Pertanyaan
Selamat Malam Pak, izin saya mau bertanya
terkait dengan Ganti Rugi dan Rehabilitasi di PTUN. Jadi, kalau misalnya saya
menggugat suatu keputusan pejabat dan saya merasa dirugikan, apakah saya bisa
langsung menuntut ganti rugi saja, atau harus ada tuntutan utamanya dulu? Dan
apa dasar hukumnya ya, Pak? Terus, kalau soal ganti rugi, sebenarnya berapa
besar ganti rugi yang bisa saya dapatkan? Apakah ada batas maksimalnya? Soalnya
kerugian saya bisa jadi jauh lebih besar dari itu.
Saya juga dengar ada istilah rehabilitasi.
Apa bedanya dengan ganti rugi? Apakah rehabilitasi ini khusus untuk kasus-kasus
tertentu saja, misalnya seperti kasus kepegawaian? Nah, ini yang paling
penting, Pak. Kalau misalnya saya sudah menang di PTUN dan pengadilan
memerintahkan pejabat itu untuk membayar ganti rugi atau melakukan
rehabilitasi, tapi pejabatnya tidak mau melaksanakan putusan itu, apa yang bisa
saya lakukan? Apakah ada upaya paksa yang bisa dijalankan oleh pengadilan?
Terakhir, mengenai proses pembayarannya
sendiri, bagaimana alurnya? Apakah prosedurnya sama kalau yang digugat itu
instansi pusat (Kementerian) dengan instansi daerah (Gubernur/Bupati)? Mohon
pencerahannya, Pak. Terima kasih banyak.
Jawaban
Negara hukum (rechtstaat) Indonesia
menempatkan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai salah satu pilar
fundamental dalam menjamin supremasi hukum dan melindungi hak-hak warga negara
dari tindakan administrasi pemerintahan.
Kehadiran PTUN berfungsi sebagai mekanisme
kontrol yudisial, memastikan bahwa setiap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) senantiasa
berlandaskan pada peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan
yang baik.
Dalam kerangka perlindungan hukum tersebut,
tidak cukup hanya dengan menyatakan suatu keputusan pemerintah batal atau tidak
sah. Diperlukan adanya mekanisme pemulihan yang efektif bagi warga negara
yang telah dirugikan.
Landasan filosofis bagi mekanisme pemulihan
ini berakar pada adagium hukum universal, Ubi jus ibi remedium,
yang bermakna “di mana ada hak, di sana ada pemulihan”. Adagium ini
menegaskan bahwa penegakan hak tidak akan sempurna tanpa adanya upaya hukum (remedy)
untuk memulihkan keadaan pihak yang haknya dilanggar.
Dalam konteks sengketa administrasi negara,
pemulihan tersebut diwujudkan melalui instrumen ganti rugi dan rehabilitasi.
Ganti rugi bertujuan untuk memberikan kompensasi atas kerugian materiil yang
timbul, sementara rehabilitasi bertujuan untuk memulihkan hak, kedudukan,
harkat, serta martabat seseorang, khususnya dalam sengketa kepegawaian.
Artikel ini akan mengupas secara
komprehensif dan sistematis mengenai ketentuan ganti rugi dan rehabilitasi
dalam perkara Tata Usaha Negara. Pembahasan akan dimulai dari landasan yuridis
yang menjadi pintu masuk bagi kedua tuntutan tersebut, dilanjutkan dengan
analisis mendalam mengenai prosedur permohonan, mekanisme pembayaran ganti
rugi, ruang lingkup rehabilitasi, hingga mekanisme eksekusi putusan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Landasan Yuridis Tuntutan Ganti Rugi dan Rehabilitasi
Tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi dalam
sengketa Tata Usaha Negara bukanlah tuntutan yang dapat berdiri sendiri. Keduanya
memiliki sifat accesoir atau tambahan yang melekat pada
tuntutan pokok, yakni pembatalan atau pernyataan tidak sahnya suatu
Keputusan Tata Usaha Negara. Kerangka hukum yang menjadi dasar pengajuan dan
pengabulan kedua tuntutan ini diatur secara fundamental dalam Undang-Undang PTUN.
Sifat Accesoir Tuntutan Ganti Rugi dan Rehabilitasi
Pintu masuk bagi penggugat untuk menuntut
ganti rugi dan/atau rehabilitasi diatur dalam Pasal 53 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
yang selanjutnya disebut “UU PTUN”. Pasal tersebut menyatakan:
“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan
tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan
Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah,
dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.”
Frasa “dengan atau tanpa disertai”
dalam pasal tersebut secara eksplisit menunjukkan bahwa tuntutan ganti rugi
dan/atau rehabilitasi merupakan tuntutan sekunder yang bergantung pada
dikabulkannya tuntutan primer. Artinya, hakim hanya akan mempertimbangkan
dan mengabulkan tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi apabila tuntutan pokok
untuk membatalkan KTUN yang digugat telah terbukti beralasan hukum dan
dikabulkan. Jika gugatan pokok ditolak, maka secara otomatis tuntutan
tambahan ini pun akan ditolak.
Kewenangan Hakim dalam Amar Putusan
Kewenangan hakim untuk menjatuhkan amar yang
berisi kewajiban pembayaran ganti rugi dan pelaksanaan rehabilitasi diberikan
secara tegas dalam Pasal 97 UU PTUN. Ketentuan ini menjadi
dasar bagi hakim untuk tidak hanya membatalkan keputusan yang melawan hukum,
tetapi juga memerintahkan pemulihan atas akibat hukum yang ditimbulkannya.
Pasal 97 ayat (10) UU PTUN menyatakan:
“Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai
pembebanan ganti rugi.”
Ketentuan ini memberikan diskresi kepada
majelis hakim untuk membebankan ganti rugi kepada Badan atau Pejabat TUN yang
keputusannya dibatalkan, berdasarkan penilaian atas fakta dan bukti kerugian
yang diajukan di persidangan.
Kemudian, Pasal 97 ayat (11) UU PTUN secara
khusus mengatur:
“Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(8) menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi.”
Pasal ini menggarisbawahi kekhususan
sengketa kepegawaian, di mana kerugian yang dialami seorang aparatur sipil
negara tidak hanya bersifat materiil, tetapi juga imateriel, sehingga
memerlukan pemulihan nama baik dan kedudukan melalui rehabilitasi.
Perluasan objek sengketa di PTUN, yang kini
tidak hanya terbatas pada Keputusan Tata Usaha Negara (penetapan tertulis),
telah membawa implikasi signifikan terhadap tuntutan ganti rugi. Sejak
berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, yang selanjutnya disebut “UU Administrasi
Pemerintahan”, serta diperkuat oleh Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa
Tindakan Pemerintahan Dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum Oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad), yang
selanjutnya disebut “PERMA 2/2019”, kewenangan PTUN diperluas
untuk mengadili “Tindakan Pemerintahan” yang bersifat faktual (feitelijke
handelingen) dan perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah.
Konsekuensinya, ganti rugi kini dapat
dituntut tidak hanya atas kerugian akibat surat keputusan yang cacat hukum,
tetapi juga atas kerugian nyata yang timbul dari perbuatan faktual (misalnya,
pembongkaran bangunan tanpa dasar hukum) atau kelalaian pemerintah untuk
bertindak (omission). Hal ini secara fundamental mengubah PTUN dari
sekadar forum pengujian legalitas formal menjadi arena untuk mencari keadilan
materiel yang lebih substantif.
Ganti Rugi: Mekanisme, Prosedur, dan Pelaksanaan Pembayaran
Setelah putusan pengadilan yang memuat amar
pembayaran ganti rugi memperoleh kekuatan hukum tetap, proses selanjutnya
adalah pelaksanaan pembayaran. Prosedur ini diatur secara spesifik dalam
peraturan pelaksana untuk memastikan adanya kepastian hukum dalam pemulihan
kerugian penggugat.
Definisi, Ruang Lingkup, dan Besaran Ganti Rugi
Definisi yuridis ganti rugi dalam konteks
PTUN diatur dalam Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya
pada Peradilan Tata Usaha Negara, yang selanjutnya disebut “PP
43/1991”. Ganti rugi didefinisikan sebagai:
“pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan hukum
perdata atas beban Badan Tata Usaha Negara berdasarkan putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara karena adanya kerugian materiil yang diderita oleh penggugat.”
Definisi ini secara tegas membatasi ruang
lingkup ganti rugi hanya pada kerugian yang bersifat materiil, yaitu kerugian
yang dapat dihitung nilainya secara ekonomis. Kerugian imateriel, seperti
penderitaan batin atau rusaknya nama baik (di luar konteks kepegawaian), tidak
dapat dituntut melalui mekanisme ganti rugi di PTUN.
Namun, aspek yang paling problematis dari
regulasi ini adalah mengenai besaran ganti rugi. Pasal 3 ayat (1) PP
43/1991 menetapkan bahwa:
“Besarnya ganti rugi yang dapat diperoleh penggugat paling
sedikit Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah), dan paling banyak Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah), dengan memperhatikan keadaan yang nyata.”.
Batasan nominal yang ditetapkan pada tahun
1991 ini sudah tidak lagi relevan dengan kondisi ekonomi saat ini. Nilai
maksimal Rp 5.000.000 seringkali tidak sebanding dengan kerugian riil yang
diderita oleh individu atau badan usaha akibat keputusan pemerintah yang
melawan hukum.
Kegagalan pemerintah untuk merevisi
peraturan ini selama lebih dari tiga dekade merupakan bentuk pengabaian
legislatif (legislative neglect) yang secara sistemik mendegradasi nilai
keadilan restitutif. Akibatnya, instrumen ganti rugi yang seharusnya menjadi
mekanisme pemulihan yang efektif, kini lebih bersifat simbolis dan seringkali
tidak memberikan efek jera maupun pemulihan yang sepadan bagi korban.
Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi
Prosedur pembayaran ganti rugi dibedakan
berdasarkan sumber anggarannya, yaitu APBN untuk instansi pusat dan APBD untuk
instansi daerah.
Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Tata cara pembayaran yang menjadi beban APBN
diatur secara detail dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 1129/KMK.01/1991 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi
Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, yang selanjutnya
disebut “KMK 1129/1991”. Alur prosedurnya adalah sebagai
berikut:
1.
Permohonan dari Ketua PTUN
Atas permohonan pihak yang berhak (penggugat), Ketua PTUN
mengajukan permohonan penyediaan dana kepada Menteri atau Pimpinan Lembaga yang
menjadi pihak tergugat, dengan melampirkan salinan putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap.
2. Permintaan
Penerbitan SKO
Berdasarkan permohonan tersebut, Menteri atau Pimpinan
Lembaga tergugat mengajukan permintaan penerbitan Surat Keputusan Otorisasi
(SKO) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran.
3. Penerbitan SKO
Direktur Jenderal Anggaran, setelah melakukan penelitian,
menerbitkan SKO yang bebannya dialokasikan pada Bagian Anggaran Bendahara Umum
Negara (BA BUN).
4. Pengajuan Pembayaran
ke KPPN
Pihak yang berhak, setelah menerima SKO, mengajukan
permohonan pembayaran kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)
melalui instansi tergugat.
5. Penerbitan SPM dan
SP2D
Instansi tergugat kemudian mengajukan Surat Perintah Membayar
(SPM) kepada KPPN, yang selanjutnya akan menerbitkan Surat Perintah Pencairan
Dana (SP2D) langsung ke rekening pihak yang berhak.
Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Untuk ganti rugi yang menjadi beban
pemerintah daerah, Pasal 4 ayat (2) PP 43/1991 mendelegasikan
pengaturannya lebih lanjut kepada Menteri Dalam Negeri. Namun, hingga saat
ini, belum ada Peraturan Menteri Dalam Negeri yang secara khusus diterbitkan
untuk mengatur mekanisme teknis pembayaran ganti rugi dari APBD sebagaimana diamanatkan
oleh peraturan tersebut.
Ketiadaan peraturan pelaksana ini
menciptakan suatu kekosongan hukum prosedural di tingkat daerah. Akibatnya,
pemerintah daerah tidak memiliki pedoman yang baku untuk menganggarkan dan
mencairkan dana ganti rugi, yang berpotensi besar menyebabkan keterlambatan,
kesulitan administrasi, bahkan kegagalan pelaksanaan putusan PTUN. Kondisi ini
menjadi hambatan struktural yang signifikan dalam upaya penegakan hukum
administrasi di daerah.
Pihak yang Berhak Menerima Pembayaran
Pihak yang berhak menerima pembayaran ganti
rugi adalah orang atau badan hukum perdata yang namanya tercantum dalam amar
putusan sebagai penggugat yang gugatannya dikabulkan, atau dalam hal penggugat
perorangan telah meninggal dunia, maka hak tersebut beralih kepada ahli
warisnya yang sah menurut hukum.
Rehabilitasi: Pemulihan Hak, Martabat, dan Kedudukan
Berbeda dengan ganti rugi yang bersifat
materiil, rehabilitasi merupakan instrumen pemulihan yang bersifat imateriel
dan memiliki peran krusial, terutama dalam sengketa di bidang kepegawaian.
Konteks Khusus Sengketa Kepegawaian
Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang
diberhentikan secara tidak sah tidak hanya menderita kerugian finansial berupa
hilangnya gaji dan tunjangan, tetapi juga kerugian yang lebih mendalam, yaitu
hilangnya status, jabatan, hak-hak pensiun, serta tercorengnya harkat,
martabat, dan nama baiknya. Oleh karena itu, Pasal 97 ayat (11) UU PTUN secara
khusus menyediakan mekanisme rehabilitasi untuk memulihkan kerugian imateriel
tersebut. Penjelasan Pasal 121 UU PTUN mendefinisikan
rehabilitasi sebagai:
“pemulihan hak penggugat dalam kemampuan kedudukan, harkat,
dan martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula, sebelum ada keputusan
yang disengketakan.”
Ini berarti, pelaksanaan rehabilitasi
mencakup pengembalian ASN tersebut ke dalam jabatan semula atau jabatan lain
yang setingkat, serta pemulihan seluruh hak-hak kepegawaiannya seolah-olah KTUN
yang dibatalkan tersebut tidak pernah ada.
Prosedur Pelaksanaan Rehabilitasi
Prosedur pelaksanaan rehabilitasi diatur
dalam Pasal 121 UU PTUN, yang menyatakan:
(1)
Dalam hal gugatan yang berkaitan dengan bidang kepegawaian
dikabulkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat
(11), salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi
dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan
itu memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2)
Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang
rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh
Pengadilan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban
melaksanakan rehabilitasi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan itu
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal ini menekankan peran aktif pengadilan
untuk segera memberitahukan kewajiban pelaksanaan rehabilitasi kepada instansi
yang bersangkutan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Kompensasi sebagai Alternatif Rehabilitasi
Terkadang, pelaksanaan rehabilitasi secara
sempurna tidak dimungkinkan. Misalnya, jabatan yang diduduki penggugat
sebelumnya telah dihapus karena restrukturisasi organisasi, atau telah diisi
oleh pejabat definitif melalui proses seleksi terbuka yang sulit untuk
dibatalkan. Untuk mengatasi situasi semacam ini, hukum acara PTUN menyediakan
mekanisme alternatif berupa kompensasi.
Dasar hukumnya adalah Pasal 117
UU PTUN jo. Pasal 10 PP 43/1991. Prosedur
teknis penetapan kompensasi ini kini diperjelas dalam Petunjuk
Pelaksanaan Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 01/KM.TUN/HK2.7/JUKLAK/VII/2024, yang selanjutnya
disebut “Juklak Eksekusi 2024”. Berdasarkan Juklak tersebut,
prosesnya adalah sebagai berikut:
1.
Ketua PTUN memanggil para pihak untuk melakukan musyawarah
guna mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besaran kompensasi.
2. Apabila kesepakatan
tidak tercapai, Ketua PTUN akan mengeluarkan penetapan yang menentukan jumlah
kompensasi dengan mempertimbangkan keadaan nyata dan kerugian yang diderita
penggugat.
3. Pihak yang tidak
puas dengan penetapan tersebut dapat mengajukan permohonan penetapan kembali
kepada Mahkamah Agung, yang putusannya bersifat final dan mengikat.
Eksekusi Putusan: Upaya Paksa dan Pedoman Terkini
Salah satu tantangan terbesar dalam sistem
Peradilan Tata Usaha Negara adalah memastikan kepatuhan Badan atau Pejabat TUN
terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Seiring waktu,
mekanisme eksekusi telah mengalami evolusi signifikan untuk memperkuat daya
paksa putusan.
Evolusi Mekanisme Eksekusi dalam UU PTUN
Pada awalnya, Pasal 116
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 hanya
menyediakan mekanisme eksekusi yang bersifat persuasif, yaitu melalui pelaporan
berjenjang dari Ketua Pengadilan kepada atasan pejabat yang bersangkutan, dan
puncaknya kepada Presiden. Mekanisme ini terbukti tidak efektif karena
sangat bergantung pada kemauan baik hierarki birokrasi dan tidak memiliki daya
paksa yang nyata.
Menyadari kelemahan ini, perubahan
signifikan dilakukan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
51 Tahun 2009. Pasal 116 ayat (4) yang baru
memperkenalkan instrumen upaya paksa yang lebih konkret, yang menyatakan:
“Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang
bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa
dan/atau sanksi administratif.”
Namun, pengenalan instrumen uang paksa (dwangsom)
dan sanksi administratif ini menghadapi kendala implementasi yang serius. Pasal
116 ayat (7) UU PTUN mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut
mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi, dan tata cara pelaksanaannya harus
diatur dengan peraturan perundang-undangan. Hingga kini, Peraturan
Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana dari amanat tersebut belum pernah
diterbitkan oleh pemerintah. Ketiadaan peraturan pelaksana ini menciptakan
kevakuman hukum yang menjadikan ketentuan upaya paksa tersebut laksana “macan
kertas”—ada dalam undang-undang namun tidak dapat dieksekusi secara efektif di
lapangan.
Terobosan Yudisial melalui Juklak Eksekusi 2024
Untuk mengatasi kebuntuan eksekusi yang
telah berlangsung lama, Mahkamah Agung mengambil langkah proaktif dengan
menerbitkan Juklak Eksekusi 2024. Petunjuk pelaksanaan
ini menjadi terobosan yudisial yang memberikan panduan teknis dan alur yang
jelas bagi Ketua PTUN dalam mengawasi dan memaksa pelaksanaan putusan. Prosedur
utama yang diatur dalam Juklak tersebut meliputi:
1.
Permohonan Eksekusi
Diajukan oleh penggugat setelah 90 hari kerja sejak putusan
diterima oleh tergugat dan kewajiban belum dilaksanakan.
2. Pengawasan Eksekusi
Ketua PTUN memanggil para pihak untuk didengar keterangannya
terkait kendala pelaksanaan putusan.
3. Surat Peringatan
Jika tidak ada alasan yang sah, Ketua PTUN mengeluarkan surat
peringatan kepada tergugat untuk segera melaksanakan putusan.
4. Penetapan Eksekusi
Jika peringatan tidak diindahkan, Ketua PTUN menerbitkan
Penetapan Eksekusi yang berisi perintah pelaksanaan putusan dengan ancaman
penerapan upaya paksa.
5. Penerapan Upaya
Paksa
Jika penetapan eksekusi tetap tidak dilaksanakan, Ketua PTUN
dapat mengambil langkah-langkah, antara lain: mengumumkan ketidakpatuhan
pejabat di media massa, dan menyurati pejabat yang berwenang untuk menjatuhkan
sanksi administratif kepada pejabat yang bersangkutan (merujuk pada mekanisme
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2016
tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pejabat Pemerintahan).
6. Laporan kepada
Presiden dan DPR
Sebagai langkah akhir, Ketua Pengadilan melaporkan
ketidakpatuhan tersebut kepada Presiden dan lembaga perwakilan rakyat untuk
menjalankan fungsi pengawasan.
Implementasi Rehabilitasi dalam Sengketa Kepegawaian
Untuk memberikan gambaran konkret mengenai
penerapan rehabilitasi, dapat dicermati sebagaimana Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara Samarinda Nomor 52/G/2019/PTUN.SMD, tertanggal 21 Januari
2020 oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh DAHLAN, S.H., M.H.,
dengan hakim anggota AGUS SYAUKI, S.H., dan FEBRUORI DIAN
SASMITA, S.H., serta dibantu oleh NURHAYATI, S.H., sebagai
Panitera Pengganti.
Penggugat, JOKO PITONO, S.Sos., M.Si,
seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), melawan Tergugat, yaitu BUPATI
KUTAI KARTANEGARA.
Adapun Duduk Perkara (Ringkas), bahwa
Penggugat, seorang PNS, diberhentikan tidak dengan hormat melalui Keputusan
Bupati Kutai Kartanegara Nomor: 888/III.1-405/A.SK./VII/BKPSDM/2019.
Pemberhentian ini didasarkan pada putusan pengadilan tindak pidana korupsi yang
telah berkekuatan hukum tetap. Namun, Penggugat mendalilkan bahwa sebelum
keputusan pemberhentian tersebut terbit, ia telah lebih dulu dijatuhi hukuman
disiplin berat berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga)
tahun atas dasar putusan pidana yang sama.
Penggugat berargumen bahwa penerbitan
keputusan pemberhentian merupakan bentuk penjatuhan sanksi disiplin untuk kedua
kalinya atas satu pelanggaran yang sama, yang bertentangan dengan asas ne
bis in idem dalam hukum administrasi.
Kemudian, Majelis Hakim dalam
pertimbangannya menemukan fakta bahwa Penggugat memang telah dijatuhi dua
sanksi disiplin yang berbeda untuk satu pelanggaran yang sama. Meskipun sanksi
pertama (penurunan pangkat) telah dicabut oleh Tergugat, pencabutan tersebut
dilakukan dengan tujuan untuk dapat menjatuhkan sanksi yang lebih berat
(pemberhentian). Majelis Hakim menilai tindakan Tergugat ini bertentangan
dengan Pasal 30 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53
Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang secara tegas
menyatakan:
“PNS tidak dapat dijatuhi hukuman disiplin dua kali atau
lebih untuk satu pelanggaran disiplin”.
Tindakan Tergugat juga dinilai melanggar
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, khususnya asas kepastian hukum, asas
keadilan, dan asas kecermatan. Oleh karena itu, Keputusan Tata Usaha Negara
yang menjadi objek sengketa dinyatakan cacat hukum dan harus dibatalkan.
Kemudian, terkait tuntutan rehabilitasi,
Majelis Hakim berpendapat bahwa karena Keputusan Bupati tentang pemberhentian
dinyatakan batal, maka Tergugat wajib mencabutnya. Sebagai konsekuensi hukum
dari pembatalan dan pencabutan tersebut, maka untuk memulihkan kembali
kedudukan, hak-hak, dan martabat Penggugat seperti keadaan semula sebelum
adanya keputusan yang dibatalkan, tuntutan rehabilitasi tersebut beralasan
hukum untuk dikabulkan.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut,
Majelis Hakim menjatuhkan putusan dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI
DALAM EKSEPSI:
Menyatakan eksepsi Tergugat tidak
diterima;
DALAM POKOK PERKARA:
1.
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal
Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor: 888/III.1-405/A.SK/VII/BKPSDM/2019
Tanggal 30 Juli 2019 Tentang Pemberhentian Karena Melakukan Tindak Pidana
Kejahatan Jabatan atau Tindak Pidana Kejahatan Yang Ada Hubungannya Dengan
Jabatan kepada JOKO PITONO, S.Sos., M.Si, NIP 198010141999121001;
3. Mewajibkan Tergugat
untuk mencabut Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor:
888/III.1-405/A.SK/VII/BKPSDM/2019 Tanggal 30 Juli 2019 Tentang Pemberhentian
Karena Melakukan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan atau Tindak Pidana Kejahatan
Yang Ada Hubungannya Dengan Jabatan kepada JOKO PITONO, S.Sos., M.Si, NIP
198010141999121001;
4. Mewajibkan Tergugat
untuk merehabilitasi kedudukan, hak-hak, dan martabat Penggugat seperti keadaan
semula;
5. Menghukum Tergugat
untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 416.000,- (Empat ratus enam belas
ribu rupiah).
Amar putusan rehabilitasi seperti ini
menjadi manifestasi dari fungsi PTUN sebagai penjaga hak-hak ASN, memastikan
bahwa tindakan pendisiplinan dilakukan sesuai koridor hukum dan tidak
sewenang-wenang.
Kesimpulan
Ganti rugi dan rehabilitasi merupakan dua
instrumen hukum yang vital dalam sistem Peradilan Tata Usaha Negara, berfungsi
sebagai mekanisme pemulihan hak bagi warga negara yang dirugikan oleh tindakan
administrasi pemerintahan. Keduanya bersifat accesoir, yang hanya
dapat dikabulkan apabila tuntutan pokok untuk membatalkan Keputusan Tata Usaha
Negara dikabulkan oleh pengadilan.
Prosedur untuk memperoleh kedua remedi ini
telah diatur dalam serangkaian peraturan perundang-undangan, mulai dari UU PTUN,
PP 43/1991, hingga peraturan teknis di tingkat kementerian.
Meskipun demikian, implementasi ketentuan
ganti rugi dan rehabilitasi masih menghadapi tantangan struktural yang
signifikan. Pertama, besaran ganti rugi yang diatur dalam PP
43/1991 sudah tidak relevan dengan kondisi ekonomi saat ini, sehingga
mendesak untuk direvisi agar dapat memberikan pemulihan yang sepadan. Kedua,
terdapat kekosongan hukum yang serius akibat belum diterbitkannya peraturan
pemerintah sebagai pelaksana ketentuan uang paksa (dwangsom) dan sanksi
administratif yang diamanatkan oleh UU PTUN sejak tahun 2009. Ketiga,
ketiadaan peraturan teknis dari Menteri Dalam Negeri mengenai tata cara
pembayaran ganti rugi yang bersumber dari APBD menciptakan ketidakpastian hukum
dan menghambat eksekusi putusan terhadap pejabat daerah.
Di tengah tantangan tersebut, langkah
proaktif Mahkamah Agung melalui penerbitan Juklak Eksekusi 2024
patut diapresiasi sebagai upaya yudisial untuk mengisi kekosongan dan
memperkuat daya paksa putusan PTUN. Namun, solusi ini sejatinya bersifat
sementara dan tidak dapat menggantikan kewajiban pemerintah, baik eksekutif
maupun legislatif, untuk segera melakukan reformasi regulasi yang komprehensif.
Revisi PP 43/1991, penerbitan
PP pelaksana Pasal 116 UU PTUN, serta penerbitan Peraturan
Menteri Dalam Negeri terkait pembayaran dari APBD adalah langkah-langkah yang
mutlak diperlukan untuk mewujudkan kepastian hukum yang paripurna dan
memastikan bahwa putusan PTUN tidak hanya menjadi kemenangan di atas kertas, tetapi
juga keadilan yang nyata dirasakan oleh masyarakat.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang
ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan
melalui tautan yang
tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau
menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di
sini.


