layananhukum

Ketentuan Hukum Perusakan Lahan Orang Lain


 

Pengantar

Tanah, dalam konstelasi hukum dan sosial di Indonesia, menempati posisi yang fundamental. Tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan juga ruang hidup, sumber penghidupan, dan yang melekat dengan identitas sosial-budaya masyarakat. Konstitusi, melalui Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Pengakuan ini menegaskan signifikansi tanah yang melampaui kepentingan individual, sehingga menuntut adanya suatu tatanan hukum yang komprehensif untuk mengatur pemilikan, pemanfaatan, dan perlindungannya.

Sebagaimana diungkapkan dalam adagium hukum klasik, “Ubi societas, ibi jus”, di mana ada masyarakat, di situ ada hukum, kompleksitas hubungan manusia dengan tanah secara niscaya melahirkan seperangkat aturan yang rigid untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan keadilan.   

Hak milik atas tanah (eigendom), sebagaimana diakui dalam sistem hukum agraria nasional, merupakan hak terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh subjek hukum atas sebidang tanah. Perlindungan terhadap hak ini menjadi sentral, sebab setiap gangguan atau perusakan terhadapnya tidak hanya merugikan pemilik secara materiil, tetapi juga mencederai rasa keadilan dan dapat memicu konflik sosial yang lebih luas. Oleh karena itu, setiap perbuatan yang merugikan hak tersebut akan menimbulkan konsekuensi hukum yang tegas.   

Definisi Yuridis “Perusakan Lahan”

Secara konseptual, istilah “perusakan lahan” merupakan sebuah terminologi payung yang dalam perspektif yuridis mencakup serangkaian tindakan yang mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya nilai ekonomi, fungsi ekologis, maupun kegunaan fisik sebidang tanah beserta segala sesuatu yang berada di atasnya yang merupakan milik sah orang lain. Analisis terhadap perbuatan ini dapat ditinjau dari tiga dimensi yang saling berkaitan:

1.        Perusakan Dimensi Fisik

Ini adalah bentuk perusakan yang paling kasatmata, meliputi tindakan-tindakan yang secara langsung merusak komponen material dari lahan tersebut. Contohnya adalah merusak kontur tanah, menebang tanaman produktif, membongkar bangunan, menghancurkan pagar, atau merusak infrastruktur lain yang ada di atas lahan;

2.       Perusakan Dimensi Fungsional

Tindakan ini berakibat pada terganggunya atau hilangnya fungsi lahan sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh, perbuatan mencemari tanah dengan limbah berbahaya sehingga tidak lagi subur untuk pertanian, atau memblokir satu-satunya akses jalan menuju lahan sehingga pemilik tidak dapat memanfaatkannya;

3.      Perusakan Dimensi Yuridis

Perbuatan ini secara langsung menyerang hak-hak hukum yang melekat pada kepemilikan tanah. Tindakan yang termasuk dalam kategori ini adalah mengubah atau menggeser patok batas lahan secara sepihak, serta menduduki atau menguasai lahan tanpa hak, yang secara efektif meniadakan hak eksklusif pemilik untuk menikmati propertinya.

Spektrum Perbuatan Perusakan Lahan

Dalam praktik, manifestasi dari perusakan lahan sangat beragam. Beberapa bentuk yang paling umum dan sering menjadi objek sengketa hukum antara lain:

-        Penyerobotan atau Pendudukan Lahan Tanpa Izin

Perbuatan ini secara spesifik didefinisikan sebagai tindakan menduduki, mengerjakan, menguasai, atau memiliki bangunan di atas sebidang tanah tanpa memperoleh izin yang sah dari pemilik atau kuasanya yang berhak. Penyerobotan merupakan bentuk perusakan terhadap hak eksklusif pemilik untuk menguasai dan menikmati lahannya secara penuh dan tidak terganggu.   

-        Perusakan Tanaman atau Infrastruktur

Ini mencakup segala tindakan destruktif terhadap aset yang menjadi satu kesatuan dengan tanah. Contoh konkretnya meliputi penebangan pohon-pohon yang memiliki nilai ekonomis, pembakaran lahan yang disengaja, peracunan tanaman budidaya, hingga penghancuran pagar, fondasi bangunan, atau saluran irigasi yang ada di atas lahan tersebut;

-        Pengubahan Batas Lahan Secara Sepihak

Perbuatan ini dapat berupa tindakan fisik, seperti menggeser atau mencabut patok batas tanah, maupun tindakan yuridis, seperti memanipulasi data pada peta bidang tanah atau dokumen pertanahan lainnya. Tindakan ini secara fundamental merusak kepastian hukum atas luas dan batas kepemilikan tanah, yang merupakan salah satu pilar utama dalam sistem pendaftaran tanah.

Kerangka Filosofis Perlindungan Hak Milik

Perlindungan hukum terhadap lahan orang lain berakar pada prinsip-prinsip fundamental mengenai hak milik. Adagium hukum cujus est dominium, ejus est periculum menyatakan bahwa risiko atas suatu kepemilikan ditanggung oleh pemiliknya. Implikasi logis dari adagium ini adalah bahwa hak untuk menikmati keuntungan dan menggunakan properti secara eksklusif juga melekat pada pemilik. Oleh karena itu, negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak tersebut dari setiap gangguan atau perusakan yang datang dari pihak eksternal.   

Lebih lanjut, prinsip keabsahan hak ditegaskan oleh adagium “Nemo plus juris ad alium transferre potest quam ipse habet”, yang berarti tidak seorang pun dapat mengalihkan hak yang lebih besar daripada yang ia miliki. Prinsip ini menggarisbawahi bahwa pihak yang tidak memiliki alas hak yang sah atas sebidang tanah tidak memiliki legitimasi hukum untuk melakukan tindakan apapun terhadap tanah tersebut, termasuk merusaknya. Setiap tindakan yang dilakukan oleh pihak yang tidak berhak secara inheren bersifat melawan hukum.   

Perusakan lahan, dengan demikian, tidak dapat dipandang sebagai sekadar tindakan merusak “barang” dalam pengertian fisik semata. Ia merupakan sebuah perbuatan melawan hukum yang kompleks, menyerang hak keperdataan yang paling esensial, yaitu hak milik; mengganggu ketertiban umum yang menjadi ranah hukum pidana; serta merongrong tatanan administrasi negara di bidang pertanahan. Pemahaman yang holistik ini penting karena menjelaskan mengapa penanganan kasus perusakan lahan sering kali melibatkan instrumen hukum yang beragam, mulai dari gugatan ganti rugi perdata, laporan tindak pidana, hingga intervensi administratif oleh lembaga pertanahan.

Pelanggaran ini terjadi secara berlapis yaitu ia merusak objek material, melanggar hak subjektif pemilik, dan mengancam ketertiban sosial, sehingga memerlukan respons hukum yang juga bersifat multi-dimensi.

Dasar Hukum yang Berlaku

Penanganan yuridis terhadap perbuatan perusakan lahan orang lain di Indonesia melibatkan tiga pilar hukum utama yang saling melengkapi, yaitu hukum pidana, hukum perdata, dan hukum agraria. Masing-masing cabang hukum ini menyediakan kerangka kerja, mekanisme, dan sanksi yang berbeda untuk merespons kompleksitas pelanggaran yang terjadi.

Perspektif Hukum Pidana (Delik Perusakan)

Hukum pidana berfungsi sebagai instrumen negara untuk memberikan sanksi (penjeraan) terhadap perbuatan-perbuatan yang dianggap tercela dan membahayakan ketertiban umum, termasuk perusakan properti milik orang lain.

Ketentuan pokok yang mengatur delik perusakan barang secara umum terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih berlaku saat ini. Pasal 406 ayat (1) KUHP menyatakan secara tegas:

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”    

Untuk dapat menjerat pelaku berdasarkan pasal ini, seluruh unsur delik harus terpenuhi. Unsur-unsur tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

Unsur-unsur Objektif

1.        Adanya suatu Perbuatan meliputi alternatif tindakan berupa menghancurkan (membinasakan total), merusakkan (mengurangi fungsi atau nilai), membikin tak dapat dipakai (menjadikan tidak berfungsi untuk sementara atau permanen), atau menghilangkan (membuat barang tersebut lenyap dari penguasaan pemilik);   

2.       Objek adalah “barang sesuatu”, yang dalam interpretasi hukum mencakup benda bergerak maupun benda tidak bergerak, termasuk tanah, tanaman, bangunan, pagar, dan patok batas;

3.      Kepemilikan, suatu barang tersebut harus seluruhnya atau sebagian merupakan milik orang lain.

Unsur-unsur Subjektif

1.        Dengan Sengaja (Opzet)

Pelaku harus memiliki niat atau kehendak untuk melakukan perbuatan tersebut dan mengetahui akibatnya. Kesengajaan ini tidak harus berupa tujuan utama (opzet als oogmerk), tetapi bisa juga dalam bentuk kesadaran akan kemungkinan terjadinya akibat (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn atau eventualis dolus).

2.       Melawan Hukum (Wederrechtelijk)

Perbuatan tersebut harus dilakukan tanpa hak atau bertentangan dengan hak subjektif dari pemilik yang sah.

Transisi ke KUHP Baru: Pasal 521 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023

Seiring dengan reformasi hukum pidana, Indonesia telah mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang selanjutnya disebut “UU KUHP Baru”. Meskipun baru akan berlaku efektif pada tahun 2026, ketentuan mengenai perusakan barang diatur dalam Pasal 521 ayat (1) UU KUHP Baru, yang berbunyi:

“Setiap Orang yang secara melawan hukum merusak, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai, atau menghilangkan Barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”    

Terdapat beberapa perubahan signifikan dalam pasal ini. Pertama, ancaman pidana penjara sedikit berkurang menjadi 2 tahun 6 bulan. Kedua, dan yang paling krusial, adalah modernisasi sanksi denda. Denda Kategori IV setara dengan Rp200.000.000,00, sebuah peningkatan drastis yang menyesuaikan nilai denda dengan kondisi ekonomi saat ini. Lebih lanjut, Pasal 521 ayat (2) UU KUHP Baru memperkenalkan kualifikasi delik ringan secara eksplisit, yang menyatakan bahwa jika kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp500.000,00, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda Kategori II (Rp10.000.000,00).   

Delik Khusus Penyerobotan Lahan: UU No. 51/Prp/1960

Untuk tindak pidana spesifik berupa pemakaian atau pendudukan tanah tanpa izin, berlaku ketentuan lex specialis, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya yang Sah, yang selanjutnya disebut “UU 51/Prp/1960”. 

Sebagaimana ketentuan Pasal 2 UU 51/Prp/1960 secara singkat dan lugas menyatakan:

“Dilarang memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah.”    

UU ini, yang lahir dari kebutuhan mendesak untuk menertibkan penguasaan tanah ilegal pasca-kemerdekaan yang menghambat pembangunan, memberikan ancaman pidana kurungan paling lama 3 bulan dan/atau denda bagi pelakunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 6.   

Delik di Kawasan Hutan: UU Nomor 18 Tahun 2013 (UU P3H)

Apabila lahan yang dirusak berstatus sebagai kawasan hutan, maka rezim hukum pidana yang berlaku menjadi lebih berat dan spesifik. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut “UU P3H”.   

UU P3H melarang berbagai aktivitas yang dapat merusak ekosistem hutan, seperti melakukan kegiatan perkebunan atau penambangan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Sanksi pidana yang diancamkan dalam UU ini jauh lebih berat dibandingkan KUHP, dapat mencapai belasan tahun penjara dan denda miliaran rupiah, yang mencerminkan pengakuan negara atas dampak kerusakan lingkungan yang masif dan kerugian negara yang ditimbulkan.   

Perspektif Hukum Perdata (Ganti Kerugian)

Berbeda dengan hukum pidana yang berorientasi pada penghukuman, hukum perdata berfokus pada pemulihan kerugian yang diderita oleh korban. Landasan utama untuk menuntut ganti rugi atas perusakan lahan adalah konsep Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

Ketentuan sentral mengenai PMH diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang menyatakan:

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”    

Berdasarkan pasal ini serta perkembangan yurisprudensi dan doktrin hukum, suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai PMH apabila memenuhi lima unsur kumulatif:

1.        Adanya suatu perbuatan

Baik tindakan aktif (misalnya, menebang pohon) maupun pasif (misalnya, membiarkan ternak merusak tanaman tetangga).

2.       Perbuatan tersebut melawan hukum

Pengertian “melawan hukum” telah diperluas oleh yurisprudensi dan tidak lagi terbatas pada pelanggaran undang-undang tertulis. Ia mencakup pula perbuatan yang: (a) melanggar hak subjektif orang lain; (b) bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; (c) bertentangan dengan kesusilaan; atau (d) bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang seyogianya dimiliki dalam pergaulan masyarakat.   

3.      Adanya kesalahan (schuld)

Pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban jika perbuatannya dilakukan karena kesengajaan atau kelalaian (culpa);

4.       Adanya kerugian (schade)

Korban harus dapat membuktikan adanya kerugian, baik yang bersifat materiil (dapat dihitung dengan uang) maupun imateriil (penderitaan batin, rasa takut, dll.);

5.       Adanya hubungan kausal

Harus ada hubungan sebab-akibat yang langsung antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan pelaku dengan kerugian yang diderita korban.   

Melalui gugatan perdata berdasarkan pasal ini, pemilik lahan yang dirugikan dapat menuntut kompensasi finansial atau pemulihan keadaan semula, suatu upaya hukum yang berjalan secara independen dari proses pidana.   

Perspektif Hukum Agraria (Perlindungan Hak Atas Tanah)

Hukum agraria menyediakan fondasi yuridis yang mengakui dan melindungi hak-hak atas tanah, yang menjadi dasar bagi penegakan hukum baik di ranah pidana maupun perdata.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang selanjutnya disebut “UUPA”, merupakan landasan utama hukum pertanahan di Indonesia. Beberapa pasal krusial yang relevan dengan perlindungan hak atas tanah dari perusakan adalah:   

-        Pasal 20 UUPA

Mendefinisikan Hak Milik sebagai hak yang bersifat “turun-temurun, terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah. Kualifikasi “terkuat dan terpenuh” ini memberikan legitimasi tertinggi bagi pemilik untuk mempertahankan tanahnya dari segala bentuk gangguan;

-         Pasal 19 UUPA

Mewajibkan pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia guna menjamin kepastian hukum. Sertifikat tanah yang diterbitkan sebagai hasil dari pendaftaran ini berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya, termasuk siapa pemilik yang sah;

-         Pasal 6 UUPA

Menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Artinya, meskipun hak milik dilindungi secara penuh, pelaksanaannya tidak boleh absolut hingga merugikan kepentingan umum atau masyarakat sekitar.   

Secara sistemik, terdapat interaksi dan hierarki norma yang jelas dalam penanganan kasus perusakan lahan. UUPA berfungsi sebagai fondasi yang memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak itu sendiri. Tanpa adanya hak yang diakui oleh UUPA, klaim atas perusakan tidak memiliki dasar hukum. Ketika hak tersebut dilanggar, KUHPerdata menyediakan mekanisme recovery (pemulihan) bagi korban melalui gugatan ganti rugi, yang berfokus pada kepentingan privat.

Di sisi lain, ketika perbuatan perusakan tersebut dipandang telah melampaui batas sengketa privat dan mengganggu ketertiban umum, negara mengintervensi melalui hukum pidana sebagai mekanisme penjeraan. Pasal 406 KUHP menjadi norma umum, namun jika pelanggaran terjadi dalam konteks yang lebih spesifik dan berbahaya, seperti penyerobotan masif atau perusakan kawasan hutan, maka prinsip lex specialis derogat legi generali berlaku, dan UU 51/Prp/1960 atau UU P3H yang menjadi acuan utama. Dalam praktik, seorang korban bahkan dapat menempuh jalur pidana dan perdata secara simultan, di mana putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dapat dijadikan sebagai bukti permulaan yang kuat dalam gugatan perdata untuk membuktikan adanya unsur kesalahan dan perbuatan melawan hukum.

Jenis Pelanggaran dan Contoh Kasus

Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret mengenai penerapan ketentuan hukum, berikut adalah analisis terhadap jenis-jenis pelanggaran yang sering terjadi, disertai dengan studi kasus dari putusan pengadilan yang relevan.

Penyerobotan Lahan

Penyerobotan lahan adalah tindakan menduduki, menguasai, atau memanfaatkan sebidang tanah secara fisik tanpa didasari oleh alas hak yang sah menurut hukum. Praktik ini sering kali terjadi pada tanah-tanah yang belum bersertifikat, tanah terlantar, atau dengan modus pemalsuan dokumen dan klaim sepihak yang tidak berdasar. Penyerobotan secara langsung merampas hak pemilik untuk menikmati dan menguasai propertinya.   

Sebagai ilustrasi penegakan hukum perdata terhadap penyerobotan lahan, dapat dilihat melalui Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1473 K/Pdt/2019, tertanggal 24 Juni 2019. Dalam perkara ini, Penggugat selaku ahli waris yang sah atas sebidang tanah menggugat Tergugat yang telah menguasai dan menduduki tanah tersebut tanpa hak. Penggugat mendalilkan bahwa tindakan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.   

Mahkamah Agung, dalam pertimbangannya, menguatkan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri yang telah memenangkan Penggugat. Ratio decidendi (pertimbangan hukum utama) dari putusan ini adalah bahwa Penggugat berhasil membuktikan kepemilikan sahnya melalui bukti-bukti yang diajukan, sementara Tergugat tidak mampu menunjukkan alas hak yang valid atas penguasaannya. Dengan demikian, seluruh unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terpenuhi:

(1)      adanya perbuatan Tergugat menguasai tanah;

(2)     perbuatan tersebut melawan hukum karena melanggar hak subjektif Penggugat sebagai pemilik sah;

(3)    adanya kesalahan pada pihak Tergugat;

(4)     Penggugat menderita kerugian karena tidak dapat memanfaatkan tanahnya; dan

(5)     adanya hubungan kausal antara penguasaan oleh Tergugat dan kerugian Penggugat.

Akibatnya, Mahkamah Agung menghukum Tergugat untuk mengosongkan tanah sengketa dan menyerahkannya kepada Penggugat, serta membayar ganti kerugian yang timbul. Putusan ini menjadi yurisprudensi penting yang menegaskan perlindungan pengadilan terhadap pemilik tanah yang sah dari tindakan penyerobotan.   

Perusakan Tanaman atau Bangunan

Jenis pelanggaran ini berfokus pada tindakan destruktif terhadap aset atau benda-benda yang berada di atas tanah dan menjadi bagian tak terpisahkan darinya. Perbuatan ini dapat berupa penebangan pohon produktif, pembakaran tanaman, peracunan kebun, hingga penghancuran pagar, patok batas, atau bangunan. Tindakan ini secara langsung menghilangkan atau mengurangi nilai ekonomi dari properti tersebut.   

Sebuah contoh representatif dari penegakan hukum pidana atas perusakan tanaman dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Kotabaru Nomor 116/Pid.B/2014/PN Kbr, tertanggal 14 Oktober 2014. Dalam kasus ini, para Terdakwa didakwa telah secara bersama-sama melakukan perusakan terhadap tanaman kelapa sawit milik saksi korban. Berdasarkan fakta-fakta persidangan, termasuk keterangan saksi-saksi dan barang bukti, majelis hakim menyatakan para Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam dakwaan primair, yaitu Pasal 406 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.   

Pertimbangan hukum hakim didasarkan pada terpenuhinya seluruh unsur delik. Unsur “barang siapa” terbukti menunjuk pada diri para Terdakwa. Unsur “dengan sengaja dan melawan hukum” terbukti dari tindakan para Terdakwa yang secara sadar dan tanpa hak menebang dan merusak pohon-pohon kelapa sawit. Unsur “merusakkan barang sesuatu milik orang lain” terbukti dengan adanya tanaman kelapa sawit yang mati dan tidak dapat dimanfaatkan lagi, yang kepemilikannya secara sah berada pada saksi korban. Unsur “turut serta melakukan” dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juga terpenuhi karena perbuatan tersebut dilakukan secara bersama-sama dengan adanya kerja sama yang sadar di antara para Terdakwa. Akibatnya, para Terdakwa dijatuhi pidana penjara. Putusan ini menunjukkan bagaimana instrumen hukum pidana digunakan untuk memberikan sanksi tegas terhadap pelaku perusakan fisik aset di atas lahan.

Pengubahan Batas Lahan

Pengubahan batas lahan merupakan perbuatan yang sangat merugikan karena menyerang aspek fundamental dari kepemilikan, yaitu kepastian mengenai batas-batas fisik dan yuridis sebidang tanah. Pelanggaran ini dapat dilakukan dengan dua cara:

1.        Secara Fisik

Pelaku secara sengaja menggeser, memindahkan, atau menghilangkan patok batas tanah yang telah terpasang. Tindakan ini dapat dijerat dengan Pasal 406 KUHP, karena patok batas dapat dikategorikan sebagai “barang sesuatu” milik orang lain yang dirusak atau dihilangkan.

2.       Secara Yuridis

Pelaku melakukan manipulasi data, misalnya dengan mengajukan permohonan sertifikat dengan menggunakan data palsu atau berkolusi dengan oknum untuk mengubah data pada peta pendaftaran tanah. Jika perbuatan ini melibatkan pemalsuan dokumen, pelaku dapat dijerat dengan pasal-pasal mengenai pemalsuan surat dalam KUHP, seperti Pasal 263 KUHP atau Pasal 264 KUHP, yang ancaman pidananya lebih berat.

Dari perspektif hukum perdata, setiap tindakan pengubahan batas lahan secara sepihak jelas merupakan Perbuatan Melawan Hukum. Korban dapat mengajukan gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata untuk menuntut pemulihan batas sesuai dengan data yang sah (misalnya, berdasarkan sertifikat atau surat ukur) dan meminta ganti rugi atas segala kerugian yang timbul, termasuk biaya pengukuran ulang oleh juru ukur yang berwenang.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.