layananhukum

Begini Ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja serta Menghitung Pesangon yang Baik dan Benar

 

Pertanyaan

Selamat pagi bang Eka, perkenalkan saya Budi Santoso, kepala keluarga dengan dua anak yang masih bersekolah. Selama 10 tahun terakhir, saya telah mengabdikan dirinya sebagai kepala gudang di PT LKJ, sebuah perusahaan distribusi barang konsumsi yang cukup besar di Kalimantan Barat. Selama bekerja, saya dikenal sebagai karyawan yang loyal dan berdedikasi. Upah terakhir yang saya terima, yang terdiri dari gaji pokok dan tunjangan tetap, adalah sebesar Rp 5.000.000 per bulan. Pada awal Agustus 2025, saya bersama beberapa rekan kerjanya dipanggil oleh manajemen. Dalam pertemuan singkat tersebut, pihak perusahaan menyampaikan keputusan berat yaitu akan dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sejumlah karyawan, termasuk saya, yang akan efektif per akhir bulan Agustus ini. Alasan yang disampaikan oleh perusahaan adalah “efisiensi strategis untuk mencegah potensi kerugian di masa depan” seiring dengan melambatnya laju ekonomi regional dan rencana perusahaan untuk berinvestasi pada sistem otomasi gudang. Beberapa satu minggu yang lalu, saya menerima surat PHK resmi beserta rincian kompensasi yang ditawarkan oleh perusahaan. Perusahaan menawarkan perhitungan pesangon sebesar 0,5 (setengah) kali ketentuan, dengan argumen bahwa langkah efisiensi ini diambil karena kondisi keuangan perusahaan yang sedang tidak baik. Saya merasa bingung dan janggal. Saya merasa perusahaan tidak sedang merugi, bahkan baru saja membuka rute distribusi baru. Saya juga mendengar dari berbagai sumber bahwa pasca-UU Cipta Kerja, aturan pesangon telah banyak berubah, namun saya tidak memahami detailnya. Saya kini dihadapkan pada situasi sulit. Saya kehilangan pekerjaan yang telah menopang hidup keluarganya selama satu dekade, dan kini saya ragu apakah hak-haknya akan dipenuhi secara adil sesuai hukum yang berlaku. Dari kasus yang saya alami ini memunculkan serangkaian pertanyaan hukum yang fundamental dan krusial, yang tidak hanya relevan bagi saya, tetapi juga bagi jutaan pekerja dan pengusaha di seluruh Indonesia yang menghadapi dinamika serupa. Pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1.        Apa sebenarnya makna yuridis dari “efisiensi strategis untuk mencegah kerugian” yang dijadikan alasan oleh PT LKJ ini bang Eka? Apakah alasan tersebut sah menurut kerangka hukum pasca-UU Cipta Kerja, dan apa beda fundamentalnya dengan PHK karena perusahaan yang sudah terbukti merugi?;

2.       Apa saja komponen hak yang seharusnya diterima oleh saya? Apa perbedaan esensial antara Uang Pesangon (UP), Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), dan Uang Penggantian Hak (UPH)?;

3.      Bagaimana bang seharusnya perhitungan kompensasi PHK untuk saya dilakukan secara akurat berdasarkan masa kerja dan alasan PHK yang spesifik? Apakah penawaran 0,5 kali ketentuan dari perusahaan sudah tepat, atau seharusnya saya menerima perhitungan yang berbeda?;

4.       Apabila saya meyakini bahwa hak saya tidak dipenuhi sesuai ketentuan, langkah-langkah hukum apa yang dapat saya tempuh? Apakah saya harus langsung menggugat ke pengadilan, atau ada prosedur lain yang harus dilalui terlebih dahulu?

5.       Apabila PT LKJ terbukti lalai atau sengaja tidak membayarkan pesangon sesuai dengan peraturan perundang-undangan, adakah sanksi hukum yang dapat menjerat perusahaan?

Demikian bang Eka pertanyaan saya kurang dan lebihnya, mohon maaf

Jawaban

    Pengantar

    Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan sebuah momen krusial dan tak terhindarkan dalam dinamika hubungan industrial. Peristiwa ini sarat akan implikasi hukum, sosial, dan ekonomi yang signifikan, baik bagi pengusaha maupun pekerja/buruh. PHK bukanlah sekadar sebuah tindakan administratif untuk mengakhiri hubungan kerja, melainkan sebuah proses hukum formal yang harus tunduk pada asas keadilan prosedural (procedural justice) dan keadilan substantif (substantive justice).

    Kegagalan dalam memahami dan melaksanakan prosedur PHK sesuai dengan koridor hukum yang berlaku dapat berujung pada perselisihan hubungan industrial yang berkepanjangan, merugikan reputasi perusahaan, dan yang terpenting, mencederai hak-hak fundamental pekerja/buruh.

    Dalam ketentuan peraturan tentang ketenagakerjaan di Indonesia telah mengalami transformasi fundamental dalam beberapa tahun terakhir. Era Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Ketenagakerjaan”, yang dikenal sangat protektif terhadap pekerja, kini telah bergeser. Perubahan ini diinisiasi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang substansinya kini dilanjutkan oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Cipta Kerja”.


    Pergeseran peraturan perundang-undangan ini menandai adanya perubahan paradigma dalam filosofi hukum perburuhan nasional. Apabila UU tentang Ketenagakerjaan sebelumnya menekankan aspek perlindungan maksimal bagi pekerja yang seringkali dianggap menciptakan rigiditas pasar tenaga kerja, UU tentang Cipta Kerja beserta peraturan pelaksananya lebih berorientasi pada penciptaan fleksibilitas pasar kerja (labor market flexibility).

    Tujuan utamanya adalah untuk mendorong peningkatan ekosistem investasi dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Konsekuensinya, terjadi rasionalisasi dan penyesuaian terhadap berbagai ketentuan PHK dan formula kompensasinya. Perubahan ini bukanlah sekadar amandemen teknis, melainkan sebuah realokasi risiko ekonomi dari pengusaha kepada pekerja dalam peristiwa PHK, yang mencerminkan arah kebijakan ekonomi makro pemerintah yang lebih luas.  

    Oleh karena itu, artikel ini disusun sebagai panduan hukum yang otoritatif dan komprehensif. Tujuannya adalah untuk mengurai secara sistematis dan mendalam mengenai ketentuan-ketentuan PHK dan mekanisme perhitungan kompensasinya berdasarkan kerangka hukum terkini. Dengan pemahaman yang jernih dan akurat, diharapkan dapat terwujud kepastian hukum (legal certainty) bagi pengusaha dalam mengambil keputusan bisnis serta jaminan perlindungan hukum (legal protection) yang efektif bagi pekerja/buruh dalam menghadapi pengakhiran hubungan kerja.

    Definisi Yuridis dan Ruang Lingkup Perselisihan Hubungan Industrial

    Untuk memahami konteks sengketa PHK dan pesangon, esensial untuk terlebih dahulu membedah definisi yuridis dari Perselisihan Hubungan Industrial. Kerangka hukum utama yang mengatur hal ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang selanjutnya disebut dengan “UU PPHI”.

    Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 1 UU PPHI, Perselisihan Hubungan Industrial didefinisikan sebagai:

    “...perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.”  

    Definisi ini menggarisbawahi bahwa inti dari perselisihan adalah adanya “perbedaan pendapat” yang bereskalasi menjadi “pertentangan”. UU PPHI kemudian mengklasifikasikan pertentangan ini ke dalam 4 (empat) jenis perselisihan yang berbeda, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU PPHI, antara lain:  

    1.        Perselisihan Hak yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya suatu hak, yang diakibatkan oleh adanya perbedaan dalam pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Contoh konkret dari perselisihan hak adalah sengketa mengenai pembayaran upah lembur yang tidak sesuai ketentuan, atau tidak dibayarkannya tunjangan yang telah diatur dalam perjanjian kerja. Sengketa mengenai pesangon yang tidak dibayar atau salah hitung secara inheren termasuk dalam kategori ini;

    2.       Perselisihan Kepentingan yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Contohnya adalah ketika serikat pekerja menuntut kenaikan tunjangan kesehatan atau penyesuaian jam kerja dalam perundingan perjanjian kerja bersama, namun tidak mencapai kesepakatan dengan pengusaha;

    3.      Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Perselisihan ini dapat mencakup dua aspek utama: (a) perselisihan mengenai sah atau tidaknya alasan PHK itu sendiri, dan (b) perselisihan mengenai besaran kompensasi yang harus dibayarkan sebagai akibat dari PHK tersebut;

    4.       Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh yaitu perselisihan yang terjadi antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lainnya hanya dalam satu perusahaan yang sama, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.  

    Dengan demikian, sengketa mengenai hak atas pesangon secara spesifik dapat dikategorikan sebagai perselisihan hak (karena menyangkut hak normatif pekerja yang tidak dipenuhi) dan/atau perselisihan PHK (karena merupakan konsekuensi langsung dari pengakhiran hubungan kerja). Pemahaman atas klasifikasi ini menjadi krusial karena akan menentukan mekanisme penyelesaian yang harus ditempuh sesuai dengan alur yang diatur dalam UU PPHI.

    Hak-Hak Fundamental Pekerja/Buruh Akibat PHK: Membedah Komponen Kompensasi

    Kerangka hukum ketenagakerjaan Indonesia secara tegas menetapkan bahwa setiap PHK yang sah secara hukum melahirkan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi finansial kepada pekerja/buruh. Kewajiban ini merupakan bentuk jaring pengaman ekonomi bagi pekerja yang kehilangan sumber penghasilannya. Pasal 81 Angka 47 UU RI Nomor 6 Tahun 2023 yang mengubah Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan secara imperatif:

    “Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”  


    Ketentuan ini mengintroduksi tiga komponen utama kompensasi PHK yang memiliki definisi, fungsi, dan dasar perhitungan yang berbeda. Memahami perbedaan fundamental di antara ketiganya adalah kunci untuk memastikan hak pekerja terpenuhi secara benar dan utuh.

    (1)      Uang Pesangon (UP)

    -         Uang Pesangon adalah pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja/buruh sebagai kompensasi utama atas hilangnya pekerjaan dan sumber pendapatan. UP berfungsi sebagai bantalan ekonomi bagi pekerja selama masa transisi mencari pekerjaan baru;

    -         Besarannya dihitung secara eksklusif berdasarkan masa kerja pekerja/buruh di perusahaan tersebut. Semakin lama masa kerja, semakin besar pula uang pesangon yang berhak diterima. Ini merefleksikan pengakuan atas kontribusi dan senioritas pekerja selama hubungan kerja berlangsung.  

    (2)     Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK)

    -         Uang Penghargaan Masa Kerja adalah uang jasa yang diberikan sebagai bentuk penghargaan dari pengusaha atas loyalitas dan pengabdian pekerja/buruh yang telah mengabdi dalam jangka waktu yang cukup lama. Berbeda dengan UP yang merupakan kompensasi atas hilangnya pekerjaan, UPMK lebih bersifat apresiasi atas kesetiaan;

    -         Sama seperti UP, besarannya juga dihitung berdasarkan masa kerja. Namun, hak atas UPMK baru timbul setelah pekerja/buruh memiliki masa kerja minimal 3 (tiga) tahun.  

    (3)    Uang Penggantian Hak (UPH)

    -         Uang Penggantian Hak adalah kompensasi finansial yang diberikan kepada pekerja/buruh sebagai pengganti atas hak-hak tertentu yang belum sempat diambil atau dinikmati selama masa kerja aktif. Fungsinya adalah untuk memastikan tidak ada hak pekerja yang hangus akibat terjadinya PHK;

    -         UPH mencakup hak-hak yang bersifat konkret dan dapat diuangkan, seperti sisa cuti tahunan yang belum diambil atau biaya transportasi pulang ke tempat asal pekerja direkrut.

    Perlu dicatat, pasca-berlakunya UU Cipta Kerja, terjadi sebuah perubahan signifikan terkait komponen UPH. Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan, terdapat komponen “penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan” yang ditetapkan sebesar 15% dari total UP dan UPMK. Komponen ini secara efektif dihapus oleh UU tentang Cipta Kerja dan tidak lagi tercantum dalam peraturan pelaksananya, yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, yang selanjutnya disebut dengan “PP Nomor 35 Tahun 2021”.


    Penghapusan komponen yang bernilai signifikan ini mengindikasikan adanya pergeseran tanggung jawab sosial pasca-kerja. Beban yang sebelumnya ditanggung secara langsung oleh perusahaan melalui komponen 15% tersebut, kini dialihkan sebagian kepada negara melalui skema baru Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Ini menandai transisi dari model kompensasi berbasis liabilitas perusahaan (enterprise-level liability) menuju model jaring pengaman berbasis jaminan sosial nasional (social security).

    Aturan dan Mekanisme Perhitungan Kompensasi PHK Berdasarkan UU Cipta Kerja

    Perhitungan kompensasi PHK tidak dapat dilakukan secara arbitrer, melainkan harus tunduk pada formula yang telah ditetapkan secara rigid oleh peraturan perundang-undangan. Rujukan utama untuk mekanisme perhitungan ini adalah Bab V PP Nomor 35 Tahun 2021, yang merupakan peraturan pelaksana dari klaster ketenagakerjaan dalam UU RI Nomor 6 Tahun 2023.

    Aturan dan Syarat Mendapatkan Pesangon bagi Karyawan yang Di-PHK

    Secara prinsip, setiap pekerja/buruh yang mengalami PHK berhak atas kompensasi, kecuali untuk beberapa alasan spesifik yang diatur dalam undang-undang, seperti mengundurkan diri secara sukarela (yang berhak atas UPH dan Uang Pisah) atau melakukan pelanggaran berat yang bersifat mendesak. Besaran kompensasi yang diterima—terutama faktor pengali untuk UP dan UPMK—sangat bergantung pada alasan yang mendasari terjadinya PHK.


    Cara Hitung Pesangon, Penghargaan Masa Kerja, dan Pergantian Hak Berdasarkan UU Cipta Kerja

    Formula standar untuk perhitungan Uang Pesangon (UP) diatur secara rinci dalam Pasal 40 ayat (2) PP Nomor 35 Tahun 2021, yang menetapkan besaran hak secara berjenjang berdasarkan masa kerja. Ketentuannya adalah sebagai berikut:

    -        masa kerja kurang dari 1 tahun berhak atas 1 bulan upah;

    -        masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun berhak atas 2 bulan upah;

    -        masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun berhak atas 3 bulan upah;

    -        masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun berhak atas 4 bulan upah;

    -        masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun berhak atas 5 bulan upah;

    -        masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun berhak atas 6 bulan upah;

    -        masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun berhak atas 7 bulan upah;

    -        masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun berhak atas 8 bulan upah; dan

    -        untuk masa kerja 8 tahun atau lebih, pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 9 bulan upah.  

    Selain Uang Pesangon, pekerja/buruh juga berhak atas Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), yang perhitungannya didasarkan pada Pasal 40 ayat (3) PP Nomor 35 Tahun 2021. Hak ini diberikan sebagai apresiasi atas loyalitas pekerja/buruh dengan masa kerja minimal 3 tahun. Perhitungan besarannya adalah:

    -        masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun berhak atas 2 bulan upah;

    -        masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun berhak atas 3 bulan upah;

    -        masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun berhak atas 4 bulan upah;

    -        masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun berhak atas 5 bulan upah;

    -        masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun berhak atas 6 bulan upah;

    -        masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun berhak atas 7 bulan upah;

    -        masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun berhak atas 8 bulan upah; dan

    -        untuk masa kerja 24 tahun atau lebih, pekerja/buruh berhak atas UPMK sebesar 10 bulan upah.  

    Komponen terakhir adalah Uang Penggantian Hak (UPH), yang diatur dalam Pasal 40 ayat (4) PP Nomor 35 Tahun 2021. UPH ini mencakup :  

    a.       Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

    b.      Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja; dan

    c.       Hal-hal lain yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

    Penting untuk dicatat bahwa komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan Uang Pesangon dan Uang Penghargaan Masa Kerja adalah upah pokok ditambah dengan tunjangan tetap yang diterima oleh pekerja/buruh.  

    Perhitungan Kompensasi untuk Alasan PHK Spesifik

    Besaran kompensasi PHK yang diterima pekerja/buruh tidak selalu mengikuti formula standar 1x (satu kali) ketentuan. PP Nomor 35 Tahun 2021 mengatur berbagai faktor pengali (misalnya, 0,5x, 1x, 1,75x, atau 2x) yang bergantung pada alasan spesifik terjadinya PHK. Berikut adalah analisis mendalam untuk dua alasan PHK yang paling sering menjadi sumber perselisihan.


    Cara Hitung Uang Pesangon PHK karena Efisiensi

    PHK dengan alasan efisiensi merupakan salah satu area yang paling signifikan perubahannya pasca-UU Cipta Kerja dan seringkali menjadi subjek sengketa yang kompleks. Pasal 43 PP Nomor 35 Tahun 2021 membedakan dua skenario efisiensi dengan konsekuensi kompensasi yang berbeda :  

    1.        Efisiensi karena Perusahaan Mengalami Kerugian (vide Pasal 43 ayat (1)), apabila perusahaan melakukan PHK untuk efisiensi yang disebabkan karena perusahaan telah mengalami kerugian, maka hak kompensasi yang diterima pekerja/buruh adalah:

    -         Uang Pesangon: 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan pada perhitungan standar;

    -         Uang Penghargaan Masa Kerja: 1 (satu) kali ketentuan pada perhitungan standar;

    -         Uang Penggantian Hak.

    2.       Efisiensi untuk Mencegah Kerugian (Efisiensi Strategis) (vide Pasal 43 ayat (2)) Apabila perusahaan melakukan PHK untuk efisiensi dengan tujuan mencegah terjadinya kerugian di masa mendatang (bersifat strategis), maka hak kompensasi yang diterima pekerja/buruh adalah:

    -       Uang Pesangon: 1 (satu) kali ketentuan pada perhitungan standar;

    -       Uang Penghargaan Masa Kerja: 1 (satu) kali ketentuan pada perhitungan standar;

    -       Uang Penggantian Hak.

    Ketentuan ini secara efektif menggantikan (mensuperse) interpretasi yudisial sebelumnya yang berasal dari Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 19/PUU-IX/2011, tertanggal 21 Juni 2012. Putusan tersebut menafsirkan bahwa PHK dengan alasan efisiensi berdasarkan UU tentang Ketenagakerjaan hanya sah apabila perusahaan tutup secara permanen. UU Cipta Kerja dan PP Nomor 35 Tahun 2021 kini secara eksplisit mengizinkan PHK efisiensi tanpa keharusan perusahaan tutup.


    Meskipun demikian, norma baru ini melahirkan ambiguitas hukum, terutama pada skenario efisiensi strategis. Frasa “untuk mencegah terjadinya kerugian” tidak memiliki parameter kuantitatif yang jelas dalam peraturan, sehingga sangat rentan terhadap penafsiran subjektif. Hal ini membuka ruang sengketa yang luas mengenai pembuktian yaitu apakah proyeksi keuangan internal sudah cukup? Apakah harus ada bukti penurunan laba selama beberapa kuartal? Ketidakpastian ini pada akhirnya akan diisi oleh yurisprudensi dari Pengadilan Hubungan Industrial.

    Sebagai contoh konkret, dalam Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 53/Pdt.Sus-PHI/2022/PN Pbr, tertanggal 28 November 2022, majelis hakim mengadili sengketa PHK dengan alasan efisiensi. Dalam amar putusannya, hakim menyatakan:

    “Menyatakan sah pemutusan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat dengan alasan efisiensi untuk mencegah kerugian;... Menghukum Tergugat membayar hak-hak Penggugat dengan rincian: a. Pesangon = 1 x 9 x Rp3.050.000,00 = Rp27.450.000,00 b. Uang penghargaan masa kerja = 1 x 7 x Rp3.050.000,00 = Rp21.350.000,00...”  

    Putusan ini menjadi salah satu preseden awal bagaimana pengadilan menerapkan norma baru mengenai PHK efisiensi strategis dan menghitung kompensasinya sesuai dengan formula 1x UP dan 1x UPMK.

    Coba mari kita simulasikan, contoh Perhitungan (Efisiensi untuk Mencegah Kerugian), sebagaimana perkara/kasus pak Budi, sebaagai seorang pekerja dengan masa kerja 10 tahun dan upah (pokok + tunjangan tetap) Rp 5.000.000 di-PHK karena efisiensi strategis. Sisa cuti yang belum diambil adalah 5 hari.

    -        UP = 1×(9×Rp 5.000.000)=Rp 45.000.000,-;

    -        UPMK = 1×(4×Rp 5.000.000)=Rp 20.000.000,-;

    -        UPH (Cuti) = (5/25)×Rp 5.000.000=Rp 1.000.000,-

    Total Kompensasi = Rp 45.000.000 + Rp 20.000.000 + Rp 1.000.000 = Rp 66.000.000,- (enam puluh enam juta rupiah)

    Perhitungan Pesangon PHK karena Sakit Berkepanjangan

    Ketentuan mengenai PHK akibat pekerja/buruh mengalami sakit yang berkepanjangan diatur secara khusus dalam Pasal 55 PP Nomor 35 Tahun 2021.  

    -        Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan terbukti berdasarkan surat keterangan dokter tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan. PHK ini juga dapat diajukan atas permohonan pekerja/buruh itu sendiri;

    -        Untuk alasan ini, pekerja/buruh berhak atas kompensasi yang lebih tinggi, yaitu:

    1.        Uang Pesangon: 2 (dua) kali ketentuan pada perhitungan standar;

    2.       Uang Penghargaan Masa Kerja: 1 (satu) kali ketentuan pada perhitungan standar;

    3.       Uang Penggantian Hak.  

    Meskipun formula kompensasinya jelas, titik kritis sengketa dalam kasus ini seringkali terletak pada aspek pembuktian. Beban pembuktian kondisi “tidak dapat melakukan pekerjaannya” dan telah “melampaui batas 12 bulanharus didukung oleh bukti medis yang valid dan konklusif dari dokter yang berwenang.


    Yurisprudensi telah menegaskan prinsip ini. Salah satu putusan yang relevan adalah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 911 K/Pdt.Sus/2009, tertanggal 25 November 2009. Dalam perkara tersebut, Mahkamah Agung menyatakan hubungan kerja putus karena pekerja terbukti mengalami sakit berkepanjangan dan menghukum pengusaha untuk membayar pesangon sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat itu (vide Pasal 172 UU Ketenagakerjaan, yang substansinya serupa dengan Pasal 55 PP Nomor 35 Tahun 2021). Putusan-putusan lain juga secara konsisten menekankan bahwa PHK dengan alasan ini sah selama syarat pembuktian medis terpenuhi.

    Contoh Perhitungan (Sakit Berkepanjangan), seorang pekerja dengan masa kerja 5 tahun 6 bulan dan upah Rp 5.000.000 di-PHK setelah 13 bulan tidak dapat bekerja karena sakit yang didukung surat keterangan dokter.

    -        UP = 2×(6×Rp 5.000.000)=Rp 60.000.000,-;

    -        UPMK = 1×(2×Rp 5.000.000)=Rp 10.000.000,-;

    -        UPH = (diasumsikan tidak ada sisa cuti atau biaya lain) = Rp 0

    Total Kompensasi = Rp 60.000.000 + Rp 10.000.000 = Rp 70.000.000

    Rincian Kompensasi PHK Berdasarkan Alasan Lainnya

    Untuk memberikan gambaran yang lebih utuh, PP Nomor 35 Tahun 2021 mengatur secara spesifik besaran kompensasi yang bervariasi tergantung pada alasan yang mendasari PHK.

    1)       Apabila terjadi penggabungan atau peleburan perusahaan dan pekerja menolak melanjutkan hubungan kerja, sesuai Pasal 41 PP Nomor 35 Tahun 2021, ia berhak atas 1x UP, 1x UPMK, dan UPH;

    2)      Untuk PHK karena efisiensi, perhitungannya dibedakan yaitu berdasarkan Pasal 43 ayat (1) PP Nomor 35 Tahun 2021, efisiensi karena perusahaan merugi memberikan hak 0,5x UP, 1x UPMK, dan UPH, sedangkan efisiensi untuk mencegah kerugian sesuai Pasal 43 ayat (2) PP Nomor 35 Tahun 2021 memberikan hak 1x UP, 1x UPMK, dan UPH;

    3)      Jika perusahaan tutup karena rugi atau force majeure (vide Pasal 44 PP Nomor 35 Tahun 2021 ) atau dinyatakan pailit (vide Pasal 47 PP Nomor 35 Tahun 2021), kompensasinya adalah 0,5x UP, 1x UPMK, dan UPH;

    4)      Bagi pekerja yang di-PHK setelah menerima SP3 karena pelanggaran, sesuai Pasal 52 ayat (1) PP Nomor 35 Tahun 2021, haknya adalah 0,5x UP, 1x UPMK, dan UPH;

    5)      Kompensasi yang lebih tinggi diberikan untuk kondisi khusus. PHK karena sakit berkepanjangan melebihi 12 bulan, sesuai Pasal 55 PP Nomor 35 Tahun 2021, memberikan hak 2x UP, 1x UPMK, dan UPH.

    6)      Pekerja yang memasuki usia pensiun, berdasarkan Pasal 56 PP Nomor 35 Tahun 2021, berhak atas 1,75x UP, 1x UPMK, dan UPH.

    7)       Apabila pekerja meninggal dunia, ahli warisnya berhak atas kompensasi tertinggi, yaitu 2x UP, 1x UPMK, dan UPH, sebagaimana diatur dalam Pasal 57 PP Nomor 35 Tahun 2021.

    8)      Terakhir, bagi pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela sesuai prosedur dalam Pasal 50 PP Nomor 35 Tahun 2021, ia tidak berhak atas UP dan UPMK, namun berhak menerima UPH dan Uang Pisah.  

    Langkah Hukum Jika Pesangon Tidak Sesuai Ketentuan

    Ketika pengusaha gagal memenuhi kewajibannya untuk membayar kompensasi PHK sesuai ketentuan, pekerja/buruh memiliki hak untuk menempuh jalur hukum. UU PPHI mengatur mekanisme penyelesaian sengketa secara berjenjang, dengan mengedepankan prinsip musyawarah untuk mufakat sebagai langkah awal.


     

    Perundingan Bipartit Ini adalah tahap pertama dan wajib. Perundingan bipartit adalah perundingan langsung antara pekerja/buruh (dapat didampingi oleh serikat pekerja) dengan pihak pengusaha untuk mencari solusi atas perselisihan. Prosedur teknisnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.31/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit. Para pihak wajib beritikad baik dan setiap perundingan harus dituangkan dalam sebuah risalah. Proses ini harus diselesaikan dalam waktu paling lama 30 hari kerja.

    Apabila perundingan bipartit tidak mencapai kesepakatan (gagal), salah satu atau kedua belah pihak dapat mencatatkan perselisihannya ke Dinas Ketenagakerjaan setempat. Setelah dicatatkan, proses akan dilanjutkan ke tahap mediasi. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang ditengahi oleh seorang mediator netral dari pemerintah. Mediator akan memfasilitasi perundingan dan jika tetap tidak tercapai kesepakatan, mediator akan mengeluarkan “Anjuran Tertulis” yang berisi pendapat hukum dan saran penyelesaian. Anjuran ini tidak mengikat, namun para pihak harus memberikan jawaban (menerima atau menolak) secara tertulis.


    Jika salah satu atau kedua belah pihak menolak anjuran mediator, maka pihak yang berkepentingan dapat melanjutkan sengketa dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). PHI adalah pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum yang berwenang memeriksa dan memutus perselisihan hubungan industrial. Penting untuk dicatat bahwa melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi yang membuktikan bahwa upaya mediasi telah gagal adalah syarat formil yang wajib dipenuhi agar gugatan dapat diterima oleh PHI.  

    Sanksi Pidana: Konsekuensi Hukum bagi Pelaku Usaha yang Tidak Membayar Pesangon

    Untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi pekerja/buruh, peraturan perundang-undangan tidak hanya menyediakan jalur penyelesaian perdata, tetapi juga ancaman sanksi pidana bagi pengusaha yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban pembayaran kompensasi PHK.

    Dasar hukum utama untuk sanksi pidana ini adalah Pasal 81 Angka 69 UU RI Nomor 6 Tahun 2023 yang mengubah Pasal 185 UU tentang Ketenagakerjaan. Pasal 185 ayat (1) UU tentang Ketenagakerjaan secara eksplisit menyatakan:

    “Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam... Pasal 156 ayat (1),... dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).”  

    Ketentuan ini secara tegas mengkriminalisasi perbuatan tidak membayar pesangon, karena secara langsung merujuk pada pelanggaran Pasal 156 ayat (1) UU tentang Ketenagakerjaan yang merupakan pasal tentang kewajiban membayar UP, UPMK, dan UPH.


    Lebih lanjut, Pasal 185 ayat (2) UU tentang Ketenagakerjaan menegaskan kualifikasi dari tindak pidana tersebut:

    “Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.”  

    Klasifikasi sebagai “tindak pidana kejahatan” memiliki implikasi hukum yang serius. Ini menunjukkan bahwa negara memandang pelanggaran hak pesangon bukan sebagai pelanggaran administratif atau perdata biasa, melainkan sebagai perbuatan yang serius dan patut diberi sanksi pidana yang berat. Adanya ancaman pidana ini berfungsi sebagai ultimum remedium atau upaya hukum pamungkas. Hal ini merupakan respons legislatif terhadap fakta bahwa eksekusi putusan perdata dari PHI seringkali menghadapi kendala dan tidak efektif di lapangan, sehingga pekerja yang telah memenangkan gugatan pun masih kesulitan untuk memperoleh haknya. Dengan adanya ancaman pidana, pekerja/buruh memiliki instrumen penegakan hukum tambahan, yaitu melalui laporan kepolisian, yang diharapkan dapat memberikan efek jera (deterrent effect) yang lebih kuat bagi pengusaha untuk mematuhi kewajibannya.  

    Meneguhkan Keadilan dan Kepastian Hukum dalam Hubungan Industrial

    Peraturan perundang-undangan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja dan perhitungan pesangon di Indonesia telah berevolusi secara signifikan. Perubahan paradigma dari proteksionisme maksimal menuju fleksibilitas pasar kerja yang diusung oleh UU RI Nomor Tahun 2023 telah merumuskan ulang berbagai ketentuan esensial, menciptakan formula kompensasi yang lebih terdiferensiasi berdasarkan alasan PHK.

    Refleksi mendalam menunjukkan bahwa meskipun peraturan telah berupaya memberikan kepastian, beberapa area seperti PHK dengan alasan efisiensi strategis masih menyisakan ruang ambiguitas yang menuntut pembuktian ketat dan pada akhirnya akan diperjelas melalui yurisprudensi. Di sisi lain, hak-hak pekerja dalam skenario seperti sakit berkepanjangan tetap mendapatkan perlindungan yang kuat dengan kompensasi yang lebih tinggi.


    Penting bagi kedua belah pihak, baik pengusaha maupun pekerja/buruh, untuk memahami tidak hanya hak dan kewajiban substantif terkait besaran kompensasi, tetapi juga prosedur penyelesaian sengketa yang berjenjang, mulai dari perundingan bipartit hingga litigasi di Pengadilan Hubungan Industrial. Kehadiran sanksi pidana yang tegas sebagai benteng terakhir perlindungan hak pekerja menegaskan keseriusan negara dalam menjamin pemenuhan hak-hak normatif. Pada akhirnya, pemahaman yang akurat, kepatuhan terhadap regulasi, dan itikad baik dari semua pihak adalah fondasi utama untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan di Indonesia.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.