layananhukum

Harnovia Fitriani: Menelusuri Jejak Keadilan di Persimpangan Tiga Putusan dan Gema Dissenting Opinion yang Mengguncang

 

Tragedi di Sungai Bakau dan Gema Pencarian Keadilan

Pada hari Selasa, 18 Desember 2012, di pedesaan Desa Sungai Bakau Besar Laut, Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, seorang siswi kelas 1 SMKN 1 Mempawah bernama Harnovia Fitriani (15) lenyap tanpa jejak setelah pulang dari sekolahnya. 

Kabar hilangnya Harnovia memicu kecemasan mendalam. Pencarian tersebut mencapai klimaks yang tragis dua hari kemudian, pada 20 Desember 2012, ketika jasadnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah rawa di belakang pabrik pengolahan minyak kelapa setempat. Kondisi jenazah yang telah membengkak dan masih mengenakan seragam olahraga sekolahnya menjadi pemandangan pilu yang menggoreskan luka mendalam, sekaligus menjadi bukti bisu atas kebrutalan tindak pidana yang telah terjadi.   

Tragedi ini tidak berhenti pada penemuan jasad. Peristiwa ini membuka babak baru dalam sejarah peradilan pidana di Kalimantan Barat, yang berpusat pada dua nama yaitu Heri bin Zakaria dan Pardan bin Saman. Keduanya adalah karyawan pabrik minyak kelapa, tetangga, dan orang yang dikenal oleh korban dan keluarganya. Namun, nasib menempatkan mereka sebagai Terdakwa utama dalam kasus yang mengguncang ini.

Sejak awal proses hukum hingga setelah mereka menyelesaikan masa hukuman dan menghirup udara bebas, keduanya secara konsisten dan teguh menyangkal segala tuduhan yang dialamatkan kepada mereka. Penyangkalan ini, yang berhadapan dengan keyakinan aparat penegak hukum dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, melahirkan sebuah diskursus publik yang tidak pernah benar-benar padam.   

Artikel ini tidak bertujuan untuk sekadar menarasikan ulang sebuah catatan kriminal. Lebih dari itu, tulisan kami kali ini merupakan sebuah upaya bedah yuridis mendalam terhadap sebuah studi kasus yang krusial mengenai potensi terjadinya peradilan sesat (miscarriage of justice). Kasus Harnovia Fitriani adalah sebuah arena pertarungan antara dua kutub fundamental dalam filsafat hukum pidana yaitu pencarian kebenaran materiil (materiële waarheid), yakni kebenaran substantif mengenai siapa pelaku sesungguhnya, yang berbenturan keras dengan formalitas pembuktian sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana. Perjalanan kasus ini melintasi tiga tingkatan peradilan (Pengadilan Negeri Mempawah, Pengadilan Tinggi Pontianak, hingga Mahkamah Agung) tidak hanya menampilkan perbedaan interpretasi atas fakta, tetapi juga memuncak pada sebuah dissenting opinion (pendapat berbeda) di tingkat kasasi yang secara fundamental menggugat keabsahan seluruh proses peradilan sejak awal.

Dengan demikian, kasus ini bertransformasi dari sebuah tragedi lokal menjadi sebuah preseden intelektual yang memaksa kita untuk merefleksikan kembali makna keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

Lensa Media, Spekulasi Publik, dan Tekanan Penegakan Hukum

Rentang waktu antara penemuan jasad Harnovia pada Desember 2012 hingga penetapan tersangka pada Juli 2013 merupakan periode krusial yang diwarnai oleh kekosongan informasi dari aparat penegak hukum. Kekosongan ini dengan cepat diisi oleh spekulasi publik yang meluas dan pemberitaan media yang intensif, yang pada gilirannya menciptakan tekanan sosial yang sangat besar terhadap institusi kepolisian.

Media lokal menyoroti tidak hanya kebrutalan tindak pidana yang menimpa Harnovia, tetapi juga lambatnya proses penyelidikan yang dilakukan oleh Polres Mempawah (saat itu masih bernama Polres Pontianak), yang dirasakan oleh keluarga korban dan masyarakat sebagai sebuah kelalaian.

Ketidakpuasan publik ini tidak hanya terbatas pada ruang diskusi informal atau pemberitaan media. Hal tersebut termanifestasi dalam bentuk aksi kolektif yang terorganisir. Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Kalimantan Barat menggelar aksi unjuk rasa di halaman Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Kalbar, mendesak agar penanganan kasus tersebut diambil alih dari tingkat polres ke polda.

Aksi ini menjadi simbol eskalasi frustrasi dan ketidakpercayaan publik terhadap kemampuan aparat penegak hukum di tingkat lokal untuk mengungkap kasus yang kompleks dan sensitif ini. Di sisi lain, keputusasaan keluarga dan masyarakat juga tercermin dari upaya-upaya non-konvensional, termasuk meminta bantuan “orang pintar” atau dukun untuk melacak keberadaan korban, sebuah detail yang menunjukkan betapa dalamnya krisis dan kebutuhan akan jawaban pada saat itu.

Setelah kurang lebih tujuh bulan penyelidikan yang berjalan lambat, Kepolisian akhirnya menetapkan Heri bin Zakaria dan Pardan bin Saman sebagai tersangka pada Juli 2013. Penetapan ini menjadi titik balik yang disambut dengan kelegaan oleh sebagian kalangan, namun sekaligus menaburkan benih keraguan yang lebih dalam bagi kalangan lain.

Pernyataan Kapolres Pontianak saat itu, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Hadi Poerwanto, menjadi sangat penting untuk dianalisis secara kritis. Dalam konferensi persnya, beliau menyatakan,

“Ini juga belum final keseluruhan. Namun, untuk yang dua orang ini kami akan berkoordinasi dengan kejaksaan untuk penetapan hukumnya. Kami juga masih terus mengembangkan kasus ini sebab kuat dugaan masih ada pelaku lainnya yang akan diungkap”.   

Pernyataan ini, dari perspektif yuridis dan sosiologis, sangat problematis. Di satu sisi, ia berhasil meredam tekanan publik dengan menunjukkan adanya kemajuan signifikan dalam bentuk penetapan tersangka. Namun, di sisi lain, frasa “belum final keseluruhan” dan “kuat dugaan masih ada pelaku lainnya” secara tidak langsung melemahkan fondasi keyakinan terhadap keterlibatan absolut kedua tersangka yang baru saja diumumkan.

Apabila alat bukti yang dimiliki penyidik sudah cukup kuat untuk menetapkan Heri dan Pardan sebagai tersangka (yang menurut hukum acara pidana mensyaratkan minimal dua alat bukti yang sah), mengapa masih ada “dugaan kuat” mengenai pelaku lain?

Pernyataan ini membuka ruang interpretasi bahwa penangkapan keduanya mungkin merupakan langkah awal untuk memecah kebuntuan penyelidikan, bukan sebuah kesimpulan akhir yang didasarkan pada bukti yang tak terbantahkan. Ambiguitas inilah yang menjadi amunisi awal bagi narasi tandingan yang meyakini bahwa Heri dan Pardan hanyalah “kambing hitam” (zondebok) untuk memenuhi ekspektasi publik akan adanya penyelesaian kasus.

Panggung Peradilan - Dakwaan Berlapis, Fakta Persidangan, dan Tuntutan Jaksa

Babak selanjutnya dari drama hukum ini berpindah ke panggung peradilan. Perkara pidana atas nama Terdakwa Heri bin Zakaria dan Pardan bin Saman didaftarkan di Pengadilan Negeri Mempawah pada hari Senin, 9 Desember 2013, dengan nomor register perkara 300/PID.B/2013/PN.MPW. Proses persidangan yang dijalani tidaklah singkat dan sederhana; tercatat sebanyak 26 kali sidang digelar, sebuah indikasi kuat mengenai alotnya proses pembuktian dan perdebatan hukum yang terjadi di antara Penuntut Umum, Penasihat Hukum, dan Majelis Hakim.

Untuk menjerat para Terdakwa, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Mempawah menyusun surat dakwaan dalam bentuk alternatif. Konstruksi dakwaan berlapis ini merupakan strategi penuntutan yang lazim digunakan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan fakta yang terungkap di persidangan, memastikan agar setidaknya salah satu lapisan dakwaan dapat terbukti. Analisis terhadap ketiga dakwaan alternatif tersebut adalah sebagai berikut:

1.        Dakwaan Pertama (Primair)

Para Terdakwa didakwa melanggar Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut “KUHP”) tentang Pembunuhan, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang Penyertaan (deelneming). Dakwaan ini menempatkan perbuatan para Terdakwa dalam kualifikasi “dengan sengaja merampas nyawa orang lain”, yang mensyaratkan adanya unsur kesengajaan (opzet) untuk membunuh. Ini adalah dakwaan yang paling serius dengan ancaman pidana penjara paling lama lima belas tahun;

2.       Dakwaan Kedua (Subsidair)

Apabila dakwaan pertama tidak terbukti, JPU mengajukan dakwaan alternatif yang lebih ringan, yaitu pelanggaran terhadap Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Perbedaan fundamental antara pasal ini dengan Pasal 338 KUHP terletak pada unsur kesengajaan. Dalam dakwaan ini, yang perlu dibuktikan adalah kesengajaan untuk menganiaya, bukan kesengajaan untuk membunuh, di mana kematian korban merupakan akibat yang tidak dikehendaki (gevolg) dari perbuatan penganiayaan tersebut;

3.      Dakwaan Ketiga (Lebih Subsidair)

Sebagai lapisan terakhir, para Terdakwa didakwa melanggar Pasal 332 KUHP tentang Melarikan Perempuan dengan Kekerasan, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dakwaan ini berfokus pada perbuatan awal, yaitu membawa pergi korban secara paksa, dan tidak secara langsung mempersoalkan akibat kematiannya.

Di tengah persidangan yang panjang, terungkap serangkaian fakta dan alat bukti yang saling bertentangan, yang kelak menjadi inti perdebatan hingga tingkat kasasi. Fakta-fakta kunci tersebut antara lain:

a)      Keterangan Saksi Kunci

Keterangan dari saksi Karnaen alias Prak, yang diklaim sebagai satu-satunya saksi mata (eyewitness) yang melihat langsung peristiwa penculikan korban oleh para Terdakwa. Kesaksiannya menjadi salah satu pilar utama pembuktian Penuntut Umum;

b)      Keterangan Ahli

Dihadirkan dua keterangan ahli yang krusial. Pertama, ahli forensik dr. Edi Syahputra Hasibuan, Sp.F., yang melalui Visum et Repertum Nomor: R/762/VeR/XII/2012/Dokkes menyimpulkan bahwa sebab kematian korban adalah kekerasan tumpul di puncak kepala yang mengakibatkan pendarahan otak dan pembekapan yang mengakibatkan mati lemas. Kedua, keterangan ahli Informasi dan Teknologi (IT), Albert Dedi, S.IK., yang menganalisis data Base Transceiver Station (BTS) untuk melacak pergerakan sinyal telepon seluler milik para Terdakwa dan korban pada hari kejadian;

c)      Keterangan Saksi Meringankan (A de Charge)

Pihak Penasihat Hukum menghadirkan sejumlah saksi yang memberikan alibi kuat bagi para Terdakwa, menyatakan bahwa pada waktu-waktu krusial di sekitar jam kejadian, para Terdakwa berada di tempat lain, termasuk di rumah dan di tempat kerja.   

Setelah melalui proses pembuktian yang kompleks, JPU menyampaikan surat tuntutan pidana (requisitoir) pada tanggal 14 April 2014. Dalam tuntutannya, JPU berkesimpulan bahwa dakwaan pertama, yaitu Pasal 338 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Oleh karena itu, JPU menuntut agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mempawah menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa I Heri bin Zakaria dan Terdakwa II Pardan bin Saman masing-masing selama 13 (tiga belas) tahun, dikurangi selama para Terdakwa berada dalam tahanan. 

Tuntutan ini, yang mendekati 87% dari ancaman pidana maksimal, menunjukkan keyakinan tinggi JPU atas kesalahan para Terdakwa. Namun, pilihan untuk tidak menuntut hukuman maksimal dapat pula diinterpretasikan sebagai cerminan implisit dari adanya kerumitan dan pertentangan bukti selama persidangan, yang membuat JPU tidak mengajukan tuntutan pada batas tertinggi.   

Putusan Judex Facti - Vonis PN Mempawah dan Penguatan oleh PT Pontianak

Pada tanggal 30 April 2014, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mempawah yang diketuai oleh VICTOR, S.H., dengan hakim anggota Lanora Siregar, S.H., dan Rahadian Nur, S.H., M.H., mengetuk palu untuk mengakhiri babak pertama persidangan. Dalam amar Putusan Pengadilan Negeri Mempawah Nomor 300/PID.B/2013/PN.MPW, Majelis Hakim menyatakan bahwa Terdakwa I Heri bin Zakaria dan Terdakwa II Pardan bin Saman telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama melakukan pembunuhan”, sesuai dengan dakwaan pertama JPU.

Hal yang paling signifikan dari putusan ini adalah beratnya pidana yang dijatuhkan. Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara kepada masing-masing Terdakwa selama 14 (empat belas) tahun dan 3 (tiga) bulan. Vonis ini secara mengejutkan lebih berat 1 tahun dan 3 bulan dari tuntutan JPU yang meminta hukuman 13 tahun penjara. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, meskipun hakim memiliki kebebasan untuk memutus berdasarkan keyakinannya, penjatuhan pidana yang melebihi tuntutan (ultra petitum dalam konteks beratnya hukuman) merupakan sebuah sinyal yang sangat kuat.

Keputusan ini mengindikasikan bahwa Majelis Hakim tidak hanya setuju dengan JPU mengenai kesalahan para Terdakwa, tetapi juga memiliki keyakinan yang lebih absolut dan menilai perbuatan para Terdakwa jauh lebih tercela daripada yang digambarkan dalam surat tuntutan. Pertimbangan yang memberatkan, seperti kesadisan perbuatan, dampak trauma pada keluarga dan masyarakat, serta sikap para Terdakwa yang tidak mengakui perbuatannya, kemungkinan besar menjadi faktor dominan yang mendorong hakim untuk menjatuhkan sanksi yang lebih keras.

Namun, keyakinan absolut hakim ini berdiri dalam kontras yang tajam dengan serangkaian kejanggalan pembuktian yang kemudian diuraikan secara rinci dalam Memori Kasasi. Kesenjangan antara keyakinan yudisial yang begitu kuat dengan fondasi bukti yang rapuh inilah yang menjadi titik sentral dari polemik kasus ini.   

Tidak menerima putusan tersebut, para Terdakwa melalui Penasihat Hukumnya mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Pontianak. Proses di tingkat banding pada dasarnya merupakan evaluasi ulang terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, di mana hakim banding (judex facti tingkat kedua) memeriksa apakah terdapat kesalahan penerapan hukum atau kekeliruan dalam menilai fakta-fakta persidangan.

Pada tanggal 1 Juli 2014, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Pontianak mengeluarkan Putusan Nomor 59/PID/2014/PT PTK. Amar putusan tersebut secara ringkas dan tegas menyatakan: “menerima permintaan banding dari penasehat hukum para terdakwa; serta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Mempawah No. 300/Pid.Sus/2013/PN.MPW tanggal 30 April 2014 yang dimintakan banding tersebut”. 

Keputusan untuk “menguatkan” putusan PN Mempawah berarti bahwa Majelis Hakim Banding berpendapat sama dan mengambil alih seluruh pertimbangan hukum (ratio decidendi) dari hakim tingkat pertama. Mereka tidak menemukan adanya alasan yang cukup untuk membatalkan atau mengubah putusan tersebut. Dalam praktiknya, putusan semacam ini sering kali diartikan bahwa memori banding yang diajukan oleh pihak Terdakwa tidak berhasil meyakinkan hakim banding akan adanya cacat hukum atau kekeliruan fatal dalam putusan sebelumnya.

Dengan demikian, di mata judex facti, baik di tingkat pertama maupun banding, kesalahan Heri dan Pardan dianggap telah terbukti tanpa keraguan.   

Puncak Perkara di Mahkamah Agung - Kasasi dan Suara Berbeda (Dissenting Opinion)

Setelah upaya hukum di tingkat banding gagal, pertarungan hukum mencapai puncaknya di Mahkamah Agung, lembaga peradilan tertinggi di Indonesia. Para Terdakwa mengajukan permohonan kasasi, sebuah upaya hukum yang tidak lagi memeriksa fakta persidangan (judex facti), melainkan berfokus pada pemeriksaan penerapan hukum (judex juris).

Pemeriksaan di tingkat kasasi bertujuan untuk menguji apakah putusan pengadilan di bawahnya telah salah menerapkan peraturan hukum, melampaui batas wewenangnya, atau lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.

Argumen Pemohon Kasasi: Membongkar Kerapuhan Pembuktian

Dalam Memori Kasasi yang diajukan pada 18 Agustus 2014, Penasihat Hukum para Terdakwa secara sistematis membongkar berbagai kejanggalan dan kontradiksi yang mereka yakini telah diabaikan oleh judex facti. Poin-poin utama argumen mereka antara lain:   

1)        Konflik Keterangan Ahli IT dengan Alibi

Keterangan ahli IT yang menyatakan sinyal ponsel para Terdakwa masih berada di sekitar lokasi penemuan mayat hingga pukul 13:29 WIB pada tanggal 18 Desember 2012, dibantah keras. Argumennya, fakta ini bertentangan dengan kesaksian banyak saksi (rekan kerja) yang menegaskan bahwa para Terdakwa sudah kembali bekerja di pabrik pada pukul 13:00 WIB;  

2)       Kredibilitas Saksi Kunci yang Runtuh

Kesaksian Karnaen alias Prak, satu-satunya saksi mata, diserang habis-habisan. Penasihat Hukum menyoroti kesaksian dari ibu kandung Karnaen sendiri, Norma Sahran, dan saksi-saksi lain yang menyatakan bahwa Karnaen tidak berada di Desa Bakau Besar pada saat kejadian. Alasan Karnaen datang ke desa untuk menghadiri pernikahan pun terbukti tidak benar, karena pernikahan tersebut berlangsung pada bulan November 2012, bukan Desember;

3)       Kontradiksi Fakta Lapangan

Kesaksian Karnaen yang mengaku mendengar bunyi lonceng pabrik sebagai tanda istirahat dan suasana yang sepi, dibantah oleh keterangan saksi-saksi lain yang bekerja di pabrik. Mereka menegaskan bahwa pabrik tersebut tidak memiliki lonceng dan mesin pabrik tetap beroperasi pada hari itu, sehingga suasana tidak mungkin sepi;   

4)       Alibi Alat Bukti

Alibi krusial mengenai sepeda motor Yamaha Jupiter MX yang dituduh digunakan sebagai sarana kejahatan juga diajukan. Saksi Ryan Pardianto, anak dari Terdakwa II, di bawah sumpah menerangkan bahwa pada hari kejadian, ia menggunakan motor tersebut untuk pergi ke sekolah dari pagi hingga pukul 13:45 WIB, dan motor tersebut terparkir di sekolah.   

Pertimbangan Majelis Hakim Kasasi (Mayoritas): Benteng Formalitas Judex Juris

Mayoritas Majelis Hakim Kasasi, yang terdiri dari Dr. Sofyan Sitompul, S.H., M.H., dan Dr. H. Margono, S.H., M.Hum., M.M., menolak seluruh argumen tersebut. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa alasan-alasan kasasi yang diajukan tidak dapat dibenarkan karena pada pokoknya berkenaan dengan “penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan”. 

Menurut pandangan mayoritas, keberatan semacam itu merupakan ranah judex facti (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) dan tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi yang terbatas pada penerapan hukum. Dengan kata lain, Mahkamah Agung menegaskan bahwa mereka tidak akan mengadili kembali fakta-fakta yang telah dinilai oleh pengadilan di bawahnya. Putusan judex facti dianggap telah tepat dan benar, sehingga permohonan kasasi harus ditolak.   

Dissenting Opinion Hakim Agung H. Eddy Army, S.H., M.H.

Di tengah kesepakatan dua hakim agung, muncul sebuah suara berbeda yang monumental dari Hakim Agung H. Eddy Army, S.H., M.H. Pendapatnya, yang dikenal sebagai dissenting opinion, tidak hanya menolak putusan mayoritas, tetapi secara fundamental menggugat seluruh bangunan proses peradilan dalam kasus ini sejak titik awalnya yaitu surat dakwaan.

Inti argumen Hakim Agung Eddy Army adalah bahwa surat dakwaan yang disusun oleh JPU batal demi hukum (van rechtswege nietig) karena tidak memenuhi syarat materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut “KUHAP”), yang mengamanatkan agar surat dakwaan memuat “uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan”.   

Beliau menguraikan bahwa dakwaan JPU menderita cacat yang dalam terminologi hukum dikenal sebagai obscuur libel (dakwaan kabur). Alasannya, JPU hanya menyalin atau mengutip rumusan delik dari pasal-pasal KUHP yang didakwakan (Pasal 338, 351, dan 332) tanpa pernah menguraikan secara konkret dan terperinci mengenai perbuatan materiil apa yang dilakukan oleh masing-masing Terdakwa yang menyebabkan timbulnya akibat-akibat spesifik pada tubuh korban.

Misalnya, JPU tidak menjelaskan bagaimana cara para Terdakwa melakukan kekerasan yang mengakibatkan luka memar di puncak kepala, pendarahan otak, luka di vagina, dan tanda-tanda pembekapan sebagaimana tertuang dalam hasil Visum et Repertum. Surat dakwaan gagal membangun jembatan kausalitas yang logis dan rinci antara perbuatan (actus reus) para Terdakwa dengan akibat (result) yang menimpa korban.   

Puncak dari kritik yuridisnya adalah ketika Hakim Agung Eddy Army secara eksplisit merujuk pada preseden kelam peradilan sesat dalam sejarah hukum Indonesia yaitu kasus Sengkon dan Karta. Beliau menyatakan, “demi menghindari terjadinya kasus Sengkon Karta-Sengkon Karta berikutnya dikemudian hari, bahkan telah menjadi yurisprudensi tetap, para Terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana berdasarkan uraian surat dakwaan yang tidak cermat, tidak jelas, kabur atau obscuur liebel”. 

Referensi ini bukan sekadar hiasan retoris, melainkan sebuah peringatan keras bahwa mengadili seseorang berdasarkan dakwaan yang cacat secara fundamental membuka pintu lebar bagi terulangnya ketidakadilan historis.   

Dissenting opinion ini merepresentasikan sebuah pandangan yudisial yang substansialistik, yang menempatkan keadilan materiil dan hak terdakwa untuk mendapatkan dakwaan yang jelas di atas segalanya. Menurut pandangannya, jika fondasi dari sebuah proses peradilan, yaitu surat dakwaan, sudah rapuh dan cacat, maka seluruh bangunan putusan yang didirikan di atasnya tidak dapat berdiri kokoh, tidak peduli seberapa panjang dan alot proses persidangan yang telah dijalani. Ini adalah kritik fundamental yang menyasar akar dari proses penuntutan, bukan sekadar cabang-cabang pembuktian di persidangan.

Membedah Kejanggalan - Antara Kebenaran Formil dan Materiil

Putusan akhir yang menghukum Heri dan Pardan menyisakan serangkaian kejanggalan yang jika dianalisis secara mendalam, mempertontonkan pertarungan sengit antara pencarian kebenaran formil dan kebenaran materiil. Judex facti dan mayoritas hakim kasasi tampaknya berpegang teguh pada kebenaran formil, yakni terpenuhinya syarat-syarat pembuktian menurut undang-undang secara formal, sementara argumen pembela dan dissenting opinion memperjuangkan kebenaran materiil, yakni apakah fakta-fakta yang terbukti secara formal tersebut benar-benar merepresentasikan kenyataan yang sesungguhnya.

Kredibilitas Saksi Mahkota dan Prinsip Unus Testis Nullus Testis

Selain itu terkait seluruh konstruksi penuntutan dan putusan pemidanaan sangat bergantung pada kesaksian Karnaen alias Prak, satu-satunya saksi yang mengaku melihat kejadian. Dalam hukum pembuktian, ketergantungan pada saksi tunggal selalu mengandung risiko. Adagium hukum unus testis nullus testis (satu saksi bukanlah saksi) memang tidak diadopsi secara mutlak dalam KUHAP, namun semangat kehati-hatian yang terkandung di dalamnya seharusnya menjadi pedoman bagi hakim.

Keyakinan hakim harus didukung oleh minimal dua alat bukti yang sah. Dalam kasus ini, kesaksian Karnaen (alat bukti saksi) dianggap bersesuaian dengan keterangan ahli IT (alat bukti petunjuk/surat). Namun, kredibilitas Karnaen sendiri sangat problematis. Kesaksiannya tidak hanya dibantah oleh alibi para Terdakwa, tetapi juga oleh orang-orang terdekatnya, termasuk ibu kandungnya sendiri, yang menyatakan ia tidak berada di lokasi. 

Lebih jauh, detail kesaksiannya mengenai kondisi fisik di TKP (adanya lonceng pabrik dan suasana sepi) terbukti bertentangan dengan fakta yang disampaikan oleh para pekerja pabrik. Pengabaian terhadap serangkaian bantahan kuat ini menunjukkan bobot yang tidak proporsional diberikan kepada satu kesaksian yang rapuh.   

Konflik Bukti Ilmiah dan Alibi yang Terabaikan

Paradoks terbesar dalam kasus ini terletak pada pertentangan antara bukti-bukti yang dianggap “ilmiah” dengan alibi para Terdakwa yang didukung oleh banyak saksi. Keterangan ahli IT yang melacak sinyal ponsel para Terdakwa di sekitar TKP hingga pukul 13:29 WIB menjadi pilar pembuktian kedua. 

Namun, bukti ini berbenturan langsung dengan kesaksian para rekan kerja yang menyatakan Heri dan Pardan sudah kembali bekerja di pabrik pada pukul 13:00 WIB. Pengadilan tampaknya lebih memilih untuk memercayai data teknis daripada kesaksian manusia, tanpa menggali lebih dalam kemungkinan anomali data atau interpretasi lain.   

Selain itu, keterangan ahli forensik dr. Edy Syahputra Hasibuan justru membuka kejanggalan baru. Beliau memperkirakan bahwa mayat korban baru bersentuhan lama dengan air sekitar 5 hingga 8 jam sebelum ditemukan pada pagi hari tanggal 20 Desember 2012. Apabila korban meninggal pada 18 Desember sekitar pukul 11:45 WIB, maka terdapat jeda waktu sekitar 34 hingga 37 jam di mana jasadnya tidak berada di air atau di lokasi penemuan.

Fakta ini, yang seharusnya memicu pertanyaan investigatif mendasar, di mana jasad korban selama rentang waktu tersebut dan siapa yang memindahkannya?, justru dikesampingkan oleh judex facti. Pengabaian terhadap alibi kuat lainnya, seperti penggunaan sepeda motor Jupiter MX oleh anak Terdakwa II untuk sekolah, semakin mempertegas adanya kegagalan dalam menerapkan prinsip fundamental in dubio pro reo (dalam keraguan, putusan harus berpihak pada terdakwa) secara substantif.   

Fenomena ini merupakan contoh klasik dari apa yang disebut sebagai tunnel vision (pembuktian terowongan) dalam investigasi kriminal. Begitu penyidik dan penuntut umum membangun sebuah narasi awal yang didasarkan pada kesaksian Karnaen, bukti-bukti lain (seperti data BTS) cenderung dicari dan diinterpretasikan untuk mendukung narasi tersebut. Sebaliknya, bukti-bukti yang bertentangan (seperti alibi kerja, kesaksian ibu Karnaen, atau temuan ahli forensik) tidak digunakan untuk menguji ulang kebenaran narasi awal, melainkan dianggap sebagai anomali, kebohongan, atau informasi yang tidak relevan

Judex facti melanjutkan tunnel vision ini dengan memberikan bobot berlebih pada bukti yang mendukung dakwaan sambil meremehkan bukti yang seharusnya menimbulkan keraguan yang beralasan (reasonable doubt).

Refleksi Yuridis dan Preseden - Gema Kasus Sengkon-Karta dalam Peradilan Modern

Kasus Harnovia Fitriani, jika dilihat dari modus operandinya, mungkin tampak seperti kasus pembunuhan pada umumnya. Namun, secara yuridis dan sosiologis, kasus ini menjadi luar biasa karena ia secara telanjang mempertontonkan kerapuhan sistem peradilan pidana Indonesia dan bergema kuat dengan salah satu lembaran terkelam dalam sejarah hukum nasional yaitu kasus Sengkon dan Karta.

Paralel Historis dengan Tragedi Sengkon dan Karta

Pada tahun 1974, dua petani miskin dari Bekasi, Sengkon dan Karta, divonis bersalah atas tuduhan perampokan dan pembunuhan yang tidak pernah mereka lakukan. Vonis tersebut didasarkan pada pengakuan yang diperoleh melalui siksaan dan proses peradilan yang mengabaikan bantahan mereka. Kebenaran baru terungkap bertahun-tahun kemudian ketika pelaku sebenarnya, Gunel, yang kebetulan satu sel dengan Sengkon, mengakui perbuatannya. 

Tragedi peradilan sesat ini mengguncang Indonesia dan menjadi pemicu utama lahirnya lembaga Peninjauan Kembali (PK) sebagai upaya hukum luar biasa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).   

Ketika Hakim Agung H. Eddy Army secara eksplisit menyebut “kasus Sengkon Karta-Sengkon Karta” dalam dissenting opinion-nya, ia tidak sedang beretorika. Ia sedang menarik garis paralel historis yang menakutkan. Ia mengingatkan bahwa sistem yang sama, yang pernah gagal secara fatal di masa lalu, berpotensi mengulangi kegagalannya jika prinsip-prinsip fundamental diabaikan.

Baik dalam kasus Sengkon-Karta maupun kasus Harnovia, terdapat elemen-elemen yang serupa yaitu terdakwa dari kalangan masyarakat biasa, pembuktian yang sangat bergantung pada satu atau dua pilar yang rapuh, serta pengabaian terhadap bukti-bukti yang meringankan. Peringatan ini adalah sebuah seruan agar peradilan tidak hanya menjadi mesin penghukum, tetapi juga benteng pelindung bagi mereka yang tidak bersalah.   

Legasi Kasus dan Kepercayaan Publik

Kasus Harnovia Fitriani menjadi salah satu catatan peradilan yang paling menjadi perhatian di Kalimantan Barat bukan tanpa alasan. Kasus ini menyentuh isu yang paling mendasar yaitu kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Keyakinan luas bahwa pelaku sebenarnya masih bebas berkeliaran sementara dua orang yang diyakini tidak bersalah telah menjalani hukuman, mengikis legitimasi sistem peradilan di mata masyarakat. 

Kegigihan seorang jurnalis lokal, Adong Eko, dalam melakukan investigasi mendalam dan menuangkannya ke dalam sebuah buku berjudul “HARNOVIA: Diculik, Diperkosa, Dibunuh”, menjadi katalisator yang menjaga diskursus ini tetap hidup. Upaya advokasi yang terus-menerus, termasuk menyerahkan buku tersebut langsung kepada Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, menunjukkan bahwa perjuangan mencari kebenaran materiil tidak berhenti di pintu ruang sidang.   

Sebagai kesimpulan reflektif, kasus Harnovia Fitriani adalah sebuah anomali yang penting. Ia adalah kasus “biasa” yang menjadi “luar biasa”. Biasa dalam brutalitas kejahatannya, namun luar biasa dalam pelajaran yuridis yang ditawarkannya. Kasus ini menjadi sebuah monumen pengingat tentang bahaya tunnel vision, pentingnya peran kontrol sosial dari media dan masyarakat sipil, dan kekuatan sebuah suara yudisial yang berani berbeda (dissenting opinion) dalam menjaga marwah keadilan. Kasus ini adalah bukti bahwa putusan akhir pengadilan bukanlah akhir dari pencarian keadilan itu sendiri.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.