layananhukum

Apa itu Restitusi dan Kompensasi Bagi Korban Tindak Pidana?

 

Pengantar

Sistem peradilan pidana di Indonesia, sebagaimana di banyak negara lain, secara historis lebih memusatkan perhatiannya pada pelaku kejahatan (offender-oriented). Fokus utamanya adalah pembuktian kesalahan dan penjatuhan sanksi pidana, seperti penjara atau denda, sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaku kepada negara. Namun, dalam proses yang berorientasi pada pelaku ini, posisi korban seringkali terpinggirkan. Korban kerap hanya dipandang sebagai saksi yang memberikan keterangan, sementara kerugian fisik, psikologis, dan ekonomi yang dideritanya menjadi konsekuensi sekunder yang terabaikan oleh sistem.  

Menyadari adanya “ketidakadilan sekunder” ini, terjadi sebuah pergeseran paradigma yang fundamental dalam filsafat hukum pidana, yakni menuju keadilan restoratif (restorative justice). Pendekatan ini tidak lagi memandang kejahatan semata-mata sebagai pelanggaran terhadap negara, melainkan sebagai perbuatan yang menimbulkan luka dan kerugian nyata pada korban.

Oleh karena itu, tujuan peradilan pidana diperluas, tidak hanya untuk menghukum pelaku, tetapi juga untuk memulihkan kondisi korban sedekat mungkin dengan keadaan sebelum tindak pidana terjadi, sebuah prinsip yang dikenal sebagai restitutio in integrum.


Manifestasi konkret dari paradigma keadilan restoratif ini adalah melalui instrumen hukum restitusi dan kompensasi. Keduanya hadir sebagai koreksi atas kegagalan sistem peradilan pidana konvensional yang cenderung melupakan korban setelah putusan dijatuhkan. Sejalan dengan adagium hukum fundamental ubi jus ibi remedium—yang bermakna “di mana ada hak, di sana ada pemulihannya”—pemulihan bagi korban bukanlah sebuah bentuk belas kasihan, melainkan hak hukum yang wajib dijamin dan difasilitasi oleh negara beserta aparaturnya.  

Artikel ini bertujuan untuk menyajikan sebuah panduan komprehensif yang mengupas tuntas seluk-beluk restitusi dan kompensasi dalam kerangka hukum positif Indonesia. Pembahasan akan mencakup definisi, landasan hukum, bentuk-bentuk ganti kerugian, prosedur pengajuan yang detail, peran para aktor penegak hukum, hingga analisis kritis terhadap tantangan implementasinya di lapangan.

    Konsep Fundamental Restitusi dan Kompensasi

    Memahami perbedaan esensial antara restitusi dan kompensasi adalah langkah pertama untuk dapat memanfaatkan kedua instrumen hukum ini secara efektif. Meskipun sama-sama bertujuan memberikan ganti kerugian kepada korban, sumber, subjek, dan kondisi pemberian keduanya sangatlah berbeda.

    Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut “UU PSK”) dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana (selanjutnya disebut “PERMA 1/2022”), definisi keduanya adalah sebagai berikut:

    -        Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga. Restitusi merupakan bentuk pertanggungjawaban perdata yang melekat pada perbuatan pidana pelaku. Ini adalah wujud tanggung jawab langsung dari individu yang menyebabkan kerugian kepada individu yang menderita kerugian tersebut; (vide Pasal 1 Angka 9 UU PSK jo. Pasal 1 Angka 1 PERMA 1/2022)

    -        Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku tindak pidana tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Kompensasi berfungsi sebagai jaring pengaman (safety net) yang disediakan negara untuk memastikan korban tindak pidana tertentu yang bersifat luar biasa tidak dibiarkan tanpa pemulihan; (vide Pasal 1 Angka 10 UU PSK jo. Pasal 1 Angka 2 PERMA 1/2022)

    Pembedaan tegas ini menciptakan sebuah sistem tanggung jawab berjenjang (tiered liability system). Tanggung jawab utama untuk memulihkan kerugian diletakkan di pundak pelaku, sejalan dengan prinsip keadilan bahwa siapa yang berbuat, ia yang bertanggung jawab.

    Negara baru akan mengambil alih tanggung jawab tersebut dalam kondisi-kondisi khusus yang diatur undang-undang, terutama ketika pelaku tidak teridentifikasi, meninggal dunia, atau secara finansial tidak mampu menanggung kerugian masif yang ditimbulkannya. Dengan demikian, sistem ini menyeimbangkan antara pertanggungjawaban individu dan tanggung jawab kolektif negara.  

    Subjek Tindak Pidana yang Relevan

    Lingkup penerapan restitusi dan kompensasi juga berbeda secara signifikan:

    -         Restitusi dapat diajukan oleh korban dari tindak pidana berikut:  

    1.        Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat;

    2.       Terorisme;

    3.       Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO);

    4.       Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS);

    5.       Diskriminasi ras dan etnis;

    6.       Tindak pidana terkait anak; serta

    7.        Tindak pidana lain yang ditetapkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). (vide Pasal 2 PERMA 1/2022)

    -         Kompensasi memiliki lingkup yang lebih sempit dan secara khusus ditujukan bagi korban:  

    1.        Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat;

    2.       Terorisme. (vide Pasal 16 PERMA 1/2022)

    Definisi Yuridis Para Pihak

    Untuk memahami proses pengajuan, penting untuk mengenali para pihak yang terlibat sebagaimana didefinisikan dalam hukum acara:

    -         Korban: Seseorang termasuk anak yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Definisi ini mencakup individu yang secara langsung terdampak oleh kejahatan; (vide Pasal 1 Angka 3 PERMA 1/2022)

    -         Pemohon: Pihak yang secara formal mengajukan permohonan restitusi atau kompensasi. Pemohon dapat berupa Korban itu sendiri, keluarga, ahli waris, wali, atau kuasanya. Dalam keadaan tertentu, LPSK juga dapat bertindak sebagai pemohon; (vide Pasal 1 Angka 5 PERMA 1/2022)

    -         Termohon: Pihak yang kepadanya tuntutan restitusi diajukan. Statusnya bergantung pada waktu pengajuan permohonan:

    a.       Jika permohonan diajukan selama proses persidangan (sebelum putusan berkekuatan hukum tetap), maka statusnya adalah Terdakwa.

    b.       Jika permohonan diajukan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka statusnya adalah Terpidana. (vide Pasal 1 Angka 6 PERMA 1/2022)

    Landasan dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan

    Kerangka hukum yang mengatur restitusi dan kompensasi di Indonesia telah mengalami evolusi yang signifikan. Proses ini menunjukkan adanya pembelajaran dan koreksi legislatif (legislative learning and correction), di mana peraturan yang lebih baru hadir untuk menyempurnakan dan mengatasi kelemahan dari peraturan sebelumnya.

    Perkembangan kerangka hukum ini dapat ditelusuri secara kronologis. Titik awalnya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang melalui Pasal 98 hingga Pasal 101 KUHAP telah mengatur mekanisme “penggabungan perkara ganti kerugian” dengan perkara pidana. Namun, mekanisme ini memiliki keterbatasan fundamental yaitu lingkupnya terbatas hanya pada kerugian materiil, sangat bergantung pada inisiatif korban dan “kemauan” Jaksa Penuntut Umum (JPU), serta putusan ganti rugi baru dapat dieksekusi setelah putusan pidana pokoknya berkekuatan hukum tetap. Dalam praktiknya, mekanisme ini terbukti tidak efektif dan jarang digunakan.  


    Lompatan besar terjadi dengan lahirnya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK), yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 yang kemudian disempurnakan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014. UU ini menjadi tonggak sejarah dengan secara eksplisit memperkenalkan “Restitusi” dan “Kompensasi” sebagai hak korban, bukan lagi sekadar gugatan perdata yang digabungkan.

    Lebih penting lagi, UU ini melahirkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia (LPSK RI), sebuah lembaga negara mandiri yang diberi mandat khusus untuk memperjuangkan hak-hak korban. Meskipun menjadi landasan utama, UU ini belum mengatur secara rinci hukum acara di pengadilan, sebuah kekosongan yang baru terisi di kemudian hari.  

    Untuk menjabarkan ketentuan dalam UU PSK, pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana teknis, yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Peraturan ini berfokus pada prosedur administratif di tingkat eksekutif, khususnya yang dijalankan oleh LPSK, dan memberikan detail mengenai tata cara pemberian hak-hak tersebut.  

    Meskipun UU dan PP telah ada, masih terdapat kekosongan hukum acara yang menyebabkan inkonsistensi di tingkat pengadilan. Merespons hal ini, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana. PERMA ini menjadi pedoman teknis yudisial yang sangat krusial, mengisi kekosongan hukum acara, menyeragamkan prosedur bagi hakim di seluruh Indonesia, dan memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan.  

    Selain kerangka umum di atas, beberapa tindak pidana khusus memiliki pengaturan restitusi tersendiri yang bersifat lex specialis, antara lain Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.  

    Hak Korban atas Ganti Kerugian: Bentuk dan Wujudnya

    Pengakuan hukum terhadap hak korban tidak akan bermakna tanpa penjabaran yang jelas mengenai bentuk-bentuk ganti kerugian yang dapat mereka peroleh. Landasan utama mengenai bentuk restitusi ini diatur secara komprehensif dalam Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disebut dengan “UU PSK”, serta diperinci lebih lanjut dalam Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana, yang selanjutnya disebut dengan “PERMA 1/2022”. Regulasi ini menandai pergeseran dari pemahaman sempit tentang kerugian materiil ke pengakuan holistik atas dampak kejahatan.


    Rincian Bentuk Restitusi

    Berdasarkan Pasal 4 PERMA 1/2022, korban berhak memperoleh restitusi yang mencakup:  

    1.       Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan

    Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 huruf a PERMA 1/2022, ini adalah komponen yang paling mudah diukur secara objektif. Komponen ini mencakup nilai barang yang hilang atau rusak, serta pendapatan yang terhenti sebagai akibat langsung dari tindak pidana. Contohnya, nilai kendaraan yang dicuri, biaya perbaikan properti yang dirusak, atau gaji yang tidak diterima karena korban harus menjalani perawatan dan tidak dapat bekerja;

    2.       Ganti kerugian, baik materiil maupun imateriil, yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana

    Ini adalah komponen paling progresif yang diatur dalam Pasal 4 huruf b PERMA 1/2022, yang mengakui bahwa luka akibat kejahatan tidak hanya bersifat fisik. Kerugian imateriil (pain and suffering) mencakup trauma psikologis, penderitaan emosional, rasa takut, depresi, kecemasan, kerusakan reputasi, atau kehilangan kenikmatan hidup (loss of enjoyment of life). Pengakuan ini membawa hukum pidana Indonesia selaras dengan pemahaman viktimologi modern bahwa dampak psikologis seringkali lebih berat dan berlangsung lebih lama daripada kerugian finansial.

    3.       Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis

    Diatur dalam Pasal 4 huruf c PERMA 1/2022, komponen ini memastikan bahwa korban tidak menanggung beban finansial untuk memulihkan dirinya. Ini mencakup semua biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan luka fisik (biaya rumah sakit, obat-obatan, fisioterapi) dan pemulihan kesehatan mental (sesi konseling dengan psikolog atau psikiater);

    4.       Kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat tindak pidana

    Sebagaimana ketentuan Pasal 4 huruf d PERMA 1/2022 menyediakan klausul yang bersifat fleksibel (catch-all clause) untuk menampung kerugian-kerugian lain yang timbul. Ini bisa termasuk biaya transportasi korban dan keluarga ke kantor polisi atau pengadilan, biaya pengacara untuk pendampingan hukum, biaya pemakaman jika korban meninggal dunia, atau biaya-biaya lain yang relevan dan dapat dibuktikan memiliki hubungan kausalitas langsung dengan tindak pidana yang terjadi;  

    Bentuk Kompensasi

    Bentuk kompensasi yang diberikan oleh negara pada dasarnya serupa dengan komponen-komponen restitusi di atas, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 PERMA 1/2022. Namun, terdapat kekhususan bagi korban pelanggaran HAM berat. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, kompensasi dapat diberikan dalam bentuk non-uang (in natura), seperti pemberian beasiswa pendidikan, prioritas dalam program bantuan sosial, atau penyediaan kesempatan kerja.

    Prosedur dan Mekanisme Permohonan Restitusi

    PERMA 1/2022 menyediakan dua jalur utama bagi korban untuk mengajukan permohonan restitusi. Adanya dua jalur ini merupakan desain prosedural yang sengaja dibuat untuk memaksimalkan akses korban terhadap keadilan, dengan mempertimbangkan bahwa korban mungkin berada dalam kondisi trauma atau kekurangan informasi selama proses peradilan pidana berlangsung.

    Sesuai Pasal 5 PERMA 1/2022, permohonan restitusi harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya. Permohonan tersebut setidaknya harus memuat:  

    1.        Identitas Pemohon dan/atau Korban;

    2.       Uraian singkat mengenai tindak pidana yang terjadi, yang biasanya merujuk pada Laporan Polisi dengan nomor registrasinya;

    3.      Identitas Terdakwa/Termohon;

    4.       Uraian terperinci mengenai kerugian yang diderita, sesuai dengan komponen pada Pasal 4 PERMA 1/2022;

    5.       Besaran nilai restitusi yang diminta.

    Permohonan ini wajib dilampiri dengan dokumen pendukung sebagai alat bukti, antara lain:  

    -         Fotokopi identitas Pemohon/Korban;

    -         Salinan Laporan Polisi atau Surat Tanda Terima Laporan (STTL) sebagai bukti awal bahwa tindak pidana telah dilaporkan secara resmi;

    -         Bukti kerugian materiil (misalnya, kuitansi pembelian, surat taksiran harga dari ahli);

    -         Bukti biaya perawatan medis/psikologis (misalnya, tagihan rumah sakit, resep obat, kuitansi sesi terapi);

    -         Surat kuasa khusus, jika permohonan diajukan melalui kuasa hukum;

    -         Salinan putusan pengadilan, jika permohonan diajukan setelah perkara diputus.

    Pengajuan Sebelum Putusan Berkekuatan Hukum Tetap (Penggabungan Permohonan)

    Ini adalah jalur utama yang paling dianjurkan karena efisiensinya, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 PERMA 1/2022, sebagai berikut:  

    1.        Pengajuan: Permohonan dapat diajukan oleh korban, baik secara langsung maupun melalui LPSK, penyidik, atau JPU, kepada pengadilan yang sedang memeriksa perkara pidana pokok; 

    2.       Peran JPU: Sesuai Pasal 8 ayat (3) PERMA 1/2022, JPU yang menerima permohonan tersebut wajib memuatnya ke dalam surat dakwaan dan surat tuntutan pidana. Berkas permohonan restitusi menjadi bagian tak terpisahkan dari berkas perkara pidana;

    3.      Pemeriksaan: Hakim akan memeriksa permohonan restitusi secara bersamaan dengan pembuktian perkara pidana. Terdakwa atau penasihat hukumnya diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap permohonan tersebut, sesuai Pasal 8 ayat (8) PERMA 1/2022;  

    4.       Putusan: Pasal 8 ayat (12) PERMA 1/2022 menegaskan bahwa putusan mengenai diterima atau ditolaknya permohonan restitusi, beserta besaran nilainya, akan dicantumkan secara eksplisit dalam amar putusan pidana.

    Pengajuan Setelah Putusan Berkekuatan Hukum Tetap

    Jalur ini, yang diatur dalam Pasal 11 hingga Pasal 15 PERMA 1/2022, berfungsi sebagai jaring pengaman prosedural bagi korban yang karena berbagai alasan tidak sempat mengajukan permohonan selama persidangan, antara lain:

    1.        Batas Waktu: Pasal 11 ayat (3) PERMA 1/2022 menetapkan bahwa permohonan harus diajukan paling lama 90 hari terhitung sejak Pemohon mengetahui bahwa putusan pengadilan atas perkara pidananya telah berkekuatan hukum tetap;

    2.       Proses: Permohonan diajukan sebagai perkara tersendiri. Terpidana dalam kasus pidana pokok menjadi pihak Termohon dalam perkara permohonan ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (4) PERMA 1/2022;

    3.      Pemeriksaan: Perkara ini diperiksa dan diadili oleh hakim tunggal dalam persidangan yang lebih sederhana;

    4.       Penetapan: Hasil dari pemeriksaan ini dituangkan dalam bentuk Penetapan (beschikking), bukan Putusan (vonnis). Terhadap penetapan ini hanya dapat diajukan upaya hukum banding, dan putusan banding bersifat final serta mengikat, sesuai Pasal 14 ayat (11) dan ayat (12) PERMA 1/2022.

    Prosedur Pemeriksaan dan Pencatatan Permohonan di Pengadilan

    Untuk ketertiban administrasi, Pasal 12 ayat (5) PERMA 1/2022 mengamanatkan agar setiap permohonan restitusi yang diajukan, terutama yang diajukan setelah putusan, dicatat dalam buku register khusus di kepaniteraan pengadilan. Penomoran perkaranya pun menggunakan format khusus untuk menunjukkan kaitannya dengan perkara pidana pokok. Sebagai contoh: Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 15/Res.Pid/2024/PN JKT.SEL Jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 686/Pid.Sus/2023/PN. Jkt. Sel tertanggal 15 Januari 2024.


    Format ini secara jelas mengidentifikasi bahwa penetapan restitusi tersebut merupakan tindak lanjut atau berkaitan langsung dengan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap sebelumnya.

    Mekanisme Penitipan Uang Restitusi

    Sebagaimana ketentuan Pasal 7 PERMA 1/2022 juga mengatur mekanisme penitipan uang restitusi. Apabila pelaku atau pihak ketiga beritikad baik dan hendak melakukan pembayaran restitusi selama proses pemeriksaan atau sebelum putusan dijatuhkan, uang tersebut dapat dititipkan di kepaniteraan pengadilan. Mekanisme ini memberikan beberapa manfaat:  

    -         Bagi korban, ini memberikan jaminan bahwa dana telah tersedia;

    -         Bagi terdakwa, ini dapat menjadi faktor yang meringankan hukuman karena menunjukkan adanya penyesalan dan tanggung jawab;

    -         Bagi pengadilan, ini mempermudah proses eksekusi setelah putusan dijatuhkan.

    Peran Sentral Para Aktor dalam Sistem Peradilan Pidana

    Keberhasilan implementasi restitusi sangat bergantung pada sinergi dan pemahaman peran dari setiap aktor dalam sistem peradilan pidana.

    Kewenangan Pengadilan

    Hakim memegang peranan sentral sebagai penentu akhir. Kewenangannya meliputi:  

    -         Memeriksa kelengkapan dan substansi permohonan restitusi;

    -         Menilai alat-alat bukti yang diajukan oleh Pemohon (melalui JPU) dan tanggapan dari Terdakwa;

    -         Menetapkan besaran restitusi yang dianggap adil dan layak berdasarkan fakta-fakta persidangan;

    -         Mencantumkan amar mengenai restitusi dalam putusan pidana atau menerbitkan penetapan khusus.

    Kewenangan LPSK dalam Menghitung Restitusi

    UU PSK memberikan mandat khusus kepada LPSK untuk melakukan penilaian ganti rugi. Peran ini telah memformalkan dan memprofesionalkan proses penghitungan restitusi, yang sebelumnya seringkali bersifat subjektif.  

    -         Proses Penilaian: LPSK memiliki tim penilai yang bertugas menghitung kerugian materiil dan imateriil yang diderita korban. Dalam prosesnya, LPSK dapat bekerja sama dengan para ahli, seperti dokter untuk menghitung biaya medis, akuntan untuk menghitung kehilangan penghasilan, dan psikolog untuk menilai dampak trauma dan penderitaan;

    -         Keputusan LPSK: Hasil penilaian dituangkan dalam sebuah dokumen formal bernama “Keputusan LPSK” yang memuat rincian perhitungan dan besaran nilai restitusi yang direkomendasikan. Meskipun tidak mengikat hakim secara mutlak, dokumen ini memiliki bobot pembuktian yang sangat kuat di persidangan karena disusun oleh lembaga negara yang memiliki keahlian di bidangnya.  

    Peran Kepolisian dan Kejaksaan

    Aparat penegak hukum di garda terdepan memiliki kewajiban proaktif:

    ·         Kepolisian (Penyidik): Sejak tahap penyidikan, penyidik wajib memberitahukan kepada korban mengenai haknya untuk mengajukan restitusi. Penyidik juga dapat membantu korban dalam mendokumentasikan kerugian awal dan mencantumkannya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Dalam UU TPKS, kewenangan penyidik bahkan diperluas hingga dapat melakukan penyitaan aset pelaku sebagai jaminan pembayaran restitusi di kemudian hari;

    ·         Kejaksaan (Penuntut Umum): JPU bertindak sebagai wakil korban dalam memperjuangkan hak restitusi di persidangan. Tugasnya meliputi memasukkan permohonan restitusi ke dalam surat dakwaan dan tuntutan, menghadirkan bukti-bukti untuk mendukung besaran ganti rugi, dan pada akhirnya, bertindak sebagai eksekutor putusan pengadilan yang memuat amar restitusi;

    Peran Advokat

    Advokat yang mendampingi korban memiliki peran strategis dalam memastikan seluruh proses berjalan lancar, mulai dari membantu menyusun permohonan, mengumpulkan bukti-bukti kerugian, hingga berkoordinasi secara intensif dengan LPSK dan JPU.

    Aplikasi pada Tindak Pidana Khusus dan Studi Kasus

    Mekanisme ganti kerugian bagi korban memiliki kekhususan pada beberapa tindak pidana yang dianggap luar biasa (extraordinary crimes), di mana negara mengakui adanya tanggung jawab inheren untuk memulihkan korban, terlepas dari kondisi pelaku.


    Landasan hukum utama bagi pemulihan korban pelanggaran HAM berat adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya disebut dengan “UU Pengadilan HAM”. Pasal 35 ayat (1) UU Pengadilan HAM secara tegas menyatakan bahwa:

    “Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, rehabilitasi.”

    Lebih lanjut, Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan HAM mengamanatkan agar ketiga bentuk pemulihan ini wajib dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.  

    Sebagai peraturan pelaksana, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, yang selanjutnya disebut dengan “PP 3/2002”. Peraturan ini membedakan tanggung jawab pembayaran: kompensasi menjadi tanggung jawab negara melalui instansi pemerintah terkait, sementara restitusi tetap menjadi beban pelaku. Namun, tantangan besar dalam praktiknya adalah banyaknya putusan yang membebaskan terdakwa, sehingga hak-hak korban atas pemulihan menjadi sulit untuk dieksekusi dan seringkali hanya menjadi harapan di atas kertas.  

    Terobosan signifikan dalam pemenuhan hak korban terjadi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut dengan “UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”. UU ini secara fundamental mengubah paradigma dengan menegaskan bahwa korban terorisme adalah tanggung jawab negara.  

    Yang paling krusial, kompensasi tetap dapat diberikan oleh negara dalam kondisi di mana pelaku tindak pidana terorisme tidak diketahui identitasnya atau meninggal dunia. Mekanisme ini, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, yang selanjutnya disebut dengan “PP 35/2020”, menunjukkan bahwa beban pemulihan tidak lagi semata-mata bersifat individual (pada pelaku), melainkan menjadi tanggung jawab kolektif negara. LPSK diberi kewenangan sentral untuk memproses permohonan kompensasi ini, baik yang diajukan untuk peristiwa terorisme masa lalu (tanpa putusan pengadilan) maupun peristiwa baru (berdasarkan putusan pengadilan).  

    Analisis Studi Kasus Putusan Pengadilan

    Penerapan restitusi di pengadilan menunjukkan tren yang semakin positif dan menjadi preseden penting bagi penegakan keadilan restoratif.

    -         Studi Kasus 1: Tindak Pidana Penganiayaan Berat (Putusan Mario Dandy)

    Salah satu contoh paling representatif adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 297/Pid.B/2023/PN Jkt.Sel, tertanggal 7 September 2023 yang mana kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melalui Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 245/PID/2023/PT DKI, tertanggal 19 Oktober 2023, yang telah berkekuatan hukum tetap setelah adanya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 101 K/PID/2024, tertanggal 21 Februari 2024. Dalam kasus ini, Majelis Hakim tidak hanya menjatuhkan pidana penjara selama 12 tahun kepada terdakwa, tetapi juga membebankan kewajiban membayar restitusi sebesar Rp 25.140.161.900,00 kepada anak korban. Analisis terhadap putusan ini menunjukkan beberapa poin krusial:  

    1.        Perhitungan Rinci dan Komprehensif: Hakim merinci komponen restitusi secara cermat sesuai amanat PERMA 1/2022, mencakup biaya perawatan medis (termasuk tindakan stem cell), jaminan perawatan pemulihan, jaminan penopang kebutuhan hidup, hingga kerugian lain seperti biaya sewa rumah, transportasi, dan bahkan biaya kuasa hukum;

    2.       Mekanisme Eksekusi yang Konkret: Putusan ini tidak berhenti pada penetapan nilai, tetapi juga memerintahkan agar aset terdakwa (satu unit mobil Jeep Rubicon) dijual melalui lelang, dan hasilnya digunakan untuk mengurangi sebagian pembayaran restitusi. Ini adalah contoh nyata penerapan mekanisme eksekusi paksa untuk memastikan hak korban terpenuhi.  

    -         Studi Kasus 2: Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)

    Dalam Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 246/Pid.Sus/2015/PN.Bks, tertanggal 28 Mei 2015, hakim menghukum terdakwa untuk membayar restitusi masing-masing sebesar Rp3.000.000,00 kepada tiga orang korban. Yang terpenting dari putusan ini adalah penerapan sanksi pengganti. Amar putusan secara tegas menyatakan bahwa apabila restitusi tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. Ini menunjukkan implementasi dari UU TPPO yang menyediakan mekanisme pidana pengganti sebagai alternatif terakhir untuk memastikan adanya pertanggungjawaban dari pelaku;

    -         Beberapa Contoh Putusan yang Mengabulkan Restitusi pada Kasus Kekerasan terhadap Anak

    Berikut ada beberapa dari banyak putusan lain di berbagai pengadilan, seperti

    1)      Putusan Pengadilan Negeri Bantul Nomor 33/Pid.Sus/2023/PN Btl, tertanggal 27 April 2023, yang mengabulkan restitusi sebesar Rp13.042.500,00 ;  

    2)     Putusan Pengadilan Negeri Bengkulu Nomor 12/Pid.Sus-Anak/2021/PN Bgl, tertanggal 2 Juni 2021, yang kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bengkulu melalui Putusan Nomor 7/PID.SUS-Anak/2021/PT BGL, tertanggal 1 Juli 2021, yang menetapkan restitusi sebesar Rp5.898.000,00 ; dan  

    3)     Putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor 53/Pid.Sus/2024/PN Slk, tertanggal 3 Oktober 2024, yang memberikan restitusi kepada dua anak korban. Putusan-putusan ini mengafirmasi bahwa restitusi, yang seringkali didasarkan pada penilaian ganti rugi dari LPSK, bukan lagi sekadar konsep teoretis, melainkan telah menjadi bagian integral dari praktik peradilan pidana di Indonesia.

    Tantangan Implementasi, dan Arah ke Depan

    Meskipun kerangka hukum restitusi dan kompensasi di Indonesia sudah semakin komprehensif, implementasinya di lapangan masih menghadapi sejumlah tantangan serius yang perlu diatasi.


    Tantangan Utama Implementasi

    1.        Ketidakmampuan Ekonomi Pelaku: Ini adalah hambatan paling fundamental dan paling sering terjadi. Mayoritas pelaku tindak pidana, terutama kejahatan kekerasan dan jalanan, tidak memiliki aset atau kemampuan finansial yang memadai untuk membayar restitusi yang ditetapkan pengadilan. Hal ini menciptakan "paradoks restitusi": hak atas ganti rugi diberikan, namun dalam kenyataannya tidak dapat direalisasikan, sehingga putusan restitusi hanya bersifat simbolis.  

    2.       Pidana Pengganti yang Tidak Efektif: Untuk beberapa tindak pidana seperti TPPO dan terorisme, undang-undang menyediakan sanksi pidana kurungan pengganti jika restitusi tidak dibayar. Namun, sanksi ini tidak memberikan solusi bagi korban. Pelaku menjalani tambahan masa hukuman, tetapi korban tetap tidak menerima ganti rugi finansial. Esensi pemulihan bagi korban pun hilang.  

    3.      Kesulitan Eksekusi Aset: Tugas jaksa sebagai eksekutor untuk menyita dan melelang aset terpidana guna membayar restitusi seringkali menghadapi kendala. Prosesnya bisa rumit, memakan waktu, dan tidak jarang aset yang dimiliki terpidana tidak sebanding dengan nilai restitusi yang harus dibayar.  

    4.       Koordinasi Antar-Lembaga: Meskipun peraturan telah menggariskan peran masing-masing, sinergi di lapangan antara penyidik, JPU, dan LPSK masih perlu ditingkatkan. Masih ditemukan kasus di mana korban tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai haknya sejak awal proses hukum.  

    Prospek dan Arah Pembaharuan ke Depan

    Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut dan memastikan hak korban benar-benar terpenuhi, beberapa langkah pembaharuan perlu dipertimbangkan:

    -         Pembentukan Dana Kompensasi Korban (Victim Compensation Fund)

    Pemerintah dapat membentuk dana khusus yang bersumber dari APBN, denda tilang, hasil lelang aset kejahatan, atau sumber lainnya. Dana ini dapat berfungsi untuk menalangi pembayaran restitusi kepada korban jika pelaku terbukti tidak mampu membayar. Selanjutnya, negara dapat melakukan penagihan (subrogasi) kepada pelaku;

    -         Integrasi Restitusi dengan Hak Narapidana

    Menjadikan pelunasan pembayaran restitusi sebagai salah satu syarat wajib bagi narapidana untuk dapat memperoleh hak-hak seperti pembebasan bersyarat, asimilasi, atau remisi. Mekanisme ini akan menciptakan insentif yang kuat bagi terpidana dan keluarganya untuk memenuhi kewajiban restitusi;

    -         Peningkatan Kapasitas dan Sosialisasi

    Melakukan pelatihan dan sosialisasi secara berkelanjutan kepada seluruh aparat penegak hukum mengenai urgensi dan kewajiban mereka dalam memfasilitasi hak-hak korban, sehingga paradigma keadilan restoratif terinternalisasi dalam budaya kerja mereka.

    Meneguhkan Keadilan Bagi Korban

    Perjalanan sistem hukum Indonesia dalam mengakui dan memfasilitasi hak korban atas pemulihan telah menempuh jalan yang panjang dan progresif. Dari mekanisme ganti kerugian yang terbatas dalam KUHAP, kini Indonesia memiliki kerangka kerja yang jauh lebih komprehensif melalui UU Perlindungan Saksi dan Korban, peraturan pelaksananya, serta pedoman teknis dari Mahkamah Agung. Kehadiran LPSK sebagai lembaga negara yang berfokus pada penilaian ganti rugi dan pendampingan korban juga menjadi pilar utama dalam sistem ini.

    Penting untuk ditegaskan kembali bahwa restitusi dan kompensasi bukanlah sekadar transaksi finansial. Keduanya adalah instrumen yuridis yang memiliki makna mendalam: sebuah pengakuan atas penderitaan korban, pemulihan martabat yang terenggut, dan sarana untuk membantu korban membangun kembali kehidupannya yang telah porak-poranda akibat tindak pidana.

    Perjuangan untuk mewujudkan keadilan yang berorientasi pada korban masih terus berlanjut. Tantangan implementasi, terutama terkait kemampuan ekonomi pelaku, menuntut inovasi dan komitmen berkelanjutan dari negara. Namun, arah yang telah ditempuh sudah benar. Upaya menegakkan keadilan bagi korban adalah sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar, karena sebagaimana adagium hukum yang abadi mengingatkan kita: Fiat Justitia Ruat Caelum—"Hendaklah keadilan ditegakkan, sekalipun langit akan runtuh". Pada akhirnya, keadilan yang dirasakan oleh korban adalah pilar yang menopang langit peradaban hukum itu sendiri.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.