layananhukum

Begini Prosedur Pengajuan Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara


Pengantar

Sebagai negara hukum (rechtsstaat), Negara Kesatuan Republik Indonesia menyediakan serangkaian mekanisme yuridis untuk memastikan bahwa setiap tindakan pemerintahan senantiasa berlandaskan pada hukum dan keadilan. Salah satu pilar fundamental dalam fondasi negara hukum modern adalah keberadaan lembaga peradilan yang berfungsi sebagai instrumen kontrol yudisial (judicial control) terhadap tindakan administrasi negara.

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan manifestasi konkret dari fungsi tersebut, yang secara konstitusional diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan peradilan guna memberikan perlindungan hukum bagi warga negara dari potensi tindakan sewenang-wenang (willekeur atau abuse of power) yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintah. Keberadaan PTUN bukan hanya sekadar pelengkap sistem peradilan, melainkan sebuah prasyarat esensial dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Landasan filosofis yang melatari hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah adagium presumptio iustae causa, atau asas praduga keabsahan. Asas ini menyatakan bahwa setiap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang diterbitkan oleh pemerintah harus dianggap sah menurut hukum (rechtmatig) dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan sebaliknya. 

Asas ini bukanlah sekadar postulat teoretis, melainkan memiliki implikasi prosedural yang sangat signifikan. Ia menjadi dasar bagi ketentuan dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang selanjutnya disebut dengan “UU PTUN”, yang menyatakan bahwa gugatan pada dasarnya tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat. 

Konsekuensi logis dari asas ini adalah terciptanya suatu asimetri fundamental antara posisi negara sebagai pembuat keputusan dan posisi warga negara sebagai subjek yang terdampak. Untuk menyeimbangkan asimetri ini, hukum acara PTUN menyediakan suatu jalur yang terstruktur dan rigid bagi warga negara untuk menantang keabsahan KTUN tersebut, sehingga menciptakan urgensi bagi pihak yang merasa dirugikan untuk memahami dan menavigasi setiap tahapan prosedur hukum secara cermat dan presisi.   

Untuk memahami kerangka prosedural tersebut, pemahaman atas beberapa definisi fundamental menjadi niscaya. PertamaKeputusan Tata Usaha Negara (KTUN), sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 9 UU PTUN, adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. 

KeduaSengketa Tata Usaha Negara, menurut Pasal 1 Angka 10 UU PTUN, adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian.   

Dari definisi tersebut, teridentifikasi pula para pihak yang terlibat dalam sengketa. Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN. 

Sementara itu, Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata tersebut. 

Artikel ini akan menguraikan secara komprehensif dan sistematis prosedur pengajuan gugatan sengketa Tata Usaha Negara, mulai dari prasyarat fundamental yang harus dipenuhi hingga panduan praktis pendaftaran perkara melalui sistem peradilan elektronik (e-Court).   

Prasyarat Fundamental Sebelum Mengajukan Gugatan

Sebelum sebuah gugatan dapat didaftarkan dan diperiksa oleh majelis hakim, terdapat serangkaian prasyarat yuridis yang bersifat imperatif dan harus dipenuhi oleh Penggugat. Kegagalan dalam memenuhi prasyarat-prasyarat ini dapat berakibat pada gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) oleh pengadilan melalui suatu putusan dismissal.

Kewenangan Mengadili (Kompetensi) Pengadilan

Kewenangan atau kompetensi pengadilan merupakan syarat utama yang menentukan apakah suatu pengadilan berhak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara. Dalam konteks PTUN, kewenangan ini terbagi menjadi dua, yakni kompetensi absolut dan kompetensi relatif.

Kompetensi Absolut berkaitan dengan kewenangan mutlak suatu badan peradilan untuk mengadili jenis perkara tertentu. Pasal 47 UU PTUN secara tegas menyatakan bahwa,

“Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”. 

Kewenangan absolut ini, bagaimanapun, tidak tanpa batas. UU PTUN juga mengatur serangkaian pengecualian. Pasal 2 UU PTUN sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang selanjutnya disebut dengan “UU Nomor 9 Tahun 2004”, mengecualikan beberapa jenis keputusan dari lingkup KTUN, seperti keputusan yang merupakan perbuatan hukum perdata, pengaturan yang bersifat umum, atau keputusan mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia

Selain itu, Pasal 49 UU PTUN juga menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa KTUN yang dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bahaya, atau keadaan luar biasa lainnya.   

Kemudian, Kompetensi Relatif berkaitan dengan distribusi kewenangan mengadili antar pengadilan yang sejenis, yang pada umumnya ditentukan berdasarkan wilayah hukum. Prinsip yang berlaku adalah actor sequitur forum rei, yang berarti gugatan diajukan di pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat. Hal ini diatur secara eksplisit dalam Pasal 54 ayat (1) UU PTUN yang menyatakan,

“Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat”. 

Pasal ini juga mengatur beberapa variasi, misalnya apabila Tergugat lebih dari satu dan berkedudukan di wilayah hukum yang berbeda, gugatan dapat diajukan ke salah satu pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Tergugat.   

Kewajiban Menempuh Upaya Administratif

Salah satu karakteristik unik dalam penyelesaian sengketa administrasi adalah adanya mekanisme upaya administratif. Pasal 48 UU PTUN menetapkan suatu kewajiban bagi calon Penggugat untuk terlebih dahulu menempuh seluruh upaya administratif yang tersedia sebelum membawa sengketanya ke pengadilan. 

Upaya administratif adalah prosedur penyelesaian sengketa yang dilakukan di dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri. Terdapat dua bentuk utama upaya administrative yaitu keberatan, yang diajukan kepada badan atau pejabat yang menerbitkan KTUN itu sendiri untuk meminta peninjauan kembali; dan banding administratif, yang diajukan kepada instansi atasan dari pejabat yang menerbitkan KTUN atau kepada badan lain yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. 

Kewajiban ini berfungsi sebagai filter untuk memastikan bahwa sengketa diselesaikan terlebih dahulu di tingkat internal pemerintahan. Hanya apabila upaya tersebut telah ditempuh dan hasilnya tidak memuaskan, pintu PTUN baru terbuka.   

Alasan-Alasan Sah untuk Menggugat (Dasar Gugatan)

Gugatan yang diajukan ke PTUN harus didasarkan pada alasan-alasan yang sah menurut hukum. Pasal 53 ayat (2) UU PTUN, sebagaimana telah diubah oleh UU No. 9 Tahun 2004, menetapkan dua kategori alasan yang dapat digunakan:

1.        KTUN yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Alasan ini mencakup pengujian terhadap aspek legalitas formal (prosedur) dan legalitas materiil (substansi). Contoh pelanggaran formal adalah penerbitan surat keputusan pemberhentian tanpa memberikan kesempatan kepada pihak yang bersangkutan untuk membela diri. Contoh pelanggaran materiil adalah apabila isi keputusan tersebut secara substansial melanggar ketentuan dalam undang-undang yang lebih tinggi.

2.       KTUN yang digugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Penambahan alasan ini melalui UU Nomor 9 Tahun 2004 merupakan sebuah lompatan kualitatif dalam hukum administrasi Indonesia. Ia mengubah peran hakim PTUN dari sekadar penguji legalitas (rechtmatigheid) menjadi penguji kepatutan (doelmatigheid). Hakim tidak lagi hanya bertanya, “Apakah keputusan ini sah secara hukum?”, tetapi juga, “Apakah keputusan ini merupakan pelaksanaan wewenang yang patut dan baik?”. Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b UU Nomor 9 Tahun 2004 merujuk pada asas-asas yang terkandung dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, seperti asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Hal ini secara signifikan memperluas cakupan pengawasan yudisial dan menuntut standar akuntabilitas yang lebih tinggi dari aparatur pemerintah.   

Batas Waktu Pengajuan Gugatan (Tenggang Waktu)

Hukum acara PTUN menetapkan batas waktu yang bersifat limitatif dan tegas untuk pengajuan gugatan. Pasal 55 UU PTUN menyatakan:

“Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”. 

Ketentuan ini bersifat final dan mengikat. Keterlambatan dalam mengajukan gugatan akan berakibat fatal, yaitu gugatan akan dinyatakan tidak dapat diterima karena telah melewati daluwarsa. Penentuan titik awal (starting point) perhitungan 90 hari tersebut menjadi krusial dan bervariasi tergantung pada posisi Penggugat:   

-        Bagi pihak yang namanya tercantum dalam KTUN (adresat), tenggang waktu dihitung sejak tanggal ia menerima keputusan tersebut secara patut.

-        Bagi pihak ketiga yang kepentingannya dirugikan, tenggang waktu dihitung sejak ia mengetahui adanya KTUN tersebut, yang dapat dibuktikan misalnya dari tanggal pengumuman KTUN di media massa.

-        Dalam hal gugatan didasarkan pada KTUN fiktif-negatif (sikap diam pejabat), tenggang waktu 90 hari dihitung setelah berakhirnya batas waktu bagi pejabat untuk merespons permohonan sesuai ketentuan Pasal 3 UU PTUN.   

Panduan Lengkap Prosedur Pendaftaran Gugatan Melalui e-Court

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah melakukan transformasi digital dalam administrasi peradilan melalui sistem e-Court. Landasan hukum utama penyelenggaraan sistem ini adalah Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik, yang selanjutnya disebut dengan “PERMA 7/2022”. 

Sistem ini mengintegrasikan berbagai tahapan, mulai dari pendaftaran perkara (e-Filing), pembayaran panjar biaya (e-Payment), hingga pemanggilan para pihak (e-Summons). Prosedur pendaftaran di PTUN saat ini mengadopsi model hibrida, yang memadukan efisiensi digital dengan verifikasi fisik untuk menjamin integritas prosedural.

Model ini merupakan strategi transisi yang pragmatis, dirancang untuk mengakomodasi berbagai tingkat literasi digital di kalangan masyarakat pencari keadilan seraya secara bertahap mengarahkan sistem peradilan menuju digitalisasi penuh.   

Tahap I: Persiapan dan Pendaftaran Akun Pengguna

Langkah awal yang fundamental adalah kepemilikan akun e-Court oleh Penggugat atau Kuasanya. Proses registrasi dilakukan melalui situs resmi e-Court Mahkamah Agung. Bagi advokat, akun yang didaftarkan harus melalui proses validasi oleh Pengadilan Tinggi di wilayah tempat advokat tersebut diambil sumpahnya. Bagi pengguna lain, seperti perorangan atau badan hukum, pendaftaran memerlukan verifikasi identitas.

Syarat utama yang tidak dapat ditawar adalah kepemilikan alamat surat elektronik (email) yang aktif, karena seluruh notifikasi dan komunikasi dari pengadilan akan disampaikan melalui email tersebut.   

Sebelum mendatangi pengadilan, Penggugat wajib mempersiapkan seluruh dokumen persyaratan dalam format digital (lazimnya PDF), yang meliputi :   

-        Surat Gugatan, yang harus disiapkan dalam dua format: .rtf (Rich Text Format) atau .doc (Microsoft Word) dan .pdf.

-        Salinan digital objek sengketa (KTUN yang digugat).

-        Salinan digital Kartu Tanda Penduduk (KTP) Penggugat atau identitas pengurus yang sah jika Penggugat adalah badan hukum.

-        Salinan digital bukti telah ditempuhnya upaya administratif (misalnya, surat keberatan dan jawaban atas keberatan tersebut).

-        Salinan digital Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, jika Penggugat berbentuk badan hukum.

-        Apabila menggunakan jasa kuasa hukum, maka disiapkan pula salinan digital Surat Kuasa Khusus, KTP Kuasa, Kartu Tanda Advokat, dan Berita Acara Sumpah Advokat.

Tahap II: Pengajuan Gugatan (e-Filing) di Meja e-Court

Proses pendaftaran secara praktik dimulai dengan kedatangan Penggugat atau Kuasanya ke Meja e-Court yang merupakan bagian dari Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di PTUN yang dituju. Meskipun sistemnya elektronik, kehadiran fisik pada tahap awal ini dirancang untuk memfasilitasi dan memastikan kelancaran proses.

Petugas di Meja e-Court akan memberikan asistensi dalam proses pengunggahan (upload) seluruh berkas digital yang telah disiapkan ke dalam aplikasi e-Court. Selain itu, Penggugat juga menyerahkan berkas fisik (hardcopy) dari surat gugatan dalam jumlah rangkap yang ditentukan oleh pengadilan setempat, yang umumnya berjumlah tujuh rangkap.   

Tahap III: Pemeriksaan Kelengkapan dan Verifikasi Berkas

Setelah seluruh dokumen berhasil diunggah, sistem akan meneruskannya secara elektronik kepada Panitera Muda Perkara untuk dilakukan verifikasi kelengkapan. Proses ini merupakan garda depan dalam penjaminan kualitas administrasi perkara.   

-        Apabila ditemukan kekurangan atau ketidaksesuaian, Panitera Muda Perkara akan menolak berkas melalui sistem dan melampirkan daftar periksa (checklist) yang merinci dokumen atau informasi apa saja yang perlu dilengkapi atau diperbaiki oleh Penggugat.   

-        Sebaliknya, jika seluruh berkas dinyatakan telah memenuhi syarat formal, Panitera Muda Perkara akan memberikan persetujuan (verifikasi) di dalam sistem, yang secara otomatis akan memicu tahapan selanjutnya.

Tahap IV: Pembayaran Panjar Biaya Perkara (e-SKUM)

Setelah berkas terverifikasi lengkap, sistem e-Court akan secara otomatis melakukan kalkulasi taksiran panjar biaya perkara dan menerbitkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) elektronik atau e-SKUM. Penggugat akan menerima notifikasi yang berisi rincian biaya beserta Nomor Pembayaran Virtual Account.

Pembayaran wajib dilakukan oleh Penggugat melalui kanal-kanal perbankan yang telah bekerja sama (seperti ATM, mobile banking, atau pembayaran melalui teller bank) sebelum batas waktu yang ditetapkan oleh sistem, yang umumnya adalah 1x24 jam. Keterlambatan pembayaran akan mengakibatkan proses pendaftaran batal secara otomatis dan harus diulang dari awal.   

Tahap V: Registrasi dan Penerbitan Nomor Perkara

Setelah pembayaran berhasil dilakukan dan sistem perbankan mengirimkan konfirmasi pembayaran ke sistem e-Court, proses pendaftaran memasuki tahap finalisasi di pengadilan.

1.        Validasi Pembayaran

Petugas kasir di pengadilan akan memvalidasi pembayaran yang masuk dan menerbitkan SKUM dengan status lunas.

2.       Pencatatan Gugatan

3.      Berdasarkan SKUM lunas, petugas di Meja Kedua atau Petugas Register akan secara resmi mencatat gugatan tersebut ke dalam buku register induk perkara dan memberikan nomor perkara yang unik.   

4.       Input Data ke SIPP

Petugas Meja Pertama kemudian akan menginput data-data esensial perkara, termasuk posita (dasar gugatan) dan petitum (tuntutan), ke dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP). SIPP adalah portal publik yang memungkinkan para pihak dan masyarakat umum untuk memantau perkembangan suatu perkara.   

5.       Penyerahan Bukti Pendaftaran

Sebagai bukti bahwa gugatan telah terdaftar secara sah, Penggugat atau Kuasanya akan menerima kembali satu rangkap salinan gugatan yang telah dibubuhi nomor perkara dan stempel resmi pengadilan, beserta salinan SKUM yang telah dinyatakan lunas. Sejak saat itu, proses hukum acara di persidangan secara resmi dimulai.   

Gugatan PTUN terkait Kepegawaian

Untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai penerapan hukum acara PTUN dalam praktik, analisis terhadap putusan pengadilan menjadi instrumen yang sangat relevan. Studi kasus tidak hanya mengilustrasikan bagaimana norma hukum diabstraksikan dalam sengketa konkret, tetapi juga menyoroti bagaimana hakim menafsirkan dan menerapkan prinsip-prinsip hukum fundamental.

Sengketa kepegawaian, khususnya mengenai pemberhentian, merupakan salah satu jenis perkara yang paling sering diadili di PTUN. Salah satu contoh representatif adalah Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN.JKT, tertanggal 23 Juli 2020.   

Duduk Perkara (Casus Positie)

Perkara ini bermula dari gugatan yang diajukan oleh Dra. Evi Novida Ginting Manik, M.SP., seorang Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) masa jabatan 2017-2022, terhadap Presiden Republik Indonesia. 

Objek sengketa adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022, tertanggal 23 Maret 2020. Penerbitan Keputusan Presiden tersebut merupakan tindak lanjut dari Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019, yang menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Penggugat.   

Fakta-Fakta yang Terungkap di Persidangan

Dalam persidangan terungkap serangkaian fakta krusial yang menjadi dasar pertimbangan hakim. Pengaduan awal ke DKPP diajukan oleh Sdr. Hendri Makaluasc. Namun, pada sidang pemeriksaan pertama DKPP tanggal 13 November 2019, Sdr. Hendri Makaluasc secara resmi menyampaikan surat pencabutan pengaduan dan tidak membacakan pokok pengaduannya, yang kemudian membuat Ketua Majelis Pemeriksa DKPP saat itu menutup sidang. 

Meskipun pengaduan telah dicabut, DKPP tetap melanjutkan proses dengan menggelar sidang pemeriksaan kedua pada 17 Januari 2020. Pada sidang kedua ini, Penggugat (saat itu berstatus Teradu) tidak dapat hadir karena sedang menjalani perawatan di rumah sakit pasca operasi usus buntu. 

Selanjutnya, pada 10 Maret 2020, DKPP menggelar Rapat Pleno pengambilan putusan yang hanya dihadiri oleh empat dari tujuh Anggota DKPP, sebelum akhirnya mengucapkan putusan pada 18 Maret 2020.   

Pertimbangan Hukum Hakim (Ratio Decidendi)

Majelis Hakim PTUN Jakarta dalam pertimbangannya menemukan adanya cacat yuridis yang fundamental dalam proses penerbitan Putusan DKPP, yang berimplikasi langsung pada keabsahan Keputusan Presiden yang menjadi objek sengketa. Pertimbangan utama hakim mencakup dua aspek fundamental:

1.        Pelampauan Wewenang (Detournement de Pouvoir)

Hakim menilai bahwa kewenangan DKPP untuk memeriksa dan memutus suatu aduan bersifat terikat (gebonden bevoegdheid), yang artinya kewenangan tersebut baru aktif dan berlaku setelah adanya aduan yang sah. Ketika Pengadu, Sdr. Hendri Makaluasc, mencabut pengaduannya pada sidang pertama, maka secara hukum sengketa etik tersebut telah berakhir.

Dengan demikian, DKPP kehilangan dasar kewenangan (yurisdiksi) untuk melanjutkan pemeriksaan, menggelar rapat pleno, dan menjatuhkan putusan. Tindakan DKPP yang tetap melanjutkan proses setelah pencabutan pengaduan dianggap sebagai tindakan yang melampaui batas wewenang.   

2.       Cacat Prosedur yang Serius

Hakim menemukan beberapa pelanggaran prosedur yang fatal. Pertama, tidak terpenuhinya asas audi et alteram partem (dengarkan juga pihak lain), di mana DKPP tidak memberikan kesempatan yang patut bagi Penggugat untuk membela diri, mengingat ketidakhadirannya pada sidang kedua disebabkan oleh alasan sakit yang sah. 

Kedua, Rapat Pleno pengambilan putusan pada 10 Maret 2020 hanya dihadiri oleh empat anggota DKPP. Hal ini melanggar Peraturan DKPP itu sendiri yang mensyaratkan kuorum rapat pleno minimal dihadiri oleh lima orang anggota. Karena keputusan diambil dalam forum yang tidak memenuhi kuorum, maka putusan yang dihasilkannya menjadi tidak sah secara prosedural.   

Berdasarkan temuan cacat wewenang dan cacat prosedur tersebut, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 adalah tidak sah. Oleh karena Keputusan Presiden Nomor 34/P Tahun 2020 diterbitkan semata-mata untuk melaksanakan putusan DKPP yang tidak sah tersebut, maka Keputusan Presiden itu pun menjadi tidak sah dan harus dibatalkan.   

Amar Putusan

Amar putusan dalam perkara ini sangat tegas dan komprehensif, yang mencakup :   

1.        Dalam Penundaan

Mengabulkan permohonan penundaan dan memerintahkan Tergugat untuk menunda pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut selama proses pemeriksaan hingga adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.

2.       Dalam Eksepsi

Menyatakan eksepsi Tergugat tidak diterima.

3.      Dalam Pokok Perkara

-        Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.

-        Menyatakan batal Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P Tahun 2020.

-        Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Presiden tersebut.

-        Mewajibkan Tergugat untuk merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan Penggugat sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 seperti semula sebelum diberhentikan.

-        Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.

Putusan ini menjadi contoh konkret bagaimana PTUN berfungsi sebagai benteng keadilan administratif, di mana ia dapat membatalkan keputusan pejabat tertinggi negara sekalipun jika terbukti melanggar hukum.

Permohonan Penundaan dan Perlindungan Hukum Sementara

Studi kasus di atas juga menyoroti pentingnya instrumen permohonan penundaan. Sebagaimana telah dibahas, asas presumptio iustae causa menyebabkan KTUN dapat langsung dieksekusi meskipun sedang digugat. Untuk mencegah timbulnya kerugian yang tidak dapat dipulihkan (irreparable harm) bagi Penggugat, UU PTUN menyediakan mekanisme perlindungan hukum sementara melalui Pasal 67 ayat (2), (3), dan (4). Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan KTUN ditunda selama proses persidangan berlangsung.   

Permohonan ini hanya dapat dikabulkan apabila Penggugat mampu meyakinkan hakim bahwa terdapat “keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan” dan penundaan tersebut tidak bertentangan dengan “kepentingan umum dalam rangka pembangunan”. Dalam kasus pemberhentian, misalnya, kehilangan jabatan dan penghasilan dapat dianggap sebagai kerugian mendesak yang sulit dipulihkan.   

Pemberian kesempatan kepada Penggugat untuk mengajukan permohonan penundaan ini dapat dilihat sebagai manifestasi dari adagium hukum fundamental lainnya, yaitu audi et alteram partem, yang berarti “dengarkan juga pihak lain”. Sebelum pengadilan memutus pokok perkara secara menyeluruh, ia terlebih dahulu “mendengar” argumen awal Penggugat mengenai potensi kerugian yang akan dideritanya.

Dengan mengabulkan penundaan, pengadilan memberikan perlindungan sementara untuk memastikan bahwa hak-hak Penggugat tidak menjadi ilusi dan putusan akhir tidak kehilangan maknanya, seandainya gugatan tersebut pada akhirnya dikabulkan. Ini adalah wujud keseimbangan antara kepentingan negara untuk menjalankan pemerintahan dan kepentingan individu untuk memperoleh keadilan.   

Penutup: Refleksi dan Proyeksi Keadilan Administratif

Prosedur pengajuan gugatan sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana telah diuraikan secara mendetail, merefleksikan sebuah perjalanan dinamis dari sistem peradilan Indonesia dalam beradaptasi dengan tuntutan zaman. Pergeseran dari mekanisme yang sepenuhnya konvensional menuju model hibrida yang mengintegrasikan sistem e-Court menandai sebuah langkah signifikan dalam upaya mewujudkan peradilan yang lebih efisien, transparan, dan dapat diakses oleh masyarakat luas.

Rangkaian tahapan, mulai dari pemenuhan prasyarat formal, pendaftaran akun, pengunggahan berkas secara elektronik dengan asistensi petugas di Meja e-Court, hingga verifikasi dan pembayaran biaya secara digital, merupakan sebuah kerangka kerja yang dirancang untuk menyeimbangkan modernisasi dengan kebutuhan akan kepastian dan integritas prosedural.

Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara, dengan segala perangkat hukum acaranya, menegaskan kembali komitmen Indonesia sebagai negara hukum. Prosedur yang jelas, tenggat waktu yang pasti, dan dasar gugatan yang terdefinisi dengan baik, termasuk pengakuan terhadap Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, merupakan instrumen krusial yang memungkinkan PTUN untuk secara efektif menjalankan fungsinya sebagai penjaga hukum administrasi.

Ia berdiri sebagai benteng pertahanan bagi hak-hak warga negara dalam menghadapi kekuasaan aparatur negara, memastikan bahwa setiap tindakan pemerintahan senantiasa berada dalam koridor legalitas dan kepatutan.

Ke depan, proyeksi pengembangan peradilan administrasi di Indonesia akan terus bergerak menuju integrasi teknologi yang lebih penuh. Tantangan yang dihadapi tidaklah ringan, mencakup pemerataan infrastruktur digital, peningkatan literasi hukum dan teknologi di kalangan aparatur peradilan dan masyarakat, serta penguatan keamanan siber. Namun, peluang yang terbuka jauh lebih besar. Dengan terus menyempurnakan sistem peradilan elektronik dan memperkuat kapasitas kelembagaan, Peradilan Tata Usaha Negara memiliki potensi untuk menjadi garda terdepan dalam mewujudkan keadilan administratif yang tidak hanya akuntabel dan imparsial, tetapi juga cepat, sederhana, dan berbiaya ringan bagi seluruh rakyat pencari keadilan.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.