Pertanyaan
Selamat sore, Bang Eka.
Saya seorang buruh yang telah bekerja selama belasan tahun di salah satu
toko sepeda di Kota Pontianak. Saya pernah mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI), hingga kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung. Permohonan saya dikabulkan, dan saya dinyatakan menang. Dalam putusan
tersebut, pengusaha diwajibkan membayar pesangon kepada saya.
Namun, hingga saat ini pengusaha belum membayar pesangon tersebut. Proses
eksekusi di pengadilan juga telah dilakukan, bahkan sudah ada perintah
eksekusi. Kendalanya, ketika eksekusi dilakukan, aset milik pengusaha,
seperti unit sepeda, sudah dikosongkan. Saya juga tidak mengetahui
keberadaan BPKB kendaraan milik pengusaha tersebut.
Menurut Bang Eka, apa solusi yang bisa saya tempuh dalam kondisi seperti
ini?
Terima kasih.
Jawaban
Pengantar
Bagi seorang pekerja yang telah menempuh jalan panjang dan melelahkan di
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), amar putusan yang menyatakan
kemenangannya seharusnya menjadi puncak perjuangan dalam mencari keadilan.
Namun, ironisnya, kemenangan itu kerap hanya tertulis di atas kertas—menjadi
sebuah “paper victory” yaitu
kemenangan yang sah secara hukum, tetapi gagal memberikan manfaat nyata
karena tidak terlaksana.
Realitas pahit ini menempatkan para pencari keadilan pada sebuah paradoks
yaitu
memenangkan perkara, tetapi tidak memperoleh hak yang diperjuangkan.
Putusan pengadilan, yang semestinya menjadi mahkota keadilan, justru menjadi
sesuatu yang tak terjangkau.
Esensi proses peradilan tidak berhenti pada pembacaan putusan
(adjudikasi), melainkan terletak pada realisasi hak melalui
pelaksanaan (eksekusi) putusan tersebut. Tanpa eksekusi yang efektif,
putusan kehilangan makna, kewibawaan institusi peradilan terkikis, dan—yang
terpenting—kepastian hukum serta rasa keadilan bagi masyarakat berubah
menjadi ilusi.
Adagium hukum kuno Fiat justitia et pereat mundus—“hendaklah keadilan ditegakkan walaupun dunia harus binasa”—menggarisbawahi betapa fundamentalnya pelaksanaan putusan sebagai pilar
negara hukum, terlepas dari segala rintangan yang menghadang.
Artikel ini akan mengurai secara mendalam akar permasalahan
non-eksekutabilitas putusan PHI, menganalisis kegagalan sistemik yang
melatari fenomena ini, serta secara kritis menawarkan berbagai solusi dan
legal breakthrough untuk memastikan bahwa keadilan bagi pekerja tidak
berhenti di pintu ruang sidang, tetapi benar-benar terwujud secara
nyata.
Memahami Fondasi Eksekusi dalam Sistem Hukum Perdata Indonesia
Untuk memahami kebuntuan eksekusi putusan PHI, pertama-tama kita harus
menelaah fondasi hukum acara yang menjadi landasannya, yaitu
hukum eksekusi dalam ranah perdata.
Secara terminologis, eksekusi adalah tindakan menjalankan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)
secara paksa dengan bantuan kekuatan hukum atau kekuatan umum (aparat
negara). Tindakan paksa ini menjadi pilihan hukum ketika pihak yang kalah
dalam perkara (termohon eksekusi) tidak bersedia melaksanakan isi
putusan secara sukarela.
Pada hakikatnya,
eksekusi merupakan realisasi dari kewajiban pihak yang kalah untuk
memenuhi prestasi yang tercantum dalam amar putusan.
Kehadiran mekanisme ini secara inheren mengasumsikan adanya keengganan
dari pihak yang dikalahkan untuk patuh. Dengan demikian,
tujuan utama eksekusi adalah untuk memberikan kepastian hukum dan
mewujudkan hak-hak pihak yang menang (pemohon eksekusi) yang telah
ditetapkan oleh pengadilan, sehingga putusan tersebut tidak menjadi
sia-sia dan kewibawaan lembaga peradilan tetap terjaga.
Pelaksanaan putusan dalam hukum acara perdata di Indonesia berpegang pada
beberapa asas fundamental yang menjadi syarat mutlak, antara lain:
1.
Asas Putusan Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht van Gewijsde)
Prinsip utamanya adalah hanya putusan yang sudah final dan tidak dapat
diajukan upaya hukum biasa lagi (banding atau kasasi) yang dapat dieksekusi.
Asas ini menjamin bahwa hubungan hukum antara para pihak telah bersifat
tetap dan mengikat (res judicata), sehingga kepastian hukum tercapai
sebelum tindakan paksa dilakukan. Terdapat beberapa pengecualian terhadap
asas ini, seperti pada putusan serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad), putusan provisi, dan akta perdamaian yang dibuat di muka pengadilan;
2.
Asas Putusan Bersifat Menghukum (Condemnatoir)
Tidak semua putusan dapat dieksekusi. Hanya putusan yang amarnya mengandung
penghukuman atau perintah kepada salah satu pihak untuk melakukan sesuatu
(misalnya, membayar sejumlah uang, menyerahkan barang, mengosongkan tanah)
yang memiliki kekuatan eksekutorial. Putusan yang sifatnya hanya menyatakan
suatu keadaan hukum (deklaratoir) atau menciptakan suatu keadaan
hukum baru (konstitutif) pada dasarnya tidak memerlukan eksekusi
paksa;
3.
Asas Pelaksanaan di Bawah Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri
Kewenangan untuk memerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi secara
ex officio (karena jabatan) berada pada Ketua Pengadilan Negeri yang
memeriksa dan memutus perkara tersebut pada tingkat pertama. Kewenangan ini
tidak berada pada pengadilan tingkat banding atau Mahkamah Agung. Perintah
eksekusi ini dituangkan dalam bentuk surat penetapan yang ditujukan kepada
Panitera atau Jurusita untuk dilaksanakan.
Jenis dan Mekanisme Eksekusi Berdasarkan HIR/RBg
Hukum acara perdata warisan kolonial, yaitu
Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura serta
Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) untuk luar Jawa dan
Madura, masih menjadi pedoman utama dalam tata cara eksekusi. Berdasarkan
ketentuan-ketentuan ini, dikenal beberapa jenis eksekusi:
-
Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 196 sampai dengan
Pasal 200 HIR atau Pasal 208 sampai dengan
Pasal 218 RBg. Jika termohon eksekusi tidak membayar sejumlah uang yang diperintahkan,
maka eksekusi dijalankan dengan melakukan penyitaan (executorial beslag) terhadap aset-aset miliknya, yang kemudian dijual melalui lelang umum.
Hasil lelang digunakan untuk melunasi kewajiban kepada pemohon eksekusi;
-
Eksekusi untuk Melakukan Suatu Perbuatan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 225 HIR atau
Pasal 259 RBg. Apabila termohon eksekusi menolak melakukan suatu perbuatan tertentu
(misalnya, memperbaiki barang yang rusak), pemohon eksekusi dapat meminta
Ketua Pengadilan untuk menilai perbuatan tersebut dengan sejumlah uang. Jika
termohon tetap menolak, eksekusi akan dijalankan seperti eksekusi pembayaran
sejumlah uang;
-
Eksekusi Riil, mekanisme ini tidak diatur secara eksplisit dalam HIR/RBg, namun
berkembang dalam praktik peradilan dengan merujuk pada
Pasal 1033 Reglement op de Rechtsvordering (Rv). Eksekusi ini mencakup tindakan nyata seperti pengosongan sebidang tanah
atau bangunan, pembongkaran, atau penyerahan barang secara langsung kepada
pemohon eksekusi.
Prosedur standar eksekusi dimulai dengan pengajuan permohonan dari pihak
yang menang kepada Ketua Pengadilan Negeri. Berdasarkan permohonan tersebut,
Ketua Pengadilan akan memanggil pihak yang kalah untuk diberi teguran
(aanmaning) agar melaksanakan putusan secara sukarela, lazimnya dalam
tenggang waktu delapan hari, sebagaimana diatur dalam
Pasal 196 HIR atau Pasal 207 RBg. Apabila teguran ini tidak diindahkan atau pihak yang kalah tidak hadir
tanpa alasan yang sah, Ketua Pengadilan Negeri berwenang secara
ex officio (karena jabatannya) untuk mengeluarkan penetapan perintah
sita eksekusi (executorial beslag) berdasarkan
Pasal 197 ayat (1) HIR atau
Pasal 208 ayat (1) RBg. Penetapan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi Panitera atau Jurusita
untuk melaksanakan penyitaan secara paksa.
Namun, fondasi hukum ini sendiri menyimpan masalah fundamental.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang selanjutnya disebut dengan “UU PPHI”, melalui Pasal 57 UU PPHI, secara langsung merujuk pada hukum acara perdata umum yang didominasi
oleh HIR/RBg. Ini menciptakan sebuah ketidaksesuaian (mismatch) yang
signifikan. HIR/RBg adalah
produk hukum kolonial yang dirancang untuk masyarakat agraris dengan
sengketa yang relatif sederhana
dan
aset yang mayoritas bersifat fisik dan mudah diidentifikasi, seperti
tanah atau hewan ternak. Sebaliknya,
sengketa hubungan industrial modern melibatkan subjek hukum korporasi
dengan struktur kepemilikan yang kompleks, aset finansial yang likuid,
aset tidak berwujud, dan kemampuan untuk mengalihkan kekayaan lintas
yurisdiksi dengan cepat. Dengan demikian, “jembatan” hukum yang dibangun oleh
Pasal 57 UU PPHI pada
dasarnya mengarahkan penyelesaian sengketa modern ke sebuah sistem yang
kuno dan tidak lagi memadai. Kegagalan eksekusi putusan PHI, oleh karena itu, bukan hanya masalah
implementasi, tetapi juga berakar pada desain legislatif yang kurang
visioner.
Problematika Kronis dan Realitas Pahit Eksekusi Putusan PHI
Meskipun fondasi hukum eksekusi telah ada, pelaksanaannya dalam konteks
sengketa hubungan industrial menghadapi serangkaian masalah kronis yang
bersifat multidimensional, mulai dari celah regulasi hingga kendala faktual
di lapangan.
Sumber utama dari berbagai permasalahan eksekusi putusan PHI adalah
Pasal 57 UU PPHI itu sendiri. Pasal ini menyatakan bahwa
hukum acara yang berlaku pada PHI adalah
hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, “kecuali diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”. Masalahnya, UU PPHI hampir tidak menyediakan pengaturan khusus sama
sekali mengenai tata cara eksekusi. Hal ini menciptakan kekosongan norma
(rechtsvacuum) yang memaksa hakim dan para pihak untuk kembali
sepenuhnya pada kerangka HIR/RBg.
Konsekuensinya sangat merugikan. Prosedur eksekusi sengketa industrial yang
memiliki karakteristik khusus—terutama
ketidakseimbangan posisi tawar yang ekstrem antara pekerja yang baru
kehilangan pekerjaan dan pengusaha yang masih memiliki sumber daya—disamakan dengan sengketa perdata biasa. Ketiadaan aturan khusus
ini mengabaikan kebutuhan akan mekanisme yang lebih sederhana, proaktif, dan
berpihak pada posisi pekerja yang rentan.
Identifikasi Kendala Multidimensional
Di lapangan, kebuntuan eksekusi termanifestasi dalam berbagai bentuk
kendala yang saling terkait. Pasal 58 UU PPHI memberikan angin
segar bagi pekerja dengan menyatakan bahwa
semua biaya yang timbul dalam proses beracara di PHI, termasuk biaya
eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp150.000.000,00, (seratus lima
puluh juta rupiah)
ditanggung oleh negara.
Namun, amanat mulia ini sering kali menjadi janji kosong. Dalam
praktiknya,
banyak Pengadilan Negeri tidak memiliki alokasi anggaran yang spesifik
dan memadai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk
menalangi biaya operasional eksekusi, seperti biaya perjalanan jurusita,
pengamanan dari aparat kepolisian, atau biaya saksi.
Akibatnya, permohonan eksekusi dari pekerja, meskipun secara hukum gratis,
menjadi mandek tanpa batas waktu karena ketiadaan dana operasional di
pengadilan. Ini adalah sebuah paradoks tragis yaitu
eksekusi gratis secara normatif, tetapi mustahil secara faktual.
Salah satu hambatan terbesar adalah beban pembuktian aset. Dalam
hukum acara perdata,
pihak pemohon eksekusi (pekerja) diwajibkan untuk secara aktif
menunjuk
dan
mengidentifikasi aset-aset milik termohon eksekusi (pengusaha) yang
hendak disita. Tidak ada mekanisme yang memaksa pengusaha untuk membuka data
asetnya.
Beban ini menjadi hampir mustahil untuk dipenuhi oleh pekerja. Dengan posisi yang lemah, sumber daya finansial yang terbatas, dan
ketiadaan akses informasi pasca-PHK, pekerja dihadapkan pada tugas berat
untuk melacak aset perusahaan yang mungkin sengaja disembunyikan atau
dialihkan. Mereka juga kesulitan mendapatkan dokumen formal kepemilikan aset
seperti sertifikat tanah atau BPKB kendaraan, yang menjadi syarat
administrasi untuk pelaksanaan sita.
Apabila pekerja tidak mampu menunjuk aset yang jelas dan bebas sengketa,
Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk mengeluarkan penetapan bahwa
eksekusi tidak dapat dilaksanakan (non-executable). Pada titik inilah
perjuangan hukum pekerja berakhir dengan kegagalan total, dan putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap menjadi tidak bernilai.
Belum lagi, sikap tidak kooperatif dari pihak pengusaha menjadi faktor
signifikan yang melumpuhkan proses eksekusi. Banyak pengusaha yang dengan
sengaja mengabaikan panggilan teguran (aanmaning) dari pengadilan,
menunjukkan itikad buruk dan penolakan terang-terangan untuk mematuhi
putusan. Lebih jauh, tidak jarang pengusaha melakukan tindakan strategis
untuk mengamankan asetnya, seperti menjual atau
menghibahkannya kepada pihak terafiliasi setelah putusan dijatuhkan
tetapi sebelum sita eksekusi sempat dilakukan.
Selain itu, pengusaha juga dapat memanfaatkan celah hukum melalui mekanisme
perlawanan pihak ketiga (derden verzet). Mekanisme ini memungkinkan
pihak ketiga yang merasa haknya dirugikan atas penyitaan untuk mengajukan
perlawanan. Meskipun menurut Pasal 207 ayat (3) HIR perlawanan
pada prinsipnya tidak menangguhkan eksekusi, dalam praktiknya banyak Ketua
Pengadilan yang memilih untuk menunda pelaksanaan eksekusi guna menghindari
potensi kesalahan atau sengketa baru, yang pada akhirnya semakin
memperpanjang penderitaan pekerja.
Studi Kasus – Putusan Mahkamah Agung Nomor 178 K/Pdt.Sus-PHI/2015: Cermin Kegagalan Sistemik
Sebuah kasus yang secara gamblang merefleksikan akumulasi dari berbagai
kendala ini adalah sengketa yang diputus oleh Mahkamah Agung dengan Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 178 K/Pdt.Sus-PHI/2015. Kasus ini
melibatkan dua orang pekerja dari PT Anom Hasil Bumi Raya di Padang yang
telah memenangkan hak atas pembayaran pesangon hingga tingkat kasasi.
Meskipun putusan telah berkekuatan hukum tetap sejak 30 Maret 2015, proses
eksekusinya menemui jalan buntu. Perusahaan secara konsisten menolak untuk
melaksanakan putusan dengan berbagai dalih, termasuk mengklaim bahwa gugatan
awal salah alamat. Menghadapi penolakan ini, Pengadilan Negeri Padang justru
bersikap pasif dan melimpahkan kembali beban kepada para pekerja untuk
mencari dan menunjukkan aset-aset perusahaan yang dapat disita. Tentu saja,
sebagai mantan pekerja yang tidak lagi memiliki akses ke dalam perusahaan,
tugas ini menjadi mustahil untuk dilaksanakan.
Kasus ini menjadi cerminan sempurna dari kegagalan sistemik yaitu itikad
buruk pengusaha yang tidak dapat disentuh sanksi, sikap pasif pengadilan
yang terbelenggu oleh prosedur formalistik, dan beban pembuktian yang tidak
adil yang diletakkan di pundak pihak yang lemah. Akibatnya, putusan Mahkamah
Agung yang agung “katanya itu” sekalipun menjadi tidak berarti di hadapan
realitas eksekusi yang lumpuh.
Kegagalan yang berulang dalam mengeksekusi putusan PHI pada akhirnya
menciptakan sebuah siklus impunitas bagi pengusaha. Mereka belajar bahwa
konsekuensi dari mengabaikan putusan pengadilan seringkali minimal atau
bahkan tidak ada. Ketika seorang pengusaha berhasil menghindari kewajibannya
tanpa sanksi yang berarti, hal ini menjadi preseden buruk bagi pengusaha
lain, yang kemudian melihat bahwa putusan PHI tidak perlu ditakuti.
Bagi pekerja dan serikat pekerja, PHI mulai dipandang sebagai lembaga yang
tidak efektif, yang hanya mampu memberikan kemenangan formal tanpa keadilan
substantif. Ini adalah erosi kepercayaan yang sistemik. Jika lembaga yang
didesain khusus untuk menyelesaikan sengketa industrial terbukti impoten
pada tahap paling krusial, maka tujuan pembentukannya—menyediakan
penyelesaian yang cepat, adil, dan murah—telah gagal total.
Jalan Keluar dan Terobosan Hukum (Legal Breakthrough)
Menghadapi kebuntuan yang sistemik, diperlukan solusi yang tidak hanya
bersifat prosedural, tetapi juga terobosan hukum yang progresif. Beberapa
instrumen hukum, baik yang konvensional maupun yang lintas-rezim, dapat
dioptimalkan untuk mendobrak kebuntuan eksekusi.
Paradigma bahwa hakim dalam perkara perdata harus sepenuhnya pasif perlu
dikoreksi.
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman
yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Kekuasaan Kehakiman” secara tegas mengamanatkan pengadilan untuk “membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan
biaya ringan”. Amanat ini dapat ditafsirkan sebagai landasan yuridis bagi
Ketua Pengadilan Negeri untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam fase
eksekusi.
Bentuk peran aktif ini dapat berupa tindakan konkret, misalnya,
mengeluarkan penetapan yang memerintahkan lembaga-lembaga terkait seperti
Badan Pertanahan Nasional (BPN), Samsat, atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
untuk memberikan informasi mengenai aset yang terdaftar atas nama termohon
eksekusi. Langkah ini akan secara signifikan meringankan beban pekerja dalam
menelusuri aset dan merupakan sebuah terobosan dari praktik peradilan yang
selama ini cenderung pasif menunggu petunjuk dari pemohon.
Menggunakan Uang Paksa (Dwangsom) sebagai Instrumen Penekan: Potensi dan Keterbatasan
Dwangsom
atau uang paksa adalah hukuman tambahan yang dijatuhkan pengadilan, berupa
kewajiban bagi pihak yang kalah untuk membayar sejumlah uang tertentu untuk
setiap hari keterlambatan dalam melaksanakan putusan pokok. Tujuannya adalah
untuk memberikan tekanan psikologis agar pihak yang kalah segera mematuhi
putusan.
Namun, dalam konteks eksekusi putusan PHI yang mayoritas amarnya adalah
pembayaran pesangon (sejumlah uang), dwangsom bukanlah solusi yang
efektif. Yurisprudensi Mahkamah Agung secara konsisten menyatakan bahwa
dwangsom tidak dapat dijatuhkan dalam putusan yang amar utamanya
adalah menghukum pembayaran sejumlah uang. Alasannya, mekanisme eksekusi
pembayaran uang (sita lelang) sudah dianggap sebagai upaya paksa yang
memadai. Oleh karena itu, upaya menuntut dwangsom dalam kasus
pesangon kemungkinan besar akan ditolak oleh hakim.
Ketika instrumen hukum acara perdata konvensional terbukti tumpul, para
pencari keadilan perlu melirik instrumen dari rezim hukum lain yang dapat
memberikan daya paksa lebih besar.
Sanksi Pidana: Mengubah Paradigma dari Wanprestasi menjadi Kejahatan
Terobosan paling signifikan datang dari
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
sebagaimana diubah oleh
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Pasal 185 ayat (1) jo.
Pasal 156 ayat (1) dalam klaster ketenagakerjaan secara tegas
mengkategorikan tindakan pengusaha yang tidak membayar uang pesangon sebagai
tindak pidana kejahatan.
Mekanisme ini mengubah lanskap penyelesaian sengketa secara fundamental.
Pekerja yang putusan PHI-nya tidak dieksekusi dapat membuat Laporan Polisi
terhadap direksi atau pemilik perusahaan. Langkah ini memiliki beberapa
keunggulan strategis:
1.
Memindahkan Beban Penyelidikan
Beban untuk mencari bukti dan menelusuri aset tidak lagi berada di pundak
pekerja, melainkan menjadi tugas dan wewenang aparat penegak hukum
(kepolisian dan kejaksaan) dalam proses penyidikan;
2.
Meningkatkan Daya Paksa (Leverage)
Ancaman sanksi pidana berupa penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama
4 tahun dan/atau denda hingga Rp400.000.000,00 menjadi daya tekan yang jauh
lebih kuat daripada sekadar sita eksekusi perdata. Pengusaha yang rasional
akan cenderung memilih membayar pesangon daripada menghadapi risiko proses
pidana, penyitaan aset pidana, dan potensi kehilangan kebebasan.
Gugatan Actio Pauliana: Membatalkan Pengalihan Aset yang Curang
Ketika pengusaha dengan itikad buruk telah mengalihkan asetnya untuk
menghindari eksekusi, pekerja dapat menempuh jalur gugatan
Actio Pauliana. Gugatan ini didasarkan pada
Pasal 1341 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan
diatur lebih spesifik dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan PKPU. Actio Pauliana memberikan hak kepada kreditur (dalam hal ini
pekerja yang hak pesangonnya belum dibayar) untuk meminta pembatalan atas
segala perbuatan hukum tidak wajib yang dilakukan oleh debitur (pengusaha)
yang merugikan kreditur, asalkan dapat dibuktikan bahwa debitur dan pihak
ketiga mengetahui perbuatan tersebut akan merugikan kreditur.
Misalnya, jika setelah putusan PHI dijatuhkan, seorang direktur
menghibahkan aset perusahaan kepada anggota keluarganya, pekerja dapat
menggugat untuk membatalkan hibah tersebut agar aset itu kembali menjadi
milik perusahaan dan dapat dieksekusi.
Namun, perlu diakui bahwa jalur ini sangat kompleks, memakan waktu dan
biaya, serta memiliki beban pembuktian yang berat, terutama dalam
membuktikan unsur “mengetahui” atau itikad buruk dari pengusaha dan pihak
ketiga penerima aset.
Piercing the Corporate Veil: Menuntut Tanggung Jawab Pribadi Direksi
Sebagai upaya hukum pamungkas, terutama ketika perusahaan sengaja
dikosongkan asetnya, pekerja dapat mencoba mendobrak benteng
pertanggungjawaban terbatas melalui doktrin
piercing the corporate veil (penembusan selubung perseroan). Doktrin
ini merupakan pengecualian dari prinsip dasar bahwa perseroan terbatas (PT)
adalah subjek hukum terpisah dari para pemegang saham dan direksinya.
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut dengan “UUPT” membuka kemungkinan bagi pemegang saham untuk bertanggung jawab secara
pribadi hingga harta pribadinya jika, antara lain,
ia dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi
atau terlibat dalam perbuatan melawan hukum. Demikian pula, Pasal 104 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa
direksi dapat bertanggung jawab secara tanggung renteng atas utang perseroan
jika kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaiannya. Dengan
mendalilkan bahwa pengosongan aset perusahaan untuk menghindari pembayaran
pesangon adalah bentuk perbuatan melawan hukum atau pengelolaan yang tidak
beritikad baik, pekerja dapat mengajukan gugatan baru yang menargetkan harta
pribadi direksi atau pemegang saham pengendali.
Solusi-solusi yang ditawarkan ini sebaiknya tidak dipandang sebagai pilihan
yang terpisah, melainkan sebagai sebuah spektrum atau tangga eskalasi
strategis. Perjuangan pekerja dapat dimulai dari jalur eksekusi perdata
konvensional. Jika jalur ini buntu karena itikad buruk pengusaha, eskalasi
dapat dilakukan dengan membuat laporan pidana untuk menciptakan tekanan
maksimal. Apabila aset telah dialihkan secara curang, gugatan
Actio Pauliana dapat ditempuh untuk memulihkan
boedel eksekusi. Dan sebagai langkah terakhir, jika entitas
perusahaan itu sendiri digunakan sebagai tameng untuk perbuatan melawan
hukum, doktrin piercing the corporate veil dapat menjadi senjata
pamungkas untuk menuntut pertanggungjawaban personal. Keberhasilan menembus
kebuntuan eksekusi bergantung pada kemampuan strategis untuk memilih dan
mengombinasikan berbagai instrumen hukum ini secara cerdas dan
berjenjang.
Rekomendasi dan Arah Reformasi Hukum
Mengatasi masalah noneksekutabilitas putusan PHI yang telah mengakar
memerlukan intervensi dari berbagai lini, mulai dari reformasi kebijakan
struktural hingga perubahan strategi praktis di tingkat pencari
keadilan.
Untuk Legislatif (DPR dan Pemerintah)
Mendesak dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
untuk menambahkan bab khusus yang mengatur secara rinci tentang “Tata Cara
Eksekusi Putusan Hubungan Industrial”. Pengaturan ini harus mencakup:
-
Prosedur eksekusi yang disederhanakan dan berpihak pada posisi pekerja;
-
Pemberian kewenangan eksplisit kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk
memerintahkan lembaga perbankan, BPN, dan instansi terkait lainnya untuk
membuka data aset termohon eksekusi atas permohonan pemohon atau atas
inisiatif pengadilan;
-
Penerapan sanksi administratif yang tegas (misalnya, pembekuan izin usaha)
bagi pengusaha yang tidak mematuhi putusan yang telah inkracht;
dan
-
Mekanisme pencairan anggaran yang jelas, cepat, dan akuntabel untuk
mendanai biaya eksekusi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 58.
Untuk Yudikatif (Mahkamah Agung)
Sambil menunggu revisi undang-undang, Mahkamah Agung dapat mengambil
langkah proaktif dengan menerbitkan regulasi internal sebagai pedoman teknis
bagi pengadilan di bawahnya. PERMA atau SEMA ini hendaknya mengatur:
-
Kewajiban bagi Ketua Pengadilan Negeri untuk bersikap lebih aktif dalam
memimpin dan mengatasi kendala eksekusi, tidak hanya menunggu inisiatif
pemohon;
-
Panduan penafsiran yang luas terhadap kewenangan hakim untuk membantu
proses penelusuran aset demi tegaknya keadilan; dan
-
Standar operasional prosedur (SOP) yang baku bagi pengadilan dalam
menangani permohonan eksekusi yang terkendala masalah anggaran, agar tidak
dibiarkan mandek tanpa kepastian.
Bagi Pekerja dan Serikat Pekerja
-
Mengajukan permohonan eksekusi secara kolektif dapat meningkatkan tekanan
politik dan hukum terhadap pengusaha. Peran serikat pekerja sangat krusial
dalam mengorganisir, menyediakan pendampingan, dan membiayai bantuan hukum
bagi anggotanya selama proses eksekusi; dan
-
Pekerja dan serikat pekerja tidak perlu ragu untuk menggunakan jalur
laporan pidana berdasarkan UU Cipta Kerja sebagai strategi eskalasi yang
efektif ketika jalur perdata terbukti tidak membuahkan hasil.
Bagi Advokat dan Pemberi Bantuan Hukum
-
Para praktisi hukum yang mendampingi pekerja didorong untuk tidak hanya
terpaku pada prosedur eksekusi konvensional. Gugatan-gugatan yang didasarkan
pada doktrin Actio Pauliana dan
piercing the corporate veil harus lebih sering dieksplorasi dan
diajukan ke pengadilan untuk menciptakan yurisprudensi baru yang berpihak
pada pekerja, apabila memungkinkan dan strategis;
-
Secara aktif terlibat dalam advokasi untuk mendorong reformasi legislatif
dan yudisial melalui asosiasi profesi, lembaga bantuan hukum, dan organisasi
masyarakat sipil lainnya;
Menuju Eksekusi yang Berkeadilan
Problematika putusan PHI yang tidak dapat dieksekusi bukanlah sekadar isu
teknis prosedural, melainkan sebuah persoalan sistemik yang mengancam
supremasi hukum, keadilan sosial, dan kewibawaan negara. Kemenangan hukum
yang tidak dapat dinikmati oleh pihak yang berhak adalah bentuk pengingkaran
keadilan yang paling nyata.
Solusi atas kebuntuan ini tidak bersifat tunggal. Diperlukan sebuah
pendekatan holistik yang mengombinasikan reformasi legislasi yang
komprehensif, keberanian yudisial untuk melakukan terobosan hukum, serta
strategi litigasi yang cerdas dan progresif dari para pencari keadilan dan
pendampingnya. Pada akhirnya, putusan pengadilan yang dapat dieksekusi
secara efektif adalah wujud nyata kehadiran negara dalam melindungi hak-hak
fundamental warganya, terutama mereka yang berada dalam posisi paling
rentan.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.