Pengantar
Grasi berasal dari kata Belanda “gratie” atau istilah bahasa Inggris “given.”
Grasi adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap (in kracht van gewijsde). Grasi menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah pengampunan yang diberikan oleh kepala negara
kepada seseorang yang telah dipidana.[1]
Menurut J.C.T. Simorangkir dalam Kamus Hukum, grasi diartikan
sebagai wewenang Presiden (selaku Kepala Negara) untuk memberikan
pengampunan atas pidana yang telah dijatuhkan oleh putusan hakim yang
berkekuatan hukum tetap. Pengampunan ini dapat berupa penghapusan seluruh
hukuman, pengurangan sebagian, atau perubahan sifat dan bentuk pidana
tersebut.[2]
Seiring dengan transformasi negara dari bentuk monarki absolut menuju
negara hukum modern (rechtsstaat), konsep grasi pun mengalami
pergeseran paradigmatik. Dari yang semula dianggap sebagai manifestasi
kekuasaan raja yang sewenang-wenang, grasi kini diakui sebagai bagian dari
sistem hukum yang sah dan fungsional. Dalam negara hukum modern, grasi
berperan sebagai katup pengaman keadilan (safety valve of justice), yaitu
mekanisme korektif di luar jalur yudisial yang disediakan untuk
mengatasi situasi di mana putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap tidak sepenuhnya mencerminkan keadilan substantif.
Meskipun proses peradilan telah berjalan sesuai prosedur hukum, dalam
praktiknya terdapat kondisi tertentu—baik faktor kemanusiaan, sosial,
maupun keadaan khusus terdakwa—yang luput atau tidak dapat dijangkau oleh
pendekatan formalistik peradilan. Dalam konteks inilah grasi hadir bukan
untuk menilai ulang kebenaran yuridis suatu putusan, melainkan sebagai
bentuk pengampunan oleh negara atas dasar pertimbangan keadilan dan
kemanusiaan yang lebih luas.
Dengan demikian, grasi tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum,
melainkan menjadi pelengkap demi tercapainya keadilan yang lebih
substansial.
Sejarah Grasi di Indonesia: Lintas Zaman dan Rezim
Perjalanan grasi dalam sistem hukum Indonesia mencerminkan dinamika
politik dan ketatanegaraan yang terus berkembang. Sejak era kolonial
hingga masa reformasi, konsep dan regulasi grasi mengalami evolusi menuju
sistem yang lebih akuntabel dan sejalan dengan prinsip negara hukum.
Di era Kolonial dan Pendudukan Jepang, akar normatif pengaturan grasi dapat ditelusuri pada masa Hindia Belanda
melalui Gratieregeling yang termuat dalam
Staatsblad Tahun 1933 Nomor 22. Peraturan
ini merupakan landasan hukum pertama yang mengatur prosedur permohonan
grasi secara modern di wilayah Indonesia. Selanjutnya, pada masa pendudukan Jepang, grasi tetap diatur, meskipun secara terbatas,
melalui Osamu Sei Hi Nomor 1583 yang berlaku hanya terhadap putusan
pengadilan sipil biasa. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa meskipun sistem peradilan berada
dalam kontrol militer, pengampunan tetap diakomodasi sebagai bagian dari
sistem pidana.
Pada masa Pasca-Kemerdekaan dan Orde Lama Pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945,
Indonesia belum memiliki peraturan grasi tersendiri. Pemerintah masih
menggunakan Gratieregeling sebagai dasar normatif, sampai akhirnya
diterbitkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1948 tentang
Mengatur Hal Permohonan Grasi Dengan Menarik Kembali Segala Peraturan
Mengenai soal ini yang Sampai Kini Berlaku, yang selanjutnya disebut dengan “PP 67/1948”. Tonggak berikutnya adalah lahirnya
Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1950 tentang
Permohonan Grasi, yang selanjutnya disebut dengan “UU Darurat Grasi 1950”.
Setelah disahkan menjadi undang-undang tetap,
UU Darurat Grasi 1950 menjadi dasar utama praktik grasi di
Indonesia selama lebih dari lima dekade, melintasi era Demokrasi
Parlementer, Demokrasi Terpimpin, dan Orde Baru. Era Reformasi dan
Amandemen Konstitusi Reformasi 1998 menjadi titik balik dalam konfigurasi
kekuasaan negara, termasuk dalam hal pemberian grasi oleh Presiden.
UU Darurat Grasi 1950 dinilai tidak lagi memadai dalam kerangka
konstitusi hasil perubahan. Oleh karena itu, disusunlah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002
tentang Grasi yang selanjutnya disebut dengan “UU Grasi”, yang secara resmi mencabut UU Darurat Grasi 1950. UU Grasi mengatur prosedur, tata cara, serta batasan pemberian grasi
secara lebih rinci dan akuntabel.
Salah satu pembaruannya adalah pelibatan Mahkamah Agung
Republik Indonesia
sebagai lembaga yang memberikan pertimbangan atas permohonan grasi, sehingga fungsi korektif grasi tidak lagi bersifat unilateral dari
Presiden. Evolusi regulasi grasi ini tidak sekadar mencerminkan pergantian
rezim normatif, melainkan juga mencerminkan arah politik hukum nasional.
Pergeseran dari model kewenangan yang bersifat absolut ke arah mekanisme
yang diawasi secara institusional menandai upaya pematangan demokrasi dan
penguatan prinsip negara hukum (rule of law).
Fondasi Yuridis Grasi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Kewenangan pemberian grasi oleh Presiden tidak berdiri dalam ruang hampa,
melainkan ditopang oleh fondasi yuridis yang kokoh, mulai dari konstitusi
hingga peraturan pelaksana yang detail. Pemahaman terhadap kerangka hukum
ini esensial untuk mengerti posisi grasi dalam arsitektur ketatanegaraan
Indonesia.
Dasar hukum tertinggi bagi pemberian grasi adalah konstitusi. Pengaturan
dalam Undang-Undang Dasar telah mengalami perubahan fundamental yang
mencerminkan pergeseran paradigma kekuasaan.
-
Sebelum Amandemen, naskah asli Pasal 14 UUD NRI berbunyi singkat dan padat:
“Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi”.
Rumusan ini, tanpa adanya frasa tambahan, ditafsirkan memberikan
kewenangan yang bersifat mutlak dan absolut kepada Presiden. Dalam
praktiknya, Presiden memiliki keleluasaan penuh untuk memberikan grasi
tanpa memerlukan pertimbangan atau persetujuan dari cabang kekuasaan
lainnya;
-
Setelah Amandemen, amandemen Pertama UUD NRI 1945 mengubah secara signifikan rumusan tersebut.
Pasal 14 ayat (1) UUD NRI 1945, kini berbunyi:
“Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung”.
Perubahan ini merupakan manifestasi nyata dari penerapan prinsip saling
mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) dalam sistem
pemerintahan presidensial Indonesia. Kewenangan prerogatif Presiden untuk
memberi grasi tidak dihilangkan, tetapi pelaksanaannya kini dibatasi
secara prosedural.
Keterlibatan Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan yudikatif menjadi
krusial karena objek grasi adalah putusan pengadilan, yang merupakan
produk dari proses yudisial. Dengan demikian, konstitusi menghendaki agar
pengampunan oleh kepala negara tetap berada dalam koridor pengawasan hukum
dan tidak menjadi keputusan politik semata.
Definisi, Sifat, dan Ruang Lingkup Grasi dalam UU Grasi (UU Nomor
22 Tahun 2002)
UU Grasi menjabarkan lebih lanjut mandat konstitusional tersebut ke dalam
norma hukum yang operasional.
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 1 UU Grasi mendefinisikan grasi sebagai:
“pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden”.
Penting untuk ditegaskan, grasi bukanlah sebuah putusan yudisial.
Penjelasan Umum UU Grasi secara eksplisit menyatakan:
“Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang
yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan”.
Ini berarti grasi tidak menganulir atau menyatakan putusan hakim salah.
Grasi tidak menghilangkan kesalahan pidana terpidana dan juga bukan
merupakan tindakan rehabilitasi. Ia murni sebuah tindakan pengampunan dari
kepala negara terhadap pelaksanaan pidana.
Ruang Lingkup (Objek Grasi)
Tidak semua putusan pidana dapat dimohonkan grasi. Untuk mencegah
penyalahgunaan dan mengurangi beban permohonan,
Pasal 2 ayat (2) UU Grasi membatasi objek grasi hanya untuk
putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berupa:
-
Pidana mati;
-
Pidana penjara seumur hidup, atau;
-
Pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
Awalnya, Pasal 2 ayat (3) UU Grasi
masih membuka kemungkinan pengajuan grasi lebih dari satu kali untuk
kondisi-kondisi tertentu, yaitu
bagi terpidana yang permohonan grasinya pernah ditolak setelah lewat
waktu 2 tahun, atau
bagi terpidana mati yang grasinya pernah dikabulkan menjadi penjara
seumur hidup, juga setelah lewat waktu 2 tahun.
Selanjutnya, oleh karena kebutuhan akan kepastian hukum dan penyelesaian tunggakan permohonan grasi
dari era sebelumnya mendorong lahirnya UU Perubahan Grasi. Latar belakang pembentukannya, sebagaimana tertuang dalam bagian
“Menimbang”, adalah untuk mengatasi kekosongan hukum dalam penyelesaian
permohonan grasi yang diajukan berdasarkan UU Nomor
3 Tahun 1950 dan untuk memastikan pemberian grasi dilakukan secara tepat
waktu.
Undang-undang ini memperkenalkan beberapa perubahan kunci:
1)
Pengetatan Frekuensi Pengajuan, Pasal 2 ayat (3)
UU Grasi
diubah menjadi lebih restriktif, menegaskan bahwa “Permohonan grasi...
hanya dapat diajukan 1 (satu) kali”. Pengecualian yang sebelumnya ada
dihapuskan untuk memberikan kepastian hukum;
2)
Pengenalan Peran Menteri Hukum dan HAM, yang mana ini adalah sebuah inovasi prosedural diperkenalkan melalui penyisipan
Pasal 6A
UU Grasi. Pasal ini memberikan kewenangan kepada Menteri yang membidangi urusan
hukum dan hak asasi manusia untuk, “demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan”, meminta para pihak (terpidana, keluarga, atau kuasa hukum) untuk
mengajukan permohonan grasi. Ini memberikan peran proaktif kepada eksekutif dalam mengidentifikasi kasus-kasus yang layak mendapat
perhatian khusus;
3)
Pengenalan Batas Waktu Pengajuan, yaitu perubahan paling signifikan dan kontroversial adalah pada
Pasal 7 ayat (2) UU Grasi, yang menetapkan bahwa “Permohonan grasi... diajukan paling lama dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum
tetap”. Norma ini dibentuk dengan tujuan menciptakan kepastian hukum,
terutama untuk menghindari penundaan eksekusi pidana mati yang tidak
terbatas. Namun, seperti akan dibahas lebih lanjut, ketentuan ini kemudian
dianulir oleh Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 107/PUU-XIII/2015., tertanggal 15 Juni 2016, yang mana dalam amar putusannya menyatakan:
“Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5150) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.”
Prosedur Pengajuan Grasi: Dari Permohonan Manual hingga Layanan Elektronik
Memahami prosedur pengajuan grasi adalah kunci bagi terpidana dan
keluarganya untuk dapat menggunakan hak konstitusional ini. Prosesnya
melibatkan serangkaian tahapan yang terstruktur dan melibatkan berbagai
lembaga negara, dari pengadilan hingga istana kepresidenan. Seiring
perkembangan teknologi, prosedur ini pun mengalami modernisasi.
Berdasarkan UU Grasi beserta perubahannya, alur pengajuan permohonan
grasi secara umum mengikuti langkah-langkah berikut:
1.
Proses dimulai dari ranah yudikatif, Hakim atau ketua majelis hakim yang memutus perkara di tingkat pertama
wajib memberitahukan kepada terpidana mengenai haknya untuk mengajukan
grasi. Jika terpidana tidak hadir, pemberitahuan dilakukan secara tertulis
oleh panitera pengadilan;
2.
Permohonan diajukan secara tertulis oleh pihak yang berhak, yaitu:
-
Terpidana sendiri;
-
Kuasa hukum terpidana;
-
Keluarga terpidana (isteri/suami, anak, orang tua, atau saudara kandung),
dengan persetujuan tertulis dari terpidana;
-
Khusus untuk terpidana mati, keluarga dapat mengajukan permohonan tanpa
memerlukan persetujuan terpidana.
3.
Salinan dari permohonan tersebut wajib disampaikan kepada pengadilan yang
memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah
Agung;
4.
Setelah menerima salinan permohonan, pengadilan tingkat pertama memiliki
waktu paling lambat 20 hari untuk mengirimkan salinan permohonan beserta
berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung. Selanjutnya, Mahkamah
Agung wajib memberikan pertimbangan tertulis kepada Presiden dalam jangka
waktu paling lambat 30 hari sejak diterimanya berkas (sesuai UU Perubahan
Grasi);
5.
Setelah menerima pertimbangan dari Mahkamah Agung, Presiden akan
mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) yang dapat berupa pengabulan
atau penolakan permohonan grasi. Keputusan ini kemudian disampaikan kepada
terpidana dan salinannya dikirimkan ke berbagai instansi terkait, termasuk
Mahkamah Agung, pengadilan tingkat pertama, kejaksaan, dan lembaga
pemasyarakatan.
Satu hal yang krusial untuk dipahami adalah dampak permohonan grasi
terhadap eksekusi. Pasal 3 UU Grasi menegaskan bahwa permohonan grasi
tidak menunda pelaksanaan putusan, kecuali dalam hal putusan pidana mati.
Bagi terpidana mati, eksekusi tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan
Presiden tentang penolakan grasi diterima secara resmi oleh yang
bersangkutan.
Peran Sentral Lembaga Negara dalam Alur Birokrasi
Proses grasi adalah sebuah orkestrasi yang melibatkan beberapa lembaga
negara dengan fungsi yang berbeda-beda:
-
Berdasarkan peraturan pelaksana terbaru, yaitu
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor 49 Tahun 2016
sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia
Nomor 26 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Nomor 49 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan
Permohonan Grasi, yang selanjutnya disebut “Permenkumham 26/2023”, Kemenkumham menjadi gerbang utama. Permohonan grasi kini diajukan
kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM. Menteri juga memiliki
wewenang untuk meneliti dan memproses pengajuan grasi yang diinisiasi atas
dasar kemanusiaan dan keadilan sesuai Pasal 6A UU Perubahan Grasi;
-
Peran MA adalah memberikan pertimbangan hukum dari aspek yudisial. MA
akan menelaah kasus dari sisi hukum acara maupun substansi untuk
memberikan pandangan kepada Presiden. Meskipun pertimbangan ini secara
hukum tidak mengikat Presiden, ia menjadi acuan yuridis yang sangat
penting. Pertimbangan ini dikirimkan oleh MA kepada Presiden melalui
Kementerian Sekretariat Negara;
-
Kemensetneg berperan dalam tahap akhir administrasi kepresidenan. Setelah
semua proses dan pertimbangan diterima, Kemensetneg akan menyiapkan
dukungan teknis dan administrasi untuk penyelesaian Rancangan Keputusan
Presiden tentang pemberian grasi.
Modernisasi Birokrasi: Layanan e-Grasi
Untuk menjawab tantangan birokrasi yang panjang dan berpotensi lambat, Pemerintah melakukan modernisasi melalui digitalisasi. Inovasi ini diatur dalam BAB IIIA Permenkumham 26/2023. Tujuannya adalah untuk memangkas alur birokrasi, meningkatkan
efisiensi, efektivitas, dan transparansi dalam pelayanan permohonan
grasi. Seluruh proses, mulai dari pengajuan permohonan hingga pemberian
pertimbangan hukum, kini diselenggarakan secara elektronik melalui laman
resmi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU)
Kemenkumham, yaitu ahu.go.id., Permenkumham 26/2023
menetapkan masa transisi selama satu tahun sejak diundangkan (yaitu hingga
27 Oktober 2024) untuk implementasi penuh sistem e-Grasi.
Jika sistem elektronik mengalami gangguan atau belum berfungsi
sebagaimana mestinya, proses permohonan dapat kembali dilakukan secara
manual atau nonelektronik. Digitalisasi proses grasi ini lebih dari sekadar perubahan teknis. Ia
merupakan sebuah langkah politik hukum yang berpotensi mengubah dinamika
antarlembaga. Dengan memusatkan alur data melalui Ditjen AHU, peran
Kemenkumham sebagai gerbang utama menjadi semakin kuat.
Meskipun bertujuan untuk efisiensi, sentralisasi ini secara halus dapat
menggeser sebagian pengaruh administratif dari lembaga yudikatif
(pengadilan) ke lembaga eksekutif. Di satu sisi, akuntabilitas dapat
meningkat karena adanya jejak digital yang tercatat. Namun di sisi lain,
transparansi yang sesungguhnya hanya akan tercapai jika publik juga diberi
akses yang memadai untuk memantau status permohonan secara agregat,
sehingga modernisasi ini benar-benar melayani prinsip keterbukaan.
Pertimbangan Presiden dan Koreksi Yudisial
Pemberian grasi, terutama untuk kejahatan berat, merupakan salah satu
kewenangan Presiden yang paling sensitif dan sarat dengan dilema. Di satu
sisi, ada tuntutan untuk menegakkan hukum secara tegas demi rasa keadilan
masyarakat. Di sisi lain, ada pertimbangan kemanusiaan dan hak
konstitusional terpidana. Titik-titik kritis ini tercermin dalam
undang-undang, putusan pengadilan, dan kasus-kasus konkret yang
mengguncang publik.
Pembentuk undang-undang menyadari potensi kontroversi dalam pemberian
grasi. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam
Penjelasan Umum UU Perubahan Grasi, yang memberikan panduan moral dan politik bagi Presiden. Penjelasan
tersebut menyatakan:
“Dalam Undang-Undang ini mengatur tentang pemberian keputusan atas suatu
permohonan grasi, Presiden perlu mempertimbangkan secara arif dan
bijaksana hal-hal yang terkait dengan tindak pidana yang telah dilakukan
oleh terpidana, khususnya terhadap tindak pidana yang dilakukan secara
berulang-ulang (residif), tindak pidana kesusilaan, dan tindak pidana
yang dilakukan secara sadis dan berencana.”
Frasa ini bukan sekadar kalimat normatif, melainkan sebuah penekanan yang
lahir dari kekhawatiran legislatif bahwa hak prerogatif grasi dapat
disalahgunakan untuk kejahatan-kejahatan yang sangat meresahkan dan
mencederai rasa keadilan publik. Ini menjadi semacam pedoman (meskipun
tidak mengikat secara kaku) bagi Presiden untuk menerapkan standar
kehati-hatian yang lebih tinggi ketika dihadapkan pada Permohonan Grasi
dari pelaku kejahatan serius, seperti:
1)
Residivisme: Pelaku yang berulang kali melakukan kejahatan;
2)
Kejahatan Kesusilaan: Terutama yang menyangkut kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak,
yang seringkali sulit pembuktiannya dan menimbulkan trauma mendalam bagi
korban;
3)
Kejahatan Sadis dan Berencana: Seperti kasus pembunuhan berencana yang disertai mutilasi atau
kekejaman lainnya, yang menantang batas-batas perikemanusiaan.
Penekanan ini menggarisbawahi bahwa keputusan grasi tidak boleh terlepas
dari konteks sosial dan dampak psikologis yang ditimbulkan oleh kejahatan
tersebut terhadap masyarakat luas.
Salah satu momen paling krusial dalam sejarah hukum grasi di Indonesia
adalah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 107/PUU-XIII/2015. Putusan ini menguji konstitusionalitas
Pasal 7 ayat (2) UU Perubahan Grasi, yang membatasi pengajuan permohonan grasi dengan tenggat waktu satu
tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Dalam amar putusannya, MK dengan tegas menyatakan bahwa pasal tersebut
bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan hukum (ratio decidendi) yang mendalam, yang menegaskan supremasi nilai-nilai keadilan di atas
formalitas hukum. Berikut adalah pilar-pilar argumen MK:
-
Grasi sebagai Hak Konstitusional dan Harapan Terakhir: MK menegaskan bahwa grasi adalah hak konstitusional setiap terpidana
yang dijamin oleh Pasal 14 ayat (1) UUD NRI 1945. Pembatasan waktu secara kaku berpotensi menghilangkan hak tersebut.
Bagi terpidana mati, grasi adalah harapan terakhir (last resort)
untuk mempertahankan hidup, sebuah upaya yang tidak seharusnya dibatasi
oleh kerangka waktu yang arbitrer;
-
Prioritas Keadilan Substantif atas Kepastian Hukum Formal: MK secara konsisten berpendapat bahwa pilar utama penegakan hukum
adalah keadilan. Kepastian hukum, meskipun penting, tidak boleh
mengorbankan keadilan substantif. Proses pertobatan, penyesalan yang
tulus, dan perubahan perilaku menjadi lebih baik—yang sering menjadi dasar
pertimbangan kemanusiaan dalam grasi—adalah sebuah proses rohani dan
psikologis yang tidak dapat diukur atau dibatasi oleh jangka waktu satu
tahun. Membatasi kesempatan untuk memohon ampunan berdasarkan tenggat
waktu formal berarti mengingkari kemungkinan perubahan positif dalam diri
seorang manusia;
-
Potensi Hilangnya Hak Akibat Proses Hukum Lain: Batasan waktu satu tahun menciptakan dilema hukum yang tidak adil bagi
terpidana yang ingin menempuh upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali
(PK) terlebih dahulu. Dasar utama PK adalah penemuan bukti baru
(novum), yang sifatnya tidak dapat diprediksi kapan akan ditemukan.
Jika terpidana harus menunggu ditemukannya novum yang mungkin memakan
waktu lebih dari satu tahun, ia akan kehilangan haknya untuk mengajukan
grasi;
-
Sifat Grasi yang Berbeda dari Upaya Hukum Biasa: Grasi bukanlah upaya
hukum dalam pengertian teknis yang tunduk pada tenggat prosedural yang
ketat seperti banding atau kasasi. Grasi adalah tindakan pengampunan yang
berada di luar lingkup peradilan pidana, didasarkan pada pertimbangan
kemanusiaan dan keadilan yang bisa muncul kapan saja selama terpidana
menjalani pidana. Ia berfungsi sebagai koreksi atas kemungkinan adanya
kekhilafan dalam proses peradilan (miscarriage of justice).
Implikasi dari putusan ini sangat fundamental. Sejak putusan MK tersebut,
pengajuan permohonan grasi kembali pada prinsip semula dalam UU No. 22
Tahun 2002, yaitu tidak dibatasi oleh tenggang waktu. Putusan ini menjadi
tonggak yang menegaskan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, pintu menuju
keadilan dan pengampunan tidak boleh ditutup oleh sekat-sekat formalitas
waktu yang kaku.
Dilema Grasi dalam Kejahatan Sadis (Kasus Very Idham Henyansyah/”Ryan Jombang”)
Untuk mengilustrasikan kompleksitas pertimbangan Presiden dalam praktik,
kasus pembunuhan berantai oleh Very Idham Henyansyah, yang dikenal sebagai
“Ryan Jombang”, menjadi contoh yang relevan. Ryan divonis pidana mati oleh
Pengadilan Negeri Depok atas serangkaian pembunuhan sadis yang disertai
mutilasi, dan vonis ini dikuatkan hingga tingkat kasasi.
Setelah upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK) yang
diajukannya ditolak oleh Mahkamah Agung pada tahun 2012, satu-satunya
jalan hukum yang tersisa baginya untuk lolos dari eksekusi mati adalah
grasi. Kasus ini secara sempurna memotret ketegangan antara berbagai nilai
yang harus dipertimbangkan Presiden:
-
Di satu sisi, kebrutalan dan kesadisan perbuatan Ryan telah mengusik rasa
keadilan masyarakat secara mendalam. Pemberian grasi dalam kasus semacam
ini berisiko dianggap mencederai perasaan korban dan keluarganya, serta
mengabaikan sentimen publik yang menuntut penegakan hukum yang paling
tegas. Hal ini sejalan dengan semangat yang terkandung dalam Penjelasan UU
Perubahan Grasi mengenai kejahatan sadis dan berencana;
-
Di sisi lain, seberat apapun kejahatannya, Ryan sebagai warga negara
tetap memiliki hak konstitusional untuk mengajukan permohonan grasi kepada
Presiden. Menolak permohonan tersebut tanpa pertimbangan yang matang juga
dapat dipandang sebagai pengabaian terhadap hak individu;
-
Pertimbangan yuridis (fakta bahwa putusan pengadilan telah berkekuatan
hukum tetap dan semua upaya hukum telah gagal) akan berhadapan dengan
pertimbangan non-yuridis, seperti kondisi psikologis terdakwa yang disebut
memiliki gangguan sejak remaja , potensi perubahan perilakunya selama di
lembaga pemasyarakatan, serta tekanan publik dan media yang sangat besar.
Kasus Ryan Jombang mengilustrasikan betapa beratnya beban yang ditanggung
Presiden. Keputusan untuk mengabulkan atau menolak grasi dalam kasus
seperti ini bukanlah sekadar keputusan hukum, melainkan keputusan moral
dan politik yang akan dihakimi oleh sejarah dan nurani publik.
Analisis Kritis dan Paradigma Alternatif dalam Pemberian Grasi
Pemberian grasi adalah arena pertarungan nilai yang kompleks. Di balik
prosedur hukum yang telah diatur, tersembunyi dilema filosofis, politis,
dan kemanusiaan. Menganalisis praktik grasi secara kritis memungkinkan
kita untuk melihat melampaui teks undang-undang dan memahami dinamika
kekuasaan serta keadilan yang bekerja di dalamnya.
Secara normatif, alasan pemberian grasi berpusat pada faktor kemanusiaan
dan keadilan. Faktor kemanusiaan biasanya mencakup kondisi terpidana yang
sudah sangat tua atau menderita sakit keras yang tidak dapat disembuhkan.
Faktor keadilan dapat menjadi pertimbangan jika muncul keraguan atas
putusan hakim, meskipun tidak sampai pada tingkat novum untuk Peninjauan Kembali. Selain itu, ada pula pertimbangan
kepentingan negara, misalnya jika terpidana memiliki jasa besar atau
keahlian yang dibutuhkan.
Namun, dalam praktiknya, keputusan grasi seringkali menjadi cerminan dari
prioritas politik dan sentimen publik pada suatu masa, yang memunculkan
kontroversi dan kritik.
Ini adalah area yang paling sering menimbulkan perdebatan. Di satu sisi,
Indonesia mendeklarasikan “perang terhadap narkoba” dan mengkategorikannya
sebagai kejahatan luar biasa. Di sisi lain, Presiden beberapa kali
memberikan grasi kepada terpidana kasus narkotika, baik warga negara asing
(seperti Schapelle Corby) maupun warga negara Indonesia (seperti Deni
Setia Maharwan dan Merika Pranola). Pemberian grasi ini sering dikritik
karena dianggap menciptakan paradoks kebijakan
yaitu pemerintah menyerukan pemberantasan narkoba, tetapi pada saat yang sama
memberikan pengampunan kepada pelakunya. Keputusan semacam ini menunjukkan adanya ketegangan antara pelaksanaan
hak prerogatif konstitusional dengan kebijakan penegakan hukum sektoral
yang populis.
Selanjutnya, sama halnya dengan narkotika, korupsi dan terorisme dikategorikan sebagai
kejahatan luar biasa. Pemberian grasi untuk terpidana kasus ini sangat
sensitif secara politik dan hampir selalu menuai penolakan keras dari
masyarakat dan kelompok aktivis. Keputusan Presiden untuk memberikan grasi
kepada mantan Gubernur Riau, Anas Maamun (kasus korupsi), dan mantan Ketua
KPK, Antasari Azhar (kasus pembunuhan yang terkait dengan lingkaran
kekuasaan), memicu perdebatan sengit tentang konsistensi kebijakan dan
rasa keadilan publik.
Keputusan grasi, pada akhirnya, tidak pernah terjadi dalam ruang hampa.
Ia merupakan produk dari interaksi kompleks antara pertimbangan hukum
formal, tekanan politik domestik, diplomasi internasional, dan sentimen
publik yang dinamis. Hal ini terkadang membuat pertimbangan yuridis murni
terpaksa berbagi panggung dengan pertimbangan-pertimbangan pragmatis
lainnya.
Untuk membingkai dilema yang melekat dalam praktik grasi, kita dapat
menggunakan beberapa adagium hukum klasik sebagai lensa filosofis
yaitu summum ius, summa injuria
(“Hukum yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi”).
Adagium ini mengingatkan bahwa penerapan hukum yang kaku, mekanis, dan
tanpa jiwa, meskipun sesuai dengan bunyi pasal, dapat menghasilkan
ketidakadilan yang paling parah. Grasi hadir sebagai antitesis dari
kekakuan ini. Ia adalah instrumen yang memungkinkan hukum untuk tetap
manusiawi, mengakui bahwa di balik setiap kasus hukum ada individu dengan
segala kompleksitasnya. Grasi adalah pengakuan bahwa keadilan tidak selalu
identik dengan penerapan sanksi maksimal.
Fiat justitia ruat caelum
(“Tegakkan keadilan, meskipun langit runtuh”). Adagium ini memiliki
dua sisi mata uang dalam konteks grasi. Dari satu perspektif, ia bisa
menjadi justifikasi untuk menolak grasi demi menegakkan hukum secara
konsisten tanpa pandang bulu, terutama untuk kejahatan berat. Keadilan
bagi korban dan masyarakat harus ditegakkan, apapun konsekuensinya. Namun,
dari perspektif lain, adagium ini justru bisa menjadi argumen untuk memberikan grasi. Jika keadilan substantif menuntut adanya
pengampunan—misalnya karena terpidana telah menunjukkan pertobatan luar
biasa atau karena ada keraguan serius dalam proses peradilannya—maka
keadilan itu harus ditegakkan, bahkan jika keputusan tersebut tidak
populer dan “meruntuhkan” ekspektasi publik.
Salus populi suprema lex
(“Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi”). Adagium ini
relevan ketika grasi diberikan atas dasar “kepentingan negara”. Dalam
beberapa kasus, pemberian grasi mungkin tidak didasarkan pada kondisi
individu terpidana, melainkan pada tujuan yang lebih besar, seperti
menjaga stabilitas politik, memfasilitasi rekonsiliasi nasional
pasca-konflik, atau sebagai bagian dari pertukaran diplomatik. Di sini,
“keadilan” didefinisikan secara kolektif, di mana pengampunan terhadap
satu individu dianggap perlu demi kebaikan masyarakat yang lebih luas.
Memandang Grasi Melalui Perspektif Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
Sebuah paradigma alternatif yang unik dan belum banyak dieksplorasi
adalah melihat grasi melalui kacamata keadilan restoratif (restorative justice). Secara tradisional, keadilan restoratif beroperasi di ujung spektrum
yang berlawanan dari grasi. Ia diterapkan pada tahap awal proses
peradilan, biasanya untuk tindak pidana ringan atau kasus yang melibatkan
anak, dengan fokus pada mediasi, pemulihan kerugian korban, dan
rekonsiliasi antara pelaku, korban, dan komunitas. Grasi, sebaliknya,
adalah tindakan di akhir proses peradilan untuk kejahatan berat.
Namun, prinsip-prinsip keadilan restoratif dapat diintegrasikan ke dalam
pertimbangan pemberian grasi. Ini akan mengubah grasi dari sekadar
“tindakan pengampunan sepihak dari negara” menjadi sebuah instrumen yang
lebih holistik dan berorientasi pada pemulihan. Dalam praktiknya,
Presiden, selain mempertimbangkan aspek hukum dan kemanusiaan
konvensional, dapat juga mengevaluasi faktor-faktor berikut:
-
Adanya Rekonsiliasi: Apakah telah ada upaya nyata dari terpidana untuk berdamai dengan
keluarga korban? Apakah keluarga korban telah memberikan maaf? Faktor ini
sempat disinggung oleh pemohon dalam kasus di Mahkamah Konstitusi,
menunjukkan relevansinya dalam benak pencari keadilan;
-
Tindakan Pemulihan: Apakah terpidana telah menunjukkan penyesalan yang otentik melalui
tindakan-tindakan konkret selama di lembaga pemasyarakatan? Misalnya,
dengan aktif membina narapidana lain, menjadi panutan, atau berkontribusi
positif bagi lingkungan lapas, sebagaimana diklaim oleh pemohon dalam
Putusan MK 107/PUU-XIII/2015;
-
Dampak terhadap Komunitas: Apakah pemberian grasi (misalnya, mengubah
hukuman mati menjadi seumur hidup) dapat lebih memfasilitasi proses
penyembuhan bagi komunitas yang terdampak, dibandingkan dengan eksekusi
yang seringkali hanya menutup satu bab tanpa benar-benar memulihkan
luka?
Mengintegrasikan perspektif ini tidak berarti grasi harus diberikan
dengan mudah. Sebaliknya, ini menuntut standar pembuktian yang lebih
tinggi bagi pemohon grasi untuk menunjukkan bahwa mereka telah melalui
proses transformasi yang mendalam. Paradigma ini menawarkan cara pandang
yang segar dan konstruktif, mengarahkan fokus grasi tidak hanya pada
pengampunan masa lalu, tetapi juga pada pembangunan masa depan yang lebih
baik bagi semua pihak yang terlibat.
Perjalanan panjang grasi dalam sistem hukum Indonesia, dari sebuah
vorstelijke gunst di era kolonial hingga menjadi hak konstitusional yang
diatur secara ketat di era reformasi, menunjukkan sebuah evolusi pemikiran
tentang kekuasaan, hukum, dan kemanusiaan. Grasi bukanlah anomali dalam
sistem peradilan pidana, melainkan sebuah komponen integral yang berfungsi
sebagai mekanisme korektif yang esensial. Ia bukanlah sebuah intervensi
terhadap independensi yudikatif, melainkan sebuah bentuk pengampunan dari
kepala negara yang menempati posisi unik di persimpangan antara hukum dan
belas kasih.
Fondasi yuridis grasi, yang berakar pada
Pasal 14 ayat (1) UUD NRI 1945 dan dijabarkan dalam UU Grasi
serta UU Perubahan Grasi, telah membangun sebuah sistem yang berupaya
menyeimbangkan hak prerogatif Presiden dengan prinsip checks and balances
melalui kewajiban untuk memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Perkembangan prosedural, termasuk modernisasi melalui layanan e-Grasi
berdasarkan Permenkumham 26/2023, menunjukkan upaya berkelanjutan untuk
menjadikan proses ini lebih efisien, transparan, dan akuntabel.
Namun, di balik kerangka hukum yang ada, praktik grasi tetap sarat dengan
dilema. Pertimbangan Presiden dalam kasus-kasus kejahatan berat—seperti
residivisme, kejahatan kesusilaan, dan pembunuhan sadis—menjadi ujian
berat bagi kemampuan seorang pemimpin untuk menyeimbangkan tuntutan
keadilan publik yang tegas dengan nilai-nilai perikemanusiaan. Tonggak
penting dalam dinamika ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
107/PUU-XIII/2015, yang dengan berani membatalkan pembatasan waktu
pengajuan grasi. Putusan ini menjadi penegasan fundamental bahwa dalam
negara hukum Pancasila, pintu menuju keadilan dan pengampunan tidak boleh
tertutup rapat oleh sekat formalitas prosedural yang kaku, karena
pertobatan dan kesadaran tidak mengenal kalender.
Pada akhirnya, grasi harus dipahami sebagai ultimum remedium—bukan dalam
arti upaya hukum, melainkan sebagai upaya terakhir kemanusiaan dalam
sistem peradilan. Ia adalah “katup pengaman” (safety valve) yang
tak tergantikan, yang memastikan bahwa hukum, dalam segala kekuatannya,
tidak kehilangan jiwanya dan tetap melayani tujuan tertingginya: keadilan
yang berlandaskan pada kemanusiaan yang adil dan beradab.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.