Pengantar
Adagium hukum
klasik “ubi societas, ibi ius” yang berarti di mana ada
masyarakat, di situ ada hukum, telah lama menjadi landasan pemikiran
tentang keniscayaan hukum dalam tatanan sosial. Dalam konteks negara modern
yang berperan aktif dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat (welfare state),
adagium tersebut berevolusi menjadi “ubi administratio, ibi ius
administrativum et iudex eius”, di mana ada pemerintahan, di situ ada
hukum administrasi dan hakimnya.[1]
Kehadiran
pemerintah yang semakin intervensionis dalam berbagai sendi kehidupan
masyarakat menuntut adanya suatu mekanisme kontrol yuridis yang efektif untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dan memastikan setiap tindakan
pemerintah berlandaskan pada hukum. Di sinilah Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN) menemukan relevansi fundamentalnya.
Sebagai salah satu
pilar kekuasaan kehakiman di Indonesia, PTUN mengemban peran ganda yang
krusial. Pada satu sisi, ia berfungsi sebagai benteng perlindungan hukum
bagi hak-hak individu dan badan hukum perdata (individual legal
protection) dari tindakan administrasi negara yang merugikan.[2] Pada
sisi lain, PTUN berperan sebagai instrumen pengawasan yudisial untuk
memastikan bahwa setiap keputusan dan tindakan pemerintah senantiasa
sejalan dengan asas legalitas (rechtmatigheid) dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik (doelmatigheid).[3]
Fungsi kedua
inilah yang menempatkan PTUN sebagai garda terdepan dalam mengawal terwujudnya
tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Artikel ini akan
mengupas secara sistematis dan mendalam mengenai eksistensi Peradilan Tata
Usaha Negara di Indonesia. Pembahasan akan dimulai dari fondasi filosofis dan
konstitusionalnya dalam sistem kekuasaan kehakiman, menelusuri evolusi historis
pembentukannya yang penuh liku, membedah kerangka yuridis yang menjadi
landasannya, hingga menganalisis aspek-aspek praktis mengenai kewenangan,
asas-asas fundamental yang membentuk karakternya, serta ragam sengketa yang
menjadi yurisdiksinya. Melalui analisis komprehensif ini, diharapkan dapat
terbangun pemahaman yang utuh mengenai peran strategis PTUN sebagai pilar
penjaga supremasi hukum dalam ranah administrasi negara di Indonesia.
Memahami Kekuasaan Kehakiman dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Untuk memahami
kedudukan PTUN, pertama-tama perlu dipahami konsep kekuasaan kehakiman dalam
arsitektur ketatanegaraan Indonesia. Landasan konstitusional utama bagi
kekuasaan kehakiman tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut dengan “UUD
NRI 1945” yang menyatakan:
“kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan”.
Norma ini
merupakan mandat konstitusional yang menegaskan prinsip independensi yudisial,
yakni suatu kekuasaan yang bebas dari segala bentuk campur tangan maupun
pengaruh dari cabang kekuasaan lain, khususnya eksekutif dan legislatif, dalam
menjalankan fungsi peradilannya.[4]
Selanjutnya, Pasal
24 ayat (2) UUD NRI 1945 memetakan struktur kekuasaan kehakiman di
Indonesia dengan mengidentifikasi empat lingkungan peradilan yang berada di
bawah naungan Mahkamah Agung. Keempat pilar peradilan tersebut adalah Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan
Tata Usaha Negara.[5] PTUN,
dengan demikian, diposisikan sebagai pilar keempat yang secara spesifik
diberi mandat konstitusional untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa
yang timbul dalam ranah hukum administrasi negara.
Seluruh lingkungan
peradilan tersebut, termasuk PTUN, berpuncak pada Mahkamah Agung Republik
Indonesia sebagai pengadilan negara tertinggi.[6]
Mahkamah Agung menjalankan fungsi sebagai pengadilan kasasi, yakni memeriksa
kemungkinan adanya kesalahan penerapan hukum pada putusan-putusan pengadilan di
tingkat bawahnya. Penempatan PTUN di bawah satu atap Mahkamah Agung ini
mencerminkan pilihan politik hukum Indonesia untuk menganut sistem unity of
judiciary (kesatuan peradilan).
Sistem ini berbeda
dengan model dualisme peradilan yang dianut beberapa negara seperti Prancis, di
mana peradilan umum dan peradilan administrasi memiliki jalur hierarki yang
terpisah dengan puncaknya masing-masing (di Prancis, Cour de Cassation untuk
peradilan umum dan Conseil d'État untuk peradilan
administrasi).[7]
Pilihan sistem
kesatuan peradilan ini bertujuan untuk menjaga konsistensi dan kesatuan hukum
(yurisprudensi) secara nasional. Namun, di sisi lain, hal ini secara inheren
melahirkan tantangan tersendiri terkait kebutuhan akan spesialisasi hakim.
Dalam sistem
terintegrasi, di mana hakim secara teoretis dapat berotasi antar lingkungan
peradilan, terdapat potensi bahwa hakim yang menangani sengketa administrasi
yang kompleks tidak selalu memiliki latar belakang atau keahlian yang mendalam
di bidang hukum tata usaha negara.
Oleh karena itu,
sistem ini menuntut Mahkamah Agung untuk secara berkelanjutan menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan khusus guna meningkatkan spesialisasi dan kompetensi
hakim PTUN, demi menjamin kualitas putusan yang berkeadilan dan memenuhi rasa
keadilan masyarakat.
Sejarah dan Cikal Bakal Lahirnya Peradilan Tata Usaha Negara
Pembentukan PTUN
di Indonesia merupakan buah dari perjalanan historis dan perjuangan legislatif
yang panjang. Cita-cita untuk mewujudkan suatu badan peradilan yang dapat
mengontrol tindakan pemerintah sesungguhnya telah mengakar sejak era kolonial,
meskipun dalam bentuk yang sangat terbatas.[8]
Namun, secara formal dalam kerangka negara Indonesia merdeka, gagasan ini
pertama kali diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan.
Undang-undang ini, meskipun tidak pernah sepenuhnya efektif, telah
memperkenalkan istilah “Peradilan Tata Usaha Pemerintah” dan menempatkan
kewenangannya pada Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama dan
Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat kedua.[9]
Meskipun telah
digagas sejak awal kemerdekaan, realisasi PTUN menempuh jalan yang berliku dan
memakan waktu hampir empat dekade. Proses legislasi RUU tentang PTUN mengalami
pasang surut di era Orde Lama dan baru berhasil diundangkan pada masa Orde
Baru.[10]
Kelahiran PTUN yang tertunda selama periode tersebut merupakan cerminan dari
pertarungan ideologis antara prinsip negara hukum (rechtsstaat), yang
menuntut adanya kontrol yudisial terhadap pemerintah, dengan realitas negara
kekuasaan (machtsstaat), di mana cabang eksekutif cenderung
enggan untuk diawasi dan dikoreksi oleh cabang yudikatif.
Tonggak sejarah
monumental akhirnya terwujud dengan disahkannya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang selanjutnya
disebut “UU PTUN 1986”.[11]
Namun, undang-undang ini tidak serta-merta berlaku efektif. Pasal 145 UU
PTUN 1986 memberikan masa transisi selambat-lambatnya lima tahun untuk
penerapan secara penuh.[12]
Selama masa transisi tersebut, sengketa yang materiilnya merupakan sengketa
tata usaha negara tetap diperiksa dan diputus oleh pengadilan di lingkungan
Peradilan Umum berdasarkan konsep perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige
overheidsdaad).[13]
Implementasi
konkret dari UU PTUN 1986 dimulai pada awal tahun 1990-an.
Melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1990 tentang Pembentukan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang.
Disusul kemudian dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 52
Tahun 1990 yang membentuk lima Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
pertama di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Ujung Pandang.[14]
Akhirnya, melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1991, UU PTUN 1986 dinyatakan berlaku efektif di seluruh
wilayah Indonesia sejak tanggal 14 Januari 1991.[15]
Pengesahan UU PTUN 1986, meskipun dengan kewenangan yang
pada awalnya masih terbatas, dapat dipandang sebagai sebuah konsesi politik
penting dari rezim Orde Baru untuk memperkuat legitimasinya sebagai negara
hukum.
Dasar-Dasar Hukum Peradilan Tata Usaha Negara
Eksistensi dan
operasionalisasi Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dilandasi oleh suatu
kerangka hukum yang hierarkis dan komprehensif, mulai dari konstitusi hingga
peraturan teknis pelaksanaannya.
Fondasi utamanya
adalah Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang secara tegas menyatakan
bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, serta Pasal
24 UUD NRI 1945 yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman.[16]
Prinsip negara hukum ini menjadi justifikasi fundamental bagi keberadaan
lembaga peradilan yang berfungsi mengawasi tindakan pemerintah. Landasan
organik selanjutnya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menjabarkan lebih lanjut
prinsip-prinsip dan struktur kekuasaan kehakiman, termasuk kedudukan PTUN di
dalamnya.[17]
Adapun legislasi
pokok yang secara spesifik mengatur mengenai PTUN adalah:
1.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menjadi landasan awal pembentukan PTUN;[18]
2.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang antara lain
secara eksplisit memasukkan pelanggaran terhadap Asas-Asas Umum Pemerintahan
yang Baik sebagai dasar gugatan.[19]
3.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang
menyempurnakan berbagai aspek, termasuk mengenai hukum acara dan pelaksanaan
putusan.[20]
Ketiga undang-undang ini secara kolektif sering disebut sebagai “UU PTUN”.
Kerangka hukum
tersebut diperkuat oleh legislasi pendukung yang krusial, yaitu Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Undang-undang ini tidak hanya mengkodifikasi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik, tetapi juga secara signifikan memperluas kewenangan PTUN untuk mengadili
permohonan penilaian unsur penyalahgunaan wewenang dan sengketa mengenai
tindakan faktual pemerintah.[21]
Di tingkat
peraturan pelaksana, terdapat berbagai peraturan yang bersifat teknis, di
antaranya:
1.
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya
pada Peradilan Tata Usaha Negara;[22]
2.
Berbagai Peraturan Mahkamah Agung
(Perma) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang memberikan petunjuk
pelaksanaan teknis yudisial, seperti Surat Edaran Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.[23]
Rangkaian
peraturan perundang-undangan ini menunjukkan adanya evolusi legislatif yang
progresif. Jika UU PTUN 1986 pada awalnya lebih berfokus pada pengujian
legalitas formal dari suatu keputusan (beschikking),
maka perubahan-perubahan selanjutnya, terutama dengan hadirnya UU Administrasi
Pemerintahan, telah menggeser fokus tersebut. Kini, pengujian oleh PTUN
mencakup aspek yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada keputusan tertulis,
tetapi juga menyangkut substansi kewenangan (bevoegdheid)
dan tindakan (handelingen) pemerintah secara
keseluruhan. Pergeseran ini didorong oleh kebutuhan untuk mengawasi penggunaan
diskresi pemerintah yang semakin luas dalam negara modern, sehingga hukum acara
PTUN terus beradaptasi untuk menjembatani celah perlindungan hukum bagi warga
negara.
Konsep Good Governance dalam Tata Usaha Negara
Konsep good
governance atau tata kelola pemerintahan yang baik merupakan paradigma
sentral dalam hukum administrasi modern. Hal ini merujuk pada penyelenggaraan
pemerintahan yang transparan, akuntabel, partisipatif, efektif, dan
berlandaskan supremasi hukum.[24]
Dalam konteks hukum acara PTUN, instrumen utama untuk menegakkan
prinsip-prinsip good governance adalah melalui pengujian
terhadap Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) atau yang dalam
terminologi Belanda dikenal sebagai algemene beginselen van behoorlijk
bestuur.[25] AUPB
berfungsi sebagai norma hukum tidak tertulis (dan kini sebagian telah
terkodifikasi) yang menjadi standar kepatutan dan kelayakan bagi pejabat publik
dalam menggunakan wewenangnya.
Perkembangan
signifikan terjadi dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 53 ayat (2) huruf b
undang-undang tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa salah satu
alasan yang dapat digunakan dalam gugatan adalah apabila “Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan
yang baik.”[26]
Formalisasi AUPB
sebagai dasar gugatan ini mengubah secara fundamental peran hakim PTUN. Sebelum
adanya ketentuan ini, pengujian hakim cenderung terbatas pada aspek legalitas
formal, yakni apakah suatu keputusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang tertulis (wetmatigheid). Dengan adanya AUPB sebagai dasar uji,
peran hakim meluas menjadi penafsir keadilan dan kepatutan substantif. Hakim
diberdayakan untuk membatalkan sebuah keputusan yang, meskipun secara formal
tidak melanggar aturan tertulis, namun secara materiil mengandung unsur
kesewenang-wenangan, ketidakcermatan, atau ketidakadilan.
Beberapa AUPB yang
fundamental telah dikodifikasi dalam peraturan perundang-undangan, antara lain
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Asas-asas tersebut meliputi,
namun tidak terbatas pada:
- Asas Kepastian Hukum (rechtszekerheid).
- Asas Kecermatan (zorgvuldigheid).
- Asas tidak menyalahgunakan kewenangan (détournement de pouvoir).
- Asas Keterbukaan.
- Asas Kepentingan Umum.
- Asas Proporsionalitas.
- Asas Profesionalitas.
- Asas Akuntabilitas.[27]
Dengan demikian,
peran PTUN bergeser dari sekadar penjaga legalitas formal menjadi penjaga etika
dan kualitas pemerintahan. Melalui putusan-putusannya yang menguji penerapan
AUPB, PTUN secara langsung mendorong aparatur negara untuk bertindak lebih
cermat, adil, dan transparan, yang pada akhirnya berkontribusi pada
perwujudan good governance.
Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara
Kewenangan suatu
badan peradilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan menjadi
kewenangan absolut dan kewenangan relatif.
Kewenangan Absolut (Competentie Absoluta)
Kewenangan absolut
berkaitan dengan jenis perkara atau objek sengketa yang dapat diadili oleh
suatu lingkungan peradilan. Kewenangan absolut PTUN secara prinsip diatur dalam
Pasal 1 Angka 10 UU PTUN, yang menyatakan bahwa sengketa tata
usaha negara adalah sengketa yang timbul sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Objek utama sengketa di PTUN adalah
KTUN, yang didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 9 UU PTUN
sebagai suatu penetapan tertulis yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1.
Penetapan Tertulis yaitu merujuk pada
isi, bukan bentuk formal. Sebuah memo atau nota dapat dianggap sebagai
penetapan tertulis jika isinya jelas.[28]
2.
Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yaitu pelaku tindakan adalah organ pemerintahan yang
menjalankan fungsi eksekutif.
3.
Berisi Tindakan Hukum Tata Usaha
Negara yaitu perbuatan hukum sepihak dalam ranah hukum publik.
4.
Bersifat Konkret, Individual, dan
Final:
- Konkret artinya objek yang diputuskan berwujud dan tertentu (misalnya,
IMB untuk bangunan di lokasi A).
- Individual artinya ditujukan kepada orang atau badan hukum perdata
tertentu yang namanya disebutkan, bukan untuk umum.
- Final artinya keputusan tersebut sudah definitif, tidak memerlukan
persetujuan dari instansi lain, dan telah menimbulkan akibat hukum.
5.
Menimbulkan Akibat Hukum yaitu menciptakan,
mengubah, atau menghapuskan suatu hubungan hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
Namun, tidak semua
KTUN dapat digugat di PTUN. Terdapat pengecualian yang diatur secara limitatif
dalam Pasal 2 dan Pasal 49 UU PTUN, di antaranya
adalah:
-
KTUN yang merupakan perbuatan hukum
perdata (misalnya, perjanjian jual-beli antara pemerintah dengan pihak swasta);
-
KTUN yang merupakan pengaturan yang
bersifat umum (regeling), seperti peraturan daerah atau peraturan Menteri;
-
KTUN yang masih memerlukan
persetujuan atasan;
-
KTUN yang dikeluarkan berdasarkan
KUHP atau KUHAP;
-
KTUN yang dikeluarkan dalam keadaan
darurat (perang, bencana alam) atau untuk kepentingan umum yang mendesak.[29]
Definisi KTUN yang
mensyaratkan sifat “konkret, individual, dan final” ini secara historis
menciptakan “wilayah abu-abu” hukum. Seringkali pemerintah melakukan tindakan
faktual (feitelijke handelingen) yang sangat merugikan warga, seperti
pembongkaran bangunan tanpa surat perintah resmi, namun karena tidak dituangkan
dalam bentuk KTUN formal, warga kesulitan mencari keadilan di PTUN.
Kekosongan hukum
inilah yang kemudian dijawab oleh perkembangan regulasi dan terutama oleh
lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, yang secara eksplisit memperluas kewenangan PTUN untuk
juga mengadili sengketa mengenai “Tindakan Administrasi Pemerintahan”, yang
menjembatani celah antara keputusan formal (beschikking) dan tindakan
faktual.
Kewenangan Relatif (Competentie Relativa)
Kewenangan relatif
berkaitan dengan wilayah hukum atau yurisdiksi teritorial suatu pengadilan. Prinsip
utama yang berlaku adalah asas actor sequitur forum rei, yang
berarti gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan tergugat.[30] Hal
ini diatur dalam Pasal 54 ayat (1) UU PTUN. Terdapat beberapa
variasi dan pengecualian dari asas ini, antara lain:
-
Apabila tergugat lebih dari satu dan
berkedudukan di daerah hukum yang berbeda, gugatan dapat diajukan ke pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu tergugat.
-
Dalam hal penggugat dan tergugat
berkedudukan di luar negeri, gugatan diajukan kepada PTUN Jakarta.
-
Dalam keadaan tertentu, gugatan dapat
diajukan kepada PTUN yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.[31]
Asas-Asas Fundamental dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Hukum acara PTUN
memiliki karakteristik unik yang dibentuk oleh asas-asas fundamental yang
membedakannya dari hukum acara perdata maupun pidana. Asas-asas ini dirancang
untuk menyeimbangkan hubungan yang secara inheren tidak setara antara warga
negara dan pemerintah.
1)
Asas Praduga Keabsahan (Presumptio
Iustae Causa atau Vermoeden van Rechtmatigheid)
Asas ini menyatakan bahwa setiap
keputusan atau tindakan pemerintah harus selalu dianggap sah menurut hukum (rechtmatig)
sampai ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan
sebaliknya. Implikasi praktis dari asas ini sangat signifikan: pengajuan
gugatan pada dasarnya tidak menunda atau menghalangi pelaksanaan KTUN yang
digugat, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (1) UU PTUN. Asas
ini bertujuan untuk menjamin kelancaran dan kepastian jalannya roda
pemerintahan;
2)
Asas Keaktifan Hakim (Dominus
Litis)
Berbeda dengan hakim perdata yang
cenderung pasif dan hanya memeriksa apa yang didalilkan para pihak, hakim PTUN
berperan aktif dalam proses persidangan.[32]
Hakim diberi wewenang untuk memimpin pemeriksaan, menentukan apa yang perlu
dibuktikan, dan bahkan dapat meminta penjelasan dari para pihak atau memanggil
saksi atas inisiatifnya sendiri. Tujuan asas ini adalah untuk mencari kebenaran
materiil dan mengimbangi posisi penggugat (warga negara) yang seringkali lebih
lemah dibandingkan tergugat (pemerintah) yang memiliki sumber daya dan akses
informasi yang lebih besar.[33]
3)
Asas Pembuktian Bebas
Hakim tidak terikat secara kaku pada
alat bukti dan hierarki pembuktian sebagaimana diatur dalam hukum acara
perdata. Pasal 107 UU PTUN memberikan keleluasaan kepada hakim
untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, siapa yang dibebani pembuktian,
serta bagaimana menilai kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan.
Asas ini sejalan dengan peran aktif hakim dalam mencari kebenaran materiil.
4)
Asas Putusan Berkekuatan
Mengikat Erga Omnes
Karena objek sengketa dalam PTUN
adalah produk hukum publik (KTUN), maka putusan pengadilan yang membatalkan
KTUN tersebut tidak hanya mengikat bagi para pihak yang bersengketa, tetapi
berlaku bagi semua orang (erga omnes).[34] Jika
sebuah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dibatalkan oleh PTUN, maka IMB tersebut
batal secara hukum bagi siapa pun.
Terdapat suatu
tegangan dialektis yang menarik antara asas-asas ini. Di satu sisi, Asas
Praduga Keabsahan memberikan “keuntungan” prosedural bagi pemerintah, karena
keputusannya tetap dapat dilaksanakan meskipun sedang digugat. Di sisi lain,
untuk menyeimbangkan keuntungan tersebut, hukum acara PTUN membekali hakim
dengan “senjata” berupa Asas Keaktifan Hakim dan Asas Pembuktian Bebas.
Melalui peran
aktifnya, hakim dapat “menembus” keuntungan prosedural yang dimiliki pemerintah
dengan memerintahkan badan atau pejabat TUN untuk membuktikan bahwa
keputusannya telah dibuat secara sah dan patut. Keseimbangan dinamis inilah
yang menjadi jantung dari hukum acara PTUN, di mana pencapaian keadilan
substantif sangat bergantung pada efektivitas hakim dalam menggunakan peran
aktifnya.
Kedudukan, Susunan, dan Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara
Secara
institusional, Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman yang berada di bawah Mahkamah Agung. Struktur peradilan ini
terdiri dari dua tingkatan, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai
pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN)
sebagai pengadilan tingkat banding. PTUN berkedudukan di ibukota kabupaten/kota
dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota tersebut, sedangkan PTTUN
berkedudukan di ibukota provinsi dengan yurisdiksi meliputi wilayah provinsi.[35]
Susunan organisasi
PTUN dan PTTUN pada umumnya terdiri dari:
-
Pimpinan, meliputi seorang Ketua dan
seorang Wakil Ketua.
-
Hakim Anggota merupakan pejabat yang
melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.
-
Kepaniteraan, dipimpin oleh seorang
Panitera, dibantu oleh Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti,
yang bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan membantu hakim dalam
persidangan.
-
Kesekretariatan, dipimpin oleh
seorang Sekretaris yang bertanggung jawab atas administrasi umum, kepegawaian,
dan keuangan pengadilan.[36]
Adapun wewenang
dari masing-masing tingkatan pengadilan adalah sebagai berikut:
-
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),
sebagaimana dengan ketentuan Pasal 50 UU PTUN, PTUN bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara pada
tingkat pertama;
-
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PTTUN), berdasarkan Pasal 51 UU PTUN, PTTUN memiliki beberapa
wewenang, yaitu:
1.
Memeriksa dan memutus sengketa tata
usaha negara di tingkat banding;
2.
Memeriksa dan memutus di tingkat
pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara PTUN-PTUN di dalam
daerah hukumnya;
3.
Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
di tingkat pertama sengketa tata usaha negara yang penyelesaiannya menurut
peraturan perundang-undangan harus melalui upaya administratif terlebih dahulu
(misalnya, banding administratif).
Jenis-Jenis Sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara
Ruang lingkup
sengketa yang ditangani oleh PTUN sangat luas, mencakup berbagai bidang di mana
terjadi interaksi antara pemerintah dan warga negara. Berdasarkan praktik
peradilan dan informasi yang tersedia, jenis-jenis sengketa yang paling umum
diajukan ke PTUN dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Sengketa Pertanahan
Ini merupakan salah satu jenis
sengketa yang paling dominan di PTUN. Objek gugatannya lazimnya adalah surat
keputusan yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau Kantor
Pertanahan, seperti gugatan pembatalan Sertipikat Hak Milik (SHM), Sertipikat
Hak Guna Bangunan (HGB), atau keputusan lain terkait administrasi pertanahan;
2.
Sengketa Kepegawaian
Sengketa ini menyangkut status
kepegawaian Aparatur Sipil Negara (ASN). Gugatan umumnya diajukan terhadap
Surat Keputusan (SK) pemberhentian, pemecatan tidak dengan hormat, mutasi,
demosi, atau penjatuhan sanksi disiplin lainnya yang dianggap tidak sesuai
prosedur atau sewenang-wenang;
3.
Sengketa Perizinan
Meliputi gugatan terhadap penerbitan,
penolakan, atau pencabutan berbagai jenis izin oleh pemerintah daerah maupun
pusat. Contohnya termasuk gugatan atas Izin Mendirikan Bangunan (IMB), izin
usaha, izin lingkungan (AMDAL), izin pertambangan, dan lain-lain;
4.
Sengketa Pengadaan Barang/Jasa
(Tender)
Peserta lelang atau tender proyek
pemerintah yang merasa dirugikan oleh keputusan panitia pengadaan, misalnya
karena penetapan pemenang yang dianggap tidak transparan atau tidak memenuhi
kualifikasi, dapat mengajukan gugatan ke PTUN;
5.
Sengketa Informasi Publik
Sengketa yang timbul dari pelaksanaan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik, di mana pemohon informasi menggugat badan publik yang menolak
memberikan informasi yang diminta;
6.
Sengketa Tindakan Administrasi
Pemerintahan
Sejak berlakunya UU Administrasi
Pemerintahan, PTUN juga berwenang mengadili gugatan terhadap tindakan faktual
pejabat pemerintahan yang merugikan, serta permohonan untuk menilai ada atau
tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang dalam suatu keputusan atau tindakan.
Dominasi sengketa
pertanahan dan kepegawaian dalam portofolio kasus PTUN bukanlah suatu
kebetulan. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua area tersebut merupakan titik
rawan utama dalam interaksi antara administrasi negara dan warga di Indonesia.
Sengketa
pertanahan seringkali berakar pada masalah administrasi yang belum tertib di
BPN, seperti tumpang tindih Sertipikat atau prosedur penerbitan yang cacat
hukum. Sementara itu, sengketa kepegawaian seringkali mencerminkan adanya
potensi subjektivitas dan kesewenang-wenangan dalam manajemen ASN.
Dengan demikian,
frekuensi tinggi sengketa di kedua bidang ini bukan hanya sekadar masalah hukum
acara, tetapi juga merupakan gejala dari persoalan tata kelola yang lebih
fundamental di sektor agraria dan birokrasi. Putusan-putusan PTUN di bidang ini
memiliki potensi strategis untuk menjadi pendorong reformasi kebijakan yang
lebih luas di kedua sektor krusial tersebut.
Penutup
Peradilan Tata
Usaha Negara merupakan manifestasi konkret dari prinsip negara hukum (rechtsstaat)
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia hadir sebagai mekanisme check
and balance yudisial yang esensial terhadap kekuasaan eksekutif yang
luas, memastikan bahwa setiap tindakan dan keputusan administrasi negara tetap
berada dalam koridor hukum dan kepatutan.
Melalui
kewenangannya untuk menguji Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, PTUN tidak hanya
berfungsi melindungi hak-hak warga negara dari potensi kesewenang-wenangan,
tetapi juga secara aktif mendorong terwujudnya sebuah pemerintahan yang bersih,
transparan, dan berwibawa.
Meskipun perannya
sangat strategis, PTUN masih dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama
terkait efektivitas pelaksanaan putusannya. Tidak jarang putusan PTUN yang
telah berkekuatan hukum tetap tidak dipatuhi oleh pejabat TUN yang
bersangkutan, sehingga mengurangi marwah dan kepastian hukum yang hendak
ditegakkannya. Selain itu, peningkatan kapasitas dan spesialisasi hakim di
bidang hukum administrasi yang kompleks juga menjadi agenda yang harus terus
diupayakan.
Namun demikian,
dengan adanya reformasi birokrasi yang berkelanjutan, peningkatan kesadaran
hukum masyarakat, serta penguatan kelembagaan yang terus dilakukan oleh
Mahkamah Agung, terdapat optimisme bahwa peran PTUN akan semakin kokoh. Ke
depan, PTUN diharapkan dapat terus beradaptasi dengan dinamika pemerintahan dan
kebutuhan masyarakat, sehingga semakin efektif dalam menjalankan fungsinya
sebagai garda terdepan penjaga supremasi hukum dan pilar penegak good
governance di Indonesia.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.
[1] Kasman
Siburian, Fernando Z. Tampubolon, dan Haposan Siallagan, Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara (Medan: Lembaga Pemberdayaan Media dan
Komunikasi, 2019), 1.
[2] Dian Aries
Mujiburohman, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Yogyakarta:
STPN Press, 2022), 16.
[3] Elidar
Sari dan Hadi Iskandar, Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, ed. Malahayati (Lhokseumawe: BieNa Edukasi, 2014), 2–3.
[4] Siburian,
Tampubolon, dan Siallagan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
6.
[5] Marshaal
NG, Sri Suatmiati, dan Angga Saputra, Hukum Acara Tata Usaha Negara
Indonesia, Edisi Revisi (Palembang: Tunas Gemilang Press, 2018), 2.
[6] Budi
Sastra Panjaitan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Medan:
CV. Manhaji, 2016), 16.
[7] Paulus
Effendi Lotulung, “Memahami Kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara di
Indonesia: Suatu Kajian Perbandingan,” Jurnal Hukum & Peradilan 3,
no. 2 (Juli 2014): 199–214.
[8] Helmi et
al., Buku Ajar Hukum Peradilan Tata Usaha Negara (Jambi: UNJA
Publisher, 2025), 1.
[9] Siburian,
Tampubolon, dan Siallagan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
2.
[10] NG,
Suatmiati, dan Saputra, Hukum Acara Tata Usaha Negara Indonesia,
31–33.
[11] Panjaitan, Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 2.
[12] Ibid.,
2-3.
[13] Ibid., 4.
[14] Ibid., 3.
[15] Ibid., 4.
[16] Siburian,
Tampubolon, dan Siallagan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
6.
[17] Ibid.,
7–8.
[18] NG,
Suatmiati, dan Saputra, Hukum Acara Tata Usaha Negara Indonesia, 4.
[19] Ibid.,
iv.
[20] Ibid.
[21] Helmi et
al., Buku Ajar Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, 7.
[22] Panjaitan, Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 105.
[23] Mujiburohman, Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 42.
[24] Siburian,
Tampubolon, dan Siallagan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
19.
[25] Panjaitan, Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara, 6.
[26] Mujiburohman, Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara, 46.
[27] Ibid., 47.
[28] NG, Suatmiati, dan Saputra, Hukum
Acara Tata Usaha Negara Indonesia, 51.
[29] Mujiburohman, Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara, 12.
[30] Panjaitan, Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara, 23.
[31] Mujiburohman, Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara, 11.
[32] Panjaitan, Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara, 10.
[33] Siburian, Tampubolon, dan
Siallagan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 11.
[34] Ibid., 12.
[35] Panjaitan, Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara, 15.


