Pengantar
Keberadaan PTUN
merupakan manifestasi dari prinsip bahwa setiap tindakan badan atau pejabat
tata usaha negara harus dapat diuji legalitasnya di hadapan hakim. Di jantung
mekanisme pengujian yudisial ini terletak sebuah proses yang disebut pembuktian;
sebuah tahap fundamental yang menentukan terungkapnya kebenaran dan tegaknya
keadilan dalam sengketa administratif.
Urgensi pembuktian
dalam ranah PTUN tidak dapat dilepaskan dari fungsi utamanya, yakni menyediakan
sarana hukum bagi individu atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).[1]
Proses ini menjadi arena di mana dalil-dalil para pihak diuji secara objektif
untuk mencapai suatu putusan yang adil.
Sistem pembuktian
dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (HATUN) memiliki karakteristik
khas yang membedakannya dari hukum acara lain, seperti hukum acara perdata.
Karakteristik ini dirancang secara sadar untuk mengakomodasi dan menyeimbangkan
hubungan yang secara inheren tidak setara antara warga negara sebagai penggugat
dan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai tergugat.
Dua ciri utama
yang menonjol adalah peran aktif hakim (dominus litis) dan pencarian
kebenaran materiil (kebenaran materiil). Berbeda dengan hakim perdata
yang cenderung pasif, hakim PTUN dibebani tugas untuk secara aktif menggali
fakta-fakta hukum demi menemukan kebenaran yang sesungguhnya, tidak hanya
terbatas pada kebenaran formal yang terungkap dari dalil para pihak. Hal
ini mencerminkan sebuah filosofi peradilan yang tidak hanya menjadi “mulut
undang-undang” (la bouche de la loi), tetapi juga menjadi penjaga
keadilan substantif.
Landasan normatif
utama yang mengatur sistem pembuktian ini adalah Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
yang untuk selanjutnya dalam artikel ini disebut dengan “UU PTUN”. Melalui
kerangka hukum inilah prinsip-prinsip, alat bukti, dan mekanisme beban
pembuktian diatur secara sistematis, yang akan dianalisis secara mendalam dalam
artikel ini.
Pengertian dan Tujuan Pembuktian
Secara doktrinal, pembuktian
dapat didefinisikan sebagai suatu proses penyajian alat-alat bukti yang sah
menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan
kepastian tentang kebenaran peristiwa atau fakta yang dikemukakan.[2]
Menurut Ridwan
Syahrani, pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum
kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang dikemukakan. Senada dengan itu, Indroharto
mengartikan pembuktian sebagai tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta
yang menjadi dasar pertimbangan dalam menjatuhkan
putusan. Fakta-fakta ini dapat berupa fakta hukum, yaitu kejadian
yang eksistensinya bergantung pada penerapan suatu peraturan, maupun fakta
biasa yang turut menentukan adanya fakta hukum tersebut.[3]
Tujuan fundamental
dari proses pembuktian dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk
mencapai kebenaran materiil. Kebenaran materiil adalah kebenaran
substantif yang mencerminkan realitas sesungguhnya dari suatu peristiwa hukum,
bukan sekadar kebenaran formil yang hanya didasarkan pada apa
yang mampu dibuktikan oleh para pihak secara formal di persidangan.
Pengejaran
kebenaran materiil ini merupakan mandat yang melekat pada fungsi PTUN sebagai
lembaga kontrol yudisial terhadap administrasi negara. Hakim tidak hanya
menilai bukti yang disajikan, tetapi juga bertanggung jawab untuk memastikan
bahwa seluruh aspek relevan dari sengketa telah terungkap secara tuntas sebelum
menjatuhkan putusan. Hal ini menjadi pembeda esensial dengan hukum acara
perdata yang lebih berorientasi pada kebenaran formil, di mana hakim terikat
pada dalil dan bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara.
Prinsip-Prinsip Utama
Sistem pembuktian
di PTUN ditopang oleh beberapa prinsip fundamental yang secara kolektif
membentuk karakteristik uniknya. Dua prinsip yang paling sentral adalah asas
keaktifan hakim dan asas pembuktian bebas yang terbatas.
Asas Keaktifan Hakim (Dominus Litis)
Asas keaktifan
hakim, atau dominus litis, menempatkan hakim sebagai pemimpin
proses peradilan yang aktif, bukan sekadar wasit yang pasif. Prinsip ini
merupakan penyimpangan yang disengaja dari model peradilan perdata dan menjadi
instrumen vital untuk menegakkan keadilan substantif dalam sengketa
administratif. Kewenangan aktif hakim ini termanifestasi dalam
berbagai ketentuan UU PTUN.
Pasal 63 ayat (1)
UU PTUN secara eksplisit mewajibkan hakim
untuk mengadakan pemeriksaan persiapan guna melengkapi gugatan yang kurang
jelas. Lebih lanjut, Pasal 80 UU PTUN memberikan
kewenangan kepada Hakim Ketua Sidang untuk memberikan petunjuk kepada
para pihak mengenai upaya hukum dan alat bukti yang dapat mereka
gunakan. Demikian pula, Pasal 85 UU PTUN memberi
wewenang kepada hakim untuk memerintahkan agar surat atau dokumen yang
dipegang oleh pejabat tata usaha negara atau pihak ketiga diperlihatkan di
persidangan.
Penerapan
asas dominus litis bukanlah tanpa alasan. Hal ini dirancang
sebagai mekanisme struktural untuk mengompensasi ketidakseimbangan posisi (inequality
of arms) yang melekat antara penggugat (warga negara atau badan hukum
perdata) dan tergugat (badan atau pejabat tata usaha negara).
Dalam sengketa
TUN, hampir seluruh dokumen, data, dan informasi yang relevan dengan penerbitan
KTUN yang disengketakan berada dalam penguasaan tergugat. Penggugat
sering kali berada pada posisi yang sangat lemah secara informasional dan
sumber daya. Apabila hakim bersikap pasif, ketidakseimbangan ini akan terus
berlanjut dan menghalangi penggugat untuk membuktikan dalilnya, sekalipun dalil
tersebut benar adanya.
Oleh karena itu,
hukum memberikan mandat kepada hakim untuk secara aktif mencari klarifikasi dan
bukti, termasuk dengan memerintahkan tergugat untuk membuka data yang
dimilikinya. Dengan demikian, asas keaktifan hakim berfungsi sebagai katup
pengaman untuk memastikan bahwa pencarian kebenaran materiil tidak terhambat
oleh asimetri informasi dan kekuasaan para pihak.
Asas Pembuktian Bebas yang Terbatas (Limited Free Proof)
Prinsip kedua yang
fundamental adalah asas pembuktian bebas yang terbatas. Asas ini memberikan
keleluasaan kepada hakim untuk menilai kekuatan pembuktian dari setiap alat
bukti yang diajukan berdasarkan keyakinan nuraninya (conviction intime). Pasal
107 UU PTUN menjadi landasan utama asas ini, yang menyatakan bahwa:
“Hakim menentukan... penilaian pembuktian...
berdasarkan keyakinan Hakim.”
Ini berarti hakim
tidak terikat pada nilai pembuktian yang ditetapkan secara kaku oleh
undang-undang, sebagaimana ditemukan dalam beberapa sistem hukum acara lainnya.
Namun, kebebasan
ini tidak bersifat absolut, melainkan “terbatas” (terbatas). Pembatasan
tersebut terletak pada jenis alat bukti yang dapat diterima di
persidangan. Pasal 100 UU PTUN secara limitatif dan
imperatif menetapkan lima jenis alat bukti yang sah, yaitu surat atau
tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, dan
pengetahuan hakim. Hakim tidak diperkenankan untuk
mempertimbangkan bukti-bukti lain di luar kelima kategori tersebut.
Prinsip ini
mencerminkan sebuah keseimbangan yang cermat antara diskresi yudisial dan
kepastian hukum. Di satu sisi, pencarian kebenaran materiil menuntut
fleksibilitas bagi hakim dalam menimbang bobot setiap bukti sesuai konteks
perkara. Sistem pembuktian yang terlalu rigid dapat menghalangi tercapainya
keadilan. Inilah justifikasi bagi komponen “bebas” dari asas ini.
Di sisi lain,
kebebasan tanpa batas dapat membuka pintu bagi putusan yang arbitrer dan tidak
dapat diprediksi, yang pada akhirnya akan merusak kepastian hukum. UU PTUN
mengatasi dilema ini dengan cara membatasi jenis alat bukti
yang dapat digunakan (melalui Pasal 100), sambil memberikan kebebasan
dalam penilaian terhadap alat-alat bukti tersebut (melalui
Pasal 107). Hal ini menciptakan kerangka kerja prosedural yang jelas dan dapat
diprediksi, namun tetap memberdayakan hakim untuk mengejar keadilan substantif
di dalam kerangka tersebut.
Alat-Alat Bukti Dalam Sengketa Tata Usaha Negara
Sebagaimana telah
diuraikan, Pasal 100 UU PTUN menetapkan secara
limitatif lima jenis alat bukti yang diakui dalam Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara. Setiap alat bukti memiliki karakteristik dan kekuatan pembuktian
yang berbeda.
Surat atau Tulisan (Written Evidence)
Dalam sengketa
tata usaha negara, bukti surat atau tulisan sering kali menjadi alat bukti yang
paling sentral dan menentukan, mengingat objek sengketa itu sendiri adalah
sebuah “penetapan tertulis”. Pasal 101 UU PTUN mengklasifikasikan
alat bukti ini ke dalam tiga jenis:
1.
Akta Otentik merupakan surat yang
dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang berwenang menurut
peraturan perundang-undangan, seperti notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT). Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs)
dan mengikat, yang berarti apa yang tercantum di dalamnya harus dianggap benar
oleh hakim sampai terbukti sebaliknya.
2.
Akta di Bawah Tangan merupakan surat
yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan tanpa
keterlibatan pejabat umum. Kekuatan pembuktiannya bergantung pada pengakuan
dari pihak yang menandatanganinya. Jika pihak lawan mengakui keaslian tanda
tangan dan isinya, maka akta tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sama
dengan akta otentik bagi para pihak tersebut.
3.
Surat-Surat Lainnya yang Bukan Akta,
kategori ini mencakup segala bentuk tulisan lain yang tidak memenuhi
kualifikasi sebagai akta otentik maupun akta di bawah tangan, misalnya memo,
nota dinas, atau surat korespondensi. Kekuatan pembuktiannya bersifat bebas dan
sepenuhnya diserahkan kepada penilaian hakim (vrij bewijs).
Aplikasi penilaian
bukti surat dalam yurisprudensi dapat dilihat secara jelas dalam sengketa
pertanahan terkait pembatalan sertipikat hak atas tanah. Sertipikat hak atas
tanah merupakan sebuah akta otentik yang diterbitkan oleh Kepala Kantor
Pertanahan.
Sebagai akta
otentik, ia menjadi alat bukti kepemilikan yang kuat. Namun
demikian, yurisprudensi secara konsisten menunjukkan bahwa kekuatan pembuktian
sertipikat tersebut tidaklah mutlak. Berbagai putusan pengadilan, termasuk di
tingkat Mahkamah Agung, telah membatalkan sertipikat hak atas tanah setelah
terbukti melalui alat bukti lain (termasuk surat-surat lainnya seperti warkah
tanah atau bukti kepemilikan adat) bahwa terdapat “cacat hukum administratif”
dalam proses penerbitannya. Hal ini menegaskan bahwa bahkan alat
bukti dengan kekuatan pembuktian sempurna sekalipun tetap tunduk pada pengujian
substantif mengenai legalitas proses penerbitannya oleh hakim PTUN.
Keterangan Ahli (Expert Testimony)
Pasal 102 UU PTUN mendefinisikan keterangan ahli sebagai pendapat seseorang yang
diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut
pengalaman dan pengetahuannya. Keterangan ahli berfungsi untuk
memberikan pencerahan kepada hakim mengenai isu-isu teknis yang berada di luar
pengetahuan umum atau keahlian hukum hakim, misalnya dalam sengketa lingkungan,
perpajakan, atau tata ruang kota.
Berdasarkan Pasal
103 UU PTUN, hakim dapat menunjuk seorang ahli atas permintaan para
pihak atau karena jabatannya, sejalan dengan asas keaktifan
hakim. Pendapat ahli tidak mengikat hakim, namun berfungsi sebagai
salah satu bahan pertimbangan penting dalam membentuk keyakinan hakim.
Keterangan Saksi (Witness Testimony)
Keterangan saksi
dianggap sebagai alat bukti apabila berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat,
atau didengar sendiri oleh saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 104
UU PTUN. Keterangan saksi bertujuan untuk membuktikan
kebenaran fakta-fakta yang menjadi dasar sengketa. Namun, tidak semua orang
dapat didengar sebagai saksi. Pasal 88 UU PTUN mengatur
larangan menjadi saksi, yang meliputi keluarga sedarah atau semenda dalam
garis lurus, suami atau istri meskipun telah bercerai, anak di bawah umur 17
tahun, dan orang yang sakit ingatan. Selain itu, Pasal
89 UU PTUN memberikan hak undur diri bagi orang-orang tertentu,
seperti saudara kandung atau ipar, serta mereka yang karena martabat,
pekerjaan, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia (misalnya dokter,
advokat, atau rohaniwan).
Dalam praktik
peradilan, keterangan saksi memegang peranan vital, terutama dalam sengketa
kepegawaian. Sebagai contoh, dalam kasus pemberhentian seorang Pegawai Negeri
Sipil (PNS) dengan alasan pelanggaran disiplin, keterangan dari saksi-saksi
seperti atasan langsung, rekan kerja, atau bawahan dapat menjadi penentu dalam
membuktikan apakah fakta-fakta yang didalilkan sebagai dasar penjatuhan sanksi
benar-benar terjadi. Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam berbagai
kasus kepegawaian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim sangat bergantung pada
konsistensi dan kredibilitas keterangan para saksi yang dihadirkan di
persidangan.
Pengakuan Para Pihak (Admissions of the Parties)
Pengakuan yang
diberikan oleh salah satu pihak di muka persidangan mengenai kebenaran sebagian
atau seluruh dalil pihak lawan merupakan alat bukti yang memiliki kekuatan
pembuktian sempurna dan mengikat terhadap pihak yang memberikannya. Pasal
105 UU PTUN menegaskan bahwa pengakuan tersebut tidak dapat
ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima
oleh hakim. Pengakuan di luar sidang, di sisi lain, tidak memiliki
kekuatan mengikat dan nilainya diserahkan sepenuhnya pada kebijaksanaan hakim.
Pengetahuan Hakim (Judge’s Knowledge)
Alat bukti
terakhir adalah pengetahuan hakim, yang didefinisikan dalam Pasal
106 UU PTUN sebagai hal yang olehnya diketahui dan diyakini
kebenarannya. Perlu digarisbawahi bahwa ini bukanlah pengetahuan
pribadi hakim yang diperoleh di luar persidangan. Pengetahuan hakim sebagai
alat bukti terbatas pada dua hal yaitu pertama, fakta-fakta yang
merupakan pengetahuan umum dan tidak perlu dibuktikan lagi (notoire
feiten atau judicial notice), seperti fakta bahwa
Jakarta adalah ibu kota Indonesia; dan kedua, fakta-fakta yang diketahui
hakim karena jabatannya selama proses pemeriksaan perkara, misalnya hasil dari
pemeriksaan setempat (descente) yang dilakukan oleh majelis hakim.
Beban Pembuktian (Onus Probandi) dan Peran Sentral Hakim
Puncak dari
penerapan asas keaktifan hakim dan pembuktian bebas termanifestasi dalam
mekanisme penentuan beban pembuktian (onus probandi). Di sinilah peran
sentral dan kewenangan luar biasa hakim PTUN menjadi paling nyata.
Pandangan Kritis terhadap Ketentuan Pasal 107 UU PTUN
Ketentuan kunci
yang menjadi landasan kewenangan ini adalah Pasal 107 UU PTUN,
yang berbunyi:
“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan,
beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian
diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.”
Pasal ini secara
ringkas memberikan tiga kewenangan diskresioner yang sangat luas kepada hakim:
1.
Menentukan apa yang harus dibuktikan
Hakim tidak terikat pada dalil para
pihak dan dapat menetapkan sendiri fakta-fakta hukum (rechtsfeiten) yang
dianggap relevan dan perlu dibuktikan untuk penyelesaian sengketa.
2.
Menentukan beban pembuktian
Hakim berwenang penuh untuk
memutuskan siapa di antara para pihak yang harus menanggung beban untuk
membuktikan suatu fakta.
3.
Menentukan penilaian pembuktian
Hakim bebas menilai bobot dan
kekuatan setiap alat bukti berdasarkan keyakinannya.
Penyimpangan dari Prinsip Tradisional
Kewenangan untuk
menentukan beban pembuktian ini merupakan penyimpangan fundamental dari prinsip
klasik hukum acara perdata, actori incumbit probatio, yang
terangkum dalam adagium Latin, Ei incumbit probatio qui dicit, non
qui negat (Beban pembuktian ada pada orang yang mendalilkan, bukan
pada yang menyangkal). Dalam sistem perdata, penggugat yang menanggung beban
untuk membuktikan seluruh unsur gugatannya.
Dalam Peradilan
Tata Usaha Negara, hakim tidak terikat oleh prinsip tersebut. Berdasarkan
mandat Pasal 107, hakim dapat, dan dalam banyak kasus memang seharusnya,
meletakkan beban pembuktian pada pihak tergugat, yakni badan atau pejabat tata
usaha negara. Kewenangan ini, yang sering disebut sebagai mekanisme
pembalikan beban pembuktian (omkering van de bewijslast), adalah
instrumen paling ampuh untuk mengatasi asimetri informasi dan kekuasaan dalam
sengketa administratif.
Logika di balik
kewenangan ini sangat kuat. Ketika sebuah badan atau pejabat TUN menerbitkan
suatu KTUN, keputusan tersebut didasarkan pada serangkaian fakta, data, dan
prosedur yang sepenuhnya berada dalam domain dan pengetahuan internal badan
atau pejabat tersebut. Warga negara yang menggugat keputusan itu sering kali
tidak memiliki akses terhadap informasi tersebut.
Jika beban
pembuktian secara kaku diletakkan pada penggugat untuk membuktikan, misalnya,
bahwa suatu prosedur tidak diikuti atau data yang digunakan salah, maka ia
dihadapkan pada tugas yang nyaris mustahil (probatio diabolica). Pasal
107 UU PTUN memberikan solusi dengan memberdayakan hakim untuk
membalikkan beban tersebut. Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk
membuktikan bahwa prosedur telah diikuti dengan benar, bahwa fakta-fakta yang
menjadi dasar keputusan adalah akurat, dan bahwa kewenangan telah digunakan
secara sah. Dengan kata lain, pihak yang membuat keputusan harus mampu
mempertanggungjawabkan dan membuktikan legalitas keputusannya di hadapan
pengadilan.
Aplikasi dalam Yurisprudensi
Praktik peradilan
telah mengafirmasi penerapan prinsip ini. Dalam berbagai putusan, Mahkamah
Agung telah menegaskan bahwa dalam sengketa tertentu, beban pembuktian beralih
kepada tergugat. Misalnya, dalam sengketa kepegawaian mengenai pemberhentian
tidak dengan hormat, yurisprudensi cenderung meletakkan beban pada instansi
pemerintah (tergugat) untuk membuktikan secara konkret dan meyakinkan adanya
pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh pegawai (penggugat), bukan sebaliknya
menuntut pegawai untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Demikian pula
dalam sengketa pertanahan, ketika penerbitan sebuah sertipikat baru digugat
karena tumpang tindih dengan hak yang lebih dulu ada, hakim sering kali
membebankan kepada Kantor Pertanahan (tergugat) untuk membuktikan bahwa seluruh
prosedur penerbitan sertifikat baru tersebut telah dilaksanakan sesuai
peraturan perundang-undangan. Hal ini menunjukkan bahwa Pasal 107 UU PTUN
bukan sekadar rumusan teoretis, melainkan sebuah perangkat yudisial aktif yang
digunakan untuk mencapai keadilan substantif.
Penutup
Sistem pembuktian
dalam Peradilan Tata Usaha Negara merupakan sebuah konstruksi hukum yang unik,
canggih, dan dirancang secara spesifik untuk menjawab tantangan dalam
penyelesaian sengketa administratif. Ia merupakan perpaduan antara kepastian
hukum prosedural dan fleksibilitas yudisial yang bertujuan akhir pada penemuan
kebenaran materiil. Analisis terhadap kerangka hukum dan praktik peradilan
menunjukkan bahwa sistem ini dibangun di atas pilar-pilar fundamental yang
saling terkait.
Karakteristik
utama yang mendefinisikan sistem pembuktian ini adalah peran sentral hakim
sebagai dominus litis, yang secara aktif memimpin jalannya
persidangan. Peran ini diperkuat oleh asas pembuktian bebas yang terbatas, yang
memberikan diskresi kepada hakim untuk menilai alat bukti berdasarkan
keyakinannya, namun tetap dalam koridor lima jenis alat bukti yang ditetapkan
secara limitatif oleh undang-undang. Puncak dari kewenangan hakim ini
termanifestasi dalam Pasal 107 UU PTUN, yang memberinya otoritas
untuk menentukan apa yang harus dibuktikan dan, yang terpenting, kepada siapa
beban pembuktian itu diletakkan.
Kewenangan untuk
mengalihkan atau membalikkan beban pembuktian dari penggugat kepada tergugat
merupakan instrumen paling esensial untuk menyeimbangkan kedudukan para pihak
dan memastikan bahwa warga negara memiliki kesempatan yang adil untuk
memperjuangkan hak-haknya di hadapan penguasa.
Pemahaman dan
penerapan yang tepat terhadap prinsip-prinsip pembuktian ini bukanlah sekadar
formalitas prosedural. Ia adalah conditio sine qua non bagi Peradilan Tata
Usaha Negara untuk dapat menjalankan mandat konstitusionalnya secara efektif.
Hanya dengan sistem pembuktian yang aktif, fleksibel, dan berorientasi pada
keadilan substantif, PTUN dapat berfungsi sebagai garda terdepan dalam menjaga
supremasi hukum, mengawasi jalannya pemerintahan, dan memberikan perlindungan
hukum yang nyata bagi setiap warga negara dalam interaksinya dengan aparatur
negara.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.


