layananhukum

Purbaya dan Kebijakan Fiskal: Stabilitas Bank di Era Tantangan Ekonomi Global


 

Pengantar

Beberapa waktu terakhir, ruang diskursus ekonomi dan bisnis nasional diramaikan oleh fenomena yang dapat disebut sebagai “Purbaya Effect”, sebuah terminologi yang merujuk pada serangkaian kebijakan fiskal yang berani, ekspansif, dan tidak konvensional yang digulirkan oleh Menteri Keuangan saat ini.

Kebijakan-kebijakan ini, yang dirancang untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, secara simultan telah memicu dialektika yang tajam di antara para pemangku kepentingan, mulai dari pelaku pasar, akademisi, hingga regulator. Di satu sisi, terdapat optimisme terhadap potensi stimulus yang dapat membangkitkan sektor riil. Di sisi lain, muncul kekhawatiran mendalam mengenai implikasinya terhadap stabilitas makroekonomi dan, yang tidak kalah penting, kesehatan fundamental sektor perbankan nasional.

Fenomena ini, pada hakikatnya, bukanlah sekadar pertentangan antara dua mazhab ekonomi. Ini adalah manifestasi nyata dari tegangan struktural yang melekat dalam konstruksi hukum ekonomi Republik Indonesia. Konstruksi ini dibangun di atas fondasi pemisahan kekuasaan yang secara inheren menciptakan suatu dualisme kewenangan dalam pengelolaan kebijakan makroekonomi. Pemisahan ini, meskipun dirancang untuk menciptakan mekanisme saling uji dan saling imbang (checks and balances), seringkali menjadi sumber dialektika kebijakan antara otoritas fiskal, moneter, dan prudensial.

Untuk memahami secara mendalam akar perdebatan antara paradigma kebijakan yang bersifat ekspansif dan paradigma kehati-hatian, esensial untuk terlebih dahulu memetakan pilar-pilar kewenangan yang menjadi landasan yuridis bagi setiap institusi. Landasan ini tidak hanya melegitimasi tindakan mereka, tetapi juga mendefinisikan batas-batas dan potensi konflik norma yang terkandung di dalamnya.

Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara oleh Presiden dan Pelimpahan kepada Menteri Keuangan

Kewenangan Menteri Keuangan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan fiskal berakar pada mandat konstitusional tertinggi. Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, selanjutnya disebut “UU Keuangan Negara”, secara tegas menyatakan bahwa:

“Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.”  

Kekuasaan yang sangat luas ini, dalam praktiknya, didelegasikan. Sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf a UU Keuangan Negara menetapkan bahwa kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan, yang bertindak dalam dua kapasitas utama yaitu sebagai pengelola fiskal dan sebagai Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.

Pelimpahan ini memberikan legitimasi hukum yang kokoh bagi Menteri Keuangan untuk merancang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sejalan dengan visi pembangunan pemerintah. Ruang lingkup “Keuangan Negara” itu sendiri didefinisikan secara ekstensif dalam Pasal 1 Angka 1 UU Keuangan Negara, yang mencakup:

“semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”

Definisi yang luas ini menggarisbawahi besarnya domain kewenangan yang berada di tangan Menteri Keuangan, menjadikannya aktor sentral dalam rekayasa ekonomi melalui instrumen fiskal.  

Independensi Bank Indonesia sebagai Otoritas Moneter

Sebagai penyeimbang dari kekuasaan fiskal, pengaturan hukum Indonesia menempatkan Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter yang independen. Status ini merupakan amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, selanjutnya disebut “UU Bank Indonesia”.

Sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Bank Indonesia menjadi benteng yuridis utama, yang menyatakan bahwa:

“Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya…”.  

Berbeda dengan tujuan kebijakan fiskal yang jamak, tujuan BI bersifat tunggal dan spesifik, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah,” sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 7 UU Bank Indonesia. Kestabilan nilai rupiah ini memiliki dua dimensi: stabilitas harga barang dan jasa (inflasi) dan stabilitas nilai tukar. Untuk mencapai tujuan tunggal ini, BI diberi kewenangan penuh untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.

Independensi ini diperkuat lebih lanjut oleh Pasal 9 UU Bank Indonesia, yang tidak hanya melarang pihak lain melakukan intervensi, tetapi juga secara imperatif mewajibkan BI untuk menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugasnya. Ketentuan ini secara fundamental menciptakan potensi friksi, di mana kebijakan fiskal ekspansif yang mungkin menciptakan tekanan inflasi akan berhadapan langsung dengan mandat BI untuk menjaga stabilitas harga.  

Peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Pengawas Mikroprudensial

Melengkapi dualisme makroekonomi tersebut, hadir Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator dan pengawas mikroprudensial. Didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK memiliki mandat untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Dalam konteks perbankan, OJK bertugas memastikan kesehatan dan stabilitas setiap institusi bank secara individual.

Argumentasi-argumentasi kritis terhadap kebijakan fiskal ekspansif sebagian besar akan berlandaskan pada kerangka peraturan yang diterbitkan oleh OJK, yang mewajibkan bank untuk beroperasi dengan prinsip kehati-hatian yang ketat.

Paradigma Prinsip Kehati-hatian sebagai Norma Hukum Imperatif

Sebuah kerangka pemikiran yuridis yang berlandaskan prinsip kehati-hatian merepresentasikan sebuah paradigma yang memprioritaskan stabilitas sistem keuangan di atas tujuan-tujuan kebijakan lainnya. Paradigma ini tidak lahir dari preferensi subjektif, melainkan berakar kuat pada fondasi hukum perbankan modern yang menjadikan prinsip kehati-hatian (prudential banking principle) dan manajemen risiko sebagai norma hukum tertinggi yang bersifat memaksa (imperatif). Dari perspektif ini, kesehatan sektor perbankan adalah prasyarat absolut (conditio sine qua non) bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Kewajiban Hukum Bank untuk Menjaga Tingkat Kesehatan

Titik tolak argumentasi dari paradigma ini adalah kewajiban hukum yang melekat pada setiap bank untuk senantiasa memelihara dan meningkatkan tingkat kesehatannya. Kewajiban ini diatur secara rinci, antara lain, dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 4/POJK.03/2016 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, selanjutnya disebut “POJK 4/2016”.

Peraturan ini, beserta aturan pelaksananya seperti Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 /SEOJK.03/2017, mengamanatkan bank untuk melakukan penilaian tingkat kesehatan dengan pendekatan berdasarkan risiko (Risk-based Bank Rating atau RBBR).  

Bank diwajibkan secara hukum untuk melakukan penilaian mandiri (self-assessment) secara berkala terhadap empat faktor krusial yaitu Profil Risiko (risk profile), Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance), Rentabilitas (earnings), dan Permodalan (capital). Hasil penilaian ini dikategorikan ke dalam Peringkat Komposit (PK), dari PK-1 (Sangat Sehat) hingga PK-5 (Tidak Sehat). Kebijakan fiskal yang dinilai terlalu agresif dapat secara simultan mengganggu keempat pilar kesehatan bank ini.

Manajemen Risiko sebagai Kewajiban Hukum yang Tidak Dapat Dikesampingkan

Lebih jauh, prinsip kehati-hatian harus diwujudkan dalam sebuah sistem manajemen risiko yang efektif dan komprehensif. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 18/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, selanjutnya disebut POJK 18/2016”, menjadi landasan hukum utama bagi argumentasi ini.

Sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) POJK 18/2016 secara tegas menyatakan:

“Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif, baik untuk Bank secara individu maupun untuk Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.”.  

Penerapan manajemen risiko ini bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah proses aktif yang mencakup empat pilar seperti identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko. Dari perspektif ini, kebijakan stimulus yang mendorong penyaluran kredit secara masif dipandang sebagai ajakan untuk melanggar hukum, karena berpotensi memaksa bank untuk melonggarkan standar analisis kelayakan kredit dan mengambil risiko di luar tingkat risiko yang dapat diterima (risk appetite).  

Risiko Sistemik dari Pelarian Modal (Capital Flight)

Analisis kritis juga meluas ke level makro, khususnya mengenai risiko pelarian modal (capital flight). Terdapat sebuah rantai kausalitas yang menghubungkan kebijakan fiskal yang tidak hati-hati (imprudent) dengan peningkatan risiko negara (country risk). Capital flight didefinisikan sebagai arus modal keluar dari suatu negara yang dipicu oleh persepsi negatif terhadap kondisi ekonomi atau politik.

Dampaknya dapat sangat merusak: ia mengikis basis pajak, mengurangi ketersediaan dana untuk investasi domestik, dan yang paling berbahaya, menciptakan tekanan jual yang masif terhadap mata uang domestik. Kebijakan fiskal yang dianggap tidak terukur akan memperburuk persepsi ini, membuka gerbang bagi potensi krisis.  

Adagium Kehati-hatian dalam Penegakan Hukum

Untuk memberikan bobot filosofis pada argumentasi yuridis dan ekonominya, dapat diadopsi semangat dari adagium hukum yang sangat fundamental, yang sering diatribusikan kepada ahli hukum Inggris, Sir William Blackstone:

“It is better that ten guilty persons escape than that one innocent suffer”

(Lebih baik sepuluh orang yang bersalah lolos daripada satu orang yang tidak bersalah menderita).

Adagium ini menggarisbawahi sebuah prinsip fundamental: prioritas untuk menghindari kerugian katastropik bahkan jika itu berarti harus mengorbankan potensi keuntungan.  

Analogi langsung dari prinsip ini dapat ditarik ke dalam ranah kebijakan ekonomi yaitu “Lebih baik kehilangan sebagian potensi pertumbuhan ekonomi jangka pendek daripada memicu satu krisis keuangan sistemik yang menghancurkan seluruh perekonomian.”

Dalam analogi ini, “membebaskan sepuluh orang bersalah” disamakan dengan merelakan target pertumbuhan yang ambisius tidak tercapai. Sementara itu, “menghukum satu orang tidak bersalah” disamakan dengan membiarkan terjadinya krisis keuangan. Dengan demikian, paradigma kehati-hatian diposisikan bukan sebagai sikap anti-pertumbuhan, melainkan sebagai sebuah strategi manajemen risiko fundamental yang menempatkan stabilitas dan keberlanjutan sebagai prasyarat yang tidak dapat ditawar (non-negotiable).

Alur Logika Menteri Purbaya: Kebijakan Fiskal Ekspansif sebagai Instrumen Hukum Pembangunan

Berseberangan dengan paradigma kehati-hatian, kerangka pemikiran Menteri Keuangan Purbaya berakar pada pandangan bahwa negara, melalui instrumen fiskalnya, memiliki peran aktif dan kewajiban hukum untuk melakukan intervensi demi mencapai tujuan pembangunan nasional. Bagi Menteri Purbaya, APBN bukanlah sekadar instrumen akuntansi, melainkan instrumen kebijakan yang paling kuat untuk mengakselerasi pertumbuhan dan mendistribusikan kemakmuran.

APBN sebagai Perintah Undang-Undang

Rasionalitas kebijakan Menteri Purbaya didasarkan pada mandat yang tertuang dalam UU Keuangan Negara. Pasal 11 ayat (1) UU Keuangan Negara menyatakan bahwa:

“APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang.”.

Setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), APBN berubah status dari sekadar rencana keuangan menjadi sebuah perintah hukum yang mengikat.  

Lebih lanjut, Pasal 11 ayat (4) UU Keuangan Negara secara eksplisit menyebutkan bahwa:

“Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.”.

Penjelasan atas undang-undang ini merinci lebih jauh bahwa fungsi-fungsi APBN mencakup fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi, yang bertujuan untuk “mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian”. Ketentuan-ketentuan ini memberikan dasar hukum yang sangat kuat bagi Menteri Purbaya untuk merancang kebijakan belanja yang bersifat stimulus.  

Efisiensi Investasi sebagai Target Kebijakan (Incremental Capital-Output Ratio)

Untuk memberikan justifikasi ekonomi yang kuantitatif, Menteri Purbaya mengartikulasikan argumennya melalui konsep Incremental Capital-Output Ratio (ICOR). ICOR adalah sebuah metrik yang mengukur efisiensi investasi, dengan formula dasar:  

Nilai ICOR yang lebih rendah menunjukkan bahwa investasi sangat efisien. Dalam kerangka berpikir Menteri Purbaya, kebijakan stimulus fiskal adalah sebuah investasi strategis yang bertujuan untuk menurunkan angka ICOR nasional dalam jangka menengah dan panjang. Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur akan memangkas biaya logistik dan membuat setiap rupiah investasi baru menjadi lebih produktif. Data komparatif, seperti ICOR Provinsi Kalimantan Timur yang tercatat sangat efisien (2.58) dibandingkan dengan ICOR nasional (6.73), dapat digunakan sebagai bukti bahwa alokasi belanja pemerintah yang tepat sasaran mampu meningkatkan efisiensi ekonomi.  

Namun, alur logika ini mengandung sebuah paradoks yang berisiko. Upaya untuk menurunkan ICOR seringkali membutuhkan investasi publik dalam skala masif di muka, yang jika tidak didanai oleh penerimaan negara yang memadai, harus dibiayai melalui utang. Keberhasilan strategi ini bergantung sepenuhnya pada asumsi kritis bahwa investasi yang didanai utang tersebut akan sangat efisien. Kenyataannya, metrik ICOR memiliki keterbatasan signifikan; ia cenderung mengabaikan faktor-faktor non-kapital yang krusial seperti kualitas institusi, tingkat korupsi, dan kepastian hukum. Jika faktor-faktor ini berada dalam kondisi yang buruk, maka investasi besar yang telah digelontorkan akan gagal menghasilkan peningkatan output yang diharapkan. Akibatnya, Produk Domestik Bruto (PDB) tidak tumbuh secara signifikan, namun beban utang negara tetap membengkak. Kondisi ini menciptakan sebuah “jebakan utang” (debt trap) yang pada akhirnya justru dapat memperburuk efisiensi modal.  

Dampak terhadap Sektor Perbankan: Studi Kasus Fasilitas Kredit yang Belum Ditarik

Perdebatan yuridis antara paradigma kehati-hatian dan paradigma stimulus dapat diuji secara empiris dengan menganalisis perilaku aktual sektor perbankan. Salah satu indikator kuantitatif yang paling relevan adalah data fasilitas kredit yang belum ditarik (undisbursed loan). Angka ini merepresentasikan komitmen kredit yang telah disetujui oleh bank, namun belum dimanfaatkan oleh debitur, dan berfungsi sebagai proksi untuk mengukur tingkat kehati-hatian bank serta sentimen sektor riil.

Data undisbursed loan secara historis dipantau oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai bagian dari Statistik Perbankan Indonesia (SPI). Tabel berikut menyajikan data fasilitas pinjaman yang belum ditarik untuk kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti (KBMI) 1.  

Tabel 1: Tren Fasilitas Pinjaman yang Belum Ditarik pada Bank Umum KBMI 1

(Data Bulanan, dalam Miliar Rupiah)

Bulan/Tahun

Fasilitas Pinjaman yang Belum Ditarik

Mei 2023 (r)

7,713

Juni 2023 (r)

5,560

Juli 2023 (r)

8,652

Agustus 2023 (r)

8,654

September 2023 (r)

8,704

Oktober 2023 (r)

8,789

November 2023 (r)

8,917

Desember 2023 (r)

9,163

Januari 2024

8,949

Februari 2024

5,497

Maret 2024

5,631

April 2024

5,608

Mei 2024

5,657

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (SPI) - Mei 2024, Otoritas Jasa Keuangan, Tabel 1.12.

 Catatan: (r) menunjukkan angka yang telah direvisi.

Tingginya angka undisbursed loan dapat diinterpretasikan melalui dua lensa:

1.        Dari Perspektif Sektor Perbankan (Lensa Prinsip Kehati-hatian)

Pencairan dana yang tertunda dapat mencerminkan penerapan prinsip kehati-hatian pada tahap akhir. Bank mungkin memperketat syarat pencairan (covenants) atau melakukan evaluasi ulang terhadap kelayakan proyek debitur. Ini sejalan dengan paradigma kehati-hatian, di mana bank tetap menjalankan fungsi manajemen risikonya sebagai bentuk kepatuhan terhadap regulasi OJK.

2.       Dari Perspektif Sektor Riil (Batas Efektivitas Kebijakan Stimulus)

Angka undisbursed loan yang tinggi menunjukkan keraguan dari dunia usaha. Meskipun fasilitas kredit telah tersedia, para pengusaha memilih untuk tidak menariknya. Hal ini menandakan bahwa stimulus fiskal dan ketersediaan kredit saja tidak cukup. Sektor riil mungkin masih mengkhawatirkan faktor-faktor lain: ketidakpastian regulasi, stabilitas makroekonomi, atau prospek permintaan yang lemah. Ini secara kuantitatif menunjukkan batas efektivitas dari alur logika kebijakan stimulus.

Lebih dari itu, tingginya volume undisbursed loan menciptakan sebuah risiko likuiditas tersembunyi. Komitmen untuk memberikan kredit ini merupakan kewajiban kontinjensi yang mengikat secara hukum. Sesuai dengan mandat dalam POJK 18/2016, bank wajib mengelola risiko likuiditasnya dengan cermat. Kewajiban ini memaksa bank untuk memelihara cadangan likuiditas yang signifikan, yang seringkali harus ditempatkan pada aset-aset berimbal hasil rendah, sehingga menekan profitabilitas bank.  

Potensi Konflik Norma dalam Hukum Ekonomi

Analisis ini mengerucut pada identifikasi potensi konflik norma dalam arsitektur hukum ekonomi Indonesia. Konflik ini bukan disebabkan oleh pelanggaran hukum, melainkan oleh pertentangan inheren antara mandat-mandat yang sah secara yuridis.

Independensi BI vs. Kebutuhan Pembiayaan Pemerintah

Salah satu area konflik yang paling fundamental adalah antara independensi Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan moneter dan kebutuhan pemerintah untuk membiayai defisit anggarannya. Bank Indonesia, berdasarkan mandatnya, memiliki kewenangan penuh untuk menetapkan suku bunga kebijakan (BI-Rate) dan melaksanakan operasi moneter. Di sisi lain, ketika Menteri Keuangan menjalankan kebijakan fiskal ekspansif, Kementerian Keuangan akan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam jumlah besar. Kepentingan pemerintah agar biaya penerbitan utang ini tetap rendah secara implisit menciptakan tekanan bagi Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga kebijakan yang rendah.  

Kebijakan Makroprudensial vs. Mikroprudensial

Konflik norma juga dapat terjadi antara domain kebijakan makroprudensial yang menjadi tanggung jawab Bank Indonesia dan kebijakan mikroprudensial di bawah kewenangan OJK. Kebijakan makroprudensial bertujuan menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Namun, tindakan seperti menaikkan suku bunga secara tajam untuk meredam pertumbuhan kredit yang berlebihan dapat meningkatkan rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan atau NPL) di neraca perbankan, yang berpotensi menurunkan Peringkat Kesehatan bank berdasarkan penilaian OJK.

Diskresi Fiskal vs. Kepatuhan Regulasi Perbankan

Inti dari konflik yang dianalisis terletak pada benturan antara kewenangan diskresioner Menteri Keuangan dalam mengelola APBN dan kewajiban non-diskresioner direksi bank untuk mematuhi regulasi OJK. UU Keuangan Negara memberikan diskresi yang luas kepada Menteri Keuangan. Namun, ketika implementasinya melibatkan sektor perbankan, ia akan berhadapan langsung dengan regulasi OJK yang bersifat imperatif. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, direksi bank terikat oleh serangkaian POJK yang memaksa mereka untuk memprioritaskan kepatuhan di atas imbauan kebijakan.  

Arsitektur hukum ekonomi Indonesia saat ini secara struktural tidak memiliki sebuah mekanisme atau lembaga “wasit” (arbiter) yang formal untuk menyelesaikan konflik kebijakan yang bersifat fundamental di antara ketiganya. Penyelesaian konflik pada akhirnya sangat bergantung pada dinamika kekuatan politik dan proses negosiasi di tingkat eksekutif.

Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Berbasis Hukum

Analisis mendalam terhadap dialektika antara paradigma pertumbuhan dan paradigma kehati-hatian menunjukkan bahwa perdebatan ini adalah manifestasi dari tegangan yang inheren dalam arsitektur hukum ekonomi Indonesia. Tata kelola ekonomi yang efektif tidak terletak pada kemenangan mutlak salah satu paradigma, melainkan pada kemampuan sistem untuk menemukan keseimbangan dinamis di antara keduanya.

Temuan utama dari analisis ini menyoroti dua hal krusial. Pertama, data undisbursed loan berfungsi sebagai indikator empiris yang kuat untuk mengukur friksi antara ambisi kebijakan fiskal dan realitas kehati-hatian di sektor perbankan. Kedua, kerangka regulasi mikroprudensial yang ditegakkan oleh OJK secara de facto berfungsi sebagai penyeimbang institusional yang krusial (institutional counterweight) terhadap potensi ekses dari kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, berikut adalah beberapa rekomendasi kebijakan berbasis hukum:

1.        Penguatan Kerangka Koordinasi Formal melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK): Mandat dan mekanisme kerja KSSK perlu diperkuat secara yuridis. Direkomendasikan adanya amendemen terhadap peraturan perundang-undangan yang relevan untuk menambahkan prosedur formal bagi resolusi konflik kebijakan antar-anggota. Mekanisme ini harus mencakup kewajiban untuk melakukan analisis dampak lintas-sektoral (cross-sectoral impact analysis) sebelum kebijakan signifikan diterapkan.

2.       Peningkatan Transparansi Asumsi dan Dampak Kebijakan Fiskal: Kementerian Keuangan seharusnya diwajibkan secara hukum untuk mempublikasikan analisis dampak kuantitatif dari kebijakan fiskal yang diusulkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang APBN. Analisis ini harus mencakup proyeksi dampak terhadap indikator-indikator kunci di sektor keuangan serta justifikasi kuantitatif terhadap asumsi perbaikan efisiensi investasi (ICOR).

3.      Integrasi Prinsip Kehati-hatian dalam Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional: Prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko sistemik seharusnya diintegrasikan secara eksplisit ke dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional, seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dengan menjadikannya sebagai pertimbangan wajib, negara dapat memastikan bahwa tujuan pertumbuhan ekonomi senantiasa diimbangi dengan komitmen untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

Informasi dan Konsultasi Lanjutan

Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.