur.[25] AUPB berfungsi sebagai norma hukum tidak tertulis (dan kini sebagian telah terkodifikasi) yang menjadi standar kepatutan dan kelayakan bagi pejabat publik dalam menggunakan wewenangnya.

Perkembangan signifikan terjadi dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 53 ayat (2) huruf b undang-undang tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa salah satu alasan yang dapat digunakan dalam gugatan adalah apabila “Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.”[26]

Formalisasi AUPB sebagai dasar gugatan ini mengubah secara fundamental peran hakim PTUN. Sebelum adanya ketentuan ini, pengujian hakim cenderung terbatas pada aspek legalitas formal, yakni apakah suatu keputusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis (wetmatigheid). Dengan adanya AUPB sebagai dasar uji, peran hakim meluas menjadi penafsir keadilan dan kepatutan substantif. Hakim diberdayakan untuk membatalkan sebuah keputusan yang, meskipun secara formal tidak melanggar aturan tertulis, namun secara materiil mengandung unsur kesewenang-wenangan, ketidakcermatan, atau ketidakadilan.

Beberapa AUPB yang fundamental telah dikodifikasi dalam peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Asas-asas tersebut meliputi, namun tidak terbatas pada:

-       Asas Kepastian Hukum (rechtszekerheid).

-       Asas Kecermatan (zorgvuldigheid).

-       Asas tidak menyalahgunakan kewenangan (détournement de pouvoir).

-       Asas Keterbukaan.

-       Asas Kepentingan Umum.

-       Asas Proporsionalitas.

-       Asas Profesionalitas.

-       Asas Akuntabilitas.[27]

Dengan demikian, peran PTUN bergeser dari sekadar penjaga legalitas formal menjadi penjaga etika dan kualitas pemerintahan. Melalui putusan-putusannya yang menguji penerapan AUPB, PTUN secara langsung mendorong aparatur negara untuk bertindak lebih cermat, adil, dan transparan, yang pada akhirnya berkontribusi pada perwujudan good governance.

Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara

Kewenangan suatu badan peradilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan menjadi kewenangan absolut dan kewenangan relatif.

Kewenangan Absolut (Competentie Absoluta)

Kewenangan absolut berkaitan dengan jenis perkara atau objek sengketa yang dapat diadili oleh suatu lingkungan peradilan. Kewenangan absolut PTUN secara prinsip diatur dalam Pasal 1 Angka 10 UU PTUN, yang menyatakan bahwa sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Objek utama sengketa di PTUN adalah KTUN, yang didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 9 UU PTUN sebagai suatu penetapan tertulis yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1.      Penetapan Tertulis yaitu merujuk pada isi, bukan bentuk formal. Sebuah memo atau nota dapat dianggap sebagai penetapan tertulis jika isinya jelas.[28]

2.     Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yaitu pelaku tindakan adalah organ pemerintahan yang menjalankan fungsi eksekutif.

3.     Berisi Tindakan Hukum Tata Usaha Negara yaitu perbuatan hukum sepihak dalam ranah hukum publik.

4.     Bersifat Konkret, Individual, dan Final:

-       Konkret artinya objek yang diputuskan berwujud dan tertentu (misalnya, IMB untuk bangunan di lokasi A).

-       Individual artinya ditujukan kepada orang atau badan hukum perdata tertentu yang namanya disebutkan, bukan untuk umum.

-       Final artinya keputusan tersebut sudah definitif, tidak memerlukan persetujuan dari instansi lain, dan telah menimbulkan akibat hukum.

5.       Menimbulkan Akibat Hukum yaitu menciptakan, mengubah, atau menghapuskan suatu hubungan hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Namun, tidak semua KTUN dapat digugat di PTUN. Terdapat pengecualian yang diatur secara limitatif dalam Pasal 2 dan Pasal 49 UU PTUN, di antaranya adalah:

-        KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata (misalnya, perjanjian jual-beli antara pemerintah dengan pihak swasta);

-        KTUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum (regeling), seperti peraturan daerah atau peraturan Menteri;

-        KTUN yang masih memerlukan persetujuan atasan;

-        KTUN yang dikeluarkan berdasarkan KUHP atau KUHAP;

-        KTUN yang dikeluarkan dalam keadaan darurat (perang, bencana alam) atau untuk kepentingan umum yang mendesak.[29]

Definisi KTUN yang mensyaratkan sifat “konkret, individual, dan final” ini secara historis menciptakan “wilayah abu-abu” hukum. Seringkali pemerintah melakukan tindakan faktual (feitelijke handelingen) yang sangat merugikan warga, seperti pembongkaran bangunan tanpa surat perintah resmi, namun karena tidak dituangkan dalam bentuk KTUN formal, warga kesulitan mencari keadilan di PTUN.

Kekosongan hukum inilah yang kemudian dijawab oleh perkembangan regulasi dan terutama oleh lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang secara eksplisit memperluas kewenangan PTUN untuk juga mengadili sengketa mengenai “Tindakan Administrasi Pemerintahan”, yang menjembatani celah antara keputusan formal (beschikking) dan tindakan faktual.

Kewenangan Relatif (Competentie Relativa)

Kewenangan relatif berkaitan dengan wilayah hukum atau yurisdiksi teritorial suatu pengadilan. Prinsip utama yang berlaku adalah asas actor sequitur forum rei, yang berarti gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.[30] Hal ini diatur dalam Pasal 54 ayat (1) UU PTUN. Terdapat beberapa variasi dan pengecualian dari asas ini, antara lain:

-        Apabila tergugat lebih dari satu dan berkedudukan di daerah hukum yang berbeda, gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu tergugat.

-        Dalam hal penggugat dan tergugat berkedudukan di luar negeri, gugatan diajukan kepada PTUN Jakarta.

-        Dalam keadaan tertentu, gugatan dapat diajukan kepada PTUN yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.[31]

Asas-Asas Fundamental dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Hukum acara PTUN memiliki karakteristik unik yang dibentuk oleh asas-asas fundamental yang membedakannya dari hukum acara perdata maupun pidana. Asas-asas ini dirancang untuk menyeimbangkan hubungan yang secara inheren tidak setara antara warga negara dan pemerintah.

1)       Asas Praduga Keabsahan (Presumptio Iustae Causa atau Vermoeden van Rechtmatigheid)

Asas ini menyatakan bahwa setiap keputusan atau tindakan pemerintah harus selalu dianggap sah menurut hukum (rechtmatig) sampai ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan sebaliknya. Implikasi praktis dari asas ini sangat signifikan: pengajuan gugatan pada dasarnya tidak menunda atau menghalangi pelaksanaan KTUN yang digugat, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (1) UU PTUN. Asas ini bertujuan untuk menjamin kelancaran dan kepastian jalannya roda pemerintahan;

2)      Asas Keaktifan Hakim (Dominus Litis)

Berbeda dengan hakim perdata yang cenderung pasif dan hanya memeriksa apa yang didalilkan para pihak, hakim PTUN berperan aktif dalam proses persidangan.[32] Hakim diberi wewenang untuk memimpin pemeriksaan, menentukan apa yang perlu dibuktikan, dan bahkan dapat meminta penjelasan dari para pihak atau memanggil saksi atas inisiatifnya sendiri. Tujuan asas ini adalah untuk mencari kebenaran materiil dan mengimbangi posisi penggugat (warga negara) yang seringkali lebih lemah dibandingkan tergugat (pemerintah) yang memiliki sumber daya dan akses informasi yang lebih besar.[33]

3)      Asas Pembuktian Bebas

Hakim tidak terikat secara kaku pada alat bukti dan hierarki pembuktian sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata. Pasal 107 UU PTUN memberikan keleluasaan kepada hakim untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, siapa yang dibebani pembuktian, serta bagaimana menilai kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan. Asas ini sejalan dengan peran aktif hakim dalam mencari kebenaran materiil.

4)      Asas Putusan Berkekuatan Mengikat Erga Omnes

Karena objek sengketa dalam PTUN adalah produk hukum publik (KTUN), maka putusan pengadilan yang membatalkan KTUN tersebut tidak hanya mengikat bagi para pihak yang bersengketa, tetapi berlaku bagi semua orang (erga omnes).[34] Jika sebuah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dibatalkan oleh PTUN, maka IMB tersebut batal secara hukum bagi siapa pun.

Terdapat suatu tegangan dialektis yang menarik antara asas-asas ini. Di satu sisi, Asas Praduga Keabsahan memberikan “keuntungan” prosedural bagi pemerintah, karena keputusannya tetap dapat dilaksanakan meskipun sedang digugat. Di sisi lain, untuk menyeimbangkan keuntungan tersebut, hukum acara PTUN membekali hakim dengan “senjata” berupa Asas Keaktifan Hakim dan Asas Pembuktian Bebas.

Melalui peran aktifnya, hakim dapat “menembus” keuntungan prosedural yang dimiliki pemerintah dengan memerintahkan badan atau pejabat TUN untuk membuktikan bahwa keputusannya telah dibuat secara sah dan patut. Keseimbangan dinamis inilah yang menjadi jantung dari hukum acara PTUN, di mana pencapaian keadilan substantif sangat bergantung pada efektivitas hakim dalam menggunakan peran aktifnya.

Kedudukan, Susunan, dan Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara

Secara institusional, Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di bawah Mahkamah Agung. Struktur peradilan ini terdiri dari dua tingkatan, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) sebagai pengadilan tingkat banding. PTUN berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota tersebut, sedangkan PTTUN berkedudukan di ibukota provinsi dengan yurisdiksi meliputi wilayah provinsi.[35]

Susunan organisasi PTUN dan PTTUN pada umumnya terdiri dari:

-        Pimpinan, meliputi seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua.

-        Hakim Anggota merupakan pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.

-        Kepaniteraan, dipimpin oleh seorang Panitera, dibantu oleh Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti, yang bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan membantu hakim dalam persidangan.

-        Kesekretariatan, dipimpin oleh seorang Sekretaris yang bertanggung jawab atas administrasi umum, kepegawaian, dan keuangan pengadilan.[36]

Adapun wewenang dari masing-masing tingkatan pengadilan adalah sebagai berikut:

-        Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sebagaimana dengan ketentuan Pasal 50 UU PTUN, PTUN bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara pada tingkat pertama;

-        Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), berdasarkan Pasal 51 UU PTUN, PTTUN memiliki beberapa wewenang, yaitu:

1.        Memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara di tingkat banding;

2.       Memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara PTUN-PTUN di dalam daerah hukumnya;

3.       Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha negara yang penyelesaiannya menurut peraturan perundang-undangan harus melalui upaya administratif terlebih dahulu (misalnya, banding administratif).

Jenis-Jenis Sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara

Ruang lingkup sengketa yang ditangani oleh PTUN sangat luas, mencakup berbagai bidang di mana terjadi interaksi antara pemerintah dan warga negara. Berdasarkan praktik peradilan dan informasi yang tersedia, jenis-jenis sengketa yang paling umum diajukan ke PTUN dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1.        Sengketa Pertanahan

Ini merupakan salah satu jenis sengketa yang paling dominan di PTUN. Objek gugatannya lazimnya adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau Kantor Pertanahan, seperti gugatan pembatalan Sertipikat Hak Milik (SHM), Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB), atau keputusan lain terkait administrasi pertanahan;

2.       Sengketa Kepegawaian

Sengketa ini menyangkut status kepegawaian Aparatur Sipil Negara (ASN). Gugatan umumnya diajukan terhadap Surat Keputusan (SK) pemberhentian, pemecatan tidak dengan hormat, mutasi, demosi, atau penjatuhan sanksi disiplin lainnya yang dianggap tidak sesuai prosedur atau sewenang-wenang;

3.      Sengketa Perizinan

Meliputi gugatan terhadap penerbitan, penolakan, atau pencabutan berbagai jenis izin oleh pemerintah daerah maupun pusat. Contohnya termasuk gugatan atas Izin Mendirikan Bangunan (IMB), izin usaha, izin lingkungan (AMDAL), izin pertambangan, dan lain-lain;

4.       Sengketa Pengadaan Barang/Jasa (Tender)

Peserta lelang atau tender proyek pemerintah yang merasa dirugikan oleh keputusan panitia pengadaan, misalnya karena penetapan pemenang yang dianggap tidak transparan atau tidak memenuhi kualifikasi, dapat mengajukan gugatan ke PTUN;

5.       Sengketa Informasi Publik

Sengketa yang timbul dari pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, di mana pemohon informasi menggugat badan publik yang menolak memberikan informasi yang diminta;

6.      Sengketa Tindakan Administrasi Pemerintahan

Sejak berlakunya UU Administrasi Pemerintahan, PTUN juga berwenang mengadili gugatan terhadap tindakan faktual pejabat pemerintahan yang merugikan, serta permohonan untuk menilai ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang dalam suatu keputusan atau tindakan.

Dominasi sengketa pertanahan dan kepegawaian dalam portofolio kasus PTUN bukanlah suatu kebetulan. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua area tersebut merupakan titik rawan utama dalam interaksi antara administrasi negara dan warga di Indonesia.

Sengketa pertanahan seringkali berakar pada masalah administrasi yang belum tertib di BPN, seperti tumpang tindih Sertipikat atau prosedur penerbitan yang cacat hukum. Sementara itu, sengketa kepegawaian seringkali mencerminkan adanya potensi subjektivitas dan kesewenang-wenangan dalam manajemen ASN.

Dengan demikian, frekuensi tinggi sengketa di kedua bidang ini bukan hanya sekadar masalah hukum acara, tetapi juga merupakan gejala dari persoalan tata kelola yang lebih fundamental di sektor agraria dan birokrasi. Putusan-putusan PTUN di bidang ini memiliki potensi strategis untuk menjadi pendorong reformasi kebijakan yang lebih luas di kedua sektor krusial tersebut.

Penutup

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan manifestasi konkret dari prinsip negara hukum (rechtsstaat) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia hadir sebagai mekanisme check and balance yudisial yang esensial terhadap kekuasaan eksekutif yang luas, memastikan bahwa setiap tindakan dan keputusan administrasi negara tetap berada dalam koridor hukum dan kepatutan.

Melalui kewenangannya untuk menguji Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, PTUN tidak hanya berfungsi melindungi hak-hak warga negara dari potensi kesewenang-wenangan, tetapi juga secara aktif mendorong terwujudnya sebuah pemerintahan yang bersih, transparan, dan berwibawa.

Meskipun perannya sangat strategis, PTUN masih dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama terkait efektivitas pelaksanaan putusannya. Tidak jarang putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dipatuhi oleh pejabat TUN yang bersangkutan, sehingga mengurangi marwah dan kepastian hukum yang hendak ditegakkannya. Selain itu, peningkatan kapasitas dan spesialisasi hakim di bidang hukum administrasi yang kompleks juga menjadi agenda yang harus terus diupayakan.

Namun demikian, dengan adanya reformasi birokrasi yang berkelanjutan, peningkatan kesadaran hukum masyarakat, serta penguatan kelembagaan yang terus dilakukan oleh Mahkamah Agung, terdapat optimisme bahwa peran PTUN akan semakin kokoh. Ke depan, PTUN diharapkan dapat terus beradaptasi dengan dinamika pemerintahan dan kebutuhan masyarakat, sehingga semakin efektif dalam menjalankan fungsinya sebagai garda terdepan penjaga supremasi hukum dan pilar penegak good governance di Indonesia.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.


[1] Kasman Siburian, Fernando Z. Tampubolon, dan Haposan Siallagan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Medan: Lembaga Pemberdayaan Media dan Komunikasi, 2019), 1.

[2] Dian Aries Mujiburohman, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Yogyakarta: STPN Press, 2022), 16.

[3] Elidar Sari dan Hadi Iskandar, Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, ed. Malahayati (Lhokseumawe: BieNa Edukasi, 2014), 2–3.

[4] Siburian, Tampubolon, dan Siallagan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 6.

[5] Marshaal NG, Sri Suatmiati, dan Angga Saputra, Hukum Acara Tata Usaha Negara Indonesia, Edisi Revisi (Palembang: Tunas Gemilang Press, 2018), 2.

[6] Budi Sastra Panjaitan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Medan: CV. Manhaji, 2016), 16.

[7] Paulus Effendi Lotulung, “Memahami Kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia: Suatu Kajian Perbandingan,” Jurnal Hukum & Peradilan 3, no. 2 (Juli 2014): 199–214.

[8] Helmi et al., Buku Ajar Hukum Peradilan Tata Usaha Negara (Jambi: UNJA Publisher, 2025), 1.

[9] Siburian, Tampubolon, dan Siallagan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 2.

[10] NG, Suatmiati, dan Saputra, Hukum Acara Tata Usaha Negara Indonesia, 31–33. 

[11] Panjaitan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 2.

[12] Ibid., 2-3.

[13] Ibid., 4.

[14] Ibid., 3.

[15] Ibid., 4.

[16] Siburian, Tampubolon, dan Siallagan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 6.

[17] Ibid., 7–8.

[18] NG, Suatmiati, dan Saputra, Hukum Acara Tata Usaha Negara Indonesia, 4.

[19] Ibid., iv. 

[20] Ibid.

[21] Helmi et al., Buku Ajar Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, 7.

[22] Panjaitan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 105.

[23] Mujiburohman, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 42.

[24] Siburian, Tampubolon, dan Siallagan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 19.

[25] Panjaitan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 6.

[26] Mujiburohman, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 46.

[27] Ibid., 47.

[28] NG, Suatmiati, dan Saputra, Hukum Acara Tata Usaha Negara Indonesia, 51.

[29] Mujiburohman, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 12.

[30] Panjaitan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 23.

[31] Mujiburohman, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 11.

[32] Panjaitan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 10. 

[33] Siburian, Tampubolon, dan Siallagan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 11.

[34] Ibid., 12.

[35] Panjaitan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 15. 

[36] NG, Suatmiati, dan Saputra, Hukum Acara Tata Usaha Negara Indonesia, 307.