layananhukum

Membedah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dari Gugatan hingga Putusan

 

Latar Belakang Yuridis-Filosofis

Sebagai sebuah negara hukum (rechtsstaat), sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya disebut “UUD NRI 1945”, Indonesia meletakkan hukum sebagai panglima tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Konsekuensi logis dari prinsip ini adalah bahwa setiap tindakan pemerintah (bestuurshandeling), baik dalam bentuk keputusan maupun tindakan faktual, harus senantiasa berlandaskan pada hukum yang berlaku, sebuah doktrin yang dikenal sebagai asas legalitas.

Dalam kerangka ini, pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) bukanlah sekadar pelengkap sistem peradilan, melainkan sebuah pilar esensial yang meneguhkan identitas Indonesia sebagai negara hukum modern. Kehadirannya merupakan manifestasi dari salah satu dari empat unsur fundamental negara hukum menurut F.J. Stahl, yakni adanya sebuah peradilan administrasi yang independen untuk menyediakan perlindungan hukum (rechtsbescherming) yang efektif bagi warga negara terhadap potensi tindakan sewenang-wenang dari organ pemerintah[1]

Tujuan pembentukan PTUN bersifat ganda dan saling melengkapi. Pada satu sisi, ia berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak subjektif individu yang mungkin dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Pada sisi lain, PTUN memainkan peran strategis dalam mengawasi jalannya roda pemerintahan, memastikan bahwa setiap tindakan aparatur negara selaras dengan peraturan perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), demi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance).

Fungsi esensial ini ditegaskan oleh adagium hukum universal, ubi jus ibi remedium, yang bermakna di mana ada hak yang dilanggar, di sana harus tersedia upaya pemulihannya. PTUN adalah wujud konkret dari remedium tersebut dalam ranah hukum administrasi.

Asas-Asas Fundamental Hukum Acara PTUN

Hukum Acara PTUN dibangun di atas fondasi beberapa asas fundamental yang membedakannya secara signifikan dari hukum acara perdata maupun pidana. Asas-asas ini membentuk karakteristik unik yang merefleksikan sifat hubungan yang tidak seimbang antara negara dan warga negara.

Pertama, Asas Praduga Sah Menurut Hukum (Praesumptio Iustae Causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap KTUN yang diterbitkan oleh badan atau pejabat pemerintah harus dianggap sah secara hukum sampai adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan sebaliknya.

Implikasi yuridis paling signifikan dari asas ini adalah bahwa pengajuan gugatan ke PTUN pada dasarnya tidak menunda atau menghalangi pelaksanaan KTUN yang disengketakan, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009, yang selanjutnya disebut dengan “UU PTUN”.

Kedua, Asas Keaktifan Hakim (Dominus Litis). Berbeda dengan hakim perdata yang cenderung pasif, hakim PTUN diberikan peran yang sangat aktif dalam memimpin jalannya persidangan. Keaktifan ini bertujuan untuk dua hal utama yaitu mencari kebenaran materiil (materiële waarheid) dan mengimbangi kedudukan para pihak yang secara inheren tidak setara. Di satu sisi adalah pejabat negara dengan segala sumber daya dan aparatur hukumnya, sementara di sisi lain adalah warga negara atau badan hukum perdata yang seringkali berada dalam posisi yang lebih lemah.

Ketiga, Asas Pembuktian Bebas Terbatas. Sebagai konsekuensi dari peran aktifnya, hakim PTUN memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, siapa yang harus dibebani pembuktian, serta bagaimana menilai kekuatan alat bukti yang diajukan. Namun, kebebasan ini tidak absolut, melainkan dibatasi secara limitatif oleh alat-alat bukti yang diakui dalam Pasal 100 UU PTUN.

Secara mendalam, Hukum Acara PTUN dibangun di atas sebuah dinamika yang tampak kontradiktif namun sejatinya sinergis. Di satu sisi, asas praesumptio iustae causa memberikan privilese kepada pemerintah dengan mengasumsikan legalitas setiap tindakannya, yang bertujuan untuk menjaga kelancaran roda pemerintahan agar tidak terhambat oleh setiap gugatan yang masuk. Ini adalah bentuk proteksi yuridis terhadap fungsi pelayanan publik. Namun, di sisi lain, asas keaktifan hakim (dominus litis) memberikan kewenangan yudisial yang luar biasa kuat untuk secara proaktif menguji dan membongkar asumsi tersebut. 

Kombinasi kedua asas ini menciptakan sebuah “ketegangan prosedural” yang unik, hukum acara dimulai dengan keberpihakan prosedural pada negara (keputusan tetap berjalan), namun pada saat yang sama memberikan hakim instrumen yang kuat untuk membatalkan keberpihakan tersebut apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya cacat hukum, baik dari segi wewenang, prosedur, maupun substansi. Ini bukanlah sekadar dua asas yang berdampingan, melainkan sebuah mekanisme checks and balances yang terintegrasi di dalam jantung proses peradilan itu sendiri.   

Arena Sengketa: Subjek, Objek, dan Demarkasi Kewenangan

Para Pihak dalam Sengketa (Subjek Sengketa)

Dalam setiap sengketa di PTUN, terdapat dua pihak yang saling berhadapan, yaitu Penggugat dan Tergugat, yang definisinya telah diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.

Penggugat adalah “orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara”. Definisi ini, yang termaktub dalam Pasal 53 ayat (1) UU PTUN, mengandung syarat esensial bagi seseorang untuk dapat mengajukan gugatan, yaitu adanya hak gugat atau locus standi. Syarat ini tidak terpenuhi hanya karena seseorang tidak setuju dengan suatu KTUN, melainkan harus ada “kepentingan yang dirugikan”.

Dalam praktik peradilan, kepentingan ini ditafsirkan harus bersifat langsung, pribadi, dan aktual (direct, personal, and actual interest). Artinya, KTUN tersebut harus secara nyata dan langsung menimbulkan akibat hukum yang merugikan hak subjektif dari Penggugat itu sendiri.

Tergugat adalah “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata”. Definisi ini tercantum dalam Pasal 1 Angka 12 UU PTUN. Frasa kunci dalam definisi ini adalah “melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 1 Angka 8 UU PTUN.   

Definisi “Tergugat” ini tidak terbatas pada organ pemerintah formal seperti kementerian, gubernur, atau bupati. Yurisdiksi PTUN meluas hingga mencakup badan hukum privat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberikan kewenangan untuk menjalankan sebagian fungsi pemerintahan.

Wewenang pemerintahan dapat diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi (pemberian langsung oleh undang-undang), delegasi (pelimpahan dari organ pemerintahan yang lebih tinggi), atau mandat (perintah pelaksanaan tugas)

Contoh konkretnya adalah universitas swasta. Penyelenggaraan pendidikan tinggi dan penerbitan ijazah yang diakui negara adalah sebuah fungsi publik. Universitas swasta dapat menjalankan fungsi ini karena menerima delegasi wewenang dari pemerintah (Kementerian Pendidikan) melalui izin operasional dan akreditasi. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan wewenang tersebut, rektor universitas swasta bertindak dalam kapasitas sebagai “Pejabat Tata Usaha Negara”.   

Dasar hukum utama dari penafsiran ini adalah yurisprudensi Mahkamah Agung. Dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 269 K/TUN/1996, Mahkamah Agung berpendapat bahwa Rektor Universitas Swasta dapat dikualifikasikan sebagai Pejabat TUN ketika ia melaksanakan fungsi di bidang akademik yang dasar pelimpahan wewenangnya berasal dari Izin Operasional atau Akreditasi. Persetujuan Menteri terhadap pengangkatan rektor dianggap sebagai bukti adanya delegasi wewenang dari pemerintah. Tren yurisprudensi ini terus berlanjut dalam putusan-putusan yang lebih baru, seperti Putusan MA Nomor 223 K/TUN/2019., tertanggal 17 Juni 2019 dan Putusan MA Nomor 325 K/TUN/2022, tertanggal 21 Juni 2022, yang mengadili sengketa melawan rektor universitas swasta.   

Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa terdapat pula yurisprudensi yang berpendapat sebaliknya, seperti Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 48 PK/TUN/2002, tertanggal 22 Juni 2004, yang menyatakan bahwa hubungan hukum internal di perguruan tinggi swasta bersifat keperdataan. Namun, tren yurisprudensi yang dominan saat ini mengakui kewenangan PTUN untuk mengadili keputusan rektor universitas swasta yang berkaitan dengan hak-hak fundamental mahasiswa atau dosen dalam pelaksanaan fungsi publik di bidang pendidikan.

Konsekuensinya, keputusan yang dikeluarkannya dalam rangka menjalankan fungsi publik tersebut dapat menjadi objek gugatan di PTUN. Hal ini menunjukkan bahwa yurisdiksi PTUN tidak terpaku pada “bentuk” kelembagaan negara, melainkan mengikuti “fungsi” pemerintahan yang dijalankan, di mana pun fungsi itu berada.   

Pokok Sengketa (Objek Sengketa): Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)

Objek utama yang dapat dipersengketakan di PTUN adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Pasal 1 Angka 9 UU PTUN merumuskan secara rinci unsur-unsur kumulatif yang harus dipenuhi agar suatu penetapan dapat dikategorikan sebagai KTUN, yaitu:

1.        Penetapan Tertulis

Syarat ini lebih merujuk pada isi dan kejelasan, bukan pada bentuk formalnya. Sebuah memo, nota dinas, atau bahkan surat elektronik dapat dianggap sebagai “penetapan tertulis” sepanjang isinya jelas mengenai badan/pejabat yang mengeluarkan, maksudnya, kepada siapa ditujukan, dan apa yang ditetapkan di dalamnya;

2.       Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN

Merujuk pada subjek Tergugat yang telah diuraikan sebelumnya.

3.      Berisi Tindakan Hukum Tata Usaha Negara

Tindakan tersebut harus bertujuan untuk menciptakan, mengubah, atau mencabut suatu hubungan hukum administrasi.

4.       Bersifat Konkret, Individual, dan Final

Ini adalah karakteristik krusial yang membedakan KTUN (beschikking) dari peraturan (regeling).

-         Konkret artinya objek yang diputuskan tidak abstrak, melainkan nyata dan dapat ditentukan (misalnya, izin mendirikan bangunan di lokasi tertentu);

-         Individual, artinya Keputusan tersebut ditujukan kepada orang atau badan hukum perdata tertentu yang namanya jelas disebutkan, bukan ditujukan untuk umum; dan

-         Final, artinya Keputusan tersebut bersifat definitif, secara langsung menimbulkan akibat hukum, dan tidak lagi memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain untuk dapat berlaku.

Namun, tidak semua KTUN dapat digugat di PTUN. Pasal 2 dan Pasal 49 UU PTUN mengatur beberapa pengecualian, di antaranya adalah KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata (misalnya, surat perjanjian sewa-menyewa aset negara), KTUN yang merupakan pengaturan bersifat umum (regeling), serta KTUN yang dikeluarkan dalam keadaan darurat seperti perang atau bencana alam yang membahayakan kepentingan umum.

Selain KTUN yang bersifat positif (berupa penetapan tertulis), Hukum Acara PTUN juga mengakui adanya KTUN Fiktif-Negatif. Konsep ini diatur dalam Pasal 3 UU PTUN, yang menyatakan bahwa apabila suatu badan atau pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan atas suatu permohonan padahal hal itu menjadi kewajibannya, maka sikap diam tersebut disamakan dengan keputusan penolakan. Jika peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu, maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak permohonan diterima, pejabat tersebut dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan yang dapat digugat di PTUN.

Demarkasi Yuridiksi: Membedakan Sengketa TUN dan Sengketa Perdata

Salah satu isu paling fundamental dalam praktik peradilan adalah menentukan batas kewenangan (demarkasi yurisdiksi) antara PTUN dan Peradilan Umum, khususnya dalam sengketa yang bersinggungan antara hukum publik dan hukum perdata. Secara teoretis, terdapat dua pendekatan utama untuk membedakan kompetensi absolut kedua lingkungan peradilan ini.

1.        Teori Fundamentum Petendi (dasar tuntutan)

Teori ini berfokus pada norma hukum yang menjadi dasar gugatan. Apabila Penggugat mendalilkan adanya pelanggaran terhadap norma hukum publik (misalnya, prosedur penerbitan izin yang salah), maka sengketa tersebut menjadi kewenangan PTUN.

2.       Teori Objectum Litis (objek sengketa)

Teori ini menitikberatkan pada hak atau kepentingan yang dirugikan. Apabila yang dipersoalkan adalah pelanggaran terhadap hak keperdataan (misalnya, hak milik atas tanah), maka sengketa tersebut menjadi kewenangan Peradilan Umum.

Meskipun secara teoretis kedua pendekatan ini tampak berbeda, praktik peradilan di Indonesia, yang dikristalisasi dalam Rumusan Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung, menunjukkan adanya sebuah konvergensi yang pragmatis. Pengadilan tidak secara kaku memilih salah satu teori, melainkan menerapkan uji “isu hukum utama” atau sengketa pra-yudisial (prejudicieel geschil). Pendekatan ini menanyakan: “Apa pertanyaan hukum fundamental yang harus dijawab terlebih dahulu untuk menyelesaikan sengketa ini?”. 

Sebagai contoh, dalam sengketa sertifikat tanah, jika pertanyaan utamanya adalah “Siapakah pemilik sah atas tanah ini?”, maka ini adalah sengketa kepemilikan yang merupakan ranah hukum perdata, sehingga menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum. Pengujian keabsahan sertipikat oleh PTUN baru dapat dilakukan setelah adanya putusan perdata yang berkekuatan hukum tetap mengenai status kepemilikan.

Sebaliknya, jika pertanyaan utamanya adalah “Apakah prosedur penerbitan sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional telah sesuai dengan peraturan yang berlaku?”, maka ini adalah sengketa mengenai tindakan administrasi yang menjadi kompetensi absolut PTUN. Pendekatan hibrida ini menunjukkan bahwa yurisprudensi telah menciptakan sebuah model fungsional yang lebih efektif untuk demarkasi yurisdiksi, dengan fokus pada penyelesaian isu hukum pokok terlebih dahulu.

Prosedur Pra-Persidangan: Upaya Administratif dan Pemeriksaan Awal di Pengadilan

Sebelum suatu gugatan diperiksa dalam persidangan pokok perkara di PTUN, terdapat dua tahapan krusial yang berfungsi sebagai filter, yaitu upaya administratif dan pemeriksaan pendahuluan di pengadilan.

Upaya Administratif: Filter Pertama Penyelesaian Sengketa

Pasal 48 UU PTUN menegaskan bahwa apabila peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar suatu KTUN menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa secara administratif, maka mekanisme tersebut wajib ditempuh terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan. Upaya administratif ini merupakan syarat formil gugatan, yang jika tidak dipenuhi akan menyebabkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. Terdapat dua bentuk utama upaya administratif:

1.        Keberatan (Bezwaar)

Diajukan langsung kepada badan atau pejabat TUN yang menerbitkan KTUN yang disengketakan. Mekanisme ini memberikan kesempatan bagi pejabat tersebut untuk melakukan koreksi internal (reformatio in peius atau reformatio in melius) atas keputusannya sendiri. 

2.       Banding Administratif (Administratief Beroep)

Diajukan kepada instansi atasan dari pejabat yang menerbitkan KTUN atau kepada instansi lain yang secara spesifik ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan untuk memeriksa ulang keputusan tersebut. 

Pilihan jalur upaya administratif ini memiliki konsekuensi yuridis yang penting terhadap kompetensi pengadilan yang akan mengadili sengketa tersebut. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, gugatan yang diajukan setelah menempuh upaya keberatan diperiksa oleh PTUN sebagai pengadilan tingkat pertama. Sebaliknya, gugatan yang diajukan setelah menempuh upaya banding administratif diperiksa oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir di tingkat judex facti.  

Prosedur Dismissal (Rapat Permusyawaratan): Gerbang Awal Pengadilan

Setelah gugatan didaftarkan, ia tidak serta-merta langsung masuk ke tahap persidangan. Terlebih dahulu, gugatan akan melalui proses penyaringan (screening) oleh Ketua PTUN yang disebut prosedur dismissal atau rapat permusyawaratan, sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UU PTUN. Dalam tahap ini, Ketua Pengadilan berwenang untuk memutuskan dengan suatu penetapan bahwa gugatan dinyatakan “tidak diterima atau tidak berdasar” apabila memenuhi salah satu dari lima alasan berikut:

1.        Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang absolut PTUN;

2.       Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh Penggugat, meskipun telah diberitahu dan diperingatkan;

3.      Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;

4.       Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh KTUN yang digugat;

5.       Gugatan diajukan sebelum waktunya (prematur) atau telah lewat waktunya (kedaluwarsa).

Penetapan dismissal ini diucapkan tanpa melalui persidangan terbuka dan bersifat final di tingkat PTUN. Namun, Penggugat yang tidak menerima penetapan tersebut dapat mengajukan upaya hukum perlawanan (verzet) kepada pengadilan yang sama. Perlawanan ini akan diperiksa dan diputus oleh majelis hakim dengan acara singkat

Pemeriksaan Persiapan: Peran Aktif Hakim dalam Menyempurnakan Gugatan

Apabila gugatan lolos dari prosedur dismissal, maka akan dilanjutkan ke tahap pemeriksaan persiapan sebagaimana diatur dalam Pasal 63 UU PTUN. Tahap ini merupakan implementasi paling nyata dari asas keaktifan hakim (dominus litis). Pemeriksaan persiapan bukan sekadar formalitas teknis, melainkan sebuah instrumen fundamental untuk mewujudkan keadilan prosedural. Tahap ini secara sadar dirancang oleh pembentuk undang-undang untuk membantu Penggugat, yang seringkali memiliki keterbatasan sumber daya dan pemahaman hukum, dalam menghadapi Tergugat sebagai representasi aparatur negara.   

Dalam tahap ini, hakim memiliki dua fungsi utama:

1.        Wajib memberi nasihat kepada Penggugat

Hakim secara proaktif memberikan petunjuk untuk memperbaiki dan melengkapi surat gugatan yang dinilai kurang jelas atau kurang lengkap. Penggugat diberi waktu 30 hari untuk menyempurnakan gugatannya berdasarkan nasihat tersebut.

2.       Dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat TUN

Untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai sengketa, hakim dapat meminta klarifikasi atau data tambahan dari pihak Tergugat, bahkan sebelum Tergugat menyusun jawabannya.

Peran hakim yang “wajib memberi nasihat” menunjukkan bahwa legislator secara sengaja menciptakan sebuah mekanisme di mana hakim tidak lagi menjadi wasit yang netral-pasif, melainkan menjadi fasilitator aktif untuk memastikan gugatan dari pihak yang lebih lemah dapat diperiksa secara layak. Ini dapat dipandang sebagai bentuk “diskriminasi positif” prosedural yang dilembagakan untuk mencapai kesetaraan substansial antarpihak (equality of arms) dalam persidangan.   

Gugatan: Instrumen Utama Pencari Keadilan Administratif

Definisi dan Anatomi Gugatan: Syarat Formil dan Materiil

Gugatan merupakan instrumen hukum utama bagi warga negara untuk menuntut keadilan atas tindakan administrasi negara. Menurut Pasal 1 Angka 11 UU PTUN, gugatan adalah “permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan”. Agar dapat diterima dan diperiksa oleh pengadilan, sebuah gugatan harus memenuhi serangkaian syarat, baik formil maupun materiil.   

Syarat Formil diatur dalam Pasal 56 UU PTUN, yang meliputi:

1.        Identitas para pihak yang jelas, mencakup nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan Penggugat (atau kuasanya), serta nama, jabatan, dan tempat kedudukan Tergugat.

2.       Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan (petitum).

3.      Apabila diwakili oleh kuasa hukum, gugatan harus disertai dengan surat kuasa khusus yang sah.

Ketidakpatuhan terhadap syarat formil ini dapat berakibat pada ditolaknya gugatan dalam prosedur dismissal atau dinyatakan tidak dapat diterima (niet-ontvankelijke verklaard) oleh majelis hakim.

Syarat Materiil berkaitan dengan isi dari dasar gugatan (posita atau fundamentum petendi). Posita harus menguraikan secara sistematis dan jelas mengenai duduk perkara (fakta-fakta hukum) dan alasan-alasan hukum yang menjadi landasan tuntutan. Posita inilah yang akan diuji dan dibuktikan dalam persidangan.

Dasar dan Alasan Mengajukan Gugatan (vide Pasal 53 ayat (2) UU PTUN)

Pasal 53 ayat (2) UU PTUN secara limitatif menetapkan dua alasan hukum yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan pembatalan KTUN.

1.        KTUN yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Alasan ini mencakup tiga jenis pelanggaran:

-         Pelanggaran Prosedural/Formal, yang mana KTUN diterbitkan tanpa mengikuti tata cara yang diatur dalam peraturan (misalnya, tidak ada konsultasi publik yang diwajibkan);

-         Pelanggaran Substansial/Materiil, yang mana Isi atau substansi KTUN bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi; dan

-         Pelanggaran Wewenang, yang mana KTUN diterbitkan oleh pejabat yang tidak berwenang (onbevoegdheid) atau menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari yang seharusnya (détournement de pouvoir).

2.       KTUN yang digugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)

Sejak perubahan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004, pelanggaran terhadap AUPB telah diakui sebagai dasar gugatan yang mandiri, tidak lagi hanya sebagai pelengkap dari alasan pertama. AUPB merupakan norma hukum tidak tertulis yang hidup dalam praktik administrasi negara, seperti asas kepastian hukum, asas kecermatan, asas tidak sewenang-wenang (willekeur), asas keadilan dan kewajaran, serta asas menanggapi pengharapan yang wajar.   

Tenggat Waktu Pengajuan Gugatan (Pasal 55 UU PTUN)

Hukum Acara PTUN menetapkan batas waktu pengajuan gugatan yang sangat ketat dan bersifat absolut. Pasal 55 UU PTUN menyatakan bahwa gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 hari. Melebihi batas waktu ini akan mengakibatkan gugatan menjadi kedaluwarsa dan tidak dapat diterima. Titik awal (stadium awal) perhitungan 90 hari ini bervariasi tergantung pada posisi Penggugat dan sifat KTUN:

-        Bagi pihak yang namanya tercantum dalam KTUN

Tenggang waktu dihitung sejak tanggal diterimanya KTUN oleh yang bersangkutan.   

-        Bagi pihak ketiga yang berkepentingan

Berdasarkan yurisprudensi dan SEMA Nomor 2 Tahun 1991, tenggang waktu dihitung sejak saat pihak ketiga tersebut secara faktual mengetahui adanya KTUN yang merugikan kepentingannya.   

-        Untuk KTUN Fiktif-Negatif

Tenggang waktu 90 hari dihitung setelah berakhirnya batas waktu bagi pejabat untuk memberikan keputusan (sebagaimana diatur dalam peraturan spesifik atau 4 bulan jika tidak diatur).   

Tuntutan (Petitum) dalam Gugatan

Petitum atau tuntutan dalam gugatan PTUN terdiri dari tuntutan pokok dan dapat disertai dengan tuntutan tambahan.

-        Tuntutan Pokok

Sebagaimana ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU PTUN, tuntutan pokok adalah agar KTUN yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah.   

-        Tuntutan Tambahan

Apabila gugatan dikabulkan, pengadilan dapat menetapkan kewajiban-kewajiban bagi Tergugat sebagaimana diatur dalam Pasal 97 ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) UU PTUN, yang meliputi:

1.        Pencabutan KTUN

Kewajiban bagi Tergugat untuk mencabut KTUN yang telah dinyatakan batal.

2.       Penerbitan KTUN Baru

Kewajiban bagi Tergugat untuk menerbitkan KTUN baru yang sesuai dengan hukum (misalnya, menerbitkan izin yang sebelumnya ditolak secara tidak sah).

3.       Ganti Rugi

Pembayaran sejumlah uang atas kerugian materiil yang nyata-nyata diderita oleh Penggugat akibat KTUN yang batal tersebut.

4.       Rehabilitasi

Khusus dalam sengketa kepegawaian, rehabilitasi berarti pemulihan hak Penggugat dalam kedudukan, harkat, dan martabatnya seperti semula sebelum adanya KTUN pemberhentian. Sebagai contoh, dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 178/G/2025/PTUN.JKT, tertanggal 15 Oktober 2025, seorang pegawai yang menggugat surat keputusan pemberhentiannya dapat menuntut agar dipulihkan kembali ke dalam jabatannya semula.   

Dinamika Gugatan: Pencabutan dan Perubahan

Hukum Acara PTUN memberikan fleksibilitas terbatas bagi Penggugat untuk melakukan pencabutan atau perubahan gugatan selama proses pemeriksaan.

-        Pencabutan Gugatan

Berdasarkan Pasal 76 UU PTUN, Penggugat dapat mencabut gugatannya setiap saat sebelum Tergugat memberikan jawaban. Apabila Tergugat telah menyampaikan jawabannya, pencabutan gugatan hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari Tergugat.

-        Perubahan Gugatan

Pasal 75 UU PTUN memperbolehkan Penggugat untuk mengubah alasan-alasan yang menjadi dasar gugatannya hingga tahap replik (jawaban atas jawaban Tergugat), dengan syarat perubahan tersebut tidak mengubah atau menambah pokok tuntutan (petitum).   

Proses Beracara di Persidangan: Dari Jawaban hingga Keterlibatan Pihak Ketiga

Jawaban Tergugat dan Eksepsi

Setelah gugatan dibacakan di persidangan, Tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan jawaban. Jawaban ini dapat berisi bantahan terhadap pokok perkara dan/atau eksepsi. Eksepsi (exceptie) adalah tangkisan atau keberatan formal dari Tergugat yang tidak langsung menyentuh pokok sengketa, melainkan mempersoalkan keabsahan formal dari gugatan itu sendiri. Pasal 77 UU PTUN membedakan beberapa jenis eksepsi:

1.        Eksepsi Kompetensi Absolut

Keberatan yang menyatakan bahwa PTUN tidak berwenang mengadili sengketa tersebut karena materi sengketanya masuk dalam yurisdiksi peradilan lain (misalnya, Peradilan Umum). Eksepsi ini dapat diajukan kapan saja selama pemeriksaan berlangsung, dan hakim wajib mempertimbangkannya secara ex officio (karena jabatannya).

2.       Eksepsi Kompetensi Relatif

Keberatan mengenai kewenangan mengadili berdasarkan wilayah hukum pengadilan (misalnya, gugatan seharusnya diajukan ke PTUN Jakarta, bukan PTUN Bandung). Eksepsi ini harus diajukan pada kesempatan pertama, yaitu sebelum Tergugat menyampaikan jawaban atas pokok perkara.

3.      Eksepsi Lainnya

Mencakup berbagai keberatan lain seperti gugatan yang dianggap kabur (obscuur libel), gugatan kurang pihak (plurium litis consortium), atau gugatan kedaluwarsa. Eksepsi jenis ini akan diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara.

Keterlibatan Pihak Ketiga (Intervensi)

Pasal 83 UU PTUN membuka kemungkinan bagi pihak ketiga yang memiliki kepentingan dalam sengketa yang sedang berjalan untuk masuk ke dalam proses persidangan.bKeterlibatan ini, yang dikenal sebagai intervensi, dapat terjadi atas prakarsa pihak ketiga itu sendiri, atas permintaan salah satu pihak, atau atas prakarsa hakim. Terdapat dua bentuk intervensi:

1.        Intervensi Mandiri (Tussenkomst)

Pihak ketiga masuk ke dalam sengketa untuk membela hak dan kepentingannya sendiri, dengan melawan baik Penggugat maupun Tergugat. Pihak ini akan berkedudukan sebagai “Penggugat Intervensi”.

2.       Intervensi Bergabung (Voeging)

Pihak ketiga masuk ke dalam sengketa untuk mendukung dan bergabung dengan salah satu pihak yang telah berperkara, baik di sisi Penggugat maupun Tergugat. Pihak ini akan berkedudukan sebagai “Penggugat II Intervensi” atau “Tergugat II Intervensi”.

Permohonan intervensi akan diputus oleh majelis hakim melalui sebuah putusan sela.

Peran Kuasa Hukum di PTUN

Pasal 57 UU PTUN mengatur bahwa para pihak yang bersengketa dapat didampingi atau diwakili oleh seorang atau beberapa orang kuasa. Penggunaan jasa kuasa hukum (advokat) dalam beracara di PTUN bersifat fakultatif atau tidak wajib. Pemberian kuasa dapat dilakukan melalui surat kuasa khusus yang dilekatkan pada berkas gugatan atau diberikan secara lisan di hadapan majelis hakim dalam persidangan. Selain advokat, pemerintah sebagai pihak Tergugat juga dapat diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara sesuai dengan kewenangannya di bidang perdata dan tata usaha negara. 

Penutup: Refleksi dan Proyeksi Hukum Acara PTUN

Rangkaian proses beracara di Peradilan Tata Usaha Negara, mulai dari upaya administratif hingga putusan pengadilan, membentuk sebuah sistem yudisial yang dirancang secara spesifik untuk mengadili sengketa antara warga negara dengan pemerintah. Sistem ini, dengan segala karakteristik uniknya seperti asas keaktifan hakim dan prosedur pemeriksaan pendahuluan, menegaskan peran ganda PTUN yaitu sebagai benteng perlindungan hukum bagi hak-hak warga negara dari tindakan administrasi yang merugikan, sekaligus sebagai instrumen pengawasan yudisial yang esensial untuk mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih, transparan, dan berwibawa.

Meskipun kerangka hukum acara yang ada telah komprehensif, praktik peradilan masih menghadapi tantangan-tantangan kontemporer yang menuntut pengembangan lebih lanjut. Salah satu isu krusial adalah efektivitas eksekusi putusan PTUN, di mana seringkali pejabat yang kalah dalam sengketa enggan atau lalai melaksanakan amar putusan, sehingga mengurangi marwah dan kepastian hukum yang hendak ditegakkan. 

Selain itu, dengan diundangkannya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, terdapat dorongan untuk memperluas objek sengketa TUN agar tidak hanya mencakup keputusan tertulis (beschikking), tetapi juga tindakan faktual pemerintah (feitelijke handelingen) yang merugikan warga negara. Dinamika Hukum Acara PTUN akan terus berevolusi seiring dengan meningkatnya kompleksitas tindakan administrasi negara dan tumbuhnya kesadaran hukum masyarakat dalam menuntut hak-haknya di hadapan penguasa.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.


[1] Dian Aries Mujiburohman, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Yogyakarta: STPN Press, 2022), 12.