Guncangan dari Pedalaman Kalimantan Barat
Pada 26 Februari 2016, publik Indonesia
dikejutkan oleh sebuah berita yang datang dari Kabupaten Melawi, Kalimantan
Barat. Seorang anggota Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dengan pangkat
Brigadir, Petrus Bakus, telah melakukan tindakan di luar batas nalar
kemanusiaan yaitu membunuh dan memutilasi kedua anak kandungnya yang masih
balita, Fabianus (5 tahun) dan Amora (3 tahun).
Peristiwa tragis yang terjadi di dalam
asrama polisi ini sontak menjadi sorotan nasional, tidak hanya karena
kebrutalannya yang luar biasa, tetapi juga karena status pelaku sebagai aparat
penegak hukum yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat.
Narasi awal yang beredar di media massa
dipenuhi dengan elemen mistis dan sureal. Petrus Bakus dilaporkan mengaku
mendapatkan “bisikan gaib” yang memerintahkannya untuk mempersembahkan
anak-anaknya sebagai korban demi “membersihkan” keluarganya dari kejahatan dan
mengantarkan mereka ke surga.
Pengakuan ini segera mengarahkan diskursus
publik dan proses hukum ke sebuah persimpangan yang rumit, yaitu pertarungan
antara fakta perbuatan pidana yang nyata (actus reus) dengan kondisi
kejiwaan pelaku yang diduga terganggu, yang berpotensi meniadakan niat jahat (mens
rea).
Kasus ini dengan cepat melampaui batas
tragedi personal dan berkembang menjadi sebuah krisis institusional bagi POLRI.
Terungkapnya fakta bahwa Petrus Bakus merupakan salah satu peraih
nilai tertinggi saat tes masuk kepolisian di Melawi menimbulkan pertanyaan
fundamental mengenai efektivitas sistem rekrutmen, tes psikologi, dan
pemantauan kesehatan jiwa berkelanjutan bagi anggota yang memegang otoritas dan
senjata api.
Di sisi lain, kebiadaban perbuatan tersebut
memicu amarah publik yang meluas, dengan desakan keras agar pelaku dijatuhi
hukuman maksimal, termasuk hukuman mati, sebagaimana disuarakan oleh Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Tuntutan retributif dari masyarakat
ini menciptakan ketegangan inheren dengan proses peradilan pidana yang menuntut
objektivitas dan pembuktian rasional, terutama ketika dihadapkan pada dalih
alasan pemaaf karena gangguan jiwa.
Dengan demikian, kasus Petrus Bakus menjadi
panggung utama bagi dialektika hukum yang fundamental, menguji penerapan
Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan “KUHP”)
dan menantang pemahaman masyarakat tentang keadilan, kesalahan, dan
pertanggungjawaban pidana.
Konstruksi Dakwaan Jaksa: Strategi Berlapis Menjerat Pelaku
Menghadapi kompleksitas kasus yang
melibatkan pengakuan irasional dari Terdakwa, Jaksa Penuntut Umum menyusun
surat dakwaan dengan struktur yang cermat dan strategis. Bentuk dakwaan yang
digunakan adalah dakwaan kombinasi, yang menggabungkan model
subsidaritas dan alternatif. Struktur ini dirancang untuk mengantisipasi
berbagai kemungkinan pembelaan dan memastikan setidaknya satu dari beberapa
lapisan dakwaan dapat dibuktikan di persidangan, sehingga memperbesar peluang untuk
menjerat Terdakwa secara hukum.
Dakwaan Kesatu: Pembunuhan Berencana sebagai Tuduhan Utama
Sebagai ujung tombak, Jaksa Penuntut Umum
menempatkan dakwaan primair yang paling berat, yaitu pembunuhan berencana.
-
Dakwaan Kesatu Primair
Terdakwa didakwa melanggar Pasal 340 KUHP, yang unsur
esensialnya adalah: ”dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain”. Untuk membuktikan unsur “dengan rencana
terlebih dahulu” (met voorbedachten rade), Jaksa mengkonstruksikan
sebuah narasi kronologis yang menunjukkan adanya jeda waktu yang cukup bagi
Terdakwa untuk berpikir tenang, menimbang, dan mempersiapkan perbuatannya.
Rangkaian fakta yang diajukan antara lain:
1.
Pengadaan Senjata
Tiga hari sebelum pembunuhan, pada 23 Februari 2016, Terdakwa
menghubungi rekannya sesama polisi, Saksi Darma Saputra, untuk meminta
dibelikan sebilah parang dan celurit dengan dalih untuk menebas
rumput. Terdakwa bahkan menunjukkan kesadaran penuh ketika menolak parang
kecil yang salah dibeli dan meminta agar ditukar dengan celurit sesuai
pesanannya, sebuah detail yang menunjukkan tindakan yang logis dan terarah;
2.
Persiapan Eksekusi dan Penghilangan Jejak
Dalam dua hari berikutnya, Terdakwa menggunakan parang
tersebut untuk membersihkan lahan di belakang rumahnya. Lebih dari itu, ia
secara sengaja mengumpulkan dan menumpuk kayu serta sampah hasil tebasan dengan
niat untuk membakar jenazah kedua anaknya dan istrinya setelah pembunuhan
dilakukan;
3.
Momen Refleksi Sesaat Sebelum Bertindak
Tepat sebelum melakukan aksinya pada dini hari tanggal 26
Februari 2016, Terdakwa mengambil waktu untuk mengasah kembali parang di dapur.
Ia juga menulis sebuah kalimat bernuansa religius pada selembar kertas
HVS: ”TERJADILAH PADAKU MENURUT PERKATAANMU”. Tindakan ini,
menurut logika Jaksa, menunjukkan adanya momen kesadaran dan deliberasi, bukan
sebuah tindakan impulsif tanpa kendali.
Konstruksi dakwaan ini secara implisit
berfungsi sebagai serangan preventif terhadap pembelaan berdasarkan gangguan
jiwa.
Dengan merinci setiap langkah persiapan yang logis dan berurutan, Penuntut
Umum berusaha membangun citra Terdakwa sebagai seorang aktor rasional yang
mampu merencanakan, bukan sebagai individu yang dikuasai oleh waham sesaat.
-
Dakwaan Kesatu Subsidair
Sebagai lapisan kedua, Jaksa menyiapkan Pasal 338 KUHP
tentang pembunuhan biasa. Dakwaan ini menjadi jaring pengaman apabila
unsur “rencana terlebih dahulu” dalam dakwaan primair dinilai tidak terbukti
oleh Majelis Hakim.
Dakwaan Alternatif: Menjangkau Aspek Perlindungan Anak dan KDRT
Untuk memperluas dasar hukum penuntutan, Penuntut
Umum juga menyertakan dua dakwaan alternatif yang berfokus pada status korban
sebagai anak dan lingkup perbuatan dalam rumah tangga.
-
Dakwaan Kedua
Terdakwa didakwa secara alternatif melanggar Pasal 80
ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
selanjutnya disebut dengan “UU Perlindungan Anak”, yang mengatur
tentang kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian.
-
Dakwaan Ketiga
Alternatif terakhir adalah Pasal 44 ayat (3)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, selanjutnya disebut dengan “UU
PKDRT”, yang mengatur tentang kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga yang menyebabkan matinya korban.
Strategi dakwaan berlapis ini menunjukkan
keseriusan Jaksa Penuntut Umum dalam memastikan Terdakwa tidak lolos dari
pertanggungjawaban hukum. Setiap pasal yang didakwakan memiliki spektrum
pembuktian yang berbeda, memberikan fleksibilitas bagi Penuntut Umum untuk
berargumen dan bagi Hakim untuk menilai perbuatan Terdakwa dari berbagai
kerangka hukum pidana yang relevan.
Pertarungan Fakta di Persidangan: Narasi Kesadaran Melawan Waham
Ruang sidang Pengadilan Negeri Sintang
menjadi arena pertarungan antara dua narasi yang saling bertentangan secara
diametral. Di satu sisi, Jaksa Penuntut Umum menyajikan bukti-bukti kesaksian
yang menggambarkan Terdakwa sebagai pribadi yang sadar dan normal. Di sisi
lain, pembelaan Terdakwa berporos pada satu bukti kunci yang bersifat ilmiah
yaitu hasil pemeriksaan kejiwaan yang menyimpulkan adanya gangguan jiwa
berat.
Kesaksian Awam: Potret Kehidupan yang Normal
Penuntut Umum menghadirkan serangkaian saksi
dari lingkungan terdekat Terdakwa, yang kesaksiannya secara konsisten
melukiskan citra seorang pria, suami, ayah, dan polisi yang berfungsi normal.
Saksi Windri Hairin Yanti, istri Terdakwa, di bawah sumpah menyatakan bahwa
selama berumah tangga, suaminya tidak pernah menunjukkan tanda-tanda perilaku
aneh atau menyerupai orang dengan gangguan jiwa.
Rekan-rekan kerjanya di kepolisian, seperti
Saksi Sofyan bin H. Abudin dan Saksi Darma Saputra, memberikan keterangan
serupa, menggambarkan Terdakwa sebagai pribadi yang sehat, normal, dan cakap
dalam menjalankan tugasnya tanpa pernah menimbulkan masalah. Argumen ini
diperkuat dengan rekam jejak Terdakwa yang cemerlang, termasuk keberhasilannya
lulus seleksi Bintara POLRI dengan nilai tertinggi, sebuah proses yang mencakup
serangkaian tes psikologi.
Narasi yang dibangun oleh Penuntut Umum
adalah bahwa perbuatan Terdakwa tidak mungkin lahir dari gangguan jiwa,
melainkan dari tekanan batin akibat masalah rumah tangga dan pekerjaan yang
memuncak.
Bukti Ahli: Diagnosis Gangguan Psikotik Akut
Pembelaan Terdakwa, sebaliknya, bertumpu
pada alat bukti surat berupa Visum et Repertum Psychiatricum Nomor
YM.01.06.5.3.0767/RS.JDSB/2016 tertanggal 7 Maret 2016, yang dikeluarkan oleh Tim
Dokter dari Rumah Sakit Jiwa Daerah Sungai Bangkong. Dokumen hasil
pemeriksaan ahli ini menjadi titik balik dalam proses peradilan. Tim dokter
yang dipimpin oleh dr. Edi Hermeni, Sp.KJ., menyimpulkan bahwa Terdakwa
mengalami ”Gangguan Psikotik Lir Skizofakut” (Acute
Schizophrenia-like Psychotic Disorder).
Diagnosis ini mengindikasikan bahwa pada
saat melakukan perbuatannya, Terdakwa berada dalam episode psikotik akut, suatu
kondisi di mana ia tidak mampu membedakan antara realitas dan halusinasi atau
waham. Keterangan Terdakwa sendiri di persidangan, yang secara konsisten
menyatakan bahwa ia melakukan pembunuhan atas dasar “perintah Tuhan”
untuk “membersihkan” keluarganya, selaras dengan gejala delusi yang
menjadi ciri khas gangguan tersebut. Pernyataannya kepada sang istri
sesaat setelah kejadian, ”Atas perintah Tuhan atau Tuhan Yesus yang
menyuruh,” menjadi bukti verbal yang menguatkan temuan medis
tersebut.
Pertarungan antara kesaksian awam dan bukti
ahli ini menyoroti sebuah prinsip krusial dalam hukum pembuktian pidana,
khususnya dalam kasus yang menyangkut kesehatan mental. Kesaksian mengenai
perilaku “normal” sehari-hari, meskipun jujur dari sudut pandang para saksi,
memiliki keterbatasan dalam mendeteksi gangguan jiwa berat yang bisa bersifat
episodik. Pengadilan dihadapkan pada pilihan antara persepsi sosial tentang
kewarasan dan diagnosis klinis yang objektif.
Lebih jauh, kasus ini memperlihatkan
fenomena yang dapat disebut sebagai “rasionalitas dalam irasionalitas”.
Tindakan Terdakwa dalam merencanakan (seperti membeli parang, menyiapkan
tumpukan kayu) terlihat rasional jika dilihat secara terpisah. Namun, premis
yang mendasari seluruh perencanaan tersebut (yaitu waham bahwa ia harus
mengorbankan anak-anaknya) adalah manifestasi dari pikiran yang secara
fundamental irasional dan terganggu oleh penyakit. Kemampuan untuk
menyusun rencana tidak serta-merta membuktikan adanya kesadaran akan sifat
melawan hukum dari perbuatan tersebut jika rencana itu sendiri merupakan produk
dari delusi yang tidak dapat dikendalikan.
Perjalanan Logika Hukum dari Sintang ke Jakarta
Perjalanan kasus Petrus Bakus melalui tiga
tingkatan peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung) menjadi
sebuah studi kasus yang menarik tentang bagaimana hakim menafsirkan dan
menerapkan Pasal 44 KUHP. Setiap tingkatan memberikan putusan dengan nuansa
pertimbangan yang berbeda, merefleksikan adanya dialektika antara penegakan
norma hukum yang kaku dan pencarian keadilan substantif.
Pengadilan Negeri Sintang: Melepaskan dengan Alasan Pemaaf
Pada tanggal 1 Desember 2016, Pengadilan
Negeri Sintang melalui Putusan Nomor 135/Pid.B/2016/PN Stg
menjatuhkan vonis yang menjadi fondasi bagi seluruh proses hukum selanjutnya. Majelis
Hakim tingkat pertama menyatakan Terdakwa Petrus Bakus terbukti secara sah
dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana “Pembunuhan” sebagaimana
dalam dakwaan subsidair. Namun, dalam pertimbangan hukumnya (ratio
decidendi), Majelis Hakim menyatakan bahwa perbuatan tersebut tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepada Terdakwa.
Landasan utama putusan ini adalah penerimaan
penuh terhadap Visum et Repertum Psychiatricum sebagai bukti
yang menentukan. Majelis Hakim berkeyakinan bahwa kondisi kejiwaan Terdakwa
saat melakukan perbuatannya memenuhi kriteria yang diatur dalam Pasal 44
ayat (1) KUHP, yang menyatakan:
“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”
Akibatnya, Terdakwa tidak dijatuhi hukuman
pidana, melainkan dilepaskan dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle
rechtsvervolging). Sebagai tindak lanjut, berdasarkan kewenangan yang
diberikan oleh Pasal 44 ayat (2) KUHP, Majelis Hakim
memerintahkan agar Terdakwa ditempatkan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sungai
Bangkong untuk menjalani perawatan selama 1 (satu) tahun.
Pengadilan Tinggi Pontianak: Koreksi Berbasis Keamanan Publik
Jaksa Penuntut Umum, yang tidak puas dengan
putusan tingkat pertama, mengajukan banding. Pada 8 Februari 2017, Pengadilan
Tinggi Pontianak mengeluarkan Putusan Nomor 7/PID/2017/PT KALBAR.
Pada pokoknya, Pengadilan Tinggi sependapat dengan pertimbangan Pengadilan
Negeri mengenai tidak dapat dipertanggungjawabkannya perbuatan Terdakwa.
Namun, Majelis Hakim tingkat banding
melakukan perbaikan signifikan terhadap amar putusan kelima. Durasi
perawatan yang semula ditetapkan “selama 1 (satu) tahun” diubah menjadi “menjalani
perawatan sampai sembuh seperti sedia kala”. Pertimbangan di
balik perubahan ini bersifat pragmatis dan berorientasi pada keamanan publik.
Majelis Hakim Banding berargumen bahwa
penetapan jangka waktu 1 tahun adalah “tidak tepat” karena tidak ada jaminan
Terdakwa akan sembuh dalam periode tersebut. Apabila Terdakwa dilepaskan
setelah satu tahun dalam kondisi belum pulih, hal itu akan “membawa
dampak yang membahayakan bagi orang lain”. Putusan ini
merefleksikan sebuah pendekatan yang lebih purposif atau sosiologis, di
mana hakim mencoba menafsirkan hukum untuk mencapai tujuan yang dianggap lebih
besar, yaitu melindungi masyarakat dari potensi bahaya di masa depan.
Mahkamah Agung: Penegasan Supremasi Norma Hukum
Perjalanan hukum kasus ini mencapai
puncaknya di Mahkamah Agung, yang mengeluarkan Putusan Nomor 377 K/PID/2017
pada 5 Juli 2017. Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari Jaksa Penuntut
Umum yang menuntut agar Terdakwa dinyatakan bersalah dan dipidana. Dengan
demikian, Mahkamah Agung mengafirmasi putusan judex facti (Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi) bahwa Terdakwa tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana.
Akan tetapi, dalam perannya sebagai judex
juris (hakim yang mengadili penerapan hukum), Mahkamah Agung
menemukan adanya kesalahan fatal dalam penerapan hukum oleh Pengadilan Tinggi.
Mahkamah Agung menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi telah “salah
menerapkan hukum” ketika mengubah perintah perawatan menjadi “sampai
sembuh”.
Alasannya, Pasal 44 ayat (2) KUHP
secara eksplisit dan limitatif mengatur bahwa perintah perawatan di rumah sakit
jiwa hanya dapat dijatuhkan untuk jangka waktu “paling lama 1 (satu)
tahun”. Teks undang-undang tidak memberikan ruang bagi hakim untuk
menetapkan periode yang tidak terbatas. Oleh karena itu, Mahkamah Agung
memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi dan mengembalikan perintah perawatan
ke batas maksimal sesuai undang-undang, yaitu selama 1 (satu) tahun.
Putusan Mahkamah Agung ini menegaskan
supremasi asas legalitas dan pendekatan tekstualis dalam penegakan hukum
pidana. Meskipun pertimbangan keamanan publik yang diusung Pengadilan Tinggi
dapat dipahami, Mahkamah Agung menegaskan bahwa hakim tidak boleh melampaui
kewenangan yang diberikan oleh teks undang-undang.
Selain itu, penting untuk digarisbawahi
bahwa putusan akhir dalam kasus ini bukanlah pembebasan murni (vrijspraak),
melainkan pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle
rechtsvervolging). Sebagaimana ditegaskan dalam amar putusan Mahkamah
Agung, Terdakwa “terbukti melakukan tindak pidana ‘Pembunuhan’, akan
tetapi perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya”. Ini
adalah distingsi yuridis yang fundamental yaitu perbuatannya terbukti ada,
namun unsur kesalahan pada diri pelaku ditiadakan oleh hukum.
Refleksi Kritis: Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea dan Dilema Keadilan
Kasus Petrus Bakus menjadi sebuah studi
kasus yang gamblang mengenai penerapan salah satu adagium paling fundamental
dalam hukum pidana yaitu actus non facit reum nisi mens sit rea.
Adagium Latin ini bermakna, “suatu perbuatan tidak membuat seseorang
bersalah kecuali jika batinnya bersalah”. Prinsip ini menegaskan
bahwa pertanggungjawaban pidana mensyaratkan adanya dua elemen yang terpenuhi
secara kumulatif yaitu perbuatan jahat (actus reus) dan niat
jahat (mens rea atau kesalahan).
Dalam kasus ini, actus reus yang
dilakukan oleh Petrus Bakus tidak terbantahkan dan tergolong sangat keji.
Namun, seluruh tingkatan peradilan, dengan berlandaskan pada bukti ahli yang
kuat, menyimpulkan bahwa unsur mens rea pada dirinya tidak
ada.
Gangguan psikotik akut yang dialaminya telah
merenggut kemampuannya untuk memahami sifat melawan hukum dari perbuatannya dan
untuk mengendalikan kehendaknya. Dengan demikian, meskipun perbuatannya secara
objektif adalah sebuah kejahatan, secara subjektif ia tidak memiliki “batin
yang bersalah” yang dapat dicela oleh hukum pidana.
Penerapan Pasal 44 KUHP dalam
kasus ini juga menyingkap kelemahan inheren dalam formulasi norma tersebut.
Frasa-frasa seperti “jiwanya cacat dalam pertumbuhannya” atau “terganggu karena
penyakit” bersifat umum dan tidak memiliki padanan klinis yang presisi dalam
ilmu psikiatri modern. Hal ini memberikan ruang interpretasi yang sangat
luas bagi hakim, yang keputusannya menjadi sangat bergantung pada kualitas dan
kejelasan keterangan ahli jiwa yang dihadirkan di persidangan.
Pada akhirnya, putusan yang melepaskan
Petrus Bakus dari segala tuntutan hukum menciptakan sebuah dilema keadilan yang
mendalam. Secara yuridis, putusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan
selaras dengan prinsip-prinsip dasar hukum pidana.
Namun, dari perspektif masyarakat dan
keluarga korban, hasil ini terasa sangat tidak adil dan mengusik rasa
kemanusiaan. Hukum pidana tidak hanya berfungsi untuk menghukum pelaku,
tetapi juga untuk memberikan pengakuan atas penderitaan korban, meneguhkan
kembali norma-norma sosial yang dilanggar, dan memulihkan rasa aman di tengah
masyarakat. Ketika hasil dari proses hukum terasa begitu jauh dari
ekspektasi keadilan publik, timbul pertanyaan mengenai kapasitas hukum untuk
memenuhi seluruh fungsi sosialnya.
Keberadaan alasan pemaaf seperti yang diatur
dalam Pasal 44 KUHP dapat dipandang sebagai sebuah “keharusan
yang tidak menyenangkan” (necessary evil) dalam sistem peradilan yang
beradab. Sebuah sistem hukum yang menghukum individu tanpa kapasitas mental
untuk bertanggung jawab akan berubah menjadi sistem yang hanya berorientasi
pada balas dendam, bukan keadilan.
Kasus ini memaksa kita untuk menerima logika
hukum yang mungkin terasa pahit yaitu membedakan antara pelaku kejahatan
yang harus dihukum dan seorang pasien yang membutuhkan perawatan. Di
sisi lain, putusan Mahkamah Agung yang dengan tegas mengembalikan batas
perawatan menjadi maksimal satu tahun, meskipun benar secara hukum, menyoroti
adanya celah legislasi.
Kekhawatiran Pengadilan Tinggi mengenai
keamanan publik setelah masa perawatan berakhir adalah kekhawatiran yang logis.
Hal ini menunjukkan perlunya reformulasi hukum yang dapat mengintegrasikan
putusan pidana berdasarkan Pasal 44 KUHP dengan mekanisme perdata
untuk komitmen sipil (civil commitment) jangka panjang bagi individu
yang setelah masa perawatan tetap dinilai berbahaya bagi masyarakat.
Penutup: Pelajaran dari Tragedi Petrus Bakus
Perjalanan yuridis kasus Petrus Bakus, dari
dakwaan pembunuhan berencana hingga putusan akhir yang melepaskannya dari
segala tuntutan hukum karena gangguan jiwa, memberikan serangkaian pelajaran
penting bagi sistem hukum dan masyarakat Indonesia. Kasus ini, yang berawal
dari sebuah tragedi tak terbayangkan, berakhir dengan penegasan prinsip hukum
fundamental yang diuji melalui tiga tingkatan peradilan.
Bagi Aparat Penegak Hukum, khususnya POLRI,
kasus ini adalah pengingat yang tragis akan pentingnya sistem deteksi dini dan
pemantauan kesehatan jiwa yang lebih robusta dan berkelanjutan. Proses
rekrutmen yang ketat di awal tidaklah cukup; tekanan kerja dan masalah personal
yang dihadapi oleh anggota kepolisian menuntut adanya mekanisme dukungan
psikologis yang mudah diakses dan bebas dari stigma selama masa dinas mereka.
Bagi para hakim dan praktisi hukum, kasus
ini menggarisbawahi peran sentral bukti keterangan ahli (expert testimony)
dalam perkara-perkara yang bersinggungan dengan ilmu pengetahuan, seperti
psikiatri. Kemampuan untuk memahami, menimbang, dan mengintegrasikan temuan
ilmiah ke dalam pertimbangan hukum menjadi kunci untuk mencapai putusan yang
adil. Selain itu, dialektika antara putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung menjadi pelajaran berharga mengenai hierarki peradilan dan perbedaan
fungsi antara judex facti yang menilai fakta dan judex
juris yang menjaga kemurnian penerapan hukum.
Bagi masyarakat dan legislator, tragedi ini
mendorong refleksi yang lebih dalam mengenai isu kesehatan mental dalam sistem
peradilan pidana. Putusan akhir dalam kasus ini, meskipun secara hukum dapat
dibenarkan, meninggalkan rasa keadilan yang tercederai di mata publik. Hal ini
menandakan adanya kebutuhan untuk merevisi Pasal 44 KUHP agar lebih selaras
dengan perkembangan ilmu psikiatri modern dan untuk menciptakan mekanisme hukum
yang lebih baik dalam menangani pelaku tindak pidana dengan gangguan jiwa, yang
mampu menyeimbangkan antara hak asasi pelaku untuk tidak dipidana secara tidak
adil dan hak masyarakat untuk merasa aman.
Pada akhirnya, kasus Petrus Bakus adalah
sebuah cermin yang memantulkan kompleksitas kodrat manusia dan keterbatasan
hukum dalam meresponsnya. Di balik kengerian perbuatannya, terungkap sebuah
kisah tentang kerapuhan jiwa manusia. Sementara hukum telah memberikan jawaban
finalnya, tragedi ini meninggalkan pertanyaan abadi tentang keadilan,
pertanggungjawaban, dan misteri yang tak terduga di dalam pikiran manusia.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang
ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan
melalui tautan yang
tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau
menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di
sini.


