layananhukum

Apa yang Dimaksud Intervensi dan Rekonvensi dalam Perkara Tata Usaha Negara?

 

Pertanyaan

Selamat Siang Bang Eka, saya mau nanya bang terkait masalah yang cukup pelik. Jadi gini, saya baru tahu kalau IMB rumah saya ternyata sudah dibatalkan oleh putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap. Gugatan itu diajukan oleh tetangga saya ke Walikota, dan saya sama sekali tidak tahu ada proses sidang karena tidak pernah dilibatkan. Sekarang saya baru sadar setelah putusannya final dan terancam harus membongkar bangunan.

Pertanyaan saya, apakah masih ada celah hukum bagi saya untuk melawan putusan itu sekarang, mengingat saya adalah pihak yang paling dirugikan tapi tidak pernah ikut serta dalam sidang? Dan kalau dipikir-pikir, kenapa sih dalam kasus seperti ini, Walikota sebagai Tergugat tidak bisa sekalian menggugat balik tetangga saya itu untuk membela IMB yang sudah mereka terbitkan? Rasanya aneh, kok pemerintah tidak bisa 'melawan balik' untuk keputusan yang sudah mereka buat sendiri. Mohon pencerahannya, Bang.

Jawaban

Pengantar

Selamat siang. Terima kasih atas pertanyaannya. Pertama-tama perlu dipahami bahwa Proses beracara di PTUN, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari peradilan lain. Salah satu aspek krusial dalam proses tersebut adalah penentuan para pihak yang terlibat dalam sengketa, yang secara langsung memengaruhi lingkup dan arah pemeriksaan perkara.

Dalam dinamika persidangan, sering kali sengketa yang bergulir antara Penggugat (orang atau badan hukum perdata) dan Tergugat (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) ternyata memiliki implikasi hukum yang meluas, menyentuh kepentingan pihak ketiga yang semula tidak terlibat.

Untuk mengakomodasi kepentingan tersebut, hukum acara PTUN menyediakan mekanisme prosedural yang dikenal sebagai intervensi, yaitu suatu proses yang memungkinkan pihak ketiga untuk masuk ke dalam sengketa yang sedang berjalan. Di sisi lain, terdapat pula konsep gugatan balik atau rekonvensi, sebuah instrumen yang lazim dalam hukum acara perdata, namun secara tegas tidak diakomodasi dalam hukum acara PTUN.

Artikel ini akan mengupas secara komprehensif mengenai dua konsep prosedural tersebut. Analisis akan difokuskan pada landasan yuridis, bentuk-bentuk, serta implikasi dari intervensi dalam sengketa Tata Usaha Negara.

Selanjutnya, akan diuraikan alasan-alasan fundamental di balik larangan rekonvensi dalam lingkup peradilan ini. Melalui penelaahan ini, akan ditunjukkan bahwa aturan mengenai intervensi dan ketiadaan rekonvensi bukanlah sekadar formalitas teknis, melainkan merupakan cerminan langsung dari karakter khusus sengketa administrasi negara yang bersifat vertical (antara negara dan warga negara) dengan fokus utama pada pengujian legalitas suatu tindakan pemerintahan.

Intervensi: Keterlibatan Pihak Ketiga dalam Sengketa Tata Usaha Negara

Landasan Yuridis dan Konseptual Intervensi

Dasar hukum utama yang melegitimasi masuknya pihak ketiga ke dalam sengketa di PTUN adalah Pasal 83 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang selanjutnya disebut dengan “UU PTUN”. Pasal 83 ayat (1) UU PTUN menyatakan:

“Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan maupun atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa tata usaha negara, dan bertindak sebagai:

a.       Pihak yang membela haknya, atau

b.      Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.”    

Dari rumusan norma tersebut, dapat diidentifikasi beberapa elemen kunci. Pertama, syarat utama bagi pihak ketiga untuk dapat masuk adalah adanya “kepentingan” (legal interest) dalam sengketa. Kepentingan ini harus bersifat langsung, nyata, dan berpotensi terpengaruh secara hukum oleh putusan yang akan dijatuhkan.

Kedua, frasa “selama pemeriksaan berlangsung” mengindikasikan bahwa permohonan intervensi harus diajukan saat perkara masih dalam proses pemeriksaan di pengadilan, meskipun undang-undang tidak memberikan batasan waktu yang tegas, yang terkadang menimbulkan diskursus dalam praktik. 

Ketiga, norma ini awalnya membuka dua jalur masuk yaitu atas inisiatif pihak ketiga sendiri atau atas prakarsa hakim.

Keempat, pihak yang diizinkan masuk dapat memosisikan diri sebagai “pihak yang membela haknya” secara mandiri atau sebagai “peserta yang bergabung” dengan salah satu pihak yang telah bersengketa.

Menariknya, meskipun UU PTUN telah mengalami dua kali perubahan signifikan pada tahun 2004 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang selanjutnya disebut dengan “UU Nomor 9 Tahun 2004” , dan pada tahun 2009 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang selanjutnya disebut dengan “UU Nomor 51 Tahun 2009” , substansi Pasal 83 tidak pernah diubah.

Sikap legislatif ini dapat ditafsirkan bukan sebagai kelalaian, melainkan sebagai penegasan bahwa kerangka dasar mengenai intervensi yang diinisiasi oleh para pihak dianggap telah memadai. Namun, sikap diam ini perlu dikontraskan dengan tindakan legislatif lain yang justru mengubah secara fundamental lanskap keterlibatan pihak ketiga, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut.   

Bentuk-Bentuk Intervensi dalam Praktik Peradilan

Meskipun UU PTUN tidak menggunakan terminologi spesifik, praktik peradilan dan doktrin ilmu hukum telah mengadopsi istilah-istilah dari hukum acara perdata untuk mengklasifikasikan jenis-jenis intervensi.   

1.        Intervensi Mandiri (Tussenkomst

Bentuk intervensi ini terjadi ketika pihak ketiga masuk ke dalam sengketa untuk mempertahankan hak dan kepentingannya sendiri yang berlawanan dengan kepentingan Penggugat maupun Tergugat. Pihak ketiga ini, yang disebut sebagai intervenient, berkedudukan sebagai pihak yang mandiri dan pada hakikatnya melawan kedua belah pihak yang bersengketa. Sebagai contoh, dalam sengketa pembatalan sertipikat tanah antara A (Penggugat) melawan Kepala Kantor Pertanahan (Tergugat), B dapat mengajukan permohonan intervensi dengan dalil bahwa B adalah pemilik sah atas tanah tersebut, sehingga menentang klaim A sekaligus menentang keabsahan sertipikat yang menjadi objek sengketa.   

2.       Intervensi Bergabung (Voeging

Voeging adalah bentuk intervensi di mana pihak ketiga masuk ke dalam sengketa untuk mendukung atau memperkuat posisi salah satu pihak yang sedang berperkara, baik Penggugat maupun Tergugat. Kepentingan pihak ketiga ini sejalan dan tidak bertentangan dengan kepentingan pihak yang didukungnya.

-            Bergabung dengan Penggugat

Pihak ketiga akan berkedudukan sebagai Penggugat II Intervensi. Misalnya, A menggugat keputusan pejabat TUN yang mencabut izin usahanya. B, sebagai pemasok utama yang kelangsungan bisnisnya bergantung pada izin usaha A, dapat mengajukan permohonan intervensi untuk bergabung dengan A guna memperkuat dalil-dalil gugatan.

-            Bergabung dengan Tergugat

Pihak ketiga akan berkedudukan sebagai Tergugat II Intervensi. Ini merupakan bentuk intervensi yang paling lazim ditemukan dalam praktik PTUN. Contoh klasik adalah ketika A menggugat keputusan Walikota (Tergugat) yang menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas nama B. Dalam kasus ini, B sebagai penerima IMB memiliki kepentingan hukum yang sangat langsung untuk mempertahankan keabsahan IMB tersebut. Oleh karena itu, B akan mengajukan permohonan untuk bergabung dengan Walikota sebagai Tergugat II Intervensi.   

Walaupun hukum acara PTUN meminjam terminologi dari hukum acara perdata, penerapan substantifnya menunjukkan perbedaan fundamental. Dalam hukum acara perdata, tussenkomst dapat menciptakan konflik tripartit yang sesungguhnya, di mana intervenient secara aktif menggugat kedua belah pihak.

Namun, dalam sengketa TUN, struktur perkaranya tetap bersifat bipolar atau dua kutub. Fokus utama sengketa selalu pada pengujian keabsahan satu tindakan administrasi, yaitu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Bahkan dalam posisi yang menyerupai tussenkomst, argumentasi pihak ketiga pada akhirnya tetap bermuara pada sah atau tidaknya KTUN tersebut, bukan untuk mengajukan tuntutan baru yang terpisah kepada pemerintah.

Perbedaan struktural ini adalah konsekuensi logis dari tidak dikenalnya mekanisme rekonvensi di PTUN, yang memastikan bahwa medan sengketa tetap terpusat pada satu objek.   

Evolusi Hukum Intervensi: Dampak Perubahan Undang-Undang

Salah satu perubahan paling signifikan dalam hukum acara PTUN yang berdampak pada intervensi adalah penghapusan Pasal 118 UU PTUN melalui Pasal 1 Angka 37 UU Nomor 9 Tahun 2004Pasal 118 UU PTUN yang asli mengatur tentang perlawanan pihak ketiga terhadap eksekusi putusan (verzet tegen executie).

Mekanisme ini memberikan kesempatan bagi pihak ketiga yang tidak terlibat selama persidangan untuk mengajukan perlawanan jika kepentingannya dirugikan oleh pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.   

Dengan dihapuskannya Pasal 118, pintu bagi pihak ketiga untuk masuk ke dalam sengketa setelah putusan dijatuhkan secara efektif telah ditutup. Perubahan ini secara drastis meningkatkan urgensi dan signifikansi intervensi berdasarkan Pasal 83. Sebelumnya, Pasal 118 berfungsi sebagai jaring pengaman bagi pihak ketiga yang mungkin tidak mengetahui adanya sengketa yang relevan dengan kepentingannya.

Kini, satu-satunya jalur hukum yang tersedia bagi pihak ketiga untuk terlibat adalah melalui Pasal 83, yaitu selama proses pemeriksaan masih berlangsung. Konsekuensinya, pihak ketiga yang berpotensi terkena dampak putusan PTUN dituntut untuk lebih proaktif dan waspada.

Kegagalan untuk mengajukan intervensi secara tepat waktu dapat mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk membela haknya dalam sengketa tersebut, yang pada gilirannya akan memperkuat kepastian hukum dan finalitas putusan PTUN.

Adapun mengenai intervensi atas prakarsa hakim, meskipun secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 83 UU PTUN, praktiknya telah ditinggalkan seiring dengan penguatan sistem peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung yang lebih menekankan pada otonomi para pihak (party autonomy) dalam berperkara. Penghapusan Pasal 118 semakin mempertegas pergeseran paradigma ini, di mana keterlibatan dalam sengketa diutamakan berasal dari inisiatif pihak yang berkepentingan itu sendiri.

Yurisprudensi

Praktik peradilan memberikan gambaran konkret mengenai penerapan prinsip intervensi. Beberapa putusan dapat dijadikan rujukan untuk memahami bagaimana hakim menilai “kepentingan” pihak ketiga.

Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Kendari Nomor 14/G.TUN/2011/PTUN-Kdi, tertanggal 12 Desember 2011, sengketa berpusat pada gugatan pembatalan dua sertipikat hak milik yang diajukan oleh seorang ayah (Penggugat) terhadap anak-anaknya dari istri kedua (pemegang sertipikat) dan Kepala Kantor Pertanahan (Tergugat).

Dalam perkara ini, anak-anak tersebut mengajukan permohonan intervensi dan dikabulkan oleh Majelis Hakim, sehingga mereka berkedudukan sebagai Tergugat II Intervensi I dan Tergugat II Intervensi II. Majelis Hakim yang diketuai oleh Firdaus Muslim, S.H., dengan hakim anggota Sri Listiani, S.H., M.Kn., dan Wahyudi Siregar, S.H., pada akhirnya menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard).

Pertimbangan hukum utamanya adalah bahwa meskipun objek sengketa adalah Keputusan Tata Usaha Negara (sertipikat), substansi pokok perkaranya adalah mengenai sengketa kepemilikan hak keperdataan atas tanah. Merujuk pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 88/K.TUN/1993, sengketa kepemilikan hak harus diselesaikan terlebih dahulu di Peradilan Umum, yang memiliki kompetensi absolut untuk mengadilinya. Putusan ini mengilustrasikan bahwa meskipun intervensi dikabulkan karena adanya kepentingan hukum langsung, pengadilan tetap akan menguji kewenangannya secara absolut dalam memutus pokok perkara.

Contoh lain yang relevan adalah Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan Nomor 169/B/2021/PT.TUN.MDN, tertanggal 15 September 2021. Perkara ini merupakan putusan tingkat banding atas sengketa pembatalan sejumlah sertipikat hak milik. Di tingkat pertama, beberapa pihak yang haknya berasal dari atau terkait langsung dengan sertipikat-sertipikat tersebut telah masuk sebagai Tergugat II Intervensi I, II, III, dan IV. Majelis Hakim tingkat banding yang diketuai oleh H.L. Mustafa Nasution, S.H., M.H., dengan hakim anggota Guruh Jaya Saputra, S.H., M.H., dan Jamres Saraan, S.H., M.H., dalam pertimbangannya menyatakan bahwa tidak terdapat hal-hal baru sebagai alasan hukum dalam memori banding yang dapat membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama. Oleh karena itu, Majelis Hakim mengambil alih pertimbangan hukum pengadilan tingkat pertama dan menguatkan putusannya. Amar putusan tingkat banding adalah menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan Nomor: 186/G/2020/PTUN-MDN tanggal 18 Mei 2021. Kasus ini menunjukkan bahwa masuknya para pihak intervensi di tingkat pertama adalah krusial untuk memastikan semua pihak yang kepentingannya terancam dapat didengar, sejalan dengan asas audi et alteram partem (dengarkan juga pihak lain), sehingga putusan yang dihasilkan menjadi komprehensif.   

Dari yurisprudensi tersebut, terlihat pola yang konsisten bahwa pengadilan akan cenderung mengabulkan permohonan intervensi apabila pemohon dapat membuktikan adanya hak yang bersifat konkret, dapat diidentifikasi secara hukum, dan keberlangsungannya bergantung pada sah atau tidaknya KTUN yang sedang dipersengketakan.

Rekonvensi: Absensi Gugatan Balik dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara

Definisi dan Fungsi Rekonvensi dalam Konteks Hukum Acara

Rekonvensi, atau yang lebih dikenal dengan gugatan balik, adalah gugatan yang diajukan oleh Tergugat terhadap Penggugat dalam suatu proses pemeriksaan perkara yang sama. Dalam hukum acara perdata, rekonvensi berfungsi sebagai sarana efisiensi proses peradilan. Dengan menggabungkan gugatan (konvensi) dan gugatan balik (rekonvensi) dalam satu pemeriksaan, pengadilan dapat menyelesaikan seluruh perselisihan antara pihak-pihak yang sama secara sekaligus, sehingga menghemat waktu, biaya, dan tenaga.

Alasan Fundamental Larangan Rekonvensi di PTUN

Berbeda secara diametral dengan hukum acara perdata, hukum acara PTUN secara tegas tidak mengenal dan tidak memperbolehkan adanya rekonvensi. Larangan ini bukan tanpa alasan, melainkan berakar pada filosofi dan karakteristik fundamental dari sengketa tata usaha negara itu sendiri, sebagaimana dikemukakan oleh para ahli hukum seperti Sjachran Basah.

1.        Sifat Sengketa

Sengketa di PTUN pada hakikatnya adalah proses pengujian yudisial (judicial review) terhadap suatu tindakan pemerintahan. Penggugat mendalilkan bahwa KTUN yang diterbitkan Tergugat bersifat melawan hukum. Fokus pengadilan adalah untuk menguji kebenaran dalil tersebut. PTUN bukanlah forum bagi pemerintah (Tergugat) untuk mengajukan tuntutan atau klaim baru terhadap warga negara (Penggugat).

2.       Kedudukan Para Pihak

Hubungan antara Penggugat (warga negara) dan Tergugat (pejabat TUN) bersifat asimetris atau vertikal. Negara, melalui pejabatnya, memiliki hak-hak istimewa (exorbitante rechten) dan monopoli atas penggunaan paksaan fisik yang sah (monopoli van het physicke geweld). Eksistensi PTUN justru ditujukan untuk menyeimbangkan ketimpangan kekuasaan ini dengan menyediakan sarana kontrol bagi warga negara. Mengizinkan rekonvensi akan bertentangan dengan tujuan ini, karena akan memberikan pemerintah instrumen tambahan untuk menekan warga negara dalam forum yang seharusnya melindungi mereka.

3.      Objek Sengketa

Objek sengketa (objectum litis) dalam perkara TUN bersifat tunggal dan spesifik, yaitu KTUN yang digugat. Gugatan rekonvensi akan memperkenalkan objek sengketa baru yang diajukan oleh Tergugat, yang akan mengaburkan dan mengalihkan fokus pemeriksaan dari pengujian legalitas KTUN yang asli.

4.       Prinsip Presumptio Iustae Causa

Sesuai dengan Pasal 67 UU PTUN, pengajuan gugatan pada dasarnya tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat. Prinsip ini didasarkan pada asas praduga keabsahan (presumptio iustae causa), di mana setiap keputusan pejabat TUN dianggap sah menurut hukum sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya. Asas ini memperkuat argumen bahwa fokus persidangan adalah menguji keputusan yang sudah ada, bukan membuka ruang bagi klaim baru dari pemerintah.   

Ketiadaan rekonvensi merupakan pilar fundamental yang menegaskan identitas dan tujuan PTUN. Jika rekonvensi diizinkan, esensi PTUN sebagai lembaga pengawas tindakan pemerintah akan tergerus. Bayangkan jika seorang warga negara menggugat surat ketetapan pajak, lalu pemerintah sebagai Tergugat mengajukan rekonvensi untuk menagih tunggakan pajak lainnya.

Seketika, proses yang seharusnya merupakan pengujian legalitas satu surat ketetapan berubah menjadi sengketa perdata mengenai utang-piutang. Hal ini tidak hanya akan mengaburkan fungsi PTUN, tetapi juga dapat menimbulkan “efek gentar” (chilling effect) bagi warga negara yang hendak menggunakan haknya untuk mencari keadilan terhadap tindakan pemerintah. Oleh karena itu, larangan rekonvensi adalah benteng yang menjaga agar PTUN tetap menjadi forum yang aksesibel dan khusus untuk memastikan akuntabilitas pemerintah dan melindungi hak-hak warga negara.

Penutup

Analisis terhadap mekanisme intervensi dan rekonvensi dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara menunjukkan adanya kerangka prosedural yang dirancang secara cermat untuk melayani tujuan spesifik peradilan administrasi. Intervensi, sebagaimana diatur dalam Pasal 83 UU PTUN, merupakan instrumen vital yang menjamin terwujudnya keadilan yang komprehensif.

Dengan membuka ruang bagi pihak ketiga yang berkepentingan untuk terlibat, pengadilan dapat memeriksa sengketa secara menyeluruh, mempertimbangkan semua hak dan kepentingan yang relevan, serta menghasilkan putusan yang memiliki tingkat kepastian hukum yang lebih tinggi.

Evolusi hukum, terutama dengan dihapuskannya mekanisme perlawanan pasca-putusan melalui pencabutan Pasal 118, semakin menegaskan pentingnya peran proaktif pihak ketiga untuk memanfaatkan jalur intervensi selama proses pemeriksaan berlangsung.

Di sisi lain, ketiadaan absolut dari mekanisme rekonvensi menjadi penanda yang tegas mengenai karakter unik sengketa tata usaha negara. Larangan ini bukanlah sebuah kekurangan, melainkan sebuah pilihan sadar yang didasarkan pada filosofi perlindungan hukum terhadap warga negara dalam relasinya yang asimetris dengan negara.

Dengan melarang gugatan balik dari pemerintah, hukum acara PTUN memastikan bahwa fokus persidangan tetap murni pada pengujian legalitas tindakan administrasi, tanpa terdistorsi oleh klaim-klaim lain yang dapat mengintimidasi Penggugat.

Pada akhirnya, pengaturan intervensi dan rekonvensi di PTUN mencerminkan sebuah sistem yang seimbang. Sistem ini menyediakan jalan bagi pihak ketiga yang haknya tersentuh untuk didengar, sekaligus secara kokoh menjaga fungsi utama peradilan ini sebagai benteng pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif. Keseimbangan ini memastikan bahwa PTUN tetap menjadi forum untuk menuntut akuntabilitas pemerintah, bukan arena untuk sengketa resiprokal antara negara dan warganya.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.