Pengantar
Sektor jasa konstruksi di Indonesia memegang peranan vital dalam
pembangunan infrastruktur nasional dan pertumbuhan ekonomi. Kontribusinya
mencakup pembangunan gedung, jalan, jembatan, bendungan, hingga fasilitas
industri, yang secara langsung menopang pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Mengingat peran strategis ini, regulasi yang kuat dan sistem perizinan yang
jelas menjadi krusial untuk memastikan kualitas pekerjaan, menjaga
keselamatan publik, menjamin keberlanjutan lingkungan, serta menciptakan
iklim usaha yang sehat dan kompetitif. Perizinan berusaha berfungsi sebagai
instrumen kontrol pemerintah untuk memastikan bahwa setiap pelaku usaha
memiliki kapabilitas yang memadai dan mematuhi standar yang telah
ditetapkan.
Lanskap regulasi perizinan usaha jasa konstruksi di Indonesia telah
mengalami transformasi signifikan dalam beberapa tahun terakhir, khususnya
dengan diberlakukannya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Cipta Kerja”, dan peraturan pelaksananya.
Perubahan ini diinisiasi dengan tujuan untuk menyederhanakan birokrasi,
meningkatkan efisiensi proses perizinan, dan menarik investasi, baik
domestik maupun asing. Transformasi ini mengubah filosofi dasar dari sistem
perizinan yang bersifat pra-persetujuan dan diskresioner, yang seringkali
menimbulkan hambatan birokrasi dan biaya kepatuhan yang tinggi, menjadi
pendekatan berbasis kepatuhan pasca-registrasi melalui sistem
sertifikasi.
Artikel ini akan menguraikan secara komprehensif kerangka hukum perizinan
usaha jasa konstruksi di Indonesia. Pembahasan akan mencakup dasar hukum
yang relevan, jenis-jenis perizinan yang wajib dimiliki, mekanisme dan
proses pengajuan izin, klasifikasi dan kualifikasi pelaku usaha, serta
dampak fundamental dari perubahan regulasi terkini. Pendekatan ini
diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas dan konkret bagi para
praktisi hukum, akademisi, peneliti, maupun pelaku usaha yang berkecimpung
di sektor jasa konstruksi.
Kerangka Hukum Perizinan Usaha Jasa Konstruksi
Kerangka hukum yang mengatur perizinan usaha jasa konstruksi di Indonesia
merupakan hasil evolusi legislatif yang dinamis, dengan beberapa peraturan
perundang-undangan utama yang saling melengkapi dan memperbarui.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa
Konstruksi, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Konstruksi”, merupakan payung hukum utama yang mengatur penyelenggaraan jasa
konstruksi di Indonesia. UU ini menetapkan bahwa usaha jasa konstruksi dapat
berbentuk usaha orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan
hukum maupun tidak berbadan hukum.
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 1 UU tentang Konstruksi, menyatakan bahwa:
“Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau
pekerjaan konstruksi.”
Lebih lanjut,
Pasal 1 Angka 3 UU tentang Konstruksi mendefinisikan:
“Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian kegiatan yang
meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan
pembangunan kembali suatu bangunan.”
Sebelum berlakunya UU tentang Cipta Kerja, UU tentang Konstruksi secara
eksplisit mewajibkan pelaku usaha untuk memiliki izin. Sebagaimana ketentuan
Pasal 1 Angka 14 UU tentang Konstruksi, yang menyatakan:
“Tanda Daftar Usaha perseorangan adalah izin yang diberikan kepada usaha
orang perseorangan untuk menyelenggarakan kegiatan Jasa Konstruksi”.
Sementara itu,
Pasal 1 Angka 15 UU tentang Konstruksi menyatakan:
“Izin Usaha Jasa Konstruksi yang selanjutnya disebut Izin Usaha adalah izin
yang diberikan kepada badan usaha untuk menyelenggarakan kegiatan Jasa
Konstruksi”.
Tujuan penyelenggaraan Jasa Konstruksi, sebagaimana diatur dalam
Pasal 3 UU tentang Konstruksi, antara lain adalah untuk:
1)
“memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan Jasa Konstruksi untuk
mewujudkan struktur usaha yang kukuh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil
Jasa Konstruksi yang berkualitas”;
2)
“mewujudkan ketertiban penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang menjamin
kesetaraan kedudukan antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam
menjalankan hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”;
3)
“menjamin tata kelola penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang baik”;
Perubahan Fundamental melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025
UU tentang Konstruksi telah mengalami perubahan signifikan dengan
diberlakukannya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja. Salah satu perubahan krusial yang dibawa oleh UU tentang Cipta Kerja
adalah penghapusan izin usaha jasa konstruksi sebagai entitas terpisah, yang
kini digantikan oleh sistem sertifikasi dan
perizinan berusaha berbasis risiko. UU tentang Cipta Kerja sendiri telah dicabut dan digantikan oleh
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2025 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang selanjutnya disebut dengan “PP 28/2025”, merupakan peraturan pelaksana vital dari UU tentang Cipta Kerja yang
secara detail mengatur mekanisme perizinan berusaha berbasis risiko. PP
28/2025 ini menggantikan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 3 PP 28/2025, menyatakan bahwa:
“Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang selanjutnya disingkat PBBR adalah
perizinan berusaha yang menggunakan pendekatan berbasis risiko yang
diperoleh dari hasil analisis risiko setiap kegiatan usaha.”
Lebih lanjut, Pasal 1 Angka 4 PP 28/2025 mendefinisikan:
“Perizinan Berusaha yang selanjutnya disingkat PB adalah legalitas yang
diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau
kegiatannya.”
Kemudian, Pasal 4 ayat (1) PP 28/2025 menegaskan bahwa:
“Untuk melakukan kegiatan usaha, Pelaku Usaha wajib memiliki PB”.
Apabila PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perlu dilengkapi dengan
perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha, Pelaku Usaha wajib
memiliki PB UMKU” (vide Pasal 4 ayat (3) PP 28/2025). Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha yang selanjutnya
disingkat PB UMKU adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk
menunjang kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 Angka 5 PP 28/2025.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas menjadi pilar utama rezim perizinan
yang baru, menggantikan sistem “izin” sebelumnya dengan pendekatan berbasis
“sertifikat” dan “lisensi” yang lebih terintegrasi dan efisien. Pelaku usaha
konstruksi harus memahami bahwa meskipun
semangat regulasi dari UU tentang Konstruksi tetap ada, metode kepatuhan
telah berubah secara fundamental. Hal ini mengindikasikan bahwa hanya mengandalkan UU tentang Konstruksi
tanpa mempertimbangkan amandemennya melalui UU tentang Cipta Kerja dan PP
28/2025 akan menyebabkan pemahaman yang tidak akurat dan potensi
ketidakpatuhan.
Peraturan Pelaksana Lainnya: Peraturan Menteri PUPR Nomor 8 Tahun 2022
Selain undang-undang dan peraturan pemerintah, implementasi perizinan jasa
konstruksi juga diatur lebih lanjut melalui peraturan teknis yang
dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik
Indonesia (PUPR RI).
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemenuhan
Sertifikat Standar Jasa Konstruksi Dalam Rangka Mendukung Kemudahan
Perizinan Berusaha Bagi Pelaku Usaha Jasa Konstruksi, yang selanjutnya disebut dengan “Permen PUPR 8/2022”, merupakan petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksana (jutlak) yang
sangat penting.
Permen PUPR 8/2022
ini merinci prosedur dan persyaratan teknis terkait Sertifikat Badan Usaha
(SBU) Konstruksi dan Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) Konstruksi. Pelaku
usaha wajib merujuk pada regulasi terbaru yang dikeluarkan oleh Kementerian
PUPR untuk memastikan kepatuhan penuh.
Transformasi Perizinan: Dampak Undang-Undang Cipta Kerja dan PP 28/2025 pada Sektor Jasa Konstruksi
Undang-Undang tentang Cipta Kerja dan PP 28/2025 telah membawa serangkaian
perubahan fundamental yang mereformasi sistem perizinan di sektor jasa
konstruksi, dengan tujuan utama menyederhanakan proses dan meningkatkan
efisiensi.
Salah satu perubahan paling signifikan yang dibawa oleh UU tentang Cipta
Kerja adalah penghapusan Izin Usaha Jasa Konstruksi yang sebelumnya wajib
dimiliki. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyatakan bahwa
“Penghapusan izin usaha jasa konstruksi sehingga hanya perlu sertifikat
keahlian”. Pergeseran ini menandakan perubahan filosofi regulasi yang fundamental,
beralih dari model pra-persetujuan yang diskresioner ke sistem berbasis
kepatuhan pasca-registrasi.
Ini berarti fokus perizinan bergeser dari izin yang bersifat diskresioner,
yang berpotensi menimbulkan hambatan birokrasi, praktik korupsi, dan biaya
kepatuhan yang tinggi, menjadi sertifikat yang berbasis kompetensi dan
risiko, yang diperoleh melalui sistem daring.
Kemudian, UU tentang Cipta Kerja juga membawa “peningkatan pemberdayaan
LPJK nasional”. LPJK, yang sebelumnya merupakan lembaga independen, kini
berada di bawah pembinaan Kementerian PUPR. Perubahan ini bertujuan untuk
meningkatkan koordinasi, pengawasan, dan efisiensi dalam penyelenggaraan
sistem sertifikasi kompetensi kerja konstruksi dan sertifikasi badan usaha.
Pemberdayaan ini memastikan bahwa badan sertifikasi memiliki kewenangan dan
sumber daya yang diperlukan untuk mengelola sistem berbasis sertifikat yang
baru secara efektif, di bawah pengawasan pemerintah yang lebih ketat.
Penerapan Sistem Online Single Submission (OSS) Berbasis Risiko (RBA)
Pemerintah telah menerapkan Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara
Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem
OSS, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 17 PP 28/2025. Sistem ini menjadi gerbang utama untuk pengajuan perizinan berusaha.
Pasal 4 ayat (4) PP 28/2025 menyatakan bahwa “Persyaratan dasar dan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta PB UMKU
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diproses secara elektronik melalui
Sistem OSS”. OSS RBA dirancang untuk menyederhanakan proses perizinan dengan
mengintegrasikan berbagai jenis izin dan sertifikasi ke dalam satu platform
digital, sehingga mempercepat dan memudahkan pelaku usaha dalam memperoleh
otorisasi yang diperlukan.
Konsolidasi Sertifikasi dan Integrasi Data
UU tentang Cipta Kerja mengamanatkan “konsolidasi sertifikasi, berupa
konsolidasi sertifikasi kompetensi kerja konstruksi dan surat tanda
registrasi arsitek”. Selain itu, terdapat upaya “integrasi data yang dimulai
dari data jasa konstruksi, sertifikasi, pengalaman tenaga kerja konstruksi,
badan usaha jasa konstruksi, serta di bidang pajak, dan lainnya”. Inisiatif
ini bertujuan untuk menciptakan ekosistem data konstruksi yang lebih terpadu
dan transparan, mengurangi duplikasi, dan meningkatkan efektivitas
pengawasan pemerintah.
Efek gabungan dari penghapusan izin, peningkatan pemberdayaan LPJK, dan
integrasi data menunjukkan langkah strategis pemerintah menuju ekosistem
regulasi yang lebih terpusat, digital, dan berbasis data untuk sektor
konstruksi. Ini bukan sekadar perubahan prosedural, melainkan pergeseran
fundamental dalam tata kelola.
Jenis-Jenis Perizinan Berusaha Penunjang Kegiatan Usaha Jasa Konstruksi
Berdasarkan PP 28/2025 dan Permen PUPR 8/2022, perizinan berusaha untuk
menunjang kegiatan usaha jasa konstruksi secara spesifik terdiri atas
beberapa komponen kunci. Komponen-komponen ini merupakan prasyarat mutlak
bagi pelaku usaha untuk dapat beroperasi secara legal di sektor jasa
konstruksi.
Sertifikat Badan Usaha (SBU) Konstruksi
SBU Konstruksi merupakan perizinan berusaha yang wajib dimiliki oleh Badan
Usaha Jasa Konstruksi (BUJK) yang menyelenggarakan layanan jasa konstruksi.
SBU ini berfungsi sebagai bukti legalitas dan kompetensi badan usaha dalam
menjalankan kegiatan konstruksi. SBU Konstruksi diterbitkan melalui sistem
informasi jasa konstruksi terintegrasi, dan permohonannya dilakukan melalui
Online Single Submission Risk Based Approach (OSS RBA).
Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) Konstruksi
SKK Konstruksi adalah sertifikat yang wajib dimiliki oleh setiap tenaga
kerja konstruksi. Sertifikat ini menunjukkan bahwa individu tenaga kerja
memiliki kompetensi dan keahlian sesuai dengan standar kerja yang
ditetapkan. SKK Konstruksi diterbitkan melalui uji kompetensi yang
dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Konstruksi. Masa berlaku
SKK Konstruksi adalah 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang sebelum habis
masa berlakunya, serta dapat dilakukan perubahan data.
Registrasi Kantor Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA)
Bagi Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA) yang ingin beroperasi di
Indonesia, diwajibkan untuk melakukan registrasi kantor perwakilan.
Registrasi ini memastikan bahwa entitas asing memiliki kehadiran hukum yang
sah dan dapat diawasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Indonesia.
Lisensi Lembaga Sertifikasi Badan Usaha Jasa Konstruksi (LSBU)
LSBU adalah lembaga yang diberikan lisensi oleh pemerintah untuk melakukan
sertifikasi dan menerbitkan SBU Konstruksi. Lisensi ini memastikan bahwa
LSBU memenuhi standar kualitas dan integritas yang ditetapkan oleh regulator
dalam menjalankan fungsinya.
Lisensi Lembaga Sertifikasi Profesi Jasa Konstruksi (LSP)
LSP adalah lembaga yang diberikan lisensi oleh pemerintah untuk
menyelenggarakan uji kompetensi dan menerbitkan SKK Konstruksi bagi tenaga
kerja konstruksi. Sama seperti LSBU, lisensi ini menjamin bahwa LSP
beroperasi sesuai dengan standar profesional dan etika yang tinggi.
Keberadaan LSBU dan LSP, yang dilisensikan oleh pemerintah untuk
menerbitkan SBU dan SKK, menunjukkan delegasi kewenangan yang strategis.
Desentralisasi ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan responsivitas
dalam proses sertifikasi, sementara pemerintah tetap mempertahankan kontrol
melalui lisensi dan pengawasan terhadap lembaga-lembaga ini.
Proses Pengurusan Perizinan Jasa Konstruksi Melalui OSS RBA dan Sistem Terintegrasi: Petunjuk Teknis dan Pelaksana
Proses pengurusan perizinan jasa konstruksi saat ini telah terintegrasi
secara digital, memanfaatkan berbagai platform untuk efisiensi dan
transparansi.
Sebelum dapat mengajukan permohonan SBU atau SKK melalui OSS RBA, pelaku
usaha harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan legalitas dasar perusahaan.
Ini umumnya mencakup:
1)
Nomor Induk Berusaha (NIB): Sebagaimana ketentuan
Pasal 1 Angka 11 PP 28/2025, NIB adalah “bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan
kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan
kegiatan usahanya”. NIB diperoleh melalui Sistem OSS.
2)
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP): Wajib dimiliki oleh perusahaan.
3)
Akta Pendirian Perusahaan: Sesuai dengan bentuk badan usaha (misalnya,
Perseroan Terbatas).
4)
Kartu Tanda Anggota (KTA) Asosiasi: Perusahaan harus menjadi anggota
Asosiasi Jasa Konstruksi yang resmi dan legal sesuai dengan ketentuan dan
undang-undang yang berlaku sebelum mendaftar di OSS RBA.
Mekanisme Permohonan SBU dan SKK Melalui OSS RBA dan Portal PUPR
Permohonan Sertifikat Badan Usaha (SBU) Konstruksi dan Sertifikat
Kompetensi Kerja (SKK) Konstruksi kini terintegrasi secara digital melalui
Online Single Submission Risk Based Approach (OSS RBA). Berikut adalah
langkah-langkah teknis pengurusannya:
1)
Pelaku usaha harus mendaftarkan perusahaan hingga terbit NIB dan Sertifikat
Standar pada website OSS (oss.go.id).
2)
Setelah NIB terbit, pelaku usaha mengajukan PB UMKU melalui OSS RBA.
3)
Lakukan pengisian data secara teliti di sistem OSS. Data yang diminta
meliputi Informasi Badan Usaha, Informasi Akta, Informasi Pemegang Saham,
Informasi Pengurus, Informasi Neraca, Informasi Penjualan Tahunan, Informasi
Peralatan, Informasi Penanggung Jawab Badan Usaha, dan Informasi Penanggung
Jawab Teknik. Kesalahan pengisian data dapat menghambat proses selanjutnya.
4)
Pada tahap akses OSS yang terhubung ke portal PUPR, pelaku usaha memilih
jenis Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU) atau Lembaga Sertifikasi
Profesi (LSP) sesuai dengan kebutuhan.
5)
Unggah dokumen-dokumen persyaratan yang dibutuhkan dengan teliti. Dokumen
yang tidak terunggah dengan baik akan menghambat proses pengajuan.
6)
Permohonan PB UMKU akan diperiksa oleh LSBU/LSP. Jika ada kekurangan, akan
ada pemberitahuan untuk melengkapi.
7)
Setelah permohonan dinyatakan lengkap, LSBU/LSP akan menerbitkan tagihan
biaya dan mengirimkan draf perjanjian sertifikasi.
8)
Pelaku usaha harus menyampaikan bukti pembayaran kepada LSBU/LSP untuk
diverifikasi. LSBU/LSP akan mengkonfirmasi pembayaran ke Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).
9)
Jika pembayaran terkonfirmasi, LSBU/LSP akan memulai proses sertifikasi.
Jika hasil penetapan LSBU/LSP menyatakan perusahaan tidak layak, proses PB
UMKU akan dihentikan dan diberikan waktu 14 (empat belas) hari kerja untuk
banding. Jika dinyatakan layak, LSBU/LSP akan menyampaikan Rincian
Klasifikasi dan Subklasifikasi (RKS) kepada LPJK.
10)
Setelah itu, sistem PUPR akan menerbitkan SBU/SKK pada halaman PB UMKU dan
menotifikasi OSS. Sertifikat Standar akan berubah status dari “Belum
Terverifikasi” menjadi “Terverifikasi”.
Peran Sistem Informasi Jasa Konstruksi Terintegrasi (SIJK T)
Seluruh proses ini terhubung dengan Sistem Informasi Jasa Konstruksi
Terintegrasi (SIJK T). SIJK T berfungsi sebagai basis data sentral yang
menyimpan informasi mengenai seluruh aspek jasa konstruksi, termasuk data
badan usaha, tenaga kerja, sertifikasi, dan pengalaman proyek. Sistem ini
menjadi tulang punggung bagi integrasi data yang diamanatkan oleh UU tentang
Cipta Kerja.
Klasifikasi Kegiatan Usaha Jasa Konstruksi dan Pemilihan KBLI
Sektor jasa konstruksi diklasifikasikan berdasarkan jenis kegiatan dan
tingkat risiko, yang secara langsung mempengaruhi persyaratan perizinan dan
ruang lingkup operasional suatu badan usaha.
Jenis Kegiatan Usaha Konstruksi Berdasarkan Analisis Tingkat Risiko
Kegiatan usaha konstruksi diklasifikasikan berdasarkan analisis tingkat
risiko, yang memengaruhi persyaratan perizinan. Terdapat tiga jenis kegiatan
usaha utama dalam sektor jasa konstruksi:
-
Usaha Jasa Konsultansi Konstruksi;
-
Usaha Pekerjaan Konstruksi;
-
Usaha Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi
Ketentuan Rangkap Jenis Usaha
Terdapat batasan yang jelas mengenai kemampuan pelaku usaha untuk merangkap
jenis kegiatan usaha. “Pekerjaan jasa konsultansi konstruksi tidak dapat
merangkap dengan 2 (dua) jenis usaha yang lain”. Artinya, badan usaha yang
bergerak di bidang jasa konsultansi konstruksi tidak diperbolehkan untuk
sekaligus melakukan pekerjaan konstruksi atau pekerjaan konstruksi
terintegrasi. Namun, “Jenis usaha pekerjaan konstruksi dan jenis usaha
pekerjaan konstruksi terintegrasi dapat saling merangkap”. Ketentuan ini
bertujuan untuk mencegah konflik kepentingan dan memastikan profesionalisme
dalam setiap kategori layanan.
Tabel Klasifikasi Usaha Konstruksi dan Kode KBLI Terkait
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai klasifikasi kegiatan
usaha konstruksi dan kode KBLI yang relevan, dapat dilihat pada tabel
berikut. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) diatur dalam
Peraturan Badan Pusat Statistik Nomor 2 Tahun 2020 tentang Klasifikasi
Baku Lapangan Usaha Indonesia.
Tabel 1: Klasifikasi Kegiatan Usaha Jasa Konstruksi dan Kode KBLI Terkait
(Contoh)
Jenis Kegiatan Usaha Konstruksi |
Klasifikasi Umum |
Sub-klasifikasi / Bidang Usaha |
Kode KBLI Terkait |
Judul KBLI |
Kode Subklasifikasi |
Kualifikasi yang Berlaku |
Jasa Konsultansi Konstruksi |
Umum |
Arsitektur |
KMB, BUJKN, B PMA, B BUJKA |
|||
Rekayasa |
||||||
Rekayasa Terpadu |
||||||
Arsitektur Lanskap & Perencanaan Wilayah |
||||||
Spesialis |
Konsultansi Ilmiah & Teknis |
|||||
Pengujian & Analisis Teknis |
||||||
Pekerjaan Konstruksi |
Umum |
Bangunan Gedung |
41011 |
Konstruksi Gedung Hunian |
BG001 |
KMB, BUJKN, B PMA, B BUJKA |
41012 |
Konstruksi Gedung Perkantoran |
BG002 |
KMB, BUJKN, B PMA, B BUJKA |
|||
41013 |
Konstruksi Gedung Industri |
BG003 |
KMB, BUJKN, B PMA, B BUJKA |
|||
41014 |
Konstruksi Gedung Perbelanjaan |
BG004 |
KMB, BUJKN, B PMA, B BUJKA |
|||
41015 |
Konstruksi Gedung Kesehatan |
BG005 |
KMB, BUJKN, B PMA, B BUJKA |
|||
41016 |
Konstruksi Gedung Pendidikan |
BG006 |
KMB, BUJKN, B PMA, B BUJKA |
|||
41017 |
Konstruksi Gedung Penginapan |
BG007 |
KMB, BUJKN, B PMA, B BUJKA |
|||
41018 |
Konstruksi Gedung Hiburan & Olahraga |
BG008 |
KMB, BUJKN, B PMA, B BUJKA |
|||
41019 |
Konstruksi Gedung Lainnya |
BG009 |
KMB, BUJKN, B PMA, B BUJKA |
|||
Bangunan Sipil |
||||||
Spesialis |
Persiapan Konstruksi Khusus |
|||||
Konstruksi Pra-fabrikasi |
||||||
Penyewaan Peralatan |
||||||
Instalasi |
42204 |
Kontraktor Elektrikal |
BS007 |
KMB, BUJKN, B PMA, B BUJKA |
||
Penyelesaian Bangunan |
||||||
Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi |
Terintegrasi |
Bangunan Gedung |
Hanya Kualifikasi Besar |
|||
Bangunan Sipil |
Panduan Pemilihan Kode KBLI untuk Perusahaan Jasa Konstruksi
Pemilihan Kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang tepat
adalah langkah fundamental dalam proses perizinan. KBLI menentukan ruang
lingkup kegiatan usaha yang sah secara hukum bagi suatu perusahaan. Pelaku
usaha harus secara cermat mengidentifikasi jenis pekerjaan konstruksi yang
akan dilakukan dan mencocokkannya dengan Kode KBLI yang relevan seperti yang
tercantum dalam Tabel 1. Kesalahan dalam pemilihan KBLI dapat berakibat pada
pembatasan ruang lingkup usaha atau bahkan ketidaksesuaian perizinan.
Kualifikasi Pelaku Usaha Jasa Konstruksi: Kecil, Menengah, Besar, PMA, dan BUJKA
Kualifikasi pelaku usaha jasa konstruksi merupakan aspek krusial yang
menentukan kapasitas operasional dan jenis proyek yang dapat ditangani oleh
suatu badan usaha.
Pelaku usaha berbentuk badan usaha di subsektor jasa konstruksi, baik untuk
jasa konsultansi konstruksi maupun pekerjaan konstruksi, diklasifikasikan
berdasarkan kualifikasi Kecil, Menengah, dan Besar. Kualifikasi ini secara
langsung menentukan batas kemampuan usaha dan nilai pekerjaan tender yang
dapat diikuti oleh suatu badan usaha.
Penetapan kualifikasi badan usaha untuk jasa konsultansi konstruksi,
pekerjaan konstruksi, dan pekerjaan konstruksi terintegrasi dilakukan
berdasarkan penilaian kelayakan terhadap beberapa dokumen dan indikator
kunci, meliputi:
-
Penjualan tahunan;
-
Kemampuan keuangan
-
Ketersediaan tenaga kerja konstruksi;
-
Kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi.
Kriteria ini memastikan bahwa badan usaha memiliki kapasitas finansial dan
operasional yang memadai sesuai dengan kualifikasi yang diajukan.
Persyaratan Khusus untuk PMA (Penanaman Modal Asing)
Kualifikasi Penanaman Modal Asing (PMA) diberikan khusus untuk badan usaha
yang sahamnya dimiliki oleh pemegang saham asing.
Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2021 tentang Pedoman dan Tata Cara Pelayanan Perizinan Berusaha
Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal, yang selanjutnya disebut dengan “Peraturan BKPM 4/2021”, mengatur secara rinci ketentuan ini.
Sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (9) Peraturan BKPM 4/2021, menyatakan bahwa:
“PMA sebagaimana dimaksud pada ayat (8) wajib dalam bentuk perseroan
terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang.”
Lebih lanjut,
Pasal 12 ayat (1) Peraturan BKPM 4/2021 menyatakan bahwa:
“Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b yang
tergolong PMA dikategorikan sebagai usaha besar dan wajib mengikuti
ketentuan minimum nilai investasi, kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan.”
Pasal 12 ayat (7) Peraturan BKPM 4/2021
secara spesifik mengatur bahwa:
“Ketentuan minimum permodalan bagi PMA sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
merupakan modal ditempatkan/disetor paling sedikit Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah), kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan.”
Selain itu,
Pasal 12 ayat (5) Peraturan BKPM 4/2021 menegaskan bahwa
“Usaha jasa konsultasi konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf
a tidak dapat digabung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf b dan/atau ayat (4) huruf c”.
Ini berarti PMA yang bergerak di jasa konsultansi konstruksi tidak dapat
merangkap dengan pekerjaan konstruksi atau pekerjaan konstruksi
terintegrasi.
Persyaratan Khusus untuk BUJKA (Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing)
Kualifikasi Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA) diberikan untuk badan
usaha asing yang ingin melakukan kegiatan konstruksi di Indonesia. BUJKA
biasanya beroperasi melalui kantor perwakilan atau bentuk kerja sama
lainnya, dan juga tunduk pada regulasi perizinan yang ketat.
Kualifikasi yang dimiliki oleh pelaku usaha secara langsung akan menentukan
batas kemampuan usaha (nilai proyek maksimum yang dapat ditangani) dan nilai
pekerjaan tender yang dapat diikuti. Semakin tinggi kualifikasi, semakin
besar dan kompleks proyek yang dapat diakomodasi.
Untuk usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi, kualifikasi badan usaha
hanya meliputi kualifikasi besar. Ini mencerminkan sifat proyek terintegrasi
yang kompleks dan berskala besar, yang membutuhkan kapasitas dan kapabilitas
yang substansial.
Badan usaha jasa konsultansi konstruksi dan pekerjaan konstruksi dengan
kualifikasi menengah dan besar harus berbadan hukum Indonesia. Ketentuan ini
menggarisbawahi pentingnya entitas hukum domestik untuk proyek-proyek
berskala menengah hingga besar di sektor konstruksi.
Pentingnya Yurisprudensi dalam Hukum Konstruksi
Meskipun kerangka hukum perizinan jasa konstruksi diatur secara
komprehensif dalam undang-undang dan peraturan pemerintah, interpretasi dan
penerapan praktis dari ketentuan-ketentuan ini seringkali diperjelas melalui
putusan pengadilan (yurisprudensi). Studi kasus nyata memberikan pemahaman
mendalam tentang bagaimana pengadilan menafsirkan dan menerapkan hukum dalam
sengketa terkait perizinan konstruksi.
Hukum, undang-undang, memberikan aturan, tetapi putusan pengadilan
menunjukkan bagaimana aturan-aturan tersebut ditafsirkan dan diterapkan
dalam skenario faktual tertentu. Bagi para praktisi, hal ini sangat berharga
untuk menasihati klien tentang kepatuhan, penyelesaian sengketa, dan
strategi litigasi.
Memahami penalaran yudisial membantu mengidentifikasi potensi risiko hukum
dan bagaimana pengadilan mungkin melihat tindakan atau kelalaian tertentu
terkait izin. Untuk tujuan akademis dan penelitian, menganalisis
yurisprudensi memberikan pemahaman yang lebih dalam dan bernuansa tentang
fungsi sistem hukum di luar hanya hukum tertulis.
Salah satu implikasi hukum yang signifikan dari Undang-Undang tentang Cipta
Kerja terhadap prosedur perizinan adalah perubahan kewenangan Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) terkait permohonan fiktif positif. Konsep fiktif
positif, yang sebelumnya diatur dalam
Pasal 53 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan
yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Administrasi Pemerintahan”, mengalami perubahan fundamental melalui
Pasal 175 angka 7 UU tentang Cipta Kerja (yang kini diatur
dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Cipta Kerja menjadi Undang-Undang).
Perubahan utama yang relevan dengan perizinan berusaha berbasis risiko
adalah:
1)
Perubahan Batas Waktu
Batas waktu bagi badan atau pejabat pemerintah untuk menetapkan keputusan
atau melakukan tindakan dipersingkat menjadi 5 hari kerja setelah permohonan
diregistrasi, dari sebelumnya 10 hari dalam
UU tentang Administrasi Pemerintahan.
2)
Penghilangan Kewenangan PTUN
UU Cipta Kerja menghilangkan kewenangan PTUN dalam memberikan kekuatan
hukum atas keputusan fiktif positif. Ini berarti, permohonan fiktif positif
tidak lagi menjadi kewenangan PTUN untuk diperiksa, diadili, dan diputus.
Sebagaimana disebutkan dalam salah satu rumusan kamar Mahkamah Agung,
“Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja, permohonan fiktif positif sudah tidak lagi menjadi kewenangan
Pengadilan Tata Usaha Negara”. Perubahan ini ditegaskan atau diperkuat dalam
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021
(yang merujuk pada rumusan hukum kamar tata usaha negara) yang menjelaskan
bahwa lembaga fiktif positif setelah diundangkannya UU tentang Cipta Kerja,
permohonan fiktif positif bukan lagi kewenangan PTUN.
Implikasi dari perubahan ini adalah pergeseran dalam mekanisme penyelesaian
sengketa administratif terkait perizinan. Jika sebelumnya pelaku usaha dapat
mengajukan permohonan fiktif positif ke PTUN untuk mendapatkan pengesahan
hukum atas permohonan izin yang tidak ditanggapi oleh pemerintah dalam batas
waktu yang ditentukan, kini jalur tersebut tidak lagi tersedia. Hal ini
bertujuan untuk mendorong kemudahan perizinan dengan penerapan
Risk Based License Approach dan mengurangi intervensi yudisial dalam
proses administratif yang seharusnya berjalan otomatis berdasarkan risiko.
Perubahan ini menunjukkan bahwa fokus penyelesaian masalah perizinan kini
lebih ditekankan pada kepatuhan awal dan efisiensi sistem berbasis risiko,
daripada mengandalkan intervensi pengadilan untuk mengesahkan kelambanan
birokrasi. Bagi pelaku usaha jasa konstruksi, ini berarti pentingnya
memastikan kelengkapan dan keakuratan dokumen sejak awal proses pengajuan
melalui OSS RBA, karena jalur hukum untuk “memaksa” penerbitan izin melalui
fiktif positif di PTUN telah ditiadakan.
Catatan:
Meskipun tidak ada putusan pengadilan spesifik yang disediakan dalam
materi penelitian yang secara langsung mengilustrasikan sengketa perizinan
SBU/SKK pasca-UU tentang Cipta Kerja, pembahasan mengenai perubahan
kewenangan PTUN terkait fiktif positif ini sangat relevan karena secara
fundamental mengubah lanskap penyelesaian sengketa administratif dalam
konteks perizinan berusaha berbasis risiko.
Poin-Poin Penting dan Tantangan ke Depan
Transformasi perizinan usaha jasa konstruksi di Indonesia, yang dipelopori
oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2025
tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, telah mengubah
paradigma dari sistem “izin” menjadi “sertifikat” berbasis risiko melalui
platform Online Single Submission Risk Based Approach (OSS RBA).
Perubahan ini bertujuan untuk menciptakan iklim investasi yang lebih
efisien, transparan, dan terintegrasi.
Meskipun demikian, implementasi sistem baru ini juga membawa tantangan,
termasuk kebutuhan akan adaptasi berkelanjutan dari pelaku usaha terhadap
regulasi yang terus berkembang, memastikan integrasi digital yang mulus
antar berbagai sistem (OSS RBA, Sistem Informasi Jasa Konstruksi
Terintegrasi (SIJK T), portal Kementerian PUPR), serta menjaga kualitas dan
integritas proses sertifikasi yang didelegasikan kepada Lembaga Sertifikasi
Badan Usaha (LSBU) dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).
Saran Praktis bagi Pelaku Usaha
Pelaku usaha jasa konstruksi sangat disarankan untuk memahami secara
menyeluruh sistem perizinan berbasis risiko yang baru, khususnya persyaratan
untuk memperoleh Sertifikat Badan Usaha (SBU) Konstruksi dan Sertifikat
Kompetensi Kerja (SKK) Konstruksi. Pentingnya pemilihan Kode Klasifikasi
Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang akurat dan pemenuhan kriteria
kualifikasi (Kecil, Menengah, Besar, Penanaman Modal Asing (PMA), Badan
Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA)) tidak dapat diabaikan, karena hal ini
akan menentukan ruang lingkup operasional dan kelayakan untuk mengikuti
tender proyek.
Pelaku usaha juga dianjurkan untuk proaktif dalam berinteraksi dengan
Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU) dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP)
yang berwenang, serta memanfaatkan secara optimal platform OSS RBA dan
Sistem Informasi Jasa Konstruksi Terintegrasi (SIJK T). Terakhir, memantau
secara berkala pembaruan regulasi dari Kementerian PUPR dan otoritas terkait
lainnya, serta tidak ragu untuk mencari nasihat hukum profesional untuk
kasus-kasus kompleks atau isu kepatuhan spesifik, akan sangat membantu dalam
memastikan kelancaran operasional dan kepatuhan hukum.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalaan Hukum anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.