layananhukum

Kembali Mengingat Kasus Bank Century dalam Dinamika Hukum Perbankan Indonesia

 

Pengantar

Kasus Bank Century merupakan sebuah peristiwa fundamental yang tidak hanya mengguncang stabilitas perekonomian nasional pada akhir dekade 2000-an, tetapi juga berfungsi sebagai stress test yang paling signifikan bagi konstruksi hukum dan regulasi sektor keuangan Indonesia.

Jauh melampaui narasi sebuah bank gagal, kasus ini secara komprehensif mengekspos kerentanan tata kelola korporasi, kelemahan pengawasan institusional, serta ambiguitas kerangka hukum dalam penanganan krisis.

Artikel ini akan mengemukakan tesis bahwa kegagalan Bank Century, meskipun berawal dari praktik internal yang koruptif dan diperparah oleh krisis keuangan global, pada akhirnya menjadi katalisator utama bagi reformasi kerangka hukum perbankan dan stabilitas sistem keuangan nasional.

Krisis ini tidak dapat dipandang hanya sebagai studi kasus kegagalan bank, melainkan sebuah titik balik (watershed moment) yang secara definitif mengubah paradigma regulasi dari yang bersifat reaktif dan terfragmentasi menjadi lebih terintegrasi, preventif, dan terinstitusionalisasi. Melalui analisis yuridis-normatif yang mendalam, artikel ini akan berupaya membedah anatomi krisis Bank Century, mengevaluasi peran dan pertanggungjawaban hukum otoritas terkait, serta menelaah reformasi hukum dan kelembagaan yang menjadi warisan utamanya.

Pembahasan akan dimulai dari latar belakang historis dan yuridis Bank Century, dilanjutkan dengan analisis terhadap keputusan-keputusan krusial yang diambil oleh Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Selanjutnya, artikel ini akan mengkaji proses penegakan hukum yang berjalan, hingga akhirnya menganalisis lahirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan penguatan kerangka Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) sebagai respons legislatif atas kelemahan yang terungkap. Dengan demikian, kasus Bank Century diposisikan bukan sebagai akhir dari sebuah cerita, melainkan sebagai awal dari babak baru dalam dinamika hukum perbankan di Indonesia.

Anatomi Krisis Bank Century: Dari Merger Hingga Kegagalan Sistemik

Latar Belakang Historis dan Yuridis

Sejarah Bank Century tidak dapat dilepaskan dari badan hukum pendahulunya. Bank ini berawal dari pendirian Bank Century Intervest Corporation (Bank CIC) pada tahun 1989 oleh Robert Tantular. Sejak awal, badan hukum ini telah menunjukkan rekam jejak yang problematik. Pada tahun 2002, auditor Bank Indonesia menemukan bahwa rasio modal Bank CIC telah anjlok hingga minus 83,06% dan mengalami kekurangan modal sebesar Rp 2,67 triliun. Alih-alih dilikuidasi, solusi yang ditempuh adalah melalui skema merger.   

Pada tanggal 22 Oktober 2004, melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa, disetujui rencana merger antara tiga bank yang sama-sama menghadapi permasalahan, yaitu Bank CIC, PT Bank Danpac Tbk, dan PT Bank Pikko Tbk. Proses penggabungan usaha ini kemudian disahkan oleh Bank Indonesia melalui Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor 6/87/KEP.GBI/2004 tanggal 6 Desember 2004, dan secara resmi badan hukum baru bernama PT Bank Century Tbk lahir.   

Secara yuridis, proses merger ini tunduk pada ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang selanjutnya disebut dengan “UU Perbankan”. 

Sebagaimana ketentuan Pasal 2 UU Perbankan secara tegas mengamanatkan bahwa:

“Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”. 

Namun, Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dirilis kemudian menyimpulkan bahwa Bank Indonesia tidak tegas dan tidak prudent dalam menerapkan aturan dan persyaratan akuisisi serta merger yang ditetapkannya sendiri. Hal ini menjadi dugaan kuat bahwa proses merger tersebut sejak awal sudah mengandung cacat fundamental, di mana penggabungan tiga bank lemah tidak menghasilkan satu bank yang kuat, melainkan hanya mengonsolidasikan masalah-masalah yang sudah ada sebelumnya ke dalam satu entitas baru.   

Eskalasi Permasalahan Menuju Krisis Likuiditas

Krisis Bank Century bukanlah peristiwa mendadak yang disebabkan murni oleh krisis keuangan global tahun 2008. Hal ini merupakan kulminasi dari masalah struktural yang telah berakar selama bertahun-tahun, yang diawali dari proses merger yang cacat dan diperparah oleh kegagalan pengawasan yang persisten.

Faktor internal menjadi pemicu utama. Sejak sebelum merger, Bank CIC telah memiliki aset berupa surat-surat berharga (SSB) valuta asing yang tidak berkualitas, berjangka panjang, dan tidak likuid, yang terus bercokol di neraca bank hasil merger. Lebih jauh, dugaan praktik penyalahgunaan dana, penjualan produk investasi fiktif melalui PT Antaboga Deltasekuritas Indonesia, dan penggelapan dana oleh pemilik dan manajemen bank memperburuk kondisi kesehatan bank secara drastis.   

Krisis keuangan global yang melanda pada tahun 2008 kemudian bertindak sebagai akselerator. Gejolak di pasar keuangan internasional menyebabkan kekeringan likuiditas di pasar domestik dan memicu penarikan dana besar-besaran oleh nasabah (rush), termasuk dari nasabah besar seperti Budi Sampoerna yang hendak menarik dana hingga Rp 2 triliun. 

Puncak krisis terjadi pada tanggal 13 November 2008, ketika Bank Century secara resmi mengalami kegagalan dalam mekanisme kliring antarbank, sebuah sinyal definitif bahwa bank tersebut tidak lagi memiliki cukup dana likuid untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Kegagalan kliring ini secara resmi menandai kondisi krisis likuiditas akut yang mengancam kelangsungan hidup bank.

Penetapan Status Bank Gagal Berdampak Sistemik

Dalam merespons krisis likuiditas akut yang dialami Bank Century, Pemerintah mengaktifkan mekanisme Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Pada saat itu, landasan hukum yang digunakan adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, yang selanjutnya disebut dengan “Perpu JPSK”. Berdasarkan Perpu tersebut, dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia.

Sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (1) Perpu JPSK memberikan kewenangan kepada KSSK untuk memutuskan status sebuah bank gagal. Pasal tersebut menyatakan:

“Dalam hal bank dinyatakan sebagai Bank Gagal yang ditengarai Berdampak Sistemik oleh Bank Indonesia, KSSK memutuskan Bank Gagal tersebut Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik.”

Atas dasar kewenangan inilah, pada tanggal 21 November 2008, KSSK menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik. Keputusan ini menjadi salah satu titik paling kontroversial dalam keseluruhan kasus. Penetapan status “berdampak sistemik” merupakan sebuah diskresi kebijakan yang sangat luas (vrij bestuur atau discretionary power) yang diberikan oleh Perpu JPSK kepada KSSK.

Namun, pelaksanaan diskresi ini menjadi problematik secara hukum ketika dasar faktual (data) yang digunakan untuk mengambil keputusan tersebut dipertanyakan validitasnya. Laporan audit BPK kemudian mengungkap bahwa keputusan KSSK tersebut tidak didasarkan pada data dan informasi yang lengkap dan mutakhir dari Bank Indonesia mengenai kondisi Bank Century yang sesungguhnya.

Hal ini menciptakan pertentangan antara legalitas formal (kewenangan yang diberikan oleh Perpu) dan legitimasi substantif (dasar pengambilan keputusan yang rasional dan berbasis data yang kuat). Konsekuensinya, sebuah keputusan yang mungkin sah secara prosedural dapat dipertanyakan validitas materialnya, yang pada akhirnya menjadi salah satu pintu masuk bagi penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi atas dasar penyalahgunaan wewenang.

Peran dan Pertanggungjawaban Otoritas Moneter: Bank Indonesia dalam Pusaran Kontroversi

Kewajiban Pengawasan Bank Indonesia Pra-Krisis

Sebagai bank sentral, Bank Indonesia (BI) pada saat itu memegang mandat penuh sebagai otoritas pengatur dan pengawas perbankan. Landasan hukum kewenangan ini tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan “UU BI 1999”, serta UU Perbankan

Sebagaimana ketentuan Pasal 8 huruf c UU BI 1999 secara eksplisit menyatakan bahwa salah satu tugas BI adalah “mengatur dan mengawasi Bank”. Kewenangan ini dijabarkan lebih lanjut dalam Bab VI UU BI 1999, yang memberikan BI wewenang untuk menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin, serta melaksanakan pengawasan langsung dan tidak langsung terhadap bank.   

Namun, dalam kasus Bank Century, pelaksanaan mandat hukum ini dipertanyakan secara fundamental. Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif BPK secara tegas menyoroti kelemahan dan kelalaian (negligence) BI dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Temuan BPK menunjukkan bahwa pengawasan yang tidak efektif telah berlangsung sejak proses merger pada tahun 2004, di mana BI dinilai tidak tegas dan tidak prudent. 

Kelemahan ini berlanjut hingga periode sebelum krisis, di mana BI gagal mendeteksi dan menindak secara tegas praktik-praktik perbankan tidak sehat yang terjadi di dalam Bank Century, termasuk pengelolaan surat-surat berharga yang berisiko tinggi dan transaksi-transaksi mencurigakan lainnya. Kegagalan pengawasan mikroprudensial inilah yang memungkinkan permasalahan internal Bank Century terus memburuk hingga mencapai titik krisis.   

Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) sebagai Pemicu Kontroversi

Di tengah krisis likuiditas Bank Century, salah satu instrumen yang digunakan BI adalah Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Dasar hukum awal pemberian FPJP diatur dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU BI 1999Pasal 11 ayat (2) UU BI 1999 menyatakan:   

“Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh Bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya.”

Berdasarkan ketentuan ini, Bank Century pada awalnya tidak memenuhi syarat untuk menerima FPJP, terutama karena rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio atau CAR) yang negatif dan kualitas agunan yang tidak memadai. Namun, terjadi perubahan regulasi yang sangat krusial dan cepat.

Pada tanggal 15 Oktober 2008, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan “Perpu 2/2008”. Perpu ini disahkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009.

Perpu 2/2008 mengubah beberapa ketentuan, termasuk yang berkaitan dengan syarat pemberian FPJP. Perubahan ini kemudian diikuti dengan revisi Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang melonggarkan syarat CAR bagi bank penerima FPJP. Penerbitan Perpu 2/2008 dan perubahan PBI yang mengikutinya merupakan contoh klasik dari ad-hoc rulemaking, di mana regulasi dibentuk untuk merespons dan melegitimasi tindakan terhadap satu kasus spesifik, bukan berdasarkan prinsip hukum yang berlaku umum.

Perubahan yang terkesan mendadak dan dirancang khusus ini mengaburkan batas antara kebijakan penanganan krisis yang sah dan tindakan yang berpotensi merupakan penyalahgunaan wewenang.

Atas dasar kerangka hukum yang baru diubah inilah, BI kemudian mencairkan FPJP kepada Bank Century dalam beberapa tahap dengan total mencapai Rp 689,39 miliar. Proses pemberian FPJP inilah yang kemudian menjadi salah satu fokus utama dalam audit investigatif BPK dan penyelidikan KPK.

Dalam proses peradilan, sebagaimana Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 21/Pid.SUS/TPK/2014/PN.Jkt.Pst, tertanggal 16 Juli 2014, jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 67/PID/TPK/2014/PT.DKI., tertanggal 3 Desember 2014 jo. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 861 K/PID.SUS/2015, tertanggal 8 April 2015., terungkap bahwa perubahan regulasi tersebut tidak dipandang sebagai kebijakan yang netral, melainkan sebagai bagian dari rangkaian perbuatan melawan hukum untuk menguntungkan Bank Century secara tidak sah, yang berujung pada vonis bersalah terhadap pejabat BI yang terlibat, yaitu Budi Mulya. 

Kegagalan dalam pengawasan mikroprudensial yang berujung pada pemberian FPJP yang kontroversial ini menjadi justifikasi utama bagi reformasi kelembagaan paling drastis pasca-Century, yaitu pemisahan fungsi pengawasan bank dari bank sentral.   

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai Eksekutor Penyelamatan

Mandat Hukum LPS dalam Penanganan Bank Gagal

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memegang peranan sentral sebagai eksekutor dalam penanganan Bank Century setelah bank tersebut ditetapkan berstatus sistemik. Kewenangan LPS diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut dengan “UU LPS”. Berdasarkan undang-undang tersebut, LPS memiliki fungsi ganda. Pasal 4 UU LPS menyatakan fungsi LPS adalah:   

a.     menjamin simpanan nasabah penyimpan; dan

b.     turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.”    

Untuk menjalankan fungsi tersebut, Bab V UU LPS mengatur secara rinci mengenai mekanisme penyelesaian dan penanganan bank gagal. Terdapat perbedaan fundamental dalam penanganan bank gagal yang berdampak sistemik dan yang tidak. Pasal 22 ayat (1) UU LPS mengatur opsi penanganan tersebut sebagai berikut:

“Penyelesaian atau penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh LPS dengan cara sebagai berikut:

a.          penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik dilakukan dengan melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan terhadap Bank Gagal dimaksud;

b.          penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik dilakukan dengan melakukan penyelamatan yang mengikutsertakan pemegang saham lama atau tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama.”

 

Ketentuan ini secara jelas memberikan diskresi kepada LPS untuk memilih antara penyelamatan (rescue) atau likuidasi hanya untuk bank gagal yang tidak berdampak sistemik. Sebaliknya, untuk bank gagal yang telah ditetapkan berdampak sistemik, UU LPS tidak memberikan pilihan lain selain melakukan “penanganan”, yang dalam konteks ini berarti penyelamatan.

Pelaksanaan Penyelamatan Bank Century

Setelah KSSK menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik pada 21 November 2008, LPS secara hukum terikat untuk melaksanakan penanganan. LPS mengambil alih kendali Bank Century dan menjalankan kewenangannya sebagaimana diatur dalam UU LPS. Berdasarkan Pasal 40 huruf a UU LPS (sebelum diubah oleh UU P2SK), LPS mengambil alih segala hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), kepemilikan, dan kepengurusan bank.   

Tindakan utama yang dilakukan LPS adalah melakukan Penyertaan Modal Sementara (PMS) untuk menopang permodalan bank agar dapat kembali beroperasi secara normal. Namun, proses ini diwarnai dengan pembengkakan biaya yang luar biasa. Dari estimasi awal yang hanya sebesar Rp 632 miliar, total dana PMS yang akhirnya dikucurkan oleh LPS mencapai Rp 6,762 triliun. Dana masif ini digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk untuk melunasi kewajiban FPJP kepada Bank Indonesia dan membayar kewajiban kepada para nasabah penyimpan dana pihak ketiga.

Dalam konstruksi berpikir Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) saat itu, peran LPS dapat dianalogikan sebagai “kasir” atau eksekutor teknis dari keputusan strategis yang telah diambil oleh KSSK. Diskresi LPS untuk memilih antara likuidasi atau penyelamatan secara efektif dihilangkan oleh penetapan status “sistemik” yang dilakukan oleh KSSK.

Begitu KSSK membuat keputusan tersebut, LPS secara hukum terikat untuk menyuntikkan dana berapapun yang diperlukan untuk menyehatkan kembali bank tersebut. Hal ini menjelaskan mengapa dana penyelamatan dapat membengkak jauh dari estimasi awal tanpa bisa dihentikan oleh LPS. Peran LPS dalam pengambilan keputusan strategis menjadi pasif, sementara perannya dalam eksekusi teknis penyelamatan menjadi sangat aktif dan berbiaya tinggi. Pasca-penyelamatan, sebagai bagian dari proses restrukturisasi, Bank Century diubah namanya menjadi Bank Mutiara, yang kemudian dijual oleh LPS kepada investor baru dalam upaya mengembalikan dana negara.   

Episentrum Reformasi Hukum: Akuntabilitas dan Pembangunan Kerangka Regulasi Baru

Kasus Bank Century tidak hanya memicu krisis finansial dan politik, tetapi juga menjadi episentrum bagi serangkaian proses hukum yang bertujuan untuk menegakkan akuntabilitas dan mendorong reformasi. Rangkaian peristiwa hukum ini menunjukkan adanya pembagian kerja antar lembaga tinggi negara yaitu Mahkamah Konstitusi menjaga batas yurisdiksi, BPK menguantifikasi kerugian negara, dan lembaga peradilan pidana menegakkan akuntabilitas individual.

Uji Konstitusionalitas Perpu JPSK

Landasan hukum utama kebijakan bailout, yaitu Perpu JPSK, digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 145/PUU-VII/2009, tertanggal 20 April 2010, MK menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Alasan utama MK adalah permohonan tersebut telah kehilangan objek (objectum litis), karena Perpu JPSK (Perpu Nomor 4 Tahun 2008) telah ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam masa persidangan berikutnya dan dengan demikian tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. 

Meskipun demikian, dalam pertimbangannya, MK menegaskan kewenangannya untuk menguji konstitusionalitas sebuah Perpu. Putusan ini secara efektif menunjukkan keengganan yudikatif untuk memasuki ranah “political question” yang sangat sensitif, menyerahkan penilaian atas kebijakan bailout kepada ranah politik (melalui hak angket DPR) dan ranah penegakan hukum (melalui KPK)

Laporan Audit Investigatif BPK dan Implikasi Hukumnya

Titik krusial dalam penegakan hukum kasus Bank Century adalah terbitnya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Investigatif BPK. Laporan awal pada tahun 2009 dan laporan lanjutan pada tahun 2013 secara komprehensif membedah proses dari merger hingga bailout. Temuan utama BPK sangat signifikan, antara lain:   

1.        Proses merger yang tidak didasari prinsip kehati-hatian oleh BI;

2.       Pengawasan BI yang tidak tegas terhadap praktik-praktik tidak sehat di Bank Century;

3.      Pemberian FPJP yang didasari oleh perubahan peraturan yang mendadak dan tidak sesuai ketentuan;

4.       Penetapan status bank gagal berdampak sistemik yang tidak didasarkan pada data yang lengkap dan mutakhir.

Implikasi hukum terpenting dari laporan ini adalah identifikasi dan kuantifikasi kerugian keuangan negara. BPK menyimpulkan adanya kerugian negara sebesar Rp 689,39 miliar terkait pemberian FPJP dan Rp 6,762 triliun terkait penyaluran Penyertaan Modal Sementara (PMS) oleh LPS. Dengan adanya LHP BPK yang secara resmi menyatakan adanya kerugian negara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki landasan hukum yang kuat untuk memulai proses penyidikan tindak pidana korupsi, karena salah satu unsur esensial dalam delik korupsi telah terpenuhi.   

Proses Peradilan Tindak Pidana Korupsi: Studi Kasus Budi Mulya

Berbekal LHP BPK, KPK menetapkan Deputi Gubernur BI saat itu, Budi Mulya, sebagai tersangka. Dakwaan utama adalah penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama dalam proses pemberian FPJP dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, yang melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang selanjutnya disebut “KUHP”.   

Proses peradilan berjalan melalui tiga tingkatan dengan tren hukuman yang semakin berat, yang mengindikasikan keyakinan lembaga peradilan akan adanya tindak pidana dalam proses kebijakan tersebut, sebagaimana yang sudah kami sebutkan juga di atas antara lain:

1.        Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 21/Pid.SUS/TPK/2014/PN.Jkt.Pst, tertanggal 16 Juli 2014, yang mana menjatuhkan vonis 10 tahun penjara;

2.       Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 67/PID/TPK/2014/PT.DKI., tertanggal 3 Desember 2014, putusan ini memperberat vonis menjadi 12 tahun penjara; dan

3.       Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 861 K/PID.SUS/2015, tertanggal 8 April 2015, menolak kasasi terdakwa dan mengabulkan kasasi Jaksa Penuntut Umum, serta memperberat hukuman menjadi pidana penjara selama 15 tahun. Upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Budi Mulya kemudian juga ditolak oleh Mahkamah Agung.

Analisis yuridis terhadap putusan kasasi menunjukkan bahwa Mahkamah Agung meyakini unsur penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Putusan ini menjadi yurisprudensi penting yang menegaskan bahwa meskipun sebuah tindakan diambil dalam konteks kebijakan penanganan krisis, tindakan tersebut tidak serta-merta kebal dari pertanggungjawaban pidana (beleid is geen vrijbrief), terutama jika terbukti melanggar prosedur hukum formal, dilakukan dengan itikad tidak baik (male fide), dan secara nyata menimbulkan kerugian keuangan negara.

Konstruksi Hukum Baru terkait Pengawasan dan Stabilitas Sistem Keuangan

Warisan paling fundamental dari kasus Bank Century adalah perombakan total konstruksi kelembagaan pengawasan dan stabilitas sistem keuangan di Indonesia. Krisis ini menjadi momentum untuk melakukan reformasi legislatif yang telah lama tertunda, dengan tujuan utama memisahkan fungsi-fungsi yang sebelumnya tumpang tindih dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Kelahiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Sebagai respons langsung atas kritik tajam terhadap kegagalan pengawasan mikroprudensial oleh Bank Indonesia, amanat Pasal 34 UU BI 1999 untuk membentuk lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dipercepat. Melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disebut dengan “UU OJK”, lahirlah OJK.   

Dengan beroperasinya OJK, terjadi pemisahan fungsi yang jelas. Pasal 6 huruf a dan Pasal 7 UU OJK secara eksplisit mengalihkan tugas pengaturan dan pengawasan mikroprudensial, yang berfokus pada kesehatan, tata kelola, dan perilaku setiap institusi jasa keuangan secara individual, dari Bank Indonesia ke OJK. Pengalihan ini mencakup wewenang perizinan, pengaturan kelembagaan, pengawasan kesehatan bank (likuiditas, solvabilitas, CAR, dll.), hingga pemeriksaan bank.

Sementara itu, Bank Indonesia tetap memegang mandat kebijakan makroprudensial, yang bertujuan menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan dari risiko sistemik. Pemisahan ini menciptakan model pengawasan ”Twin Peaks”, di mana satu puncak (OJK) fokus pada kesehatan dan perilaku institusi, dan puncak lainnya (BI) fokus pada stabilitas sistemik.   

Formalisasi Kerangka Stabilitas Sistem Keuangan

Penolakan Perpu JPSK oleh DPR menciptakan kekosongan hukum (rechtsvacuüm) dalam penanganan krisis sistemik. Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, yang selanjutnya disebut dengan “UU PPKSK”. Undang-undang ini secara permanen dan formal menginstitusionalisasikan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).   

Pasal 4 UU PPKSK menetapkan keanggotaan KSSK yang terdiri dari Menteri Keuangan (sebagai koordinator), Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner LPS. 

Kemudian, Pasal 5 UU PPKSK kemudian merinci tugas KSSK, yang mencakup koordinasi pemantauan, penanganan krisis, dan penanganan permasalahan bank sistemik. Formalisasi ini mengubah KSSK dari lembaga ad-hoc berbasis Perpu menjadi sebuah komite yang memiliki landasan hukum permanen, dengan tugas, wewenang, dan mekanisme pengambilan keputusan yang jauh lebih terstruktur.   

Penyempurnaan Melalui UU P2SK

Kerangka kerja yang dibangun oleh UU PPKSK kemudian disempurnakan lebih lanjut melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, yang selanjutnya disebut dengan “UU P2SK”. UU P2SK menunjukkan adanya proses pembelajaran legislatif (legislative learning) dari potensi kebuntuan dalam pengambilan keputusan di masa krisis.   

Pasal 6 UU P2SK mengubah beberapa ketentuan krusial dalam UU PPKSK. Salah satu perubahan paling signifikan adalah pada mekanisme pengambilan keputusan KSSK. Pasal 9 UU PPKSK yang telah diubah oleh UU P2SK menyatakan bahwa jika musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Apabila suara terbanyak juga tidak tercapai (misalnya, hasil suara imbang), maka Menteri Keuangan sebagai koordinator berwenang mengambil keputusan final atas nama KSSK. Mekanisme tie-breaker ini dirancang untuk memastikan adanya kepastian dan kecepatan dalam pengambilan keputusan di situasi genting.   

Selain itu, UU P2SK juga menyisipkan Pasal 15A ke dalam UU PPKSK, yang secara formal membentuk forum koordinasi kebijakan makroprudensial (BI), mikroprudensial (OJK), dan penanganan permasalahan bank (LPS). Ketentuan ini memperkuat sinergi dan pertukaran informasi antar-otoritas dalam kondisi normal, sebagai langkah preventif sebelum krisis terjadi. Reformasi kelembagaan ini secara fundamental merombak arsitektur keuangan Indonesia untuk meningkatkan mekanisme checks and balances dan memperjelas akuntabilitas setiap lembaga.   

Dampak Sosio-Legal dan Arah Kebijakan Prudensial di Masa Depan

Kasus Bank Century meninggalkan jejak yang mendalam, tidak hanya dalam lembaran peraturan perundang-undangan, tetapi juga dalam lanskap sosial-hukum dan arah kebijakan sektor keuangan Indonesia. Dampak terbesarnya bukanlah kerugian finansial semata, melainkan kerugian kepercayaan publik (trust deficit) yang memaksa regulator untuk mengadopsi pendekatan pengawasan yang lebih fundamental.

Krisis Kepercayaan Publik dan Implikasinya

Proses bailout yang menelan dana triliunan rupiah, ditambah dengan persepsi publik mengenai ketidaktransparanan dan dugaan adanya kepentingan politik, menyebabkan erosi kepercayaan yang signifikan terhadap pemerintah, otoritas moneter, dan industri perbankan secara keseluruhan. Kasus ini menjadi pelajaran pahit tentang bagaimana keputusan kebijakan yang tidak dikomunikasikan dengan baik dan dianggap tidak adil dapat merusak modal sosial, yang merupakan fondasi esensial bagi berjalannya sistem keuangan. Kepercayaan adalah mata uang tak terlihat dalam industri perbankan; sekali hilang, butuh waktu dan upaya luar biasa untuk memulihkannya.   

Penguatan Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance - GCG)

Salah satu respons regulator yang paling nyata untuk memulihkan kepercayaan adalah dengan memperkuat penekanan pada Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance atau GCG). Kasus Bank Century adalah manifestasi dari kegagalan GCG yang parah, di mana pemilik dan manajemen dapat menyalahgunakan wewenang mereka untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pasca-krisis, Bank Indonesia dan kemudian OJK secara progresif menerbitkan serangkaian peraturan yang memperketat implementasi dan pengawasan GCG di industri perbankan.   

Prinsip-prinsip GCG, Transparansi (Transparency), Akuntabilitas (Accountability), Pertanggungjawaban (Responsibility), Independensi (Independency), dan Kewajaran (Fairness), menjadi fokus utama. Pengawasan tidak lagi hanya berorientasi pada kepatuhan kuantitatif (seperti pemenuhan rasio modal), tetapi juga pada aspek kualitatif, yaitu integritas dan etika dewan komisaris, direksi, serta efektivitas fungsi-fungsi pengawasan internal. Kasus Century mengajarkan bahwa bank yang di atas kertas terlihat patuh bisa jadi secara substantif “busuk” dari dalam akibat tata kelola yang buruk. Oleh karena itu, GCG diposisikan sebagai benteng pertahanan pertama dan terpenting dalam menjaga kesehatan dan stabilitas bank.

Arah Baru Kebijakan Prudensial: Pemisahan Mikro dan Makro

Lahirnya OJK dan pemisahan fungsi pengawasan menciptakan era baru dalam kebijakan prudensial di Indonesia. Arsitektur Twin Peaks memungkinkan kedua otoritas untuk memiliki fokus yang lebih tajam.

OJK, sebagai pengawas mikroprudensial, berkonsentrasi pada kesehatan, ketahanan, dan perilaku setiap lembaga jasa keuangan (LJK). Wewenangnya mencakup memastikan LJK mematuhi prinsip kehati-hatian, menerapkan GCG secara efektif, dan memperlakukan konsumen secara adil (market conduct). Fokus OJK adalah melindungi konsumen dan menjaga stabilitas LJK secara individual.

Di sisi lain, Bank Indonesia, yang kini fokus pada kebijakan makroprudensial, memiliki mandat untuk menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. BI bertugas mengidentifikasi dan memitigasi risiko sistemik yang dapat timbul dari interkoneksi antar lembaga keuangan, keterkaitan sektor keuangan dengan ekonomi riil, dan perilaku pro-siklikal dari sistem keuangan. Instrumen kebijakan makroprudensial yang kini menjadi andalan BI, seperti rasio Loan-to-Value (LTV) untuk kredit properti, Countercyclical Capital Buffer (CCyB), dan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM), adalah perangkat yang dirancang untuk “mengerem” atau “mendorong” sistem keuangan secara agregat guna mencegah akumulasi risiko yang dapat membahayakan stabilitas. Pemisahan ini merupakan respons langsung untuk mengatasi konflik kepentingan yang melekat pada model pengawasan terintegrasi di dalam bank sentral yang terbukti gagal dalam kasus Bank Century.

Penutup

Kasus Bank Century adalah sebuah saga hukum dan kebijakan yang kompleks dengan konsekuensi yang transformatif dan berjangka panjang bagi Indonesia. Bermula dari kegagalan tata kelola internal dan pengawasan mikroprudensial yang kronis, dieksaserbasi oleh gejolak krisis keuangan global, dan memuncak pada keputusan bailout yang sarat kontroversi, kasus ini telah secara fundamental membentuk kembali lanskap hukum perbankan nasional. Ia bukan sekadar catatan kelam, melainkan sebuah pelajaran berharga yang dibayar mahal.

Warisan utama dari kasus ini adalah transformasi fundamental arsitektur hukum dan kelembagaan sektor keuangan. Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memisahkan fungsi pengawasan mikroprudensial dari bank sentral, formalisasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melalui undang-undang yang kokoh, serta pemisahan tegas antara domain kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial merupakan pilar-pilar utama dari kerangka kerja baru yang dirancang untuk menjadi lebih tangguh, akuntabel, dan memiliki mekanisme checks and balances yang lebih kuat. Evolusi regulasi dari Perpu JPSK yang bersifat ad-hoc hingga UU PPKSK dan penyempurnaannya dalam UU P2SK menunjukkan adanya proses pembelajaran legislatif yang matang dalam membangun protokol manajemen krisis yang lebih pasti dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pada akhirnya, kasus Bank Century meninggalkan pelajaran abadi tentang pentingnya independensi regulator yang harus selalu diimbangi dengan akuntabilitas yang kuat; urgensi transparansi dalam pengambilan kebijakan di masa krisis untuk menjaga kepercayaan publik; dan peran sentral tata kelola perusahaan yang baik (GCG) sebagai benteng pertahanan pertama dalam menjaga stabilitas setiap institusi perbankan. Dinamika hukum perbankan Indonesia modern, dengan segala kompleksitas dan tantangannya, tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa menilik kembali pelajaran-pelajaran fundamental yang dipetik dari krisis Bank Century.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.