layananhukum

Begini Ketentuan Ganti Rugi dan Rehabilitasi dalam Perkara Tata Usaha Negara?

 

Pertanyaan

Selamat Malam Pak, izin saya mau bertanya terkait dengan Ganti Rugi dan Rehabilitasi di PTUN. Jadi, kalau misalnya saya menggugat suatu keputusan pejabat dan saya merasa dirugikan, apakah saya bisa langsung menuntut ganti rugi saja, atau harus ada tuntutan utamanya dulu? Dan apa dasar hukumnya ya, Pak? Terus, kalau soal ganti rugi, sebenarnya berapa besar ganti rugi yang bisa saya dapatkan? Apakah ada batas maksimalnya? Soalnya kerugian saya bisa jadi jauh lebih besar dari itu.

Saya juga dengar ada istilah rehabilitasi. Apa bedanya dengan ganti rugi? Apakah rehabilitasi ini khusus untuk kasus-kasus tertentu saja, misalnya seperti kasus kepegawaian? Nah, ini yang paling penting, Pak. Kalau misalnya saya sudah menang di PTUN dan pengadilan memerintahkan pejabat itu untuk membayar ganti rugi atau melakukan rehabilitasi, tapi pejabatnya tidak mau melaksanakan putusan itu, apa yang bisa saya lakukan? Apakah ada upaya paksa yang bisa dijalankan oleh pengadilan?

Terakhir, mengenai proses pembayarannya sendiri, bagaimana alurnya? Apakah prosedurnya sama kalau yang digugat itu instansi pusat (Kementerian) dengan instansi daerah (Gubernur/Bupati)? Mohon pencerahannya, Pak. Terima kasih banyak.

Jawaban

Negara hukum (rechtstaat) Indonesia menempatkan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai salah satu pilar fundamental dalam menjamin supremasi hukum dan melindungi hak-hak warga negara dari tindakan administrasi pemerintahan.

Kehadiran PTUN berfungsi sebagai mekanisme kontrol yudisial, memastikan bahwa setiap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) senantiasa berlandaskan pada peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. 

Dalam kerangka perlindungan hukum tersebut, tidak cukup hanya dengan menyatakan suatu keputusan pemerintah batal atau tidak sah. Diperlukan adanya mekanisme pemulihan yang efektif bagi warga negara yang telah dirugikan.   

Landasan filosofis bagi mekanisme pemulihan ini berakar pada adagium hukum universal, Ubi jus ibi remedium, yang bermakna “di mana ada hak, di sana ada pemulihan”. Adagium ini menegaskan bahwa penegakan hak tidak akan sempurna tanpa adanya upaya hukum (remedy) untuk memulihkan keadaan pihak yang haknya dilanggar.

Dalam konteks sengketa administrasi negara, pemulihan tersebut diwujudkan melalui instrumen ganti rugi dan rehabilitasi. Ganti rugi bertujuan untuk memberikan kompensasi atas kerugian materiil yang timbul, sementara rehabilitasi bertujuan untuk memulihkan hak, kedudukan, harkat, serta martabat seseorang, khususnya dalam sengketa kepegawaian.   

Artikel ini akan mengupas secara komprehensif dan sistematis mengenai ketentuan ganti rugi dan rehabilitasi dalam perkara Tata Usaha Negara. Pembahasan akan dimulai dari landasan yuridis yang menjadi pintu masuk bagi kedua tuntutan tersebut, dilanjutkan dengan analisis mendalam mengenai prosedur permohonan, mekanisme pembayaran ganti rugi, ruang lingkup rehabilitasi, hingga mekanisme eksekusi putusan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Landasan Yuridis Tuntutan Ganti Rugi dan Rehabilitasi

Tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi dalam sengketa Tata Usaha Negara bukanlah tuntutan yang dapat berdiri sendiri. Keduanya memiliki sifat accesoir atau tambahan yang melekat pada tuntutan pokok, yakni pembatalan atau pernyataan tidak sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Kerangka hukum yang menjadi dasar pengajuan dan pengabulan kedua tuntutan ini diatur secara fundamental dalam Undang-Undang PTUN.

Sifat Accesoir Tuntutan Ganti Rugi dan Rehabilitasi

Pintu masuk bagi penggugat untuk menuntut ganti rugi dan/atau rehabilitasi diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang selanjutnya disebut “UU PTUN”. Pasal tersebut menyatakan:   

“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.”

Frasa “dengan atau tanpa disertai” dalam pasal tersebut secara eksplisit menunjukkan bahwa tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi merupakan tuntutan sekunder yang bergantung pada dikabulkannya tuntutan primer. Artinya, hakim hanya akan mempertimbangkan dan mengabulkan tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi apabila tuntutan pokok untuk membatalkan KTUN yang digugat telah terbukti beralasan hukum dan dikabulkan. Jika gugatan pokok ditolak, maka secara otomatis tuntutan tambahan ini pun akan ditolak.   

Kewenangan Hakim dalam Amar Putusan

Kewenangan hakim untuk menjatuhkan amar yang berisi kewajiban pembayaran ganti rugi dan pelaksanaan rehabilitasi diberikan secara tegas dalam Pasal 97 UU PTUN. Ketentuan ini menjadi dasar bagi hakim untuk tidak hanya membatalkan keputusan yang melawan hukum, tetapi juga memerintahkan pemulihan atas akibat hukum yang ditimbulkannya.

Pasal 97 ayat (10) UU PTUN menyatakan: 

“Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti rugi.”

Ketentuan ini memberikan diskresi kepada majelis hakim untuk membebankan ganti rugi kepada Badan atau Pejabat TUN yang keputusannya dibatalkan, berdasarkan penilaian atas fakta dan bukti kerugian yang diajukan di persidangan.   

Kemudian, Pasal 97 ayat (11) UU PTUN secara khusus mengatur: 

“Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi.”

Pasal ini menggarisbawahi kekhususan sengketa kepegawaian, di mana kerugian yang dialami seorang aparatur sipil negara tidak hanya bersifat materiil, tetapi juga imateriel, sehingga memerlukan pemulihan nama baik dan kedudukan melalui rehabilitasi.   

Perluasan objek sengketa di PTUN, yang kini tidak hanya terbatas pada Keputusan Tata Usaha Negara (penetapan tertulis), telah membawa implikasi signifikan terhadap tuntutan ganti rugi. Sejak berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang selanjutnya disebut “UU Administrasi Pemerintahan”, serta diperkuat oleh Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan Dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad), yang selanjutnya disebut “PERMA 2/2019”, kewenangan PTUN diperluas untuk mengadili “Tindakan Pemerintahan” yang bersifat faktual (feitelijke handelingen) dan perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah. 

Konsekuensinya, ganti rugi kini dapat dituntut tidak hanya atas kerugian akibat surat keputusan yang cacat hukum, tetapi juga atas kerugian nyata yang timbul dari perbuatan faktual (misalnya, pembongkaran bangunan tanpa dasar hukum) atau kelalaian pemerintah untuk bertindak (omission). Hal ini secara fundamental mengubah PTUN dari sekadar forum pengujian legalitas formal menjadi arena untuk mencari keadilan materiel yang lebih substantif.   

Ganti Rugi: Mekanisme, Prosedur, dan Pelaksanaan Pembayaran

Setelah putusan pengadilan yang memuat amar pembayaran ganti rugi memperoleh kekuatan hukum tetap, proses selanjutnya adalah pelaksanaan pembayaran. Prosedur ini diatur secara spesifik dalam peraturan pelaksana untuk memastikan adanya kepastian hukum dalam pemulihan kerugian penggugat.

Definisi, Ruang Lingkup, dan Besaran Ganti Rugi

Definisi yuridis ganti rugi dalam konteks PTUN diatur dalam Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara, yang selanjutnya disebut “PP 43/1991”. Ganti rugi didefinisikan sebagai:

“pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan hukum perdata atas beban Badan Tata Usaha Negara berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara karena adanya kerugian materiil yang diderita oleh penggugat.”    

Definisi ini secara tegas membatasi ruang lingkup ganti rugi hanya pada kerugian yang bersifat materiil, yaitu kerugian yang dapat dihitung nilainya secara ekonomis. Kerugian imateriel, seperti penderitaan batin atau rusaknya nama baik (di luar konteks kepegawaian), tidak dapat dituntut melalui mekanisme ganti rugi di PTUN.   

Namun, aspek yang paling problematis dari regulasi ini adalah mengenai besaran ganti rugi. Pasal 3 ayat (1) PP 43/1991 menetapkan bahwa: 

“Besarnya ganti rugi yang dapat diperoleh penggugat paling sedikit Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah), dan paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), dengan memperhatikan keadaan yang nyata.”. 

Batasan nominal yang ditetapkan pada tahun 1991 ini sudah tidak lagi relevan dengan kondisi ekonomi saat ini. Nilai maksimal Rp 5.000.000 seringkali tidak sebanding dengan kerugian riil yang diderita oleh individu atau badan usaha akibat keputusan pemerintah yang melawan hukum.

Kegagalan pemerintah untuk merevisi peraturan ini selama lebih dari tiga dekade merupakan bentuk pengabaian legislatif (legislative neglect) yang secara sistemik mendegradasi nilai keadilan restitutif. Akibatnya, instrumen ganti rugi yang seharusnya menjadi mekanisme pemulihan yang efektif, kini lebih bersifat simbolis dan seringkali tidak memberikan efek jera maupun pemulihan yang sepadan bagi korban.   

Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi

Prosedur pembayaran ganti rugi dibedakan berdasarkan sumber anggarannya, yaitu APBN untuk instansi pusat dan APBD untuk instansi daerah.

Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

Tata cara pembayaran yang menjadi beban APBN diatur secara detail dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1129/KMK.01/1991 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, yang selanjutnya disebut “KMK 1129/1991”. Alur prosedurnya adalah sebagai berikut:   

1.        Permohonan dari Ketua PTUN

Atas permohonan pihak yang berhak (penggugat), Ketua PTUN mengajukan permohonan penyediaan dana kepada Menteri atau Pimpinan Lembaga yang menjadi pihak tergugat, dengan melampirkan salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

2.       Permintaan Penerbitan SKO

Berdasarkan permohonan tersebut, Menteri atau Pimpinan Lembaga tergugat mengajukan permintaan penerbitan Surat Keputusan Otorisasi (SKO) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran.

3.      Penerbitan SKO

Direktur Jenderal Anggaran, setelah melakukan penelitian, menerbitkan SKO yang bebannya dialokasikan pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN).

4.       Pengajuan Pembayaran ke KPPN

Pihak yang berhak, setelah menerima SKO, mengajukan permohonan pembayaran kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) melalui instansi tergugat.

5.       Penerbitan SPM dan SP2D

Instansi tergugat kemudian mengajukan Surat Perintah Membayar (SPM) kepada KPPN, yang selanjutnya akan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) langsung ke rekening pihak yang berhak.

Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Untuk ganti rugi yang menjadi beban pemerintah daerah, Pasal 4 ayat (2) PP 43/1991 mendelegasikan pengaturannya lebih lanjut kepada Menteri Dalam Negeri. Namun, hingga saat ini, belum ada Peraturan Menteri Dalam Negeri yang secara khusus diterbitkan untuk mengatur mekanisme teknis pembayaran ganti rugi dari APBD sebagaimana diamanatkan oleh peraturan tersebut. 

Ketiadaan peraturan pelaksana ini menciptakan suatu kekosongan hukum prosedural di tingkat daerah. Akibatnya, pemerintah daerah tidak memiliki pedoman yang baku untuk menganggarkan dan mencairkan dana ganti rugi, yang berpotensi besar menyebabkan keterlambatan, kesulitan administrasi, bahkan kegagalan pelaksanaan putusan PTUN. Kondisi ini menjadi hambatan struktural yang signifikan dalam upaya penegakan hukum administrasi di daerah.   

Pihak yang Berhak Menerima Pembayaran

Pihak yang berhak menerima pembayaran ganti rugi adalah orang atau badan hukum perdata yang namanya tercantum dalam amar putusan sebagai penggugat yang gugatannya dikabulkan, atau dalam hal penggugat perorangan telah meninggal dunia, maka hak tersebut beralih kepada ahli warisnya yang sah menurut hukum.   

Rehabilitasi: Pemulihan Hak, Martabat, dan Kedudukan

Berbeda dengan ganti rugi yang bersifat materiil, rehabilitasi merupakan instrumen pemulihan yang bersifat imateriel dan memiliki peran krusial, terutama dalam sengketa di bidang kepegawaian.

Konteks Khusus Sengketa Kepegawaian

Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diberhentikan secara tidak sah tidak hanya menderita kerugian finansial berupa hilangnya gaji dan tunjangan, tetapi juga kerugian yang lebih mendalam, yaitu hilangnya status, jabatan, hak-hak pensiun, serta tercorengnya harkat, martabat, dan nama baiknya. Oleh karena itu, Pasal 97 ayat (11) UU PTUN secara khusus menyediakan mekanisme rehabilitasi untuk memulihkan kerugian imateriel tersebut. Penjelasan Pasal 121 UU PTUN mendefinisikan rehabilitasi sebagai:   

“pemulihan hak penggugat dalam kemampuan kedudukan, harkat, dan martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula, sebelum ada keputusan yang disengketakan.”    

Ini berarti, pelaksanaan rehabilitasi mencakup pengembalian ASN tersebut ke dalam jabatan semula atau jabatan lain yang setingkat, serta pemulihan seluruh hak-hak kepegawaiannya seolah-olah KTUN yang dibatalkan tersebut tidak pernah ada.

Prosedur Pelaksanaan Rehabilitasi

Prosedur pelaksanaan rehabilitasi diatur dalam Pasal 121 UU PTUN, yang menyatakan:   

(1)      Dalam hal gugatan yang berkaitan dengan bidang kepegawaian dikabulkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (11), salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2)     Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban melaksanakan rehabilitasi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal ini menekankan peran aktif pengadilan untuk segera memberitahukan kewajiban pelaksanaan rehabilitasi kepada instansi yang bersangkutan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.

Kompensasi sebagai Alternatif Rehabilitasi

Terkadang, pelaksanaan rehabilitasi secara sempurna tidak dimungkinkan. Misalnya, jabatan yang diduduki penggugat sebelumnya telah dihapus karena restrukturisasi organisasi, atau telah diisi oleh pejabat definitif melalui proses seleksi terbuka yang sulit untuk dibatalkan. Untuk mengatasi situasi semacam ini, hukum acara PTUN menyediakan mekanisme alternatif berupa kompensasi.

Dasar hukumnya adalah Pasal 117 UU PTUN joPasal 10 PP 43/1991. Prosedur teknis penetapan kompensasi ini kini diperjelas dalam Petunjuk Pelaksanaan Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01/KM.TUN/HK2.7/JUKLAK/VII/2024, yang selanjutnya disebut “Juklak Eksekusi 2024”. Berdasarkan Juklak tersebut, prosesnya adalah sebagai berikut:   

1.        Ketua PTUN memanggil para pihak untuk melakukan musyawarah guna mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besaran kompensasi.

2.       Apabila kesepakatan tidak tercapai, Ketua PTUN akan mengeluarkan penetapan yang menentukan jumlah kompensasi dengan mempertimbangkan keadaan nyata dan kerugian yang diderita penggugat.

3.      Pihak yang tidak puas dengan penetapan tersebut dapat mengajukan permohonan penetapan kembali kepada Mahkamah Agung, yang putusannya bersifat final dan mengikat.

Eksekusi Putusan: Upaya Paksa dan Pedoman Terkini

Salah satu tantangan terbesar dalam sistem Peradilan Tata Usaha Negara adalah memastikan kepatuhan Badan atau Pejabat TUN terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Seiring waktu, mekanisme eksekusi telah mengalami evolusi signifikan untuk memperkuat daya paksa putusan.

Evolusi Mekanisme Eksekusi dalam UU PTUN

Pada awalnya, Pasal 116 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 hanya menyediakan mekanisme eksekusi yang bersifat persuasif, yaitu melalui pelaporan berjenjang dari Ketua Pengadilan kepada atasan pejabat yang bersangkutan, dan puncaknya kepada Presiden. Mekanisme ini terbukti tidak efektif karena sangat bergantung pada kemauan baik hierarki birokrasi dan tidak memiliki daya paksa yang nyata.   

Menyadari kelemahan ini, perubahan signifikan dilakukan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009Pasal 116 ayat (4) yang baru memperkenalkan instrumen upaya paksa yang lebih konkret, yang menyatakan:   

“Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.”

Namun, pengenalan instrumen uang paksa (dwangsom) dan sanksi administratif ini menghadapi kendala implementasi yang serius. Pasal 116 ayat (7) UU PTUN mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi, dan tata cara pelaksanaannya harus diatur dengan peraturan perundang-undangan. Hingga kini, Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana dari amanat tersebut belum pernah diterbitkan oleh pemerintah. Ketiadaan peraturan pelaksana ini menciptakan kevakuman hukum yang menjadikan ketentuan upaya paksa tersebut laksana “macan kertas”—ada dalam undang-undang namun tidak dapat dieksekusi secara efektif di lapangan.   

Terobosan Yudisial melalui Juklak Eksekusi 2024

Untuk mengatasi kebuntuan eksekusi yang telah berlangsung lama, Mahkamah Agung mengambil langkah proaktif dengan menerbitkan Juklak Eksekusi 2024. Petunjuk pelaksanaan ini menjadi terobosan yudisial yang memberikan panduan teknis dan alur yang jelas bagi Ketua PTUN dalam mengawasi dan memaksa pelaksanaan putusan. Prosedur utama yang diatur dalam Juklak tersebut meliputi:   

1.        Permohonan Eksekusi

Diajukan oleh penggugat setelah 90 hari kerja sejak putusan diterima oleh tergugat dan kewajiban belum dilaksanakan.

2.       Pengawasan Eksekusi

Ketua PTUN memanggil para pihak untuk didengar keterangannya terkait kendala pelaksanaan putusan.

3.      Surat Peringatan

Jika tidak ada alasan yang sah, Ketua PTUN mengeluarkan surat peringatan kepada tergugat untuk segera melaksanakan putusan.

4.       Penetapan Eksekusi

Jika peringatan tidak diindahkan, Ketua PTUN menerbitkan Penetapan Eksekusi yang berisi perintah pelaksanaan putusan dengan ancaman penerapan upaya paksa.

5.       Penerapan Upaya Paksa

Jika penetapan eksekusi tetap tidak dilaksanakan, Ketua PTUN dapat mengambil langkah-langkah, antara lain: mengumumkan ketidakpatuhan pejabat di media massa, dan menyurati pejabat yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada pejabat yang bersangkutan (merujuk pada mekanisme dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pejabat Pemerintahan).   

6.      Laporan kepada Presiden dan DPR

Sebagai langkah akhir, Ketua Pengadilan melaporkan ketidakpatuhan tersebut kepada Presiden dan lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.

Implementasi Rehabilitasi dalam Sengketa Kepegawaian

Untuk memberikan gambaran konkret mengenai penerapan rehabilitasi, dapat dicermati sebagaimana Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda Nomor 52/G/2019/PTUN.SMD, tertanggal 21 Januari 2020 oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh DAHLAN, S.H., M.H., dengan hakim anggota AGUS SYAUKI, S.H., dan FEBRUORI DIAN SASMITA, S.H., serta dibantu oleh NURHAYATI, S.H., sebagai Panitera Pengganti.   

Penggugat, JOKO PITONO, S.Sos., M.Si, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), melawan Tergugat, yaitu BUPATI KUTAI KARTANEGARA.   

Adapun Duduk Perkara (Ringkas), bahwa Penggugat, seorang PNS, diberhentikan tidak dengan hormat melalui Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor: 888/III.1-405/A.SK./VII/BKPSDM/2019. Pemberhentian ini didasarkan pada putusan pengadilan tindak pidana korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, Penggugat mendalilkan bahwa sebelum keputusan pemberhentian tersebut terbit, ia telah lebih dulu dijatuhi hukuman disiplin berat berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun atas dasar putusan pidana yang sama.

Penggugat berargumen bahwa penerbitan keputusan pemberhentian merupakan bentuk penjatuhan sanksi disiplin untuk kedua kalinya atas satu pelanggaran yang sama, yang bertentangan dengan asas ne bis in idem dalam hukum administrasi.   

Kemudian, Majelis Hakim dalam pertimbangannya menemukan fakta bahwa Penggugat memang telah dijatuhi dua sanksi disiplin yang berbeda untuk satu pelanggaran yang sama. Meskipun sanksi pertama (penurunan pangkat) telah dicabut oleh Tergugat, pencabutan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk dapat menjatuhkan sanksi yang lebih berat (pemberhentian). Majelis Hakim menilai tindakan Tergugat ini bertentangan dengan Pasal 30 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang secara tegas menyatakan: 

“PNS tidak dapat dijatuhi hukuman disiplin dua kali atau lebih untuk satu pelanggaran disiplin”.

Tindakan Tergugat juga dinilai melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, khususnya asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kecermatan. Oleh karena itu, Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi objek sengketa dinyatakan cacat hukum dan harus dibatalkan.   

Kemudian, terkait tuntutan rehabilitasi, Majelis Hakim berpendapat bahwa karena Keputusan Bupati tentang pemberhentian dinyatakan batal, maka Tergugat wajib mencabutnya. Sebagai konsekuensi hukum dari pembatalan dan pencabutan tersebut, maka untuk memulihkan kembali kedudukan, hak-hak, dan martabat Penggugat seperti keadaan semula sebelum adanya keputusan yang dibatalkan, tuntutan rehabilitasi tersebut beralasan hukum untuk dikabulkan.   

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Majelis Hakim menjatuhkan putusan dengan amar sebagai berikut: 

MENGADILI

DALAM EKSEPSI:

Menyatakan eksepsi Tergugat tidak diterima; 

DALAM POKOK PERKARA:

1.        Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2.       Menyatakan batal Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor: 888/III.1-405/A.SK/VII/BKPSDM/2019 Tanggal 30 Juli 2019 Tentang Pemberhentian Karena Melakukan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan atau Tindak Pidana Kejahatan Yang Ada Hubungannya Dengan Jabatan kepada JOKO PITONO, S.Sos., M.Si, NIP 198010141999121001;

3.      Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor: 888/III.1-405/A.SK/VII/BKPSDM/2019 Tanggal 30 Juli 2019 Tentang Pemberhentian Karena Melakukan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan atau Tindak Pidana Kejahatan Yang Ada Hubungannya Dengan Jabatan kepada JOKO PITONO, S.Sos., M.Si, NIP 198010141999121001;

4.       Mewajibkan Tergugat untuk merehabilitasi kedudukan, hak-hak, dan martabat Penggugat seperti keadaan semula;

5.       Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 416.000,- (Empat ratus enam belas ribu rupiah).

Amar putusan rehabilitasi seperti ini menjadi manifestasi dari fungsi PTUN sebagai penjaga hak-hak ASN, memastikan bahwa tindakan pendisiplinan dilakukan sesuai koridor hukum dan tidak sewenang-wenang.

Kesimpulan

Ganti rugi dan rehabilitasi merupakan dua instrumen hukum yang vital dalam sistem Peradilan Tata Usaha Negara, berfungsi sebagai mekanisme pemulihan hak bagi warga negara yang dirugikan oleh tindakan administrasi pemerintahan. Keduanya bersifat accesoir, yang hanya dapat dikabulkan apabila tuntutan pokok untuk membatalkan Keputusan Tata Usaha Negara dikabulkan oleh pengadilan.

Prosedur untuk memperoleh kedua remedi ini telah diatur dalam serangkaian peraturan perundang-undangan, mulai dari UU PTUN, PP 43/1991, hingga peraturan teknis di tingkat kementerian.

Meskipun demikian, implementasi ketentuan ganti rugi dan rehabilitasi masih menghadapi tantangan struktural yang signifikan. Pertama, besaran ganti rugi yang diatur dalam PP 43/1991 sudah tidak relevan dengan kondisi ekonomi saat ini, sehingga mendesak untuk direvisi agar dapat memberikan pemulihan yang sepadan. Kedua, terdapat kekosongan hukum yang serius akibat belum diterbitkannya peraturan pemerintah sebagai pelaksana ketentuan uang paksa (dwangsom) dan sanksi administratif yang diamanatkan oleh UU PTUN sejak tahun 2009. Ketiga, ketiadaan peraturan teknis dari Menteri Dalam Negeri mengenai tata cara pembayaran ganti rugi yang bersumber dari APBD menciptakan ketidakpastian hukum dan menghambat eksekusi putusan terhadap pejabat daerah.

Di tengah tantangan tersebut, langkah proaktif Mahkamah Agung melalui penerbitan Juklak Eksekusi 2024 patut diapresiasi sebagai upaya yudisial untuk mengisi kekosongan dan memperkuat daya paksa putusan PTUN. Namun, solusi ini sejatinya bersifat sementara dan tidak dapat menggantikan kewajiban pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, untuk segera melakukan reformasi regulasi yang komprehensif.

Revisi PP 43/1991, penerbitan PP pelaksana Pasal 116 UU PTUN, serta penerbitan Peraturan Menteri Dalam Negeri terkait pembayaran dari APBD adalah langkah-langkah yang mutlak diperlukan untuk mewujudkan kepastian hukum yang paripurna dan memastikan bahwa putusan PTUN tidak hanya menjadi kemenangan di atas kertas, tetapi juga keadilan yang nyata dirasakan oleh masyarakat.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.