Pertanyaan
Selamat sore, izin bertanya. Saya Joko, jadi begini ceritanya pak, beberapa
waktu lalu saya menjadi korban tindak pidana penganiayaan berat. Akibatnya,
saya harus mengeluarkan banyak sekali biaya untuk pengobatan di rumah sakit
dan juga kehilangan penghasilan selama berbulan-bulan karena tidak bisa
bekerja. Saya sudah mengikuti semua prosedur hukum, mulai dari lapor polisi
hingga kasusnya sekarang sudah sampai di kejaksaan.
Saya juga sudah berinisiatif mengajukan permohonan ganti rugi (restitusi)
melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia (LPSK RI).
Pihak LPSK pun sudah membantu menghitung total kerugian yang saya alami dan
hasilnya sudah diserahkan kepada jaksa penuntut umum yang menangani perkara
saya.
Masalahnya, kemarin saya mendapat kabar bahwa jaksa penuntut umum menolak
untuk memasukkan permohonan ganti rugi saya itu ke dalam surat dakwaan dan
tuntutannya nanti. Alasannya tidak begitu jelas, katanya khawatir akan
menyulitkan pembuktian perkara pidananya. Saya bingung sekali, rasanya sudah
berjuang tapi malah buntu di tengah jalan. Apakah hak saya untuk mendapatkan
ganti rugi dari pelaku jadi hilang begitu saja? Apa yang sebenarnya bisa
saya lakukan sekarang? Mohon pencerahannya.
Jawaban
Pengantar
Terima kasih atas pertanyaannya. Situasi yang Anda hadapi memang merupakan
sebuah dilema yuridis yang sering kali membuat korban merasa putus asa.
Namun, penting untuk dipahami bahwa penolakan oleh Penuntut Umum bukanlah
akhir dari perjuangan Anda untuk mendapatkan hak atas restitusi. Sistem
hukum di Indonesia telah menyediakan mekanisme lain yang sangat efektif
untuk memastikan hak Anda tetap terpenuhi.
Sistem peradilan pidana di Indonesia tengah mengalami evolusi paradigma
yang fundamental, bergerak dari orientasi keadilan retributif yang
semata-mata berfokus pada penghukuman dan pembalasan terhadap pelaku, menuju
keadilan restoratif yang menempatkan pemulihan kerugian korban dan restorasi
keseimbangan sosial sebagai tujuan utamanya.
Dalam kerangka ini, restitusi—atau ganti kerugian yang dibebankan kepada
pelaku—muncul sebagai salah satu manifestasi paling konkret dari keadilan
restoratif, yang bertujuan untuk memulihkan kondisi korban sedekat mungkin
dengan keadaan sebelum terjadinya tindak pidana. Prinsip ini selaras dengan
adagium hukum universal restitutio in integrum, yang secara harfiah
berarti pemulihan pada keadaan semula, di mana kerugian yang diderita korban
harus dipulihkan selengkap mungkin.
Namun, implementasi hak atas restitusi ini menghadapi tantangan signifikan
dalam praktik. Sebuah permasalahan krusial muncul ketika korban, yang telah
menempuh prosedur hukum dengan mengajukan permohonan restitusi yang
perhitungannya telah divalidasi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK), justru menghadapi penolakan dari Penuntut Umum untuk memasukkan
permohonan tersebut ke dalam surat dakwaan dan tuntutan. Situasi ini
menciptakan sebuah dilema yuridis yaitu
apa upaya hukum yang dapat ditempuh korban ketika Penuntut Umum, selaku
pemegang kendali tunggal atas penuntutan (dominus litis), menolak
untuk memfasilitasi hak fundamental korban?
Eksistensi hak tanpa adanya mekanisme pemulihan yang efektif adalah
sebuah ilusi.
Adagium hukum Ubi Jus Ibi Remedium menegaskan bahwa “di mana ada hak, di sana ada pemulihan”. Penolakan oleh Penuntut Umum secara langsung menantang prinsip
fundamental ini, menciptakan ketegangan antara hak korban yang dijamin oleh
undang-undang dengan pelaksanaan kewenangan oleh aparat penegak hukum.
Artikel ini akan mengupas secara komprehensif bahwa meskipun penolakan oleh
Penuntut Umum dapat terjadi akibat adanya irisan kompleks antara kewenangan
diskresioner dan kewajiban prosedural, kerangka hukum modern, khususnya
melalui terobosan dalam Peraturan Mahkamah Agung, telah menyediakan
mekanisme hukum alternatif yang efektif dan strategis bagi korban untuk
tetap memperjuangkan haknya atas restitusi, memastikan bahwa pintu keadilan
tidak tertutup rapat.
Definisi dan Ruang Lingkup Restitusi
Untuk memahami substansi permasalahan, esensial untuk terlebih dahulu
membedah definisi dan ruang lingkup restitusi sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kerangka hukum Indonesia memberikan definisi yang jelas dan konsisten
mengenai restitusi. Sebagaimana ketentuan
Pasal 1 Angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian
Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana, yang selanjutnya disebut dengan “PERMA 1/2022”, mendefinisikan restitusi sebagai berikut:
“Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga.”
Definisi ini diperkuat oleh
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, yang selanjutnya disebut dengan “UU Perlindungan Saksi dan Korban”. Meskipun tidak mendefinisikan secara eksplisit dalam pasal ketentuan
umum pada edisi awalnya, perubahannya melalui UU Nomoe 31 Tahun 2014 dan
berbagai peraturan pelaksananya secara konsisten merujuk restitusi sebagai
ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku atau pihak ketiga.
Bentuk-Bentuk Restitusi
PERMA 1/2022
tidak hanya memberikan definisi, tetapi juga merinci secara komprehensif
bentuk-bentuk kerugian yang dapat dimohonkan sebagai restitusi. Sebagaimana
ketentuan Pasal 4 PERMA 1/2022 menjabarkan bahwa korban berhak
memperoleh restitusi berupa:
a.
Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan;
b.
Ganti kerugian, baik materiil maupun imateriil, yang ditimbulkan akibat
penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana;
c.
Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau
d.
Kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat tindak pidana, termasuk
biaya transportasi dasar, biaya pengacara, atau biaya lain yang berhubungan
dengan proses hukum.
Rincian ini menunjukkan bahwa cakupan restitusi sangat luas, melampaui
sekadar kerugian materiil yang kasat mata, dan mengakui adanya penderitaan
psikis serta beban finansial lain yang harus ditanggung korban selama proses
hukum.
Definisi dan Kedudukan Hukum Korban
Paralel dengan definisi restitusi, pemahaman mengenai siapa yang diakui
sebagai “Korban” menjadi krusial untuk menentukan subjek hukum yang berhak
menuntut pemulihan. Definisi korban secara tegas diatur dalam beberapa
instrumen hukum.
Pasal 1 Angka 2 UU Perlindungan Saksi dan Korban
menyatakan:
“Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana.”
Definisi ini diadopsi secara selaras dalam
Pasal 1 Angka 3 PERMA 1/2022, yang memperkuat landasan hukum bagi korban dalam mengajukan permohonan
restitusi di pengadilan.
Definisi yuridis tersebut memiliki implikasi yang mendalam terhadap
kedudukan hukum korban dalam sistem peradilan pidana. Secara historis,
korban sering kali hanya diposisikan sebagai saksi atau “objek” dalam
perkara pidana, di mana fokus utama negara adalah menuntut dan menghukum
pelaku.
Namun, dengan adanya definisi yang mengakui penderitaan fisik, mental, dan
kerugian ekonomi, negara secara formal memberikan locus standi atau
kedudukan hukum kepada korban. Ini mentransformasi posisi korban dari objek
pasif menjadi subjek hukum aktif yang memiliki hak inheren untuk menuntut
pemulihan atas kerugian yang dideritanya. Pengakuan ini adalah pilar utama
dari pergeseran menuju keadilan restoratif.
Kejaksaan sebagai Dominus Litis dalam Penuntutan Pidana
Dalam kerangka sistem peradilan pidana Indonesia, Kejaksaan memegang
peranan sentral dan eksklusif sebagai lembaga penuntut. Prinsip ini dikenal
dengan adagium dominus litis, yang berarti “penguasa perkara”,
di mana Penuntut Umum memiliki kendali penuh atas suatu perkara pidana untuk
dilimpahkan ke pengadilan atau tidak.
Kewenangan ini bersumber dari beberapa peraturan fundamental.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, yang selanjutnya disebut dengan “KUHAP”, secara eksplisit
mendefinisikan Penuntut Umum dan merinci wewenangnya.
Pasal 13 KUHAP menyatakan bahwa Penuntut Umum adalah
jaksa yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim. Selanjutnya, Pasal 14 KUHAP merinci kewenangan tersebut,
yang mencakup membuat surat dakwaan, melimpahkan perkara ke pengadilan, dan
melakukan penuntutan. Kewenangan ini dipertegas lebih lanjut dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan “UU Kejaksaan”, yang memosisikan Kejaksaan sebagai lembaga negara yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Kewajiban Hukum Memasukkan Restitusi
Meskipun Kejaksaan memegang kewenangan penuntutan yang luas, kewenangan
tersebut tidaklah absolut, terutama ketika bersinggungan dengan hak-hak
korban yang diatur secara spesifik. PERMA 1/2022 secara tegas
meletakkan sebuah kewajiban imperatif (memaksa) kepada Penuntut Umum terkait
permohonan restitusi.
Dua pasal dalam PERMA 1/2022 menjadi kunci untuk memahami kewajiban
ini:
1.
Pasal 8 ayat (3) PERMA 1/2022
menyatakan:
“Dalam hal permohonan Restitusi diajukan sebelum berkas perkara
dilimpahkan, Penuntut Umum wajib memuat permohonan tersebut ke
dalam surat dakwaan dan memasukkan berkas permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ke dalam berkas perkara dan segera menyampaikan salinannya
kepada terdakwa atau penasihat hukumnya.”.
2.
Pasal 8 ayat (10) PERMA 1/2022
menegaskan:
“Penuntut Umum wajib mencantumkan permohonan Restitusi dalam
tuntutan pidana.”.
Penggunaan frasa “wajib” dalam kedua pasal tersebut memiliki makna
yuridis yang kuat. Secara gramatikal dan hukum, kata “wajib” mengindikasikan
sebuah perintah atau keharusan yang tidak memberikan ruang bagi pilihan atau
diskresi.
Ini adalah norma prosedural yang bersifat memaksa dan harus dilaksanakan
oleh Penuntut Umum sebagai bagian dari tugasnya dalam proses penuntutan.
Namun, di sinilah letak potensi konflik normatif yang dapat menjadi dasar
penolakan oleh Penuntut Umum. Di satu sisi, UU Kejaksaan dan KUHAP,
sebagai peraturan setingkat undang-undang, memberikan kewenangan
diskresioner yang luas kepada jaksa untuk menentukan kelayakan suatu
perkara atau bagian dari perkara untuk dituntut, yang dikenal sebagai asas
oportunitas.
Di sisi lain, PERMA 1/2022, yang secara hierarki berada di bawah undang-undang, menetapkan sebuah
kewajiban prosedural yang spesifik. Berdasarkan asas
lex superior derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi
mengesampingkan hukum yang lebih rendah),
seorang jaksa dapat berargumen bahwa kewenangan diskresioner yang
diberikan oleh undang-undang tidak dapat dibatasi oleh sebuah Peraturan
Mahkamah Agung.
Dilema ini menunjukkan bahwa penolakan jaksa belum tentu merupakan tindakan
sewenang-wenang, melainkan bisa jadi berakar pada interpretasi hierarki
peraturan perundang-undangan yang kompleks.
Problematika Penolakan Restitusi di Tingkat Penuntutan
Penolakan Penuntut Umum untuk memasukkan permohonan restitusi ke dalam
dakwaan dapat didasarkan pada beberapa alasan, yang sering kali berakar pada
kewenangan diskresionernya. Potensi alasan tersebut antara lain:
-
Penuntut Umum mungkin menilai bahwa permohonan restitusi yang diajukan,
meskipun telah dihitung oleh LPSK, tidak didukung oleh alat bukti yang cukup
kuat atau perhitungannya dianggap tidak rasional dan sulit dibuktikan di
persidangan;
-
Terdapat kekhawatiran bahwa proses pembuktian restitusi yang rumit dapat
mengaburkan atau memperlambat pembuktian unsur-unsur pidana utama, sehingga
berisiko melemahkan dakwaan pidana itu sendiri;
-
Jaksa, dalam menjalankan tugasnya, bertindak berdasarkan hukum dan hati
nurani. Penolakan bisa jadi didasarkan pada keyakinan subjektif jaksa bahwa
memasukkan restitusi dalam kasus tertentu tidak sejalan dengan kepentingan
penegakan hukum secara keseluruhan;
-
Kurangnya koordinasi atau komunikasi yang efektif antara penyidik, LPSK,
dan Penuntut Umum dapat menyebabkan berkas permohonan restitusi dianggap
tidak lengkap atau tidak memenuhi syarat formal, yang menjadi dasar
penolakan.
Peran LPSK dan Implikasi Penolakan Komunikasi
LPSK memegang peranan vital sebagai fasilitator hak korban. Kewenangannya
mencakup menerima permohonan restitusi, melakukan pemeriksaan kelengkapan,
dan yang terpenting, melakukan penilaian atas besaran ganti rugi yang layak,
yang kemudian dituangkan dalam sebuah Keputusan LPSK. Hasil penilaian ini
kemudian diserahkan kepada Penuntut Umum untuk ditindaklanjuti.
Namun, sistem hukum saat ini menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan
institusional. Kewenangan LPSK dalam menilai restitusi pada dasarnya
bersifat rekomendatif dan fasilitatif. Di sisi lain,
kewenangan Kejaksaan untuk menentukan muatan surat dakwaan dan tuntutan
bersifat eksekutif dan final pada tahap pra-ajudikasi.
UU Perlindungan Saksi dan Korban
tidak menyediakan mekanisme pemaksa (enforcement mechanism)
atau sanksi bagi Penuntut Umum yang mengabaikan Keputusan LPSK.
Akibatnya, hasil kerja LPSK, yang didasarkan pada analisis mendalam, dapat
dikesampingkan oleh Penuntut Umum berdasarkan kewenangan diskresionernya.
Hal ini menempatkan korban dalam posisi rentan, di mana pemenuhan haknya
sangat bergantung pada sinergi dan kemauan baik antar-lembaga penegak hukum.
Upaya Hukum yang Tersedia bagi Korban
Penolakan oleh Penuntut Umum bukanlah akhir dari perjuangan korban untuk
mendapatkan keadilan restoratif. Kerangka hukum, khususnya
PERMA 1/2022, telah menyediakan jalur alternatif yang dapat ditempuh korban.
Mekanisme Utama dan Paling Efektif: Permohonan Restitusi
Pasca-Putusan
Jalur hukum yang paling strategis dan efektif bagi korban adalah
mengajukan permohonan restitusi setelah perkara pidananya diputus dan
memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Mekanisme ini merupakan sebuah “jaring pengaman” (safety net)
hukum yang secara eksplisit diatur dalam
Pasal 11 ayat (1) PERMA 1/2022, yang menyatakan:
“Dalam hal Korban tidak mengajukan permohonan Restitusi dalam proses
persidangan terhadap pelaku tindak pidana, permohonan dapat diajukan
setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.”
Frasa
“tidak mengajukan permohonan Restitusi dalam proses persidangan”
harus ditafsirkan secara luas dan progresif. Maknanya tidak terbatas pada
korban yang benar-benar pasif atau tidak tahu haknya.
Frasa ini juga harus mencakup situasi di mana korban telah aktif mengajukan
permohonan di tingkat penyidikan atau penuntutan, namun permohonan tersebut
tidak diproses atau ditolak oleh Penuntut Umum untuk
dimasukkan ke dalam dakwaan. Interpretasi ini krusial untuk memastikan bahwa
hak korban tidak gugur hanya karena tindakan atau kelalaian aparat penegak
hukum lainnya.
Mekanisme pasca-putusan ini memiliki keunggulan strategis yang signifikan.
Ketika permohonan diajukan setelah putusan pidana inkracht, status
“bersalah” dari pelaku sudah final dan tidak perlu dibuktikan lagi.
Akibatnya, fokus pemeriksaan di persidangan bergeser sepenuhnya, dari
pembuktian tindak pidana menjadi hanya
pembuktian besaran kerugian yang diderita korban.
Proses ini secara efektif mem-bypass diskresi Penuntut Umum yang
menjadi penghalang di awal. Peran jaksa dalam proses ini pun berubah, dari
penentu menjadi sekadar “pihak terkait”, sementara hakim menjadi pengambil
keputusan utama. Ini menjadikan mekanisme pasca-putusan bukan sekadar
alternatif, melainkan solusi definitif atas kebuntuan di tahap penuntutan.
Alternatif Lain (dengan Analisis Perbandingan)
Selain mekanisme pasca-putusan, terdapat beberapa jalur hukum lain yang
dapat dipertimbangkan, meskipun masing-masing memiliki keunggulan dan
kelemahan yang perlu dianalisis secara cermat. Jika dibandingkan,
jalur-jalur ini menunjukkan perbedaan signifikan dalam hal efektivitas,
beban pembuktian, dan biaya.
Jalur pertama adalah penggabungan gugatan ganti kerugian berdasarkan
Pasal 98 KUHAP. Mekanisme ini secara teoretis tampak efisien karena
mengintegrasikan tuntutan ganti rugi ke dalam proses persidangan pidana.
Namun, dalam praktiknya, jalur ini memiliki kelemahan fundamental. Ruang
lingkupnya sering kali terbatas hanya pada kerugian materiil yang timbul
secara langsung dari tindak pidana, mengesampingkan kerugian imateriil yang
mungkin jauh lebih besar. Selain itu, keberhasilannya sangat bergantung pada
peran dominan Penuntut Umum dan berpotensi memperlambat jalannya sidang
pidana pokok.
Jalur kedua adalah gugatan perdata murni atas dasar Perbuatan
Melawan Hukum (PMH) sesuai
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Meskipun menawarkan independensi penuh dari perkara pidana dan mencakup
kerugian materiil serta imateriil, jalur ini merupakan pilihan yang paling
memberatkan bagi korban. Prosesnya dikenal sangat panjang, berjenjang, dan
memakan biaya perkara yang signifikan. Beban terberat terletak pada
pembuktian, di mana korban harus membuktikan seluruh unsur PMH dari awal,
seolah-olah tidak pernah ada putusan pidana sebelumnya.
Secara kontras,
permohonan restitusi pasca-putusan berdasarkan
PERMA 1/2022 muncul sebagai solusi yang paling unggul dan
berpihak pada korban. Keunggulan utamanya adalah ia secara efektif
mem-bypass diskresi jaksa yang menjadi penghalang awal. Karena
diajukan setelah putusan pidana berkekuatan hukum tetap, status bersalah
pelaku sudah tidak perlu diperdebatkan, sehingga beban pembuktian korban
menjadi sangat ringan—hanya sebatas membuktikan besaran kerugian. Prosesnya
dirancang agar cepat dan sederhana, dengan batas waktu yang jelas, dan yang
terpenting, korban
tidak dikenakan biaya perkara. Meskipun
kelemahannya adalah korban harus menunggu hingga putusan pidana
inkracht, keunggulan dalam hal efisiensi, keringanan beban pembuktian, cakupan
kerugian yang luas (materiil dan imateriil), dan ketiadaan biaya
menjadikannya jalur hukum yang paling strategis dan efektif ketika upaya
awal melalui penuntut umum gagal.
Yurisprudensi dan Studi Kasus Relevan
Untuk memberikan pemahaman yang lebih konkret, analisis terhadap putusan
pengadilan menjadi penting sebagai referensi bagaimana hakim
mengimplementasikan prinsip keadilan restoratif. Kami mengambil contoh pada
Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 63/Pid.B/2022/PN Smn., tertanggal
20 April 2022, yang mana dalam amar putusannya menyatakan:
MENGADILI
1.
Menyatakan Terdakwa I ALOYSIUS WISH WORA WORA Alias WISH anak dari (Alm.)
WELEM WORA WORA, Terdakwa II DAVID SULISTYO anak dari SANDYO dan Terdakwa
III YOSEPH MARYO THAROB Alias RIO anak dari BERNADUS THAROB terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “kekerasan yang
menyebabkan orang mati”.
2.
Menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa dengan pidana penjara
masing-masing selama 4 (empat) tahun;
3.
Menetapkan lamanya para terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan
seluruhnya daripada pidana yang dijatuhkan;
4.
Menetapkan agar para terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5.
Menetapkan para terdakwa tersebut dibebani secara tanggung renteng untuk
membayar restitusi sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada
Saudari SUMIK RAHAYU;
6.
Menetapkan barang bukti berupa:
-
1 (satu) potong kaos lengan pendek warna putih bergaris warna hijau merk
BROTHER BROS;
-
1 (satu) potong celana panjang jeans warna abu-abu merk DENIM;
-
1 (satu) buah topi warna putih bertuliskan BOSTON; dan
-
1 (satu) buah tas slempang warna biru dongker merk VANS,
dikembalikan kepada Terdakwa I.
-
1 (satu) potong kaos lengan pendek warna putih merk MCB; dan
-
1 (satu) potong celana panjang jeans warna biru merk EMBA,
dikembalikan kepada Terdakwa II.
-
1 (satu) potong kaos lengan pendek warna merah bertuliskan LOIS merk LOIS;
dan
-
1 (satu) potong celana panjang jeans warna biru merk OXYGEN,
dikembalikan kepada Terdakwa III.
-
1 (satu) buah flashdisk warna hitam merk Sacandisk berisi rekaman CCTV di
Pos PKD Jogja City Mall Jl. Magelang Km. 6 Sinduadi, Mlati, Sleman, rekaman
pada hari Selasa tanggal 28 September 2021 dari jam 02.05 WIB. sampai dengan
jam 02.10 WIB,
dikembalikan kepada Saksi AGUSTINUS BAYU SUBEKTI.
7.
Membebankan biaya perkara kepada masing-masing terdakwa tersebut sebanyak
Rp 2.000,00 (dua ribu rupiah).
Dalam amar putusan tersebut dapat dilihat bahwa perkara ini, yang
menyangkut tindak pidana kekerasan yang mengakibatkan kematian, keluarga
korban mengajukan permohonan restitusi. Kemudian dalam
Ratio decidendi atau pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam
mengabulkan permohonan tersebut sangat relevan. Hakim tidak hanya berfokus
pada pembuktian unsur pidana, tetapi juga secara aktif mempertimbangkan:
-
Hak korban atas pemulihan yang dijamin oleh UU Perlindungan Saksi dan
Korban;
-
Bukti-bukti kerugian yang diajukan oleh keluarga korban, yang mencakup baik
kerugian materiil (biaya pemakaman, dll.) maupun kerugian imateriil
(penderitaan akibat kehilangan anggota keluarga);
-
Filosofi pemidanaan yang tidak hanya bertujuan untuk memberikan efek jera
kepada pelaku, tetapi juga untuk memulihkan penderitaan yang dialami korban
dan keluarganya.
Putusan ini menjadi yurisprudensi penting yang menunjukkan bahwa pengadilan
memiliki peran proaktif dalam menegakkan hak restitusi sebagai bagian
integral dari penegakan hukum pidana, serta menegaskan bahwa keadilan bagi
korban adalah komponen yang tidak terpisahkan dari putusan yang adil.
Contoh Kasus Hipotetis
Untuk mengilustrasikan alur upaya hukum, bayangkan sebuah skenario:
Seorang korban tindak pidana penganiayaan berat mengajukan permohonan
restitusi sebesar 50 juta rupiah untuk biaya pengobatan dan kehilangan
penghasilan, yang perhitungannya telah divalidasi oleh LPSK. Namun, Penuntut
Umum menolak memasukkannya ke dalam dakwaan dengan alasan akan menyulitkan
pembuktian. Perkara pidana berlanjut dan terdakwa divonis bersalah dengan
putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan PERMA 1/2022, korban tidak kehilangan haknya. Ia kemudian
dapat mengajukan permohonan restitusi secara langsung ke Pengadilan
Negeri yang sama, paling lambat 90 hari setelah mengetahui putusan
tersebut inkracht.
Dalam persidangan khusus restitusi, korban (sebagai Pemohon)
hanya perlu membuktikan besaran kerugiannya dengan kuitansi rumah sakit
dan surat keterangan kehilangan penghasilan. Terpidana (sebagai Termohon) diberi kesempatan untuk menanggapi. Hakim,
setelah memeriksa bukti, dapat mengeluarkan penetapan yang mengabulkan
permohonan restitusi dan memerintahkan terpidana untuk membayar ganti rugi
tersebut. Skenario ini menunjukkan bagaimana mekanisme pasca-putusan menjadi
jalan keluar yang konkret dan efektif.
Penutup
Penolakan Penuntut Umum untuk memasukkan permohonan restitusi ke dalam
surat dakwaan atau tuntutan merupakan
sebuah tantangan nyata bagi pemenuhan hak korban dalam sistem peradilan
pidana. Meskipun PERMA 1/2022 telah menetapkan kewajiban hukum yang jelas bagi
Penuntut Umum, potensi penolakan tetap ada, sering kali berakar pada konflik
antara kewenangan diskresioner yang diatur dalam undang-undang dengan
kewajiban prosedural yang diatur dalam peraturan yang lebih rendah.
Namun,
penolakan tersebut tidak serta-merta menutup pintu keadilan bagi korban.
Sistem hukum Indonesia telah menyediakan jaring pengaman yang kuat dan
efektif.
Mekanisme pengajuan permohonan restitusi setelah putusan pengadilan
berkekuatan hukum tetap, sebagaimana diatur dalam
Pasal 11 PERMA 1/2022, adalah solusi hukum yang paling strategis dan berpihak pada korban.
Jalur ini secara efektif mem-bypass diskresi Penuntut Umum, menyederhanakan
beban pembuktian, dan menempatkan hakim sebagai penentu akhir dalam
pemenuhan hak korban. Sebagaimana adagium hukum
Lex semper dabit remedium menegaskan, “hukum selalu memberikan obat”
atau solusi. Dalam hal ini, PERMA 1/2022 adalah remedium yang
disediakan oleh sistem hukum untuk memastikan hak korban atas restitusi
tetap dapat terpenuhi.
Rekomendasi Kebijakan
Untuk memperkuat perlindungan hak korban dan meminimalisir terjadinya
kebuntuan prosedural di masa depan, beberapa langkah kebijakan perlu
dipertimbangkan:
1.
Harmonisasi Regulasi dan Prosedur:
Mendorong penyusunan Peraturan Bersama atau Nota Kesepahaman antara
Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan LPSK untuk menyamakan persepsi,
membangun protokol kerja yang terintegrasi, dan memastikan penanganan
permohonan restitusi berjalan lancar dan harmonis sejak tahap penyidikan
hingga penuntutan.
2.
Peningkatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum:
Menyelenggarakan sosialisasi dan pelatihan yang berkelanjutan bagi para
Penuntut Umum di seluruh Indonesia mengenai urgensi hak-hak korban,
paradigma keadilan restoratif, dan implementasi teknis dari PERMA 1/2022.
Hal ini bertujuan untuk membangun budaya hukum yang lebih sensitif dan
responsif terhadap kebutuhan korban.
3. Penguatan Kewenangan LPSK: Mengusulkan agar dalam revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban di masa mendatang, kewenangan LPSK diperkuat. Misalnya, dengan memberikan bobot hukum yang lebih mengikat pada hasil penilaian restitusi yang dikeluarkan oleh LPSK, sehingga tidak mudah untuk diabaikan oleh aparat penegak hukum lainnya tanpa alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.