layananhukum

Mengenal Secara Lengkap Rehabilitas yang Wajib Kamu Pahami

 

    Pengantar

    Dalam khazanah hukum, terdapat adagium fundamental yang menjadi denyut nadi keadilan, yaitu Restitutio in Integrum—pemulihan pada keadaan semula. Prinsip ini bukan sekadar frasa Latin yang usang, melainkan inti dari konsep rehabilitasi, sebuah mekanisme hukum yang bertujuan mengembalikan hak, kehormatan, dan martabat seseorang yang terampas akibat proses hukum keliru atau kebijakan negara yang tidak berdasar.

    Rehabilitasi dalam perspektif Restitutio in Integrum adalah wujud nyata dari keadilan restoratif (restorative justice). Tujuannya tidak hanya memulihkan kerugian secara yuridis, tetapi juga menghapus stigma sosial dan mengembalikan posisi seseorang di mata masyarakat. Inilah janji negara hukum yaitu keberanian untuk mengakui kesalahan, lalu memperbaikinya demi tegaknya keadilan yang substantif.

    Namun, dalam praktik ketatanegaraan dan hukum di Indonesia, istilah “rehabilitasi” memiliki makna jamak (polysemy) yang seringkali menimbulkan kerancuan dan ambiguitas. Penggunaan istilah yang sama untuk merujuk pada konsep-konsep yang berbeda secara fundamental merupakan sumber ketidakpastian hukum yang dapat membingungkan masyarakat awam, praktisi hukum, hingga para pembuat kebijakan.

    Oleh karena itu, sebuah pembedahan konseptual menjadi langkah awal yang niscaya untuk memahami lanskap rehabilitasi di Indonesia secara utuh. Secara garis besar, terdapat tiga bentuk utama rehabilitasi yang berlaku, masing-masing dengan landasan hukum, tujuan, dan mekanisme yang berbeda secara diametral.  

    Pertama, Rehabilitasi Yudisial, yang merupakan hak yang melekat pada setiap orang yang berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan bebas dari segala dakwaan (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Rehabilitasi ini bersifat restoratif dan menjadi bagian tak terpisahkan dari proses peradilan pidana itu sendiri, sebagaimana diatur secara rigid dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sifatnya adalah hak yang dapat dituntut oleh seorang terdakwa, dan pengadilan memiliki kewajiban hukum untuk mencantumkannya dalam amar putusan.

    Kedua, Rehabilitasi Eksekutif, yang merupakan kewenangan istimewa (prerogatif) yang dimiliki oleh Presiden Republik Indonesia untuk memberikan pemulihan nama baik, hak, kedudukan, harkat, dan martabat seseorang. Berbeda dengan rehabilitasi yudisial yang terikat pada putusan pengadilan, rehabilitasi oleh Presiden seringkali didasarkan pada pertimbangan keadilan yang lebih luas, nilai-nilai kemanusiaan, atau kepentingan negara yang berada di luar lingkup peradilan formal semata. Kewenangan ini dijamin langsung oleh konstitusi, namun pelaksanaannya menjadi episentrum dari persoalan hukum yang akan dibedah dalam laporan ini.  

    Ketiga, Rehabilitasi Administratif/Sosial, yang merujuk pada serangkaian proses pemulihan fungsi, baik medis maupun sosial, yang tidak terkait langsung dengan proses peradilan pidana atas suatu kejahatan. Kategori ini memiliki landasan hukumnya sendiri yang sangat spesifik dan terperinci. Dua contoh paling representatif adalah:

    1.        Bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), sebagaimana yang diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Narkotika”. Undang-undang ini secara tegas bertujuan untuk “menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika”. Pasal 54 UU tentang Narkotika bahkan mewajibkan pecandu dan korban penyalahgunaan Narkotika untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Pelaksanaannya diatur lebih lanjut melalui berbagai peraturan teknis, seperti Peraturan Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Rehabilitasi Berkelanjutan, yang selanjutnya disebut dengan “Peraturan BNN 6/2022” dan sebelumnya melalui peraturan setingkat menteri seperti Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Rehabilitasi Sosial Bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya;

    2.       Bagi Penyandang Disabilitas, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Penyadang Disabilitas”, yang secara fundamental menggeser paradigma dari belas kasihan (charity-based) menjadi pemenuhan hak (rights-based). Pasal 21 UU tentang Penyadang Disabilitassecara eksplisit menjamin hak atas habilitasi dan rehabilitasi. Ketentuan ini diperkuat oleh peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2020 tentang Layanan Habilitasi dan Rehabilitasi bagi Penyandang Disabilitas, yang selanjutnya disebut dengan “PP 75/2020”.  

    Pembedahan ini menyingkap sebuah paradoks yang mencolok dalam arsitektur hukum Indonesia. Di satu sisi, rehabilitasi yang bersifat administratif-sosial, seperti untuk penanganan narkotika dan pemenuhan hak penyandang disabilitas, diatur secara sangat detail, komprehensif, dan berlapis, mulai dari undang-undang hingga peraturan teknis di tingkat kementerian/lembaga.


    Di sisi lain, rehabilitasi sebagai hak prerogatif Presiden—sebuah kewenangan yang dijamin langsung oleh norma tertinggi negara, yaitu Undang-Undang Dasar—justru terperangkap dalam kekosongan hukum prosedural yang akut. Tidak ada satu pun undang-undang pelaksana yang mengatur tata cara, syarat, dan mekanismenya secara jelas. Kontras yang tajam ini bukanlah sekadar kelalaian legislatif biasa.

    Ia mengisyaratkan bahwa kekosongan hukum ini kemungkinan besar merupakan gejala dari sensitivitas politik yang melingkupi subjek-subjek yang berpotensi menjadi penerima rehabilitasi jenis ini, terutama para korban kebijakan negara di masa lalu. Keengganan untuk mengodifikasi prosedur ini secara gamblang menunjukkan betapa rumitnya upaya negara untuk berdamai dengan sejarahnya sendiri, sebuah tema yang akan menjadi benang merah dalam analisis laporan ini.

    Lintas Sejarah Lembaga Rehabilitasi - Dari Eerherstel Kolonial hingga Jaminan Hak Konstitusional

    Memahami konsep rehabilitasi dalam sistem hukum Indonesia modern menuntut sebuah penelusuran historis yang mendalam, menjejak kembali ke akar-akar pembentukan hukum di era kolonial. Perjalanan dari gagasan pemulihan kehormatan yang bersifat paternalistik hingga jaminan hak yang bersifat konstitusional merefleksikan sebuah evolusi filosofis yang fundamental dalam hubungan antara negara dan individu. Ini adalah narasi tentang transisi dari konsepsi individu sebagai objek administrasi kekuasaan menjadi subjek hukum yang berdaulat dengan hak-hak yang melekat.

    Jejak awal konsep pemulihan nama baik di Indonesia dapat dilacak hingga era pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa itu, dikenal istilah eerherstel, yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai “pemulihan kehormatan”. Meskipun secara leksikal terdengar serupa dengan rehabilitasi modern, eerherstel harus dipahami dalam konteks sistem hukum kolonial yang sangat berorientasi pada kekuasaan (power-centric).

    Kerangka hukum acara pidana yang berlaku saat itu, terutama Herzien Inlandsch Reglement (HIR), tidak dirancang untuk melindungi hak-hak individu, khususnya bagi kaum pribumi (inlanders). Sebaliknya, HIR berfungsi sebagai instrumen untuk menegakkan otoritas dan menjaga tatanan sosial pemerintah kolonial.  

    Dalam sistem ini, posisi tersangka atau terdakwa lebih menyerupai objek pemeriksaan (object van onderzoek) daripada subjek hukum (rechtssubject) yang memiliki hak-hak yang dijamin. Politik hukum kolonial secara sengaja membagi penduduk ke dalam beberapa golongan—Eropa, Timur Asing, dan Bumi Putera—di mana setiap golongan tunduk pada sistem hukum yang berbeda. Diskriminasi ini menempatkan kaum pribumi dalam posisi yang sangat rentan di hadapan hukum.  

    Dalam konteks inilah eerherstel harus dimaknai secara kritis. Ia bukanlah sebuah hak yang dapat dituntut, melainkan sebuah kemurahan hati atau instrumen politis yang diberikan oleh penguasa kolonial. Pemberiannya seringkali berkelindan dengan narasi Politik Etis dan konsep “hutang kehormatan” (eereschuld), di mana pemerintah kolonial merasa memiliki kewajiban moral untuk “memberadabkan” wilayah jajahannya sebagai kompensasi atas eksploitasi yang dilakukan.

    Dengan demikian, eerherstel lebih bersifat paternalistik, sebuah tindakan simbolis dari penguasa kepada yang dikuasai, yang bertujuan menjaga citra dan stabilitas pemerintahan, bukan sebagai bentuk pemulihan hak yang tulus bagi individu yang dirugikan oleh sistem.

    Evolusi di Era Kemerdekaan: Menuju Sistem Hukum Nasional

    Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 menjadi titik awal dari proses panjang pembangunan sistem hukum nasional yang berdaulat. Lembaga-lembaga peradilan peninggalan kolonial dan pendudukan Jepang, seperti Landraad dan Tiho Hoin, secara bertahap bertransformasi menjadi Pengadilan Negeri dalam struktur negara kesatuan Republik Indonesia. Namun, warisan mentalitas hukum kolonial tidak serta-merta lenyap.

    Pada periode awal kemerdekaan, terutama di masa Orde Lama, lanskap politik diwarnai oleh ajaran “demokrasi terpimpin” yang menempatkan politik sebagai “panglima”. Supremasi hukum seringkali dikesampingkan demi kepentingan politik revolusioner, yang pada gilirannya turut mengancam perlindungan hak-hak individu di hadapan hukum.


    Meskipun demikian, kesadaran untuk membangun sistem hukum yang menjamin hak-hak warga negara terus tumbuh. Tonggak penting dalam hal ini adalah lahirnya Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mulai menegaskan prinsip-prinsip peradilan yang independen dan hak atas bantuan hukum. Namun, dalam praktik penegakan hukum sehari-hari, HIR masih menjadi hukum acara pidana yang berlaku, yang berarti kerangka perlindungan bagi tersangka dan terdakwa masih sangat terbatas.  

    Titik Balik Fundamental: Lahirnya KUHAP

    Titik balik yang paling fundamental dan revolusioner dalam sejarah hukum acara pidana Indonesia terjadi dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang selanjutnya disebut dengan “KUHAP. Undang-undang ini, yang secara tegas mencabut keberlakuan HIR, menjadi sebuah monumen hukum yang mengubah secara drastis paradigma perlindungan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana.  

    KUHAP secara formal memutus mata rantai dengan mentalitas hukum kolonial yang inquisitorial dan menempatkan negara sebagai superior. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hukum Indonesia, KUHAP secara eksplisit dan komprehensif menjamin serangkaian hak fundamental bagi tersangka dan terdakwa.

    Hak-hak tersebut antara lain hak untuk segera mendapat pemeriksaan (vide Pasal 50 KUHAP), hak untuk diberitahu secara jelas tentang apa yang disangkakan (vide Pasal 51 KUHAP), hak atas bantuan hukum (vide Pasal 54 KUHAP), hak untuk tidak dibebani kewajiban pembuktian (vide Pasal 66 KUHAP), dan yang paling relevan dengan pembahasan ini, hak untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (vide Pasal 68 KUHAP).  

    Pergeseran dari eerherstel di bawah HIR ke rehabilitasi di bawah KUHAP merepresentasikan lebih dari sekadar perubahan peraturan. Ini adalah sebuah lompatan filosofis yang mendalam. Eerherstel adalah sebuah kemurahan hati (favor) yang diberikan secara diskresioner oleh penguasa kolonial kepada onderdaan (subjek/kawula). Sebaliknya, rehabilitasi dalam KUHAP adalah sebuah hak (right) yang dapat dituntut secara hukum oleh warga negara dari negaranya sendiri.

    Transformasi ini mencerminkan proses dekolonisasi yang lebih luas dan proyek pembangunan bangsa yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara hukum (rechtsstaat) yang berlandaskan kedaulatan rakyat dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Dengan lahirnya KUHAP, individu tidak lagi dipandang sebagai objek pasif dari proses hukum, melainkan sebagai subjek hukum yang berdaulat dengan hak-hak yang diakui dan dilindungi oleh undang-undang.

    Kerangka Hukum Rehabilitasi di Indonesia: Analisis Komparatif

    Untuk memahami secara utuh bagaimana rehabilitasi beroperasi dalam sistem hukum Indonesia, diperlukan sebuah analisis komparatif terhadap dua pilar utamanya, antara lain rehabilitasi yudisial yang diatur secara ketat dalam KUHAP, dan rehabilitasi eksekutif yang merupakan hak prerogatif Presiden. Perbandingan ini akan menyingkap sebuah asimetri regulasi yang mencolok, di mana satu bentuk rehabilitasi memiliki kepastian hukum yang tinggi, sementara yang lainnya berada dalam zona abu-abu akibat kekosongan hukum prosedural.

    Rehabilitasi dalam konteks peradilan pidana (rehabilitasi yudisial) memiliki landasan hukum yang kokoh, jelas, dan terstruktur dalam KUHAP. Kerangka ini memberikan kepastian hukum yang tinggi bagi setiap individu yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana.

    Dasar hukum utama bagi rehabilitasi yudisial termaktub dalam Pasal 97 KUHAP, yang mengatur secara rinci mengenai hak dan mekanisme perolehannya:  

    1)        Pasal 97 ayat (1) menyatakan: “Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Ketentuan ini secara tegas menetapkan dua syarat kumulatif bagi lahirnya hak atas rehabilitasi: (1) adanya putusan bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging), dan (2) putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Ini menjadikan rehabilitasi sebagai konsekuensi hukum yang logis dan otomatis dari putusan yang menyatakan seseorang tidak bersalah atau perbuatannya bukan merupakan tindak pidana;

    2)       Pasal 97 ayat (2) menambahkan: “Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).” Frasa “diberikan dan dicantumkan sekaligus” dalam ayat ini bersifat imperatif (memerintahkan). Artinya, hakim memiliki kewajiban hukum (legal obligation) untuk secara ex officio (karena jabatannya) mencantumkan amar rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas, tanpa perlu adanya permohonan khusus dari terdakwa atau penasihat hukumnya. Kegagalan hakim untuk melakukannya dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum acara;

    3)       Pasal 97 ayat (3) menyediakan mekanisme alternatif melalui lembaga praperadilan. Ayat ini berbunyi: “Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan yang tidak sah atau keliru mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.”

    Ketentuan ini memberikan jalan hukum bagi seseorang yang haknya dilanggar pada tahap penyidikan (misalnya, penangkapan atau penahanan sewenang-wenang), namun perkaranya tidak sampai ke pengadilan (misalnya, dihentikan). Dalam kondisi ini, permintaan rehabilitasi menjadi salah satu objek kewenangan praperadilan.

    Keterkaitan dengan lembaga praperadilan ini dipertegas dalam Pasal 77 huruf b KUHAP, yang memberikan kewenangan kepada praperadilan untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan, serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya. Hak untuk menuntut ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 95 KUHAP, yang menjadi landasan bagi tersangka, terdakwa, atau ahli warisnya untuk menuntut ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tindakan aparat penegak hukum yang tidak sah atau keliru.  

    Sebagai aturan pelaksana dari KUHAP, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang telah beberapa kali diubah (terakhir dengan PP Nomor 92 Tahun 2015 ), mengatur lebih lanjut mengenai tata cara teknisnya. Sebagaimana ketentuan Pasal 15 PP Nomor 27 Tahun 1983 secara spesifik mengatur tentang pelaksanaan putusan rehabilitasi: “Pengumuman mengenai putusan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (2) KUHAP dilakukan dengan menempelkannya pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.”. Ketentuan ini, meskipun sederhana, memiliki tujuan penting yaitu untuk memulihkan nama baik individu tersebut di mata publik, setidaknya di lingkungan pengadilan.


    Berbanding terbalik dengan rehabilitasi yudisial yang diatur secara rigid, rehabilitasi yang merupakan hak prerogatif Presiden justru menghadapi sebuah persoalan fundamental yaitu kekosongan hukum prosedural (legal vacuum). Landasan yuridis tertinggi bagi kewenangan ini adalah Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”), yang menyatakan: “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.”

    Analisis terhadap pasal ini menyingkap beberapa poin krusial. Pertama, pemberian rehabilitasi adalah hak prerogatif, yakni hak istimewa yang melekat pada jabatan Presiden selaku kepala negara. Namun, hak ini tidaklah absolut. Adanya frasa imperatif dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung menjadikan kewenangan ini sebagai kewenangan yang terkualifikasi. Klausul ini merupakan manifestasi nyata dari prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) antara cabang kekuasaan eksekutif dan yudikatif, sebuah ciri khas sistem ketatanegaraan Indonesia pasca-amandemen UUD NRI 1945. Amandemen ini secara sadar dirancang untuk menggeser paradigma dari kekuasaan yang terpusat pada eksekutif menjadi sistem yang lebih akuntabel.  

    Meskipun dijamin oleh konstitusi, pelaksanaan hak prerogatif ini terhambat oleh ketiadaan peraturan pelaksana. Kekosongan hukum ini menjadi sangat jelas ketika dibandingkan dengan instrumen prerogatif lainnya yang diatur dalam Pasal 14 UUD NRI 1945:

    -        Grasi diatur secara komprehensif dan detail dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi , sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010. Undang-undang ini mengatur tata cara, syarat, jangka waktu, dan akibat hukum pengajuan grasi;

    -        Amnesti dan Abolisi, meskipun dianggap usang dan tidak lagi sepenuhnya sesuai dengan UUD NRI 1945 pasca-amandemen (karena menunjuk MA sebagai pemberi pertimbangan, bukan DPR), setidaknya masih memiliki landasan hukum dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi;

    -        Rehabilitasi, sama sekali tidak memiliki undang-undang atau peraturan pemerintah pelaksana yang spesifik.

    Kekosongan hukum ini, sebagaimana diidentifikasi secara tajam dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi (NA RUU GAAR), melahirkan serangkaian masalah krusial yang mencederai prinsip kepastian hukum, antara lain:

    1.        Ketiadaan Prosedur Baku: Warga negara yang merasa berhak mendapatkan rehabilitasi dari Presiden tidak memiliki alur yang jelas. Kepada siapa permohonan harus diajukan? Dokumen apa yang harus dilampirkan? Bagaimana prosesnya berjalan? Semua pertanyaan ini tidak memiliki jawaban pasti;

    2.       Ketidakpastian Subjek Penerima: Hukum positif membisu mengenai siapa saja yang berhak mengajukan permohonan. Apakah hanya terpidana, mantan terpidana, atau juga tersangka dan bahkan individu yang tidak pernah melalui proses hukum namun menjadi korban kebijakan negara yang tidak adil?;

    3.      Ketiadaan Parameter Pemberian: Alasan pemberian rehabilitasi menjadi sangat subjektif dan bergantung pada diskresi politik Presiden. Praktik historis menunjukkan alasan yang beragam, mulai dari pertimbangan kemanusiaan hingga rekonsiliasi politik;

    4.       Tidak Adanya Jangka Waktu: Tidak ada batasan waktu yang jelas untuk setiap tahapan proses, mulai dari pengajuan, kajian, pemberian pertimbangan oleh MA, hingga penerbitan Keputusan Presiden. Hal ini menciptakan ketidakpastian yang tak berujung bagi pemohon.

    Asimetri regulasi antara Grasi, Amnesti/Abolisi, dan Rehabilitasi ini bukanlah sekadar kelalaian legislatif, melainkan sebuah gejala politik. Pengaturan Grasi yang sangat detail pasca-reformasi, misalnya, didorong oleh kebutuhan publik untuk membatasi dan mengawasi pemberian pengampunan, terutama bagi terpidana kasus korupsi dan narkotika. UU Darurat Amnesti/Abolisi tahun 1954 mencerminkan kebutuhan negara pada masa itu untuk melakukan rekonsiliasi pasca-revolusi. Sebaliknya, kekosongan hukum pada rehabilitasi eksekutif secara implisit menunjukkan keengganan politik untuk menciptakan jalur hukum yang pasti dan mudah diakses bagi para korban kebijakan negara di masa lalu.


    Pembentukan jalur hukum semacam itu berpotensi membuka “kotak pandora” berupa tuntutan historis yang masif terhadap negara, sebuah konsekuensi yang secara politik sangat sensitif. Dengan demikian, kekosongan hukum ini secara efektif mempertahankan status quo, di mana rehabilitasi bagi korban negara tetap berada di ranah kemurahan hati politik (political favor) yang bersifat ad hoc, bukan sebagai sebuah hak hukum yang dapat dituntut (demandable legal right).

    Putusan Mahkamah Agung Nomor 33 P/HUM/2011

    Untuk memahami relevansi, urgensi, dan kompleksitas rehabilitasi oleh Presiden, tidak ada contoh yang lebih gamblang dan kuat daripada dampak kebijakan negara pasca-peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 dan perjuangan hukum para korbannya. Puncak dari perjuangan ini termanifestasi dalam sebuah putusan Mahkamah Agung yang monumental, yang tidak hanya meruntuhkan pilar hukum diskriminatif Orde Baru tetapi juga menyingkap batas-batas kekuasaan yudikatif dalam mewujudkan keadilan restoratif yang paripurna.

    Setelah peristiwa G30S, pemerintah Orde Baru mengeluarkan serangkaian peraturan yang berdampak luas terhadap kehidupan jutaan warga negara. Salah satu instrumen hukum yang paling signifikan adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan Terhadap Mereka Yang Terlibat G.30.S/PKI Golongan C. Keppres ini menjadi landasan hukum bagi tindakan administratif massal terhadap ribuan Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota ABRI, dan pejabat negara lainnya yang dituduh terlibat atau bersimpati dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) tanpa pernah melalui proses peradilan yang adil.  

    Mereka yang secara sepihak digolongkan sebagai “Golongan C”—yaitu mereka yang keterlibatannya tidak dapat dibuktikan secara langsung—diberhentikan secara tidak hormat dari jabatannya. Konsekuensi dari pemberhentian ini sangat berat dan melumpuhkan. Para korban tidak hanya kehilangan pekerjaan dan sumber penghidupan, tetapi juga kehilangan hak atas pensiun dan seluruh hak kepegawaian lainnya.

    Lebih dari itu, mereka dan keluarganya harus menyandang stigma sosial dan politik seumur hidup, diawasi secara ketat, dan hak-hak sipilnya dibatasi. Tindakan ini merupakan bentuk penghukuman di luar mekanisme peradilan (extra-judicial punishment) yang melembagakan ketidakadilan struktural selama puluhan tahun.  

    Di tengah kebuntuan hukum yang dialami para korban selama lebih dari tiga dekade, sebuah terobosan signifikan datang dari Mahkamah Agung melalui mekanisme Hak Uji Materiil (HUM). Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 33 P/HUM/2011, tertanggal 8 Agustus 2012, Mahkamah Agung memeriksa permohonan untuk membatalkan Keppres No. 28 Tahun 1975.

    Permohonan ini diajukan oleh dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan aktivis HAM. Kelompok kedua terdiri dari para korban langsung, yaitu para mantan PNS yang diberhentikan dan kehilangan hak pensiunnya akibat Keppres tersebut. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung membuat distingsi yang krusial mengenai kedudukan hukum (legal standing). Mahkamah Agung menyatakan permohonan dari kelompok LSM (Pemohon 1 sampai dengan 7) tidak dapat diterima, dengan pertimbangan bahwa mereka “tidak mempunyai kepentingan langsung yang dirugikan oleh objek Hak Uji Materiil (HUM)”. Sebaliknya, Mahkamah Agung menyatakan para korban langsung (Pemohon 8 sampai dengan 12) memiliki legal standing karena hak-hak konstitusional mereka “nyata-nyata telah dirugikan”, khususnya karena mereka “sampai saat ini tidak mendapatkan hak pensiun”. Keputusan ini menegaskan prinsip bahwa untuk mengajukan uji materiil, kerugian yang dialami harus bersifat aktual, spesifik, dan pribadi.


    Inti dari putusan ini terletak pada pertimbangan hukum Mahkamah Agung yang secara cermat dan sistematis membedah Keppres No. 28/1975 dan menyatakannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, termasuk UUD 1945. Argumentasi utama Mahkamah Agung, sebagaimana tertuang dalam salinan putusan, dapat dirangkum secara naratif sebagai berikut:

    a)      Pertama, Mahkamah Agung menilai bahwa tindakan pemberhentian PNS Golongan C secara tidak hormat yang didasarkan pada tuduhan keterlibatan G30S/PKI tanpa melalui proses peradilan, secara terang-terangan melanggar serangkaian norma hukum tertinggi. Tindakan ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) & (3) UUD NRI 1945, serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Menurut Mahkamah Agung, kebijakan ini mencederai asas fundamental kesamaan di hadapan hukum (equality before the law), hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta asas praduga tak bersalah. Keppres tersebut menciptakan sebuah mekanisme penghukuman yang melangkahi kewenangan yudikatif, di mana kesalahan seseorang ditetapkan oleh lembaga eksekutif tanpa pembuktian yang sah di pengadilan;

    b)      Kedua, penggolongan dan perlakuan diskriminatif terhadap warga negara atas dasar tuduhan pandangan politik dinilai bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945. Mahkamah Agung berpendapat bahwa Keppres ini secara eksplisit menciptakan perlakuan yang berbeda dan merugikan terhadap sekelompok warga negara semata-mata atas dasar pandangan politik yang dituduhkan kepada mereka, yang merupakan bentuk diskriminasi yang secara tegas dilarang oleh Konstitusi;

    c)      Ketiga, dari perspektif hukum administrasi kepegawaian, pemberhentian tersebut juga dianggap tidak sah. Alasan pemberhentian yang digunakan dalam Keppres tersebut tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Pasal 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Mahkamah Agung menegaskan bahwa undang-undang kepegawaian telah mengatur secara limitatif (terbatas) alasan-alasan yang sah untuk memberhentikan seorang PNS. Dengan demikian, alasan “terlibat G30S/PKI Golongan C” yang ditetapkan secara administratif tanpa adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, bukanlah salah satu alasan yang diakui oleh undang-undang.  

    Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung sampai pada kesimpulan bahwa Keppres Nomor 28/1975 secara fundamental cacat hukum dan harus dibatalkan. Amar putusan Mahkamah Agung dalam perkara ini sangatlah krusial dan memiliki implikasi yang berlapis:  

    1.        Mengabulkan permohonan para korban (Pemohon 8 s.d. 12) untuk sebagian.

    2.       Menyatakan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1975 dan seluruh peraturan di bawahnya batal serta tidak berlaku umum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

    3.      Memerintahkan kepada Presiden untuk mencabut Keppres tersebut.

    4.       Menyatakan petitum (tuntutan) agar Presiden diperintahkan menerbitkan peraturan rehabilitasi tidak dapat diterima, dengan alasan hal tersebut berada di luar kewenangan Mahkamah Agung dalam Hak Uji Materiil.

    Poin keempat dalam amar putusan ini menjadi kunci untuk memahami peran dan batas kekuasaan yudikatif. Mahkamah Agung dengan tegas menyatakan bahwa meskipun dapat membatalkan sebuah peraturan yang tidak adil, ia tidak dapat memerintahkan cabang kekuasaan eksekutif untuk membuat peraturan baru.

    Batas Kekuasaan Yudikatif

    Putusan MA Nomor 33 P/HUM/2011 adalah sebuah putusan yang bersifat katalisator. Ia secara yuridis meruntuhkan salah satu pilar hukum paling diskriminatif dari era Orde Baru dan memberikan pengakuan hukum bahwa perlakuan terhadap para korban adalah sebuah ketidakadilan yang melanggar konstitusi. Namun, putusan ini bukanlah akhir dari perjuangan hukum, melainkan justru menjadi awal dari babak baru perjuangan politik dan kebijakan.  

    Dengan membatalkan Keppres yang menjadi penghalang, Mahkamah Agung telah membuka jalan. Akan tetapi, dengan menolak untuk memerintahkan adanya tindakan pemulihan (rehabilitasi), Mahkamah Agung secara efektif mengembalikan “bola” ke ranah eksekutif dan legislatif. Putusan ini secara brilian menunjukkan peran yudikatif dalam konteks keadilan transisional: ia dapat secara definitif menyatakan bahwa tindakan negara di masa lalu adalah salah secara hukum, tetapi ia tidak dapat mendikte solusi politik komprehensif untuk menyelesaikannya. Peran pengadilan di sini adalah sebagai pemicu yang mengubah lanskap hukum dan politik, sehingga memaksa cabang kekuasaan lain untuk bertindak.

    Implikasinya terasa hingga hari ini. Putusan tersebut menjadi landasan yuridis yang kuat bagi para penyintas dan organisasi masyarakat sipil untuk terus menyuarakan tuntutan mereka agar negara tidak hanya mengakui kesalahan tetapi juga secara aktif melakukan pemulihan. Desakan agar Presiden menerbitkan sebuah Keputusan Presiden tentang Rehabilitasi Umum bagi korban peristiwa 1965 menjadi semakin relevan. Kebuntuan ini pula yang menjadi salah satu latar belakang dari upaya-upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur non-yudisial, seperti pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) melalui Keppres Nomor 17 Tahun 2022.


    Meskipun tim ini telah merekomendasikan dan memulai beberapa program pemulihan hak korban, banyak pihak, termasuk organisasi korban, masih memandang bahwa langkah tersebut belum cukup dan menuntut adanya pengungkapan kebenaran dan keadilan yang seutuhnya. Perdebatan ini menunjukkan bahwa putusan MA tersebut telah berhasil menggeser beban tindakan dari para korban, yang telah memenangkan kasus hukumnya, kepada negara, yang kini dituntut untuk memberikan jawaban dan solusi yang konkret.  

    Mekanisme dan Akibat Hukum Rehabilitasi oleh Presiden

    Kekosongan hukum yang melingkupi prosedur rehabilitasi oleh Presiden menciptakan sebuah paradoks: sebuah hak yang dijamin oleh konstitusi menjadi tidak dapat diakses dalam praktik. Ketiadaan hukum acara yang jelas memaksa dilakukannya sebuah rekonstruksi hipotetis untuk memahami bagaimana mekanisme ini seharusnya berjalan. Proses rekonstruksi ini sendiri, pada hakikatnya, merupakan sebuah bentuk kritik tajam terhadap sistem hukum, karena fakta bahwa warga negara harus “menebak-nebak” prosedur untuk mengakses hak konstitusionalnya adalah bukti nyata dari kelumpuhan hak tersebut. Ini mengubah hak dari sesuatu yang pasti (certain) menjadi sesuatu yang spekulatif (speculative).

    Mengingat ketiadaan peraturan yang spesifik, model yang paling relevan untuk dijadikan analogi adalah prosedur pengajuan Grasi. Analogi ini kuat karena Grasi dan Rehabilitasi sama-sama merupakan hak prerogatif Presiden di bidang yudisial yang diatur dalam satu ayat yang sama pada Pasal 14 UUD 1945, dan keduanya sama-sama mensyaratkan adanya pertimbangan dari Mahkamah Agung. Berdasarkan alur yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, prosedur hipotetis pengajuan rehabilitasi kepada Presiden dapat direkonstruksi sebagai berikut:  

    1.        Pengajuan Permohonan: Permohonan diajukan secara tertulis oleh individu yang merasa haknya dirugikan, keluarganya, atau kuasa hukumnya. Permohonan ini secara formal ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia, namun dalam praktik administrasinya dapat disampaikan melalui Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia (Menteri Hukum dan HAM). Permohonan harus memuat alasan-alasan yang kuat dan didukung oleh bukti-bukti yang relevan yang menunjukkan terjadinya ketidakadilan atau pelanggaran hak;

    2.       Kajian Administratif dan Substansi: Kementerian Hukum dan HAM, melalui direktorat jenderal terkait, akan menerima permohonan tersebut. Pada tahap ini, dilakukan penelitian awal terhadap kelengkapan syarat-syarat administratif dan kajian terhadap substansi permohonan. Menteri berwenang untuk meneliti dan memutuskan apakah permohonan tersebut layak untuk diproses lebih lanjut ke tahap berikutnya;

    3.      Penerusan Permohonan ke Mahkamah Agung: Setelah kajian awal dianggap cukup, Presiden (dapat didelegasikan melalui Menteri Hukum dan HAM atau Menteri Sekretaris Negara) akan meneruskan salinan permohonan beserta seluruh berkas pendukungnya kepada Mahkamah Agung. Langkah ini adalah untuk memenuhi amanat konstitusional dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, yaitu untuk mendapatkan pertimbangan hukum;

    4.       Pemberian Pertimbangan oleh Mahkamah Agung: Mahkamah Agung, melalui mekanisme internalnya (misalnya, melalui Kepaniteraan atau kamar yang relevan), akan melakukan telaah yuridis yang mendalam terhadap permohonan tersebut. Pertimbangan MA tidak hanya melihat aspek hukum formal, tetapi juga dapat mencakup aspek keadilan substantif. Hasil telaah ini dituangkan dalam bentuk Pertimbangan Hukum tertulis yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung dan dikirimkan kembali kepada Presiden; 

    5.       Penerbitan Keputusan Presiden: Setelah menerima dan “memperhatikan” pertimbangan dari Mahkamah Agung, Presiden akan menggunakan hak prerogatifnya untuk membuat keputusan akhir. Perlu dicatat, frasa “memperhatikan” dalam UUD 1945 menyisakan ruang interpretasi apakah Presiden terikat secara hukum oleh pertimbangan MA. Namun, dalam semangat checks and balances, pertimbangan MA memiliki bobot yang sangat signifikan. Keputusan akhir Presiden, baik mengabulkan maupun menolak permohonan rehabilitasi, dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres).  

    Konsekuensi Yuridis Pemberian Rehabilitasi oleh Presiden

    Apabila permohonan rehabilitasi dikabulkan oleh Presiden melalui sebuah Keppres, maka akan timbul serangkaian akibat hukum yang signifikan dan transformatif bagi individu penerimanya. Konsekuensi yuridis ini bertujuan untuk mewujudkan prinsip restitutio in integrum secara penuh, yang mencakup:  

    1.        Pemulihan Nama Baik, Harkat, dan Martabat: Ini adalah akibat hukum yang paling fundamental. Status individu tersebut secara resmi dan formal dibersihkan dari segala tuduhan, stigma, atau label negatif yang melekat padanya akibat proses hukum atau kebijakan negara yang tidak adil di masa lalu. Negara secara eksplisit mengakui bahwa kehormatan individu tersebut telah dipulihkan.

    2.       Pemulihan Hak-hak Sipil dan Politik: Segala hak kewarganegaraan yang mungkin pernah dicabut atau dibatasi—seperti hak untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik, hak untuk bekerja di sektor pemerintahan (PNS/TNI/Polri), hak untuk mendapatkan paspor dan bepergian ke luar negeri, serta hak untuk berserikat dan berkumpul—akan dipulihkan sepenuhnya tanpa terkecuali.

    3.      Dasar Hukum untuk Pemulihan Hak-hak Lainnya: Keppres tentang rehabilitasi berfungsi sebagai landasan hukum primer yang sangat kuat bagi individu tersebut untuk menuntut pemulihan hak-hak lain yang hilang akibat kebijakan sebelumnya. Ini bisa mencakup:

    -         Hak Kepegawaian: Menuntut pembayaran kembali gaji, tunjangan, dan hak-hak lain yang tertunda selama masa pemberhentian yang tidak sah. Yang terpenting, ini menjadi dasar untuk menuntut hak atas pensiun yang selama ini tidak diberikan.

    -         Hak Keperdataan: Menuntut pengembalian aset atau properti yang mungkin pernah disita secara tidak sah oleh negara sebagai bagian dari kebijakan diskriminatif tersebut.

    -         Kompensasi: Dalam beberapa kasus, Keppres rehabilitasi dapat menjadi pintu masuk untuk menuntut kompensasi atau ganti rugi atas penderitaan materiel dan imateriel yang dialami.

    Dengan demikian, Keppres rehabilitasi bukan hanya sebuah dokumen simbolis, melainkan sebuah instrumen hukum yang kuat dan berdaya guna, yang dirancang untuk mengembalikan seorang warga negara ke posisi semula seolah-olah ketidakadilan tersebut tidak pernah terjadi.

    Menagih Janji Ubi Jus, Ibi Remedium dan Urgensi Pengesahan RUU GAAR

    Analisis komprehensif terhadap berbagai dimensi rehabilitasi dalam sistem hukum Indonesia membawa pada satu kesimpulan kritis yang tak terbantahkan: rehabilitasi yang diberikan oleh Presiden merupakan sebuah hak konstitusional yang nyata dan dijamin oleh UUD NRI 1945, namun pelaksanaannya lumpuh akibat kekosongan hukum prosedural yang kronis. Keberadaannya diakui di puncak hierarki norma hukum, tetapi mekanisme untuk mengaksesnya tidak tersedia bagi warga negara.


    Kondisi ini menciptakan sebuah unusable right—hak yang kuat di atas kertas, namun lemah dalam praktik—yang secara langsung mencederai salah satu adagium hukum paling universal dan fundamental yaitu Ubi jus, ibi remedium. Adagium ini menegaskan bahwa di mana ada hak (jus), di situ harus tersedia upaya hukum untuk memperjuangkan atau memulihkannya (remedium). Sebuah hak yang dijamin oleh hukum tertinggi negara menjadi ilusi tanpa adanya jalan hukum yang jelas, pasti, dan dapat diakses oleh warga negara untuk merealisasikannya.

    Putusan Mahkamah Agung Nomor 33 P/HUM/2011, meskipun menjadi tonggak sejarah yang penting dalam meruntuhkan ketidakadilan struktural masa lalu, terbukti tidak cukup untuk memberikan pemulihan yang efektif dan menyeluruh. Putusan tersebut adalah manifestasi dari jus—sebuah penegasan yudisial bahwa hak-hak para korban telah dilanggar secara konstitusional. Namun, dengan menolak memerintahkan pembentukan peraturan pemulihan, putusan tersebut secara gamblang menunjukkan bahwa negara, dalam hal ini cabang eksekutif dan legislatif, telah gagal menyediakan remedium yang memadai. Putusan MA berhasil menghilangkan penghalang hukum, namun tidak dapat secara otomatis membangun jembatan menuju pemulihan. Hal ini menegaskan bahwa penyelesaian masalah yang berakar pada kebijakan politik memerlukan solusi yang juga bersifat politik dan legislatif, tidak cukup hanya dengan putusan yudisial yang bersifat deklaratif.

    Satu-satunya jalan keluar dari kebuntuan hukum dan politik ini adalah melalui tindakan legislatif yang konkret dan berani. Oleh karena itu, penyelesaian pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi (RUU GAAR) menjadi sebuah urgensi nasional yang tidak dapat ditawar lagi. Sebagaimana telah diidentifikasi dalam berbagai kajian, termasuk Naskah Akademik RUU tersebut, pengesahan undang-undang ini akan memberikan manfaat fundamental bagi penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia.  

    Pengesahan RUU GAAR akan:

    1.        Mengisi Kekosongan Hukum: Menyediakan landasan yuridis yang kokoh dan prosedur yang jelas, terukur, dan pasti bagi pelaksanaan kewenangan Presiden dalam memberikan rehabilitasi.

    2.       Menjamin Kepastian Hukum: Memberikan kepastian bagi warga negara mengenai syarat, tata cara, subjek penerima, dan jangka waktu pengajuan rehabilitasi.

    3.      Mentransformasikan Hak Prerogatif: Mengubah kewenangan Presiden dari sebuah tindakan yang berpotensi bersifat ad-hoc, politis, dan subjektif menjadi sebuah mekanisme hukum yang terstruktur, transparan, akuntabel, dan yang terpenting, dapat diakses oleh seluruh warga negara yang merasa haknya telah dirugikan.

    Ini adalah langkah esensial untuk memastikan bahwa negara hukum Indonesia tidak hanya tertulis dalam konstitusi, tetapi juga terwujud dalam praktik yang adil, bermartabat, dan responsif terhadap tuntutan keadilan warganya. Pada akhirnya, inilah wujud nyata dari komitmen negara untuk menegakkan adagium luhur yang menuntut keberanian moral tertinggi: Fiat justitia ruat caelum—tegakkan keadilan, sekalipun langit akan runtuh.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.