Pengantar
Kasus Bank Century merupakan sebuah
peristiwa fundamental yang tidak hanya mengguncang stabilitas perekonomian
nasional pada akhir dekade 2000-an, tetapi juga berfungsi sebagai stress
test yang paling signifikan bagi konstruksi hukum dan regulasi sektor
keuangan Indonesia.
Jauh melampaui narasi sebuah bank gagal,
kasus ini secara komprehensif mengekspos kerentanan tata kelola korporasi,
kelemahan pengawasan institusional, serta ambiguitas kerangka hukum dalam
penanganan krisis.
Artikel ini akan mengemukakan tesis bahwa
kegagalan Bank Century, meskipun berawal dari praktik internal yang koruptif
dan diperparah oleh krisis keuangan global, pada akhirnya menjadi katalisator
utama bagi reformasi kerangka hukum perbankan dan stabilitas sistem keuangan
nasional.
Krisis ini tidak dapat dipandang hanya
sebagai studi kasus kegagalan bank, melainkan sebuah titik balik (watershed
moment) yang secara definitif mengubah paradigma regulasi dari yang
bersifat reaktif dan terfragmentasi menjadi lebih terintegrasi, preventif, dan
terinstitusionalisasi. Melalui analisis yuridis-normatif yang mendalam, artikel
ini akan berupaya membedah anatomi krisis Bank Century, mengevaluasi peran dan
pertanggungjawaban hukum otoritas terkait, serta menelaah reformasi hukum dan
kelembagaan yang menjadi warisan utamanya.
Pembahasan akan dimulai dari latar belakang
historis dan yuridis Bank Century, dilanjutkan dengan analisis terhadap
keputusan-keputusan krusial yang diambil oleh Bank Indonesia (BI), Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS), dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Selanjutnya, artikel ini akan mengkaji
proses penegakan hukum yang berjalan, hingga akhirnya menganalisis lahirnya
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan penguatan kerangka Jaring Pengaman Sistem
Keuangan (JPSK) sebagai respons legislatif atas kelemahan yang terungkap.
Dengan demikian, kasus Bank Century diposisikan bukan sebagai akhir dari sebuah
cerita, melainkan sebagai awal dari babak baru dalam dinamika hukum perbankan
di Indonesia.
Anatomi Krisis Bank Century: Dari Merger Hingga Kegagalan Sistemik
Latar Belakang Historis dan Yuridis
Sejarah Bank Century tidak dapat dilepaskan
dari badan hukum pendahulunya. Bank ini berawal dari pendirian Bank Century
Intervest Corporation (Bank CIC) pada tahun 1989 oleh Robert
Tantular. Sejak awal, badan hukum ini telah menunjukkan rekam jejak yang
problematik. Pada tahun 2002, auditor Bank Indonesia menemukan bahwa rasio
modal Bank
CIC telah anjlok hingga minus 83,06% dan mengalami kekurangan modal sebesar
Rp 2,67 triliun. Alih-alih dilikuidasi, solusi yang ditempuh adalah
melalui skema merger.
Pada tanggal 22 Oktober 2004, melalui Rapat
Umum Pemegang Saham Luar Biasa, disetujui rencana merger antara tiga bank yang
sama-sama menghadapi permasalahan, yaitu Bank CIC, PT Bank Danpac Tbk, dan PT
Bank Pikko Tbk. Proses penggabungan usaha ini kemudian disahkan oleh Bank
Indonesia melalui Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor 6/87/KEP.GBI/2004
tanggal 6 Desember 2004, dan secara resmi badan hukum baru bernama PT Bank
Century Tbk lahir.
Secara yuridis, proses merger ini tunduk
pada ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang selanjutnya disebut dengan “UU
Perbankan”.
Sebagaimana ketentuan Pasal 2 UU
Perbankan secara tegas mengamanatkan bahwa:
“Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”.
Namun, Laporan
Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dirilis
kemudian menyimpulkan bahwa Bank Indonesia tidak tegas dan tidak
prudent dalam menerapkan aturan dan persyaratan akuisisi serta merger yang
ditetapkannya sendiri. Hal ini menjadi dugaan kuat bahwa proses merger
tersebut sejak awal sudah mengandung cacat fundamental, di mana penggabungan
tiga bank lemah tidak menghasilkan satu bank yang kuat, melainkan hanya
mengonsolidasikan masalah-masalah yang sudah ada sebelumnya ke dalam satu
entitas baru.
Eskalasi Permasalahan Menuju Krisis Likuiditas
Krisis Bank Century bukanlah peristiwa
mendadak yang disebabkan murni oleh krisis keuangan global tahun 2008. Hal ini
merupakan kulminasi dari masalah struktural yang telah berakar selama
bertahun-tahun, yang diawali dari proses merger yang cacat dan diperparah
oleh kegagalan pengawasan yang persisten.
Faktor internal menjadi pemicu utama. Sejak sebelum
merger, Bank CIC telah memiliki aset berupa surat-surat berharga (SSB)
valuta asing yang tidak berkualitas, berjangka panjang, dan tidak
likuid, yang terus bercokol di neraca bank hasil merger. Lebih
jauh, dugaan praktik penyalahgunaan dana, penjualan produk investasi fiktif
melalui PT Antaboga Deltasekuritas Indonesia, dan penggelapan dana oleh pemilik
dan manajemen bank memperburuk kondisi kesehatan bank secara
drastis.
Krisis keuangan global yang melanda pada
tahun 2008 kemudian bertindak sebagai akselerator. Gejolak di pasar keuangan
internasional menyebabkan kekeringan likuiditas di pasar domestik dan memicu
penarikan dana besar-besaran oleh nasabah (rush), termasuk dari nasabah
besar seperti Budi Sampoerna yang hendak menarik dana hingga Rp 2
triliun.
Puncak krisis terjadi pada tanggal 13
November 2008, ketika Bank Century secara resmi mengalami kegagalan dalam
mekanisme kliring antarbank, sebuah sinyal definitif bahwa bank tersebut tidak
lagi memiliki cukup dana likuid untuk memenuhi kewajiban jangka
pendeknya. Kegagalan kliring ini secara resmi menandai kondisi krisis
likuiditas akut yang mengancam kelangsungan hidup bank.
Penetapan Status Bank Gagal Berdampak Sistemik
Dalam merespons krisis likuiditas akut yang
dialami Bank Century, Pemerintah mengaktifkan mekanisme Jaring Pengaman Sistem
Keuangan. Pada saat itu, landasan hukum yang digunakan adalah Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2008
tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, yang selanjutnya disebut
dengan “Perpu JPSK”. Berdasarkan Perpu tersebut, dibentuk
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan
dan Gubernur Bank Indonesia.
Sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat
(1) Perpu JPSK memberikan kewenangan kepada KSSK untuk memutuskan
status sebuah bank gagal. Pasal tersebut menyatakan:
“Dalam hal bank dinyatakan sebagai Bank Gagal yang ditengarai
Berdampak Sistemik oleh Bank Indonesia, KSSK memutuskan Bank Gagal tersebut
Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik.”
Atas dasar kewenangan inilah, pada tanggal
21 November 2008, KSSK menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang
berdampak sistemik. Keputusan ini menjadi salah satu titik paling
kontroversial dalam keseluruhan kasus. Penetapan status “berdampak sistemik”
merupakan sebuah diskresi kebijakan yang sangat luas (vrij bestuur atau discretionary
power) yang diberikan oleh Perpu JPSK kepada KSSK.
Namun, pelaksanaan diskresi ini menjadi
problematik secara hukum ketika dasar faktual (data) yang digunakan untuk
mengambil keputusan tersebut dipertanyakan validitasnya. Laporan audit BPK
kemudian mengungkap bahwa keputusan KSSK tersebut tidak didasarkan pada data
dan informasi yang lengkap dan mutakhir dari Bank Indonesia mengenai
kondisi Bank Century yang sesungguhnya.
Hal ini menciptakan pertentangan antara
legalitas formal (kewenangan yang diberikan oleh Perpu) dan legitimasi
substantif (dasar pengambilan keputusan yang rasional dan berbasis data yang
kuat). Konsekuensinya, sebuah keputusan yang mungkin sah secara prosedural
dapat dipertanyakan validitas materialnya, yang pada akhirnya menjadi salah
satu pintu masuk bagi penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi atas dasar
penyalahgunaan wewenang.
Peran dan Pertanggungjawaban Otoritas Moneter: Bank Indonesia dalam Pusaran Kontroversi
Kewajiban Pengawasan Bank Indonesia Pra-Krisis
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia (BI)
pada saat itu memegang mandat penuh sebagai otoritas pengatur dan pengawas
perbankan. Landasan hukum kewenangan ini tertuang dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang
selanjutnya disebut dengan “UU BI 1999”, serta UU Perbankan.
Sebagaimana ketentuan Pasal 8 huruf c
UU BI 1999 secara eksplisit menyatakan bahwa salah satu tugas BI adalah
“mengatur dan mengawasi Bank”. Kewenangan ini dijabarkan lebih
lanjut dalam Bab VI UU BI 1999, yang memberikan BI wewenang untuk menetapkan
peraturan, memberikan dan mencabut izin, serta melaksanakan pengawasan langsung
dan tidak langsung terhadap bank.
Namun, dalam kasus Bank Century, pelaksanaan
mandat hukum ini dipertanyakan secara fundamental. Laporan Hasil Pemeriksaan
Investigatif BPK secara tegas menyoroti kelemahan dan kelalaian (negligence)
BI dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Temuan BPK menunjukkan bahwa
pengawasan yang tidak efektif telah berlangsung sejak proses merger pada tahun
2004, di mana BI dinilai tidak tegas dan tidak prudent.
Kelemahan ini berlanjut hingga periode
sebelum krisis, di mana BI gagal mendeteksi dan menindak secara tegas
praktik-praktik perbankan tidak sehat yang terjadi di dalam Bank Century,
termasuk pengelolaan surat-surat berharga yang berisiko tinggi dan transaksi-transaksi
mencurigakan lainnya. Kegagalan pengawasan mikroprudensial inilah yang
memungkinkan permasalahan internal Bank Century terus memburuk hingga mencapai
titik krisis.
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) sebagai Pemicu Kontroversi
Di tengah krisis likuiditas Bank Century,
salah satu instrumen yang digunakan BI adalah Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
(FPJP). Dasar hukum awal pemberian FPJP diatur dalam Pasal 11 ayat (1)
dan ayat (2) UU BI 1999. Pasal 11 ayat (2) UU BI 1999
menyatakan:
“Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh Bank
penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang
nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya.”
Berdasarkan ketentuan ini, Bank Century pada
awalnya tidak memenuhi syarat untuk menerima FPJP, terutama karena rasio
kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio atau CAR) yang negatif dan
kualitas agunan yang tidak memadai. Namun, terjadi perubahan regulasi yang
sangat krusial dan cepat.
Pada tanggal 15 Oktober 2008, Pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan “Perpu
2/2008”. Perpu ini disahkan menjadi Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2009.
Perpu 2/2008 mengubah beberapa
ketentuan, termasuk yang berkaitan dengan syarat pemberian FPJP. Perubahan ini
kemudian diikuti dengan revisi Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang melonggarkan
syarat CAR bagi bank penerima FPJP. Penerbitan Perpu 2/2008 dan
perubahan PBI yang mengikutinya merupakan contoh klasik dari ad-hoc
rulemaking, di mana regulasi dibentuk untuk merespons dan melegitimasi
tindakan terhadap satu kasus spesifik, bukan berdasarkan prinsip hukum yang
berlaku umum.
Perubahan yang terkesan mendadak dan
dirancang khusus ini mengaburkan batas antara kebijakan penanganan krisis yang
sah dan tindakan yang berpotensi merupakan penyalahgunaan wewenang.
Atas dasar kerangka hukum yang baru diubah
inilah, BI kemudian mencairkan FPJP kepada Bank Century dalam beberapa tahap
dengan total mencapai Rp 689,39 miliar. Proses pemberian FPJP inilah yang
kemudian menjadi salah satu fokus utama dalam audit investigatif BPK dan
penyelidikan KPK.
Dalam proses peradilan, sebagaimana Putusan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
21/Pid.SUS/TPK/2014/PN.Jkt.Pst, tertanggal 16 Juli 2014, jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 67/PID/TPK/2014/PT.DKI., tertanggal 3
Desember 2014 jo. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
861 K/PID.SUS/2015, tertanggal 8 April 2015., terungkap bahwa perubahan
regulasi tersebut tidak dipandang sebagai kebijakan yang netral, melainkan
sebagai bagian dari rangkaian perbuatan melawan hukum untuk menguntungkan Bank
Century secara tidak sah, yang berujung pada vonis bersalah terhadap pejabat BI
yang terlibat, yaitu Budi Mulya.
Kegagalan dalam pengawasan mikroprudensial
yang berujung pada pemberian FPJP yang kontroversial ini menjadi justifikasi
utama bagi reformasi kelembagaan paling drastis pasca-Century, yaitu pemisahan
fungsi pengawasan bank dari bank sentral.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai Eksekutor Penyelamatan
Mandat Hukum LPS dalam Penanganan Bank Gagal
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memegang
peranan sentral sebagai eksekutor dalam penanganan Bank Century setelah bank
tersebut ditetapkan berstatus sistemik. Kewenangan LPS diatur secara
komprehensif dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut dengan “UU
LPS”. Berdasarkan undang-undang tersebut, LPS memiliki fungsi
ganda. Pasal 4 UU LPS menyatakan fungsi LPS
adalah:
a.
menjamin simpanan nasabah penyimpan; dan
b.
turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan
sesuai dengan kewenangannya.”
Untuk menjalankan fungsi tersebut, Bab
V UU LPS mengatur secara rinci mengenai mekanisme penyelesaian dan
penanganan bank gagal. Terdapat perbedaan fundamental dalam penanganan bank
gagal yang berdampak sistemik dan yang tidak. Pasal 22 ayat (1) UU LPS
mengatur opsi penanganan tersebut sebagai berikut:
“Penyelesaian atau penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh LPS dengan cara sebagai
berikut:
a.
penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik
dilakukan dengan melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan
terhadap Bank Gagal dimaksud;
b.
penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik dilakukan
dengan melakukan penyelamatan yang mengikutsertakan pemegang saham lama atau
tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama.”
Ketentuan ini secara jelas memberikan
diskresi kepada LPS untuk memilih antara penyelamatan (rescue) atau
likuidasi hanya untuk bank gagal yang tidak berdampak sistemik. Sebaliknya, untuk
bank gagal yang telah ditetapkan berdampak sistemik, UU LPS tidak memberikan
pilihan lain selain melakukan “penanganan”, yang dalam konteks ini berarti
penyelamatan.
Pelaksanaan Penyelamatan Bank Century
Setelah KSSK menetapkan Bank Century sebagai
bank gagal berdampak sistemik pada 21 November 2008, LPS secara hukum terikat
untuk melaksanakan penanganan. LPS mengambil alih kendali Bank Century dan
menjalankan kewenangannya sebagaimana diatur dalam UU LPS. Berdasarkan Pasal
40 huruf a UU LPS (sebelum diubah oleh UU P2SK), LPS mengambil alih
segala hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), kepemilikan, dan
kepengurusan bank.
Tindakan utama yang dilakukan LPS adalah melakukan
Penyertaan Modal Sementara (PMS) untuk menopang permodalan bank agar dapat
kembali beroperasi secara normal. Namun, proses ini diwarnai dengan
pembengkakan biaya yang luar biasa. Dari estimasi awal yang hanya sebesar Rp
632 miliar, total dana PMS yang akhirnya dikucurkan oleh LPS mencapai Rp 6,762
triliun. Dana masif ini digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk untuk
melunasi kewajiban FPJP kepada Bank Indonesia dan membayar kewajiban
kepada para nasabah penyimpan dana pihak ketiga.
Dalam konstruksi berpikir Jaring Pengaman
Sistem Keuangan (JPSK) saat itu, peran LPS dapat dianalogikan sebagai “kasir”
atau eksekutor teknis dari keputusan strategis yang telah diambil oleh KSSK.
Diskresi LPS untuk memilih antara likuidasi atau penyelamatan secara efektif
dihilangkan oleh penetapan status “sistemik” yang dilakukan oleh KSSK.
Begitu KSSK membuat keputusan tersebut, LPS
secara hukum terikat untuk menyuntikkan dana berapapun yang diperlukan untuk
menyehatkan kembali bank tersebut. Hal ini menjelaskan mengapa dana
penyelamatan dapat membengkak jauh dari estimasi awal tanpa bisa dihentikan
oleh LPS. Peran LPS dalam pengambilan keputusan strategis menjadi pasif,
sementara perannya dalam eksekusi teknis penyelamatan menjadi sangat aktif dan
berbiaya tinggi. Pasca-penyelamatan, sebagai bagian dari proses
restrukturisasi, Bank Century diubah namanya menjadi Bank Mutiara, yang
kemudian dijual oleh LPS kepada investor baru dalam upaya mengembalikan dana
negara.
Episentrum Reformasi Hukum: Akuntabilitas dan Pembangunan Kerangka Regulasi Baru
Kasus Bank Century tidak hanya memicu krisis
finansial dan politik, tetapi juga menjadi episentrum bagi serangkaian proses
hukum yang bertujuan untuk menegakkan akuntabilitas dan mendorong reformasi.
Rangkaian peristiwa hukum ini menunjukkan adanya pembagian kerja antar lembaga
tinggi negara yaitu Mahkamah Konstitusi menjaga batas yurisdiksi, BPK
menguantifikasi kerugian negara, dan lembaga peradilan pidana menegakkan
akuntabilitas individual.
Uji Konstitusionalitas Perpu JPSK
Landasan hukum utama kebijakan bailout, yaitu Perpu JPSK,
digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 145/PUU-VII/2009, tertanggal 20
April 2010, MK menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima (niet
ontvankelijke verklaard). Alasan utama MK adalah permohonan tersebut
telah kehilangan objek (objectum litis), karena Perpu JPSK (Perpu Nomor
4 Tahun 2008) telah ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam masa
persidangan berikutnya dan dengan demikian tidak lagi memiliki kekuatan hukum
mengikat.
Meskipun demikian, dalam pertimbangannya, MK
menegaskan kewenangannya untuk menguji konstitusionalitas sebuah Perpu. Putusan
ini secara efektif menunjukkan keengganan yudikatif untuk memasuki ranah “political
question” yang sangat sensitif, menyerahkan penilaian atas
kebijakan bailout kepada ranah politik (melalui hak angket
DPR) dan ranah penegakan hukum (melalui KPK).
Laporan Audit Investigatif BPK dan Implikasi Hukumnya
Titik krusial dalam penegakan hukum kasus
Bank Century adalah terbitnya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Investigatif BPK.
Laporan awal pada tahun 2009 dan laporan lanjutan pada tahun 2013 secara
komprehensif membedah proses dari merger hingga bailout. Temuan
utama BPK sangat signifikan, antara lain:
1.
Proses merger yang tidak didasari prinsip kehati-hatian oleh
BI;
2. Pengawasan BI yang
tidak tegas terhadap praktik-praktik tidak sehat di Bank Century;
3. Pemberian FPJP yang
didasari oleh perubahan peraturan yang mendadak dan tidak sesuai ketentuan;
4. Penetapan status
bank gagal berdampak sistemik yang tidak didasarkan pada data yang lengkap dan
mutakhir.
Implikasi hukum terpenting dari laporan ini
adalah identifikasi dan kuantifikasi kerugian keuangan negara. BPK menyimpulkan
adanya kerugian negara sebesar Rp 689,39 miliar terkait pemberian FPJP dan Rp
6,762 triliun terkait penyaluran Penyertaan Modal Sementara (PMS) oleh
LPS. Dengan adanya LHP BPK yang secara resmi menyatakan adanya kerugian
negara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki landasan hukum yang kuat
untuk memulai proses penyidikan tindak pidana korupsi, karena salah satu unsur
esensial dalam delik korupsi telah terpenuhi.
Proses Peradilan Tindak Pidana Korupsi: Studi Kasus Budi Mulya
Berbekal LHP BPK, KPK menetapkan Deputi
Gubernur BI saat itu, Budi Mulya, sebagai tersangka. Dakwaan utama adalah
penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama dalam proses pemberian FPJP dan
penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, yang melanggar Pasal
2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1)
ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, yang selanjutnya disebut “KUHP”.
Proses peradilan berjalan melalui tiga
tingkatan dengan tren hukuman yang semakin berat, yang mengindikasikan
keyakinan lembaga peradilan akan adanya tindak pidana dalam proses kebijakan
tersebut, sebagaimana yang sudah kami sebutkan juga di atas antara lain:
1.
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Nomor 21/Pid.SUS/TPK/2014/PN.Jkt.Pst, tertanggal 16 Juli
2014, yang mana menjatuhkan vonis 10 tahun penjara;
2.
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor
67/PID/TPK/2014/PT.DKI., tertanggal 3 Desember 2014, putusan ini memperberat
vonis menjadi 12 tahun penjara; dan
3.
Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 861 K/PID.SUS/2015, tertanggal 8 April
2015, menolak kasasi terdakwa dan mengabulkan kasasi Jaksa Penuntut Umum, serta
memperberat hukuman menjadi pidana penjara selama 15 tahun. Upaya hukum
luar biasa Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Budi Mulya kemudian juga
ditolak oleh Mahkamah Agung.
Analisis yuridis terhadap putusan kasasi
menunjukkan bahwa Mahkamah Agung meyakini unsur penyalahgunaan wewenang
dan kerugian negara telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Putusan
ini menjadi yurisprudensi penting yang menegaskan bahwa meskipun sebuah
tindakan diambil dalam konteks kebijakan penanganan krisis, tindakan tersebut
tidak serta-merta kebal dari pertanggungjawaban pidana (beleid is geen
vrijbrief), terutama jika terbukti melanggar prosedur hukum formal,
dilakukan dengan itikad tidak baik (male fide), dan secara nyata
menimbulkan kerugian keuangan negara.
Konstruksi Hukum Baru terkait Pengawasan dan Stabilitas Sistem Keuangan
Warisan paling fundamental dari kasus Bank
Century adalah perombakan total konstruksi kelembagaan pengawasan dan
stabilitas sistem keuangan di Indonesia. Krisis ini menjadi momentum untuk
melakukan reformasi legislatif yang telah lama tertunda, dengan tujuan utama
memisahkan fungsi-fungsi yang sebelumnya tumpang tindih dan berpotensi
menimbulkan konflik kepentingan.
Kelahiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Sebagai respons langsung atas kritik tajam
terhadap kegagalan pengawasan mikroprudensial oleh Bank Indonesia, amanat Pasal
34 UU BI 1999 untuk membentuk lembaga pengawasan sektor jasa keuangan
yang independen dipercepat. Melalui Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya
disebut dengan “UU OJK”, lahirlah OJK.
Dengan beroperasinya OJK, terjadi pemisahan
fungsi yang jelas. Pasal 6 huruf a dan Pasal 7 UU OJK
secara eksplisit mengalihkan tugas pengaturan dan pengawasan mikroprudensial, yang
berfokus pada kesehatan, tata kelola, dan perilaku setiap institusi jasa
keuangan secara individual, dari Bank Indonesia ke OJK. Pengalihan ini
mencakup wewenang perizinan, pengaturan kelembagaan, pengawasan kesehatan bank
(likuiditas, solvabilitas, CAR, dll.), hingga pemeriksaan bank.
Sementara itu, Bank Indonesia tetap memegang
mandat kebijakan makroprudensial, yang bertujuan menjaga stabilitas sistem
keuangan secara keseluruhan dari risiko sistemik. Pemisahan ini menciptakan
model pengawasan ”Twin Peaks”, di mana satu puncak (OJK) fokus pada
kesehatan dan perilaku institusi, dan puncak lainnya (BI) fokus pada stabilitas
sistemik.
Formalisasi Kerangka Stabilitas Sistem Keuangan
Penolakan Perpu JPSK oleh DPR menciptakan
kekosongan hukum (rechtsvacuüm) dalam penanganan krisis sistemik. Untuk
mengatasi hal ini, Pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem
Keuangan, yang selanjutnya disebut dengan “UU PPKSK”. Undang-undang
ini secara permanen dan formal menginstitusionalisasikan Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK).
Pasal 4 UU PPKSK menetapkan
keanggotaan KSSK yang terdiri dari Menteri Keuangan (sebagai koordinator),
Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner
LPS.
Kemudian, Pasal 5 UU PPKSK
kemudian merinci tugas KSSK, yang mencakup koordinasi pemantauan, penanganan
krisis, dan penanganan permasalahan bank sistemik. Formalisasi ini
mengubah KSSK dari lembaga ad-hoc berbasis Perpu menjadi
sebuah komite yang memiliki landasan hukum permanen, dengan tugas, wewenang,
dan mekanisme pengambilan keputusan yang jauh lebih
terstruktur.
Penyempurnaan Melalui UU P2SK
Kerangka kerja yang dibangun oleh UU
PPKSK kemudian disempurnakan lebih lanjut melalui Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor
Keuangan, yang selanjutnya disebut dengan “UU P2SK”. UU
P2SK menunjukkan adanya proses pembelajaran legislatif (legislative
learning) dari potensi kebuntuan dalam pengambilan keputusan di masa
krisis.
Pasal 6 UU P2SK mengubah beberapa
ketentuan krusial dalam UU PPKSK. Salah satu perubahan paling
signifikan adalah pada mekanisme pengambilan keputusan KSSK. Pasal
9 UU PPKSK yang telah diubah oleh UU P2SK menyatakan
bahwa jika musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, keputusan diambil
berdasarkan suara terbanyak. Apabila suara terbanyak juga tidak tercapai
(misalnya, hasil suara imbang), maka Menteri Keuangan sebagai koordinator
berwenang mengambil keputusan final atas nama KSSK. Mekanisme tie-breaker ini
dirancang untuk memastikan adanya kepastian dan kecepatan dalam pengambilan
keputusan di situasi genting.
Selain itu, UU P2SK juga menyisipkan Pasal
15A ke dalam UU PPKSK, yang secara formal membentuk forum koordinasi
kebijakan makroprudensial (BI), mikroprudensial (OJK), dan penanganan
permasalahan bank (LPS). Ketentuan ini memperkuat sinergi dan
pertukaran informasi antar-otoritas dalam kondisi normal, sebagai langkah
preventif sebelum krisis terjadi. Reformasi kelembagaan ini secara fundamental
merombak arsitektur keuangan Indonesia untuk meningkatkan mekanisme checks
and balances dan memperjelas akuntabilitas setiap
lembaga.
Dampak Sosio-Legal dan Arah Kebijakan Prudensial di Masa Depan
Kasus Bank Century meninggalkan jejak yang
mendalam, tidak hanya dalam lembaran peraturan perundang-undangan, tetapi juga
dalam lanskap sosial-hukum dan arah kebijakan sektor keuangan Indonesia. Dampak
terbesarnya bukanlah kerugian finansial semata, melainkan kerugian kepercayaan
publik (trust deficit) yang memaksa regulator untuk mengadopsi
pendekatan pengawasan yang lebih fundamental.
Krisis Kepercayaan Publik dan Implikasinya
Proses bailout yang menelan
dana triliunan rupiah, ditambah dengan persepsi publik mengenai
ketidaktransparanan dan dugaan adanya kepentingan politik, menyebabkan erosi
kepercayaan yang signifikan terhadap pemerintah, otoritas moneter, dan industri
perbankan secara keseluruhan. Kasus ini menjadi pelajaran pahit tentang
bagaimana keputusan kebijakan yang tidak dikomunikasikan dengan baik dan
dianggap tidak adil dapat merusak modal sosial, yang merupakan fondasi esensial
bagi berjalannya sistem keuangan. Kepercayaan adalah mata uang tak terlihat
dalam industri perbankan; sekali hilang, butuh waktu dan upaya luar biasa untuk
memulihkannya.
Penguatan Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance - GCG)
Salah satu respons regulator yang paling
nyata untuk memulihkan kepercayaan adalah dengan memperkuat penekanan pada Tata
Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance atau GCG).
Kasus Bank Century adalah manifestasi dari kegagalan GCG yang parah, di mana
pemilik dan manajemen dapat menyalahgunakan wewenang mereka untuk kepentingan
pribadi dan kelompoknya. Pasca-krisis, Bank Indonesia dan kemudian OJK
secara progresif menerbitkan serangkaian peraturan yang memperketat
implementasi dan pengawasan GCG di industri perbankan.
Prinsip-prinsip GCG, Transparansi (Transparency),
Akuntabilitas (Accountability), Pertanggungjawaban (Responsibility),
Independensi (Independency), dan Kewajaran (Fairness), menjadi
fokus utama. Pengawasan tidak lagi hanya berorientasi pada kepatuhan
kuantitatif (seperti pemenuhan rasio modal), tetapi juga pada aspek kualitatif,
yaitu integritas dan etika dewan komisaris, direksi, serta efektivitas
fungsi-fungsi pengawasan internal. Kasus Century mengajarkan bahwa bank yang di
atas kertas terlihat patuh bisa jadi secara substantif “busuk” dari dalam
akibat tata kelola yang buruk. Oleh karena itu, GCG diposisikan sebagai benteng
pertahanan pertama dan terpenting dalam menjaga kesehatan dan stabilitas bank.
Arah Baru Kebijakan Prudensial: Pemisahan Mikro dan Makro
Lahirnya OJK dan pemisahan fungsi pengawasan
menciptakan era baru dalam kebijakan prudensial di Indonesia. Arsitektur Twin
Peaks memungkinkan kedua otoritas untuk memiliki fokus yang lebih
tajam.
OJK, sebagai pengawas mikroprudensial,
berkonsentrasi pada kesehatan, ketahanan, dan perilaku setiap lembaga jasa
keuangan (LJK). Wewenangnya mencakup memastikan LJK mematuhi prinsip
kehati-hatian, menerapkan GCG secara efektif, dan memperlakukan konsumen secara
adil (market conduct). Fokus OJK adalah melindungi konsumen dan menjaga
stabilitas LJK secara individual.
Di sisi lain, Bank Indonesia, yang kini
fokus pada kebijakan makroprudensial, memiliki mandat untuk menjaga stabilitas
sistem keuangan secara keseluruhan. BI bertugas mengidentifikasi dan memitigasi
risiko sistemik yang dapat timbul dari interkoneksi antar lembaga keuangan,
keterkaitan sektor keuangan dengan ekonomi riil, dan perilaku pro-siklikal dari
sistem keuangan. Instrumen kebijakan makroprudensial yang kini menjadi andalan
BI, seperti rasio Loan-to-Value (LTV) untuk kredit
properti, Countercyclical Capital Buffer (CCyB), dan Rasio
Intermediasi Makroprudensial (RIM), adalah perangkat yang dirancang untuk “mengerem”
atau “mendorong” sistem keuangan secara agregat guna mencegah akumulasi risiko
yang dapat membahayakan stabilitas. Pemisahan ini merupakan respons langsung
untuk mengatasi konflik kepentingan yang melekat pada model pengawasan
terintegrasi di dalam bank sentral yang terbukti gagal dalam kasus Bank
Century.
Penutup
Kasus Bank Century adalah sebuah saga hukum
dan kebijakan yang kompleks dengan konsekuensi yang transformatif dan berjangka
panjang bagi Indonesia. Bermula dari kegagalan tata kelola internal dan
pengawasan mikroprudensial yang kronis, dieksaserbasi oleh gejolak krisis
keuangan global, dan memuncak pada keputusan bailout yang
sarat kontroversi, kasus ini telah secara fundamental membentuk kembali lanskap
hukum perbankan nasional. Ia bukan sekadar catatan kelam, melainkan sebuah
pelajaran berharga yang dibayar mahal.
Warisan utama dari kasus ini adalah
transformasi fundamental arsitektur hukum dan kelembagaan sektor keuangan.
Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memisahkan fungsi pengawasan
mikroprudensial dari bank sentral, formalisasi Komite Stabilitas Sistem
Keuangan (KSSK) melalui undang-undang yang kokoh, serta pemisahan tegas antara
domain kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial merupakan pilar-pilar
utama dari kerangka kerja baru yang dirancang untuk menjadi lebih tangguh,
akuntabel, dan memiliki mekanisme checks and balances yang
lebih kuat. Evolusi regulasi dari Perpu JPSK yang bersifat ad-hoc hingga
UU PPKSK dan penyempurnaannya dalam UU P2SK menunjukkan adanya proses
pembelajaran legislatif yang matang dalam membangun protokol manajemen krisis
yang lebih pasti dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pada akhirnya, kasus Bank Century
meninggalkan pelajaran abadi tentang pentingnya independensi regulator yang
harus selalu diimbangi dengan akuntabilitas yang kuat; urgensi transparansi
dalam pengambilan kebijakan di masa krisis untuk menjaga kepercayaan publik;
dan peran sentral tata kelola perusahaan yang baik (GCG) sebagai benteng
pertahanan pertama dalam menjaga stabilitas setiap institusi perbankan.
Dinamika hukum perbankan Indonesia modern, dengan segala kompleksitas dan
tantangannya, tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa menilik kembali
pelajaran-pelajaran fundamental yang dipetik dari krisis Bank Century.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.


