layananhukum

Mengenal Lebih Jauh Apa itu Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH)

 

Pertanyaan

Selamat pagi, pak. Boleh pak dibahas terkait izin usaha di kawasan hutan yang disebut PBPH. Bisa tolong jelaskan secara lengkap dan mudah dipahami apa itu PBPH, apa bedanya dengan izin-izin sebelumnya, dan bagaimana aturan mainnya sekarang dari A sampai Z?

Jawaban

Pengantar

Dasar filosofis pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, termasuk hutan, berakar kuat pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut dengan “UUD NRI 1945, yang menyatakan:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Amanat konstitusional ini menempatkan negara sebagai pemegang kuasa (bukan pemilik) atas sumber daya alam dengan tujuan utama untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Konsep “dikuasai oleh negara” ini kemudian ditafsirkan sebagai kewenangan negara untuk mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi pemanfaatan sumber daya alam.

Filosofi ini dielaborasi lebih lanjut dalam konsiderans (bagian menimbang) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang selanjutnya disebut dengan UU tentang Kehutanan”).

Dalam konsideransnya, UU tentang Kehutanan menegaskan bahwa hutan adalah “karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya.

Tulisan ini secara inheren mengandung sebuah tegangan fundamental yang membentuk seluruh dinamika kebijakan dan perizinan kehutanan di Indonesia. Di satu sisi, terdapat mandat konstitusional yang kuat untuk pemanfaatan ekonomi demi kemakmuran rakyat, sebuah tujuan yang bersifat utilitarian. Di sisi lain, kerangka hukum yang sama juga menyematkan prinsip-prinsip keadilan, partisipasi publik, dan kelestarian ekologis.

Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut “UU tentang Cipta Kerja”), yang kemudian dikonsolidasikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023, secara eksplisit menambahkan dan mengangkat tujuan baru, yaitu “peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha” serta “kemudahan berusaha”.

Pengenalan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) sebagai instrumen utama untuk mencapai tujuan kemudahan berusaha ini menandai sebuah pergeseran ideologis yang signifikan. PBPH tidak hanya merupakan perubahan teknis-administratif, tetapi juga representasi dari upaya penyeimbangan kembali—atau bahkan pergeseran prioritas—antara tujuan ekonomi-investasi dengan tujuan sosial-ekologis yang telah lama tertanam dalam filosofi kehutanan nasional.

Untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan tersebut, Pasal 2 UU tentang Kehutanan menetapkan bahwa penyelenggaraan kehutanan harus berlandaskan pada serangkaian asas, yaitu:

1.          Manfaat dan Lestari

Menjamin bahwa pengelolaan hutan memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan ekologis secara seimbang dan berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang;

2.         Kerakyatan

Memberikan akses dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka;

3.        Keadilan

Menjamin pembagian manfaat dari sumber daya hutan secara adil dan merata;

4.         Kebersamaan

Mendorong kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha;

5.         Keterbukaan

Menjamin akses informasi dan transparansi dalam setiap proses penyelenggaraan kehutanan;

6.        Keterpaduan

Mengintegrasikan pengelolaan hutan dengan sektor pembangunan lainnya secara harmonis.  

Asas-asas ini menjadi pedoman dalam mencapai tujuan penyelenggaraan kehutanan yang diatur dalam Pasal 3 UU tentang Kehutanan, yang meliputi:

a.         Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;

b.        Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang dan lestari;

c.         Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai (DAS);

d.        Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan.  

Sejarah perizinan pemanfaatan hutan di Indonesia merefleksikan evolusi paradigma dalam memandang dan mengelola hutan. Era awal yang didominasi oleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) cenderung berfokus pada eksploitasi kayu skala besar sebagai pendorong utama pembangunan ekonomi. Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan degradasi lingkungan dan isu sosial, paradigma bergeser menuju model yang lebih terstruktur di bawah UU Kehutanan 1999 dengan berbagai jenis Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUPH) yang lebih tersegmentasi, seperti Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK). Model ini, meskipun lebih rinci, dianggap masih terlalu birokratis dan terfragmentasi.  

Puncaknya, melalui UU tentang Cipta Kerja, pemerintah memperkenalkan PBPH sebagai sebuah terobosan yang bertujuan menyederhanakan dan mengintegrasikan seluruh skema perizinan ke dalam satu payung hukum. Pergeseran ini menandai transisi dari model perizinan yang tersegmentasi dan sektoral menuju model yang berorientasi pada efisiensi, optimalisasi lahan, dan kemudahan investasi, dengan konsep “multiusaha” sebagai landasan operasionalnya.

Artikel ini akan mengupas secara mendalam seluruh aspek yuridis dari PBPH, mulai dari sejarah transformasinya, kerangka hukum yang mengaturnya, hingga implikasinya di lapangan.

Sejarah dan Transformasi Perizinan Pemanfaatan Hutan di Indonesia

Sejarah modern pemanfaatan hutan komersial di Indonesia dimulai secara masif pada era Orde Baru. Didorong oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), serta landasan hukum sektoral melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, pemerintah memperkenalkan instrumen Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

HPH menjadi tulang punggung ekonomi nasional yang berbasis pada eksploitasi kayu gelondongan (log) dari hutan alam. Pada masanya, HPH diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar untuk menebang kayu dengan sistem silvikultur seperti Tebang Pilih Indonesia (TPI) yang kemudian disempurnakan menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Meskipun berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi, model HPH ini sering dikritik karena menyebabkan deforestasi yang luas dan memicu konflik sosial dengan masyarakat lokal yang hak-haknya terabaikan.  

Baca Juga: Berikut Jenis-Jenis dan Kualifikasi Hutan yang Wajib Kamu Ketahui

Rezim Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUPH) berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999

Sebagai respons terhadap kritik dan dinamika baru dalam pengelolaan hutan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memperkenalkan rezim perizinan yang lebih kompleks dan terfragmentasi. Istilah HPH secara formal digantikan oleh berbagai jenis Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUPH) yang dibedakan berdasarkan fungsi kawasan hutan (Hutan Lindung dan Hutan Produksi) serta jenis kegiatan pemanfaatannya. Sebelum berlakunya UU tentang Cipta Kerja, skema perizinan ini meliputi:  

1)          Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK), yang diberikan untuk memanfaatkan kawasan pada hutan lindung dan hutan produksi, misalnya untuk budidaya tanaman obat atau tanaman hias (vide Pasal 26 ayat (2) dan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; serta Pasal 1 Angka 11 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan);

2)         Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL), yang diberikan untuk memanfaatkan jasa lingkungan seperti ekowisata, perdagangan karbon, atau pemanfaatan air (vide Pasal 26 ayat (2) dan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; serta Pasal 1 Angka 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan);

3)         Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), ini adalah izin yang paling signifikan secara ekonomi dan merupakan kelanjutan dari HPH (vide Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; serta Pasal 1 Angka 13 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan). IUPHHK dibedakan lagi menjadi:

1.           IUPHHK pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) yang mengizinkan pemanenan kayu dari hutan yang tumbuh secara alami;

2.          IUPHHK pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI), yang mengizinkan pembangunan hutan tanaman untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri;  

3.         IUPHHK Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE), ini adalah izin untuk memulihkan ekosistem di hutan produksi yang terdegradasi. (vide Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.50/Menhut-II/2010. Tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Bemanfaatan Hasil Hutam Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem, atau IUPHHK Hutan Tanaman Industri pada Hutan Produksi;

4)         Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK), yaitu izin untuk memanfaatkan hasil hutan selain kayu, seperti rotan, madu, atau getah (vide Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; serta Pasal 1 Angka 14 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan);

5)         Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan/atau Bukan Kayu (IPHHK), merupakan izin skala kecil yang diberikan kepada perorangan atau koperasi untuk memungut hasil hutan dalam volume dan jangka waktu terbatas (vide Pasal 26 ayat (2) dan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; serta Pasal 1 Angka 15 dan Angka 16 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan).

Sistem yang terfragmentasi ini, meskipun bertujuan untuk mengatur pemanfaatan secara lebih spesifik, pada praktiknya menciptakan birokrasi yang rumit, tumpang tindih, dan tidak efisien, sehingga mendorong lahirnya gagasan penyederhanaan.

Lahirnya Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) melalui UU Cipta Kerja

Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi titik balik yang fundamental dalam tata kelola perizinan kehutanan. Dengan tujuan utama untuk “peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha” dan “kemudahan berusaha”, UU Cipta Kerja merombak dan menyederhanakan ratusan peraturan di berbagai sektor, termasuk kehutanan.  

Di sektor kehutanan, perubahan paling drastis adalah penghapusan sistem perizinan yang terfragmentasi (IUPK, IUPJL, IUPHHK, IUPHHBK, dll.) dan pengenalan satu izin tunggal, yaitu Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Semua izin usaha pemanfaatan hutan yang sebelumnya berdiri sendiri kini dilebur menjadi satu nomenklatur PBPH. Landasan operasional dari PBPH ini adalah konsep “Multiusaha Kehutanan”, yang memungkinkan satu pemegang izin untuk melakukan berbagai jenis kegiatan pemanfaatan hutan secara terintegrasi dalam satu areal konsesi. Perubahan ini secara resmi diatur dalam pasal-pasal perubahan UU Kehutanan yang disisipkan oleh UU Cipta Kerja dan kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksananya.  

Transformasi dari rezim IUPHHK (dan izin sejenisnya) ke PBPH bukan sekadar perubahan nama atau penyederhanaan administratif, melainkan sebuah pergeseran paradigma yang mendasar dalam pengelolaan konsesi hutan. Model lama yang bersifat tersegmentasi (siloed), di mana satu izin hanya berlaku untuk satu jenis kegiatan spesifik (misalnya, IUPHHK-HA hanya untuk penebangan kayu alam), digantikan oleh model “Multiusaha Kehutanan” yang terintegrasi.

Model baru ini secara teoretis memungkinkan pelaku usaha untuk mengoptimalkan seluruh potensi dalam areal konsesinya—mulai dari kayu, hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan seperti ekowisata, hingga perdagangan karbon—di bawah satu payung perizinan.

Langkah ini diambil untuk mencapai tujuan utama UU tentang Cipta Kerja, yaitu penyederhanaan dan efisiensi. Dengan melebur berbagai izin menjadi satu PBPH, pemerintah berharap dapat memangkas birokrasi, mengurangi biaya transaksi, dan memberikan kepastian yang lebih besar bagi investor. Namun, pergeseran ini juga melahirkan tantangan dan risiko baru. Model multiusaha yang kompleks menuntut kapasitas pengawasan dan penegakan hukum yang jauh lebih kuat dari pemerintah. Tanpa pengawasan yang ketat, terdapat kekhawatiran bahwa kegiatan yang paling menguntungkan secara finansial dalam jangka pendek (seperti pemanenan kayu) akan lebih diprioritaskan, sementara kegiatan yang krusial secara ekologis namun kurang profitabel (seperti konservasi, restorasi, atau pemberdayaan masyarakat) akan terabaikan. Dengan demikian, keberhasilan model PBPH berbasis multiusaha ini sangat bergantung pada kemampuan negara untuk memastikan bahwa optimalisasi ekonomi tidak mengorbankan kelestarian ekologi dan keadilan sosial.  

Perbedaan fundamental antara kedua rezim perizinan tersebut dapat dirangkum dalam tabel berikut:

Perbandingan Rezim Perizinan IUPHHK vs. PBPH

Aspek

IUPHHK (dan sejenisnya) - Pra-UU Cipta Kerja

PBPH - Pasca-UU Cipta Kerja

Paradigma

Tersegmentasi (Siloed), satu izin untuk satu jenis kegiatan (misal: IUPHHK-HA hanya untuk kayu alam).

Terintegrasi, berorientasi pada kemudahan investasi dan optimalisasi lahan.

Dasar Hukum

UU No. 41/1999; PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008.

UU No. 41/1999 sebagaimana diubah UU No. 6/2023; PP No. 23/2021.

Subjek Hukum

Perorangan, Koperasi, BUMS, BUMN/BUMD (bervariasi tergantung jenis izin).  

Pelaku Usaha (Badan Usaha Milik Swasta, Koperasi, BUMN/BUMD).  

Model Bisnis

Usaha Tunggal (Single Business).

Multiusaha Kehutanan.  

Kewenangan

Terbagi antara Pusat dan Daerah (tergantung luasan dan fungsi).

Ditarik menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.  

Prasyarat

Proses perizinan sektoral yang terpisah dan berurutan.

Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, dengan prasyarat dasar terintegrasi (KKPR, Persetujuan Lingkungan) melalui Online Single Submission (OSS).  

Kerangka Hukum Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH)

Struktur hukum yang mengatur PBPH bersifat hierarkis, dimulai dari undang-undang sebagai landasan utama hingga peraturan teknis di tingkat kementerian.

1.          Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tetap menjadi lex specialis yang mengatur prinsip-prinsip dasar pengelolaan hutan di Indonesia, termasuk klasifikasi hutan, fungsi hutan, dan tanggung jawab pemegang izin. Namun, banyak pasal di dalamnya, terutama yang berkaitan dengan perizinan, telah diubah secara signifikan.  

2.         Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah instrumen hukum yang secara formal memperkenalkan konsep PBPH dan sentralisasi perizinan. Meskipun sempat dinyatakan “inkonstitusional bersyarat” melalui  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 karena cacat formil dalam proses pembentukannya , pemerintah merespons putusan tersebut dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu ini kemudian disetujui oleh DPR dan disahkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023. Dengan demikian, UU Nomor 6 Tahun 2023 menjadi dasar hukum terkini yang mengukuhkan perubahan-perubahan yang diamanatkan oleh UU Cipta Kerja, termasuk dalam sektor kehutanan.  

Sebagai amanat dari UU Cipta Kerja, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (selanjutnya disebut “PP 23/2021”). Peraturan ini merupakan peraturan pelaksana paling krusial dan komprehensif untuk klaster kehutanan. PP 23/2021 mencabut dan menyatukan substansi dari berbagai Peraturan Pemerintah sebelumnya, seperti PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, PP Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, dan PP Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

Kemudian dalam PP 23/2021 mengatur secara detail berbagai aspek penyelenggaraan kehutanan pasca-UU tentang Cipta Kerja, antara lain:  

-           Perencanaan Kehutanan;

-           Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan;

-           Penggunaan Kawasan Hutan;

-           Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan;

-           Pemanfaatan Hutan, yang di dalamnya memuat ketentuan rinci mengenai PBPH;

-           Pengelolaan Perhutanan Sosial; dan

-           Perlindungan Hutan dan Pengawasan.

Dalam peraturan inilah definisi yuridis PBPH, ruang lingkup multiusaha, serta prosedur umum pengajuannya diatur secara formal.

Petunjuk Teknis: Peran Sentral Peraturan Menteri LHK

Kerangka peraturan perundang-undangan tentang PBPH menunjukkan adanya sebuah “kaskade regulasi” yang jelas dan terpusat. Apabila UU tentang Cipta Kerja menetapkan kebijakan makro (penyederhanaan dan sentralisasi), dan PP 23/2021 menyediakan kerangka operasionalnya, maka peraturan di tingkat menteri menyediakan petunjuk teknis yang sangat rinci. Struktur ini secara efektif memusatkan kewenangan penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) di tangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI), yang secara signifikan mengurangi ruang diskresi dan regulasi bagi pemerintah daerah.

Peraturan teknis utama yang menjadi pedoman pelaksanaan PBPH adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi (selanjutnya disebut “Permen LHK 8/2021”). Peraturan setebal lebih dari 300 halaman ini merupakan turunan langsung dari amanat Pasal 202 PP 23/2021. Di dalamnya diatur secara granular segala hal terkait PBPH, mulai dari definisi teknis seperti Tempat Penimbunan Kayu (TPK) Hutan, standar untuk Sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari (S-PHL), hingga prosedur detail pengajuan Rencana Kerja Usaha (RKU).

Selain Permen LHK 8/2021, terdapat peraturan menteri lain yang relevan dan saling terkait, antara lain:

1)         Peraturan Menteri LHK Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial;

2)        Peraturan Menteri LHK Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan; dan

3)        Peraturan Menteri LHK Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan.  

Instrumen Regulasi Lainnya

Di bawah peraturan menteri, terdapat instrumen-instrumen regulasi yang lebih teknis lagi, seperti Surat Keputusan (SK) Menteri, Peraturan Direktur Jenderal, dan Surat Edaran Direktur Jenderal. Contoh penting adalah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.9895/MenLHK-PHL/BPPHH/HPL.3/12/2022 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian. SK Menteri ini memberikan pedoman teknis yang wajib diikuti oleh pemegang PBPH dan lembaga verifikasi dalam implementasi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK). Instrumen-instrumen ini berfungsi untuk memberikan panduan yang sangat spesifik dan dapat diperbarui dengan lebih cepat sesuai dengan dinamika di lapangan.

Definisi, Fungsi, dan Kualifikasi PBPH

Secara yuridis, Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 51 PP 23/2021 dan ditegaskan kembali dalam Pasal 1 Angka 21 Permen LHK 8/2021 sebagai:

“Perizinan Berusaha yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatan Pemanfaatan Hutan.”

Definisi ini, meskipun terlihat sederhana, memiliki makna yang luas. PBPH bukanlah izin untuk satu aktivitas tunggal, melainkan sebuah umbrella permit atau izin payung yang memberikan legalitas kepada pelaku usaha untuk melaksanakan serangkaian kegiatan pemanfaatan hutan secara terintegrasi dalam suatu areal tertentu. Pelaku Usaha yang dimaksud adalah perseorangan, badan usaha, koperasi, atau badan hukum lainnya yang melakukan kegiatan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.  

Sebagai instrumen hukum utama dalam pemanfaatan hutan, PBPH memiliki beberapa fungsi strategis:

1.          Fungsi Yuridis yaitu Fungsi utama PBPH adalah memberikan dasar legalitas dan kepastian hukum bagi pelaku usaha untuk menjalankan kegiatannya di dalam kawasan hutan. Tanpa PBPH, segala bentuk kegiatan pemanfaatan hutan komersial dianggap ilegal dan dapat dikenai sanksi pidana maupun administratif;

2.         Fungsi Pengendalian, yaitu PBPH berfungsi sebagai instrumen bagi pemerintah (dalam hal ini KLHK) untuk mengendalikan pemanfaatan sumber daya hutan. Melalui persyaratan, kewajiban, dan standar yang melekat pada izin, pemerintah dapat mengarahkan kegiatan pelaku usaha agar sejalan dengan prinsip pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management). Pengawasan dan evaluasi berkala terhadap pemegang PBPH merupakan wujud dari fungsi pengendalian ini;

3.        Fungsi Ekonomi, yang mana PBPH dirancang untuk mengoptimalkan nilai ekonomi kawasan hutan. Dengan mengadopsi model multiusaha, pemegang izin didorong untuk tidak hanya bergantung pada satu komoditas (misalnya kayu), tetapi juga mengembangkan potensi lain seperti hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan (ekowisata, air), dan perdagangan karbon, sehingga dapat meningkatkan kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional dan daerah;  

4.        Fungsi Ekologis, yaitu PBPH meletakkan tanggung jawab hukum kepada pemegangnya untuk menjaga kelestarian lingkungan di areal kerjanya. Kewajiban ini mencakup perlindungan keanekaragaman hayati, pencegahan kerusakan tanah dan air, serta rehabilitasi lahan. Secara spesifik, Pasal 49 UU tentang Kehutanan menegaskan bahwa “pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya,” yang menempatkan tanggung jawab mutlak (strict liability) pada pemegang PBPH.  

Sehingga, inti dari operasionalisasi PBPH adalah konsep Multiusaha Kehutanan. Konsep ini didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 28 Permen LHK 8/2021 sebagai:

“penerapan beberapa kegiatan usaha Kehutanan berupa usaha Pemanfaatan Kawasan, usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu, dan/atau usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan untuk mengoptimalkan Kawasan Hutan pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi”.

Ruang lingkup atau kualifikasi kegiatan yang diizinkan dalam PBPH dibedakan secara tegas berdasarkan fungsi utama kawasan hutan:  

PBPH pada Hutan Lindung

Pemanfaatan hutan di kawasan Hutan Lindung (HL) diarahkan untuk mempertahankan fungsi pokoknya sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan. Oleh karena itu, kegiatan yang diizinkan dalam PBPH pada Hutan Lindung bersifat non-destruktif dan terbatas pada:  

a.         Usaha Pemanfaatan Kawasan

Kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh hasil hutan bukan kayu dan/atau jasa lingkungan dengan tidak memanen kayu, seperti budidaya tanaman obat di bawah tegakan;

b.        Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan

Kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan, seperti pemanfaatan aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, serta penyerapan dan/atau penyimpanan karbon; dan

c.         Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

Kegiatan untuk mengambil hasil hutan selain kayu seperti rotan, madu, getah, dan buah-buahan.

Secara kritis, meskipun kegiatan penebangan pohon dilarang keras di Hutan Lindung, pengembangan berbagai kegiatan jasa lingkungan dan pemungutan HHBK secara masif tetap berpotensi menimbulkan dampak kumulatif terhadap ekosistem. Pembangunan sarana dan prasarana penunjang, peningkatan aktivitas manusia, dan potensi eksploitasi HHBK yang berlebihan menuntut pengawasan yang sangat ketat untuk memastikan fungsi lindung tidak terganggu.

PBPH pada Hutan Produksi

Kawasan Hutan Produksi (HP) memiliki fungsi pokok untuk memproduksi hasil hutan. Oleh karena itu, ruang lingkup kegiatan dalam PBPH pada Hutan Produksi jauh lebih luas, mencakup seluruh kegiatan yang diizinkan di Hutan Lindung, ditambah dengan kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan kayu, antara lain:  

a.         Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (HHK) meliputi kegiatan pada hutan alam (pemanenan kayu alam) dan hutan tanaman (pembangunan HTI);

b.        Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) meliputi kegiatan budidaya dan pemanenan HHBK secara intensif; dan

c.         Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu yaitu kegiatan pengambilan HHK dan HHBK dalam skala yang lebih kecil dan terbatas.

Selain dua kualifikasi utama di atas, terdapat skema lain yang terintegrasi dalam PBPH, salah satunya adalah PBPH Restorasi Ekosistem. Skema ini merupakan kelanjutan dari Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) yang bertujuan untuk memulihkan ekosistem hutan yang terdegradasi di kawasan Hutan Produksi. Pemegang PBPH-RE dapat memanfaatkan HHBK dan jasa lingkungan sebagai insentif ekonomi selama proses pemulihan ekosistem berlangsung.

Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Penyelenggaraan PBPH

Salah satu perubahan paling fundamental yang dibawa oleh UU tentang Cipta Kerja adalah sentralisasi kewenangan penerbitan perizinan berusaha. Sebelum UU tentang Cipta Kerja, kewenangan penerbitan izin pemanfaatan hutan terbagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi), umumnya berdasarkan kriteria luasan areal atau lintas wilayah administrasi. Namun, UU tentang Cipta Kerja secara tegas menarik hampir seluruh kewenangan penerbitan Perizinan Berusaha, termasuk PBPH, dari Pemerintah Daerah ke tangan Pemerintah Pusat, yang dalam hal ini didelegasikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.  

Tujuan dari sentralisasi ini adalah untuk menciptakan standardisasi nasional, mempercepat proses perizinan, meningkatkan iklim investasi, dan memberantas praktik pungutan liar di daerah. Namun, kebijakan ini menuai kritik tajam karena berpotensi menghilangkan konteks sosial-ekologis lokal dalam pengambilan keputusan, melemahkan fungsi pengawasan pemerintah daerah, dan menciptakan jarak birokrasi yang jauh antara regulator di Jakarta dengan lokasi izin di daerah.

Pergeseran kewenangan ini berdampak langsung pada Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Pemerintah daerah tidak lagi pasif; mereka secara strategis beradaptasi dengan memfokuskan regulasi pada sisa-sisa kewenangan yang masih mereka miliki.

Sebelum UU Cipta Kerja, kewenangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dalam pengelolaan hutan cukup signifikan, sebagaimana tercermin dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Kehutanan. Perda ini, yang dibuat berdasarkan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan landasan bagi provinsi untuk mengatur berbagai aspek kehutanan di wilayahnya, termasuk pemanfaatan hutan, rehabilitasi, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat.

Setelah kewenangan penerbitan PBPH ditarik ke pusat, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat beradaptasi dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 33 Tahun 2022 tentang Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu. Langkah ini dapat dilihat sebagai manuver strategis untuk tetap relevan dan menjalankan fungsi pemerintahan di sektor kehutanan. Dengan hilangnya kontrol atas izin-izin besar (terutama yang berbasis kayu), provinsi mengukir ceruk regulasi baru di bidang HHBK, sebuah area di mana mereka masih mempertahankan kewenangan yang jelas, seperti “pengolahan hasil hutan bukan kayu” dan “pemberdayaan masyarakat”. Fokus pada HHBK juga sejalan dengan upaya mendorong ekonomi masyarakat lokal, yang seringkali menjadi pelaku utama dalam pemanfaatan HHBK.  

Selain itu, Gubernur masih memiliki peran-peran non-perizinan yang penting, antara lain:

a.         Memberikan rekomendasi untuk permohonan PBPH yang diajukan di wilayahnya, meskipun rekomendasi ini tidak bersifat mengikat bagi pemerintah pusat;

b.        Menetapkan persetujuan pemungutan HHBK yang tumbuh alami dan hasil rehabilitasi yang berada di hutan negara di luar kawasan hutan;

c.         Mengkoordinasikan upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di tingkat provinsi; dan

d.        Mengelola Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Lindung dan Produksi di wilayahnya.

Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat

Dampak sentralisasi paling terasa di tingkat pemerintah kabupaten/kota. Pasca-UU Cipta Kerja, kewenangan mereka dalam hal perizinan pemanfaatan hutan secara efektif dihilangkan. Peran mereka kini lebih terfokus pada fungsi-fungsi pendukung, seperti pengawasan di tingkat tapak, fasilitasi program perhutanan sosial, dan implementasi kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat atau provinsi.

Sentralisasi kewenangan dalam penerbitan PBPH membawa implikasi ganda. Di satu sisi, ia menjanjikan efisiensi, standardisasi, dan potensi percepatan investasi. Di sisi lain, ia melahirkan risiko-risiko signifikan. Pengawasan menjadi lebih sulit karena jarak geografis dan birokrasi antara KLHK di Jakarta dengan ribuan titik lokasi PBPH di seluruh Indonesia. Keputusan yang diambil di tingkat pusat berisiko tidak sensitif terhadap kondisi ekologis dan sosial yang unik di setiap daerah, yang pada gilirannya dapat memicu atau memperburuk konflik tenurial dengan masyarakat adat dan lokal.

Berikut adalah tabel yang merangkum pembagian kewenangan urusan kehutanan antara Pemerintah Pusat dan Provinsi Kalimantan Barat setelah berlakunya UU Cipta Kerja.

Pembagian Kewenangan Urusan Kehutanan Pusat dan Provinsi Kalbar (Pasca-UU Cipta Kerja)

Sub-Urusan

Kewenangan Pemerintah Pusat (Menteri LHK)

Kewenangan Pemerintah Provinsi (Gubernur Kalbar)

Pemanfaatan Hutan

Menerbitkan PBPH (Hutan Lindung & Produksi), termasuk pemanfaatan HHK, HHBK, Jasa Lingkungan, Karbon.  

Memberikan persetujuan pemungutan HHBK di luar kawasan hutan, Mengatur pengembangan HHBK, Memberikan rekomendasi PBPH.  

Pengelolaan Hutan

Menetapkan KPH Konservasi (KPHK), Menetapkan kebijakan tata hutan nasional.

Mengelola KPH Lindung & Produksi (KPHL/KPHP), Menyusun rencana pengelolaan KPHL/KPHP.  

Rehabilitasi Hutan

Menetapkan kebijakan RHL nasional.

Melaksanakan rehabilitasi di luar kawasan hutan negara.  

Pengawasan

Melakukan pengawasan terhadap seluruh PBPH. Dapat menerapkan sanksi administratif secara langsung kepada pemegang izin.  

Melakukan pengawasan di wilayahnya, khususnya pada kegiatan yang menjadi kewenangannya, serta pembinaan kepada masyarakat.  

Keterkaitan PBPH dengan Rezim Hukum Lainnya

Penerbitan dan pelaksanaan PBPH tidak berdiri sendiri, melainkan terikat erat dengan berbagai rezim hukum lainnya. Tiga keterkaitan yang paling fundamental adalah dengan penataan ruang, perlindungan lingkungan hidup, dan perdagangan hasil hutan.

Salah satu inovasi terbesar UU Cipta Kerja adalah pengenalan “persyaratan dasar perizinan berusaha”, yang secara efektif mengangkat peran Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menjadi gerbang utama (gatekeeper) bagi seluruh kegiatan investasi, termasuk PBPH. Sebelum PBPH dapat diproses lebih lanjut, pemohon wajib terlebih dahulu memperoleh Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR).  

Fungsi KKPR adalah untuk memastikan bahwa rencana lokasi dan kegiatan yang diusulkan dalam permohonan PBPH telah sesuai dengan peruntukan ruang yang ditetapkan dalam RTRW Provinsi dan/atau RTRW Kabupaten/Kota yang berlaku. Jika suatu areal dalam RTRW tidak dialokasikan untuk kegiatan kehutanan (misalnya, ditetapkan sebagai kawasan permukiman atau industri), maka KKPR untuk PBPH di lokasi tersebut tidak dapat diterbitkan, dan proses perizinan akan berhenti. Seluruh proses ini terintegrasi dalam sistem Online Single Submission (OSS), yang akan melakukan verifikasi kesesuaian spasial secara otomatis.  

Implikasi dari mekanisme ini sangat signifikan. RTRW tidak lagi hanya sekadar dokumen perencanaan yang bersifat panduan, tetapi telah bertransformasi menjadi instrumen hukum yang mengikat dan menjadi prasyarat mutlak bagi perizinan. Hal ini menggeser arena advokasi dan lobi kepentingan. Jika sebelumnya pertarungan banyak terjadi pada level pengajuan izin individual, kini pertarungan yang lebih strategis adalah pada saat proses penyusunan atau revisi RTRW itu sendiri, karena dokumen inilah yang akan menentukan kemungkinan pemanfaatan lahan untuk puluhan tahun ke depan.  

Kemudian, setiap pemegang PBPH, sebagai bagian dari pemenuhan komitmennya, wajib menyusun dokumen lingkungan hidup. Jenis dokumen yang disyaratkan ditentukan melalui pendekatan berbasis risiko (risk-based approach), sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.  

a.         Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL)

Diwajibkan untuk kegiatan PBPH yang dinilai memiliki dampak penting dan risiko tinggi terhadap lingkungan. Berdasarkan Peraturan Menteri LHK Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2021 tentang Daftar Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Amdal, UKL-UPL, atau SPPL, kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu (penebangan hutan alam) untuk semua besaran skala wajib menyusun AMDAL. Proses AMDAL meliputi penyusunan Kerangka Acuan (KA), Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), dan Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL);

b.        Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL)

Diwajibkan untuk kegiatan PBPH dengan risiko menengah yang tidak berdampak penting. Contohnya bisa mencakup kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan atau HHBK dengan skala tertentu.  

Persetujuan atas dokumen lingkungan ini (berupa Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup/SKKL untuk AMDAL atau Persetujuan Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup/PKPLH untuk UKL-UPL) menjadi prasyarat untuk efektivitas PBPH.

PBPH dan Perdagangan Hasil Hutan: Integrasi Wajib dengan SVLK

Untuk memastikan legalitas sumber bahan baku dan mendorong pengelolaan hutan yang lestari, setiap hasil hutan yang berasal dari areal PBPH dan akan diperdagangkan (terutama untuk pasar ekspor) wajib memenuhi ketentuan Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK). SVLK adalah sistem penjaminan yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa produk kayu dan hasil hutan lainnya berasal dari sumber yang legal dan dikelola secara lestari.  

Kewajiban ini diatur secara rinci dalam Permen LHK 8/2021 dan diperkuat oleh Keputusan Menteri LHK Republik Indonesia Nomor SK.9895/MenLHK-PHL/BPPHH/HPL.3/12/2022. Pemegang PBPH harus menjalani audit oleh Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LPVI) yang terakreditasi. Jika dinilai memenuhi standar, pemegang PBPH akan memperoleh:  

-           Sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari (S-PHL)

Diberikan kepada pemegang PBPH yang dinilai telah berhasil menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari;

-           Sertifikat Legalitas Hasil Hutan (S-Legalitas)

Diberikan kepada unit usaha yang telah memenuhi standar verifikasi legalitas kayu.  

Sertifikat inilah yang menjadi dasar bagi penerbitan Dokumen V-Legal, sebuah lisensi yang wajib menyertai produk kayu dan hasil hutan yang diekspor ke pasar internasional, terutama Uni Eropa. Dengan demikian, SVLK menjadi instrumen pasar yang mengikat PBPH dengan standar tata kelola dan perdagangan global.

Selain aspek-aspek di atas, PBPH juga memiliki keterkaitan erat dengan mitigasi bencana, khususnya kebakaran hutan dan lahan. Pasal 49 UU tentang Kehutanan secara tegas meletakkan tanggung jawab mutlak (strict liability) pada pemegang izin atas terjadinya kebakaran di areal kerjanya. Artinya, pemegang PBPH dapat dimintai pertanggungjawaban hukum tanpa perlu dibuktikan adanya unsur kesalahan (fault), cukup dengan fakta bahwa kebakaran terjadi di dalam konsesi mereka. Ketentuan ini menjadi instrumen hukum yang kuat untuk mendorong pemegang PBPH berinvestasi dalam sistem pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan.

Penegakan Hukum dan Sengketa dalam Perizinan Pemanfaatan Hutan

Yurisprudensi atau putusan pengadilan memainkan peran krusial dalam menafsirkan, menguji, dan membentuk praktik hukum perizinan kehutanan. Analisis terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengungkapkan adanya dualitas jalur hukum yang konsisten digunakan oleh para pemangku kepentingan. Jalur pertama adalah sengketa hukum administrasi di PTUN yang berfokus pada keabsahan prosedur dan kepatuhan pemerintah terhadap Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dalam menerbitkan atau mencabut izin. Jalur kedua adalah pengujian hukum substantif dan konstitusional di MK atau pengadilan lain, yang mempersoalkan validitas undang-undang induk itu sendiri atau konfliknya dengan norma hukum yang lebih tinggi.

Putusan Pra-Cipta Kerja melalui Pengakuan Hutan Adat sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, tertanggal 16 Mei 2013, menjadi tonggak sejarah dalam hukum kehutanan Indonesia, yang mana dalam amar putusannya menyatakan:

Mengabulkan permohonan para Pemohon (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN dkk.) untuk sebagian. Mahkamah menyatakan frasa “negara” dalam Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan yang mendefinisikan “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 

Adapun Pertimbangan Hukum (Ratio Decidendi)-nya, Mahkamah berpendapat bahwa menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan bentuk pengabaian terhadap hak konstitusional masyarakat hukum adat yang telah diakui dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Menurut Mahkamah, hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat, bukan hutan milik negara. Penguasaan hutan oleh negara tidak serta-merta berarti kepemilikan, melainkan kewenangan untuk mengatur demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, negara tidak dapat secara sepihak menetapkan hutan adat sebagai hutan negara.

Putusan ini secara fundamental mengubah lanskap tenurial kehutanan. Areal yang sebelumnya dianggap sebagai “hutan negara” dan berpotensi dialokasikan untuk PBPH, kini harus diverifikasi terlebih dahulu statusnya. Jika suatu wilayah terbukti merupakan hutan adat, maka wilayah tersebut tidak dapat dijadikan objek PBPH oleh pemerintah pusat. Putusan ini menjadi dasar hukum yang kuat bagi masyarakat adat untuk menolak pemberian PBPH di wilayah mereka dan menuntut pengakuan atas hutan adatnya, sehingga menciptakan potensi sengketa tenurial yang harus diantisipasi dalam setiap proses penerbitan PBPH.

Selanjutnya, Putusan Pasca-Cipta Kerja terkait Cacat Formil UU Cipta Kerja sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 91/PUU-XVIII/2020., tertanggal 25 November 2021, kembali mengguncang lanskap hukum nasional, yang mana dalam amar putusannya menyatakan:

Menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional). Mahkamah memberikan waktu dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan. Selama masa perbaikan, UU Cipta Kerja tetap berlaku, namun pemerintah dilarang menerbitkan peraturan pelaksana baru yang bersifat strategis dan berdampak luas.

Adapun Pertimbangan Hukum (Ratio Decidendi)-nya, Mahkamah menilai proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi asas keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Penggunaan metode omnibus law tidak memiliki landasan hukum yang jelas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan menyimpang dari prosedur legislasi yang standar. 

PBPH adalah instrumen yang lahir langsung dari UU tentang Cipta Kerja. Putusan ini menciptakan periode ketidakpastian hukum yang signifikan terhadap seluruh rezim perizinan baru, termasuk PBPH. Meskipun PBPH yang sudah terbit tetap berlaku, putusan ini menangguhkan kebijakan-kebijakan strategis baru terkait PBPH dan menimbulkan keraguan bagi investor. Respons pemerintah dengan menerbitkan Perppu Nomor 2/2022 (kini UU Nomor 6/2023) adalah upaya untuk mengatasi ketidakpastian ini, namun kontroversi mengenai cacat formil dan kurangnya partisipasi publik tetap melekat pada legitimasi PBPH.

Sengketa Tata Usaha Negara: Gugatan terhadap Penerbitan dan Pencabutan Izin

Kasus Pencabutan Izin karena Tidak Aktif sebagaimana Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 223/G/2014/PTUN-JKT., tertanggal 18 Desember 2014, dalam perkara antara PT Merauke Rayon Jaya melawan Menteri Kehutanan memberikan gambaran bagaimana pengadilan menguji keabsahan tindakan pemerintah, yang mana dalam amar putusannya:

Menolak gugatan Penggugat (PT. Merauke Rayon Jaya).

Adapun Pertimbangan Hukum (Ratio Decidendi)-nya, Majelis Hakim mendasarkan putusannya pada bukti bahwa perusahaan (Penggugat) secara nyata tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Pertimbangan utama adalah hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP) lapangan yang menunjukkan tidak adanya kegiatan nyata, tidak adanya penyusunan Rencana Kerja Tahunan (RKT), dan tidak adanya tenaga teknis kehutanan. Selain itu, hakim menilai tindakan Menteri Kehutanan (Tergugat) telah sesuai prosedur karena telah memberikan surat peringatan secara bertahap (Peringatan I, II, dan III) sebelum menerbitkan surat keputusan pencabutan. Dengan demikian, tindakan Tergugat tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), khususnya asas kecermatan dan tidak sewenang-wenang.

Perkara ini menjadi yurisprudensi penting yang menegaskan bahwa Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK) atau kini yang disebut PBPH bukanlah hak yang absolut. Pemegang PBPH memiliki kewajiban-kewajiban konkret yang harus dilaksanakan, dan kegagalan untuk memenuhinya dapat berujung pada pencabutan izin. Putusan ini menggarisbawahi pentingnya fungsi pengawasan pemerintah dan memberikan landasan hukum bagi KLHK untuk menindak tegas pemegang PBPH yang tidak aktif atau tidak memenuhi komitmennya, asalkan tindakan tersebut didukung oleh bukti yang kuat dan prosedur administratif yang benar.

Kemudian kasus Pengenaan Sanksi Administratif sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134 PK/TUN/2022, tertanggal 4 Agustus 2022, dalam perkara Peninjauan Kembali antara PT Narkata Rimba melawan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK, menjadi yurisprudensi penting terkait penerapan sanksi administratif, yang mana amar putusannya menyatakan:

Menolak permohonan Peninjauan Kembali dari PT. Narkata Rimba.

Mahkamah Agung dalam tingkat Peninjauan Kembali akan menguji apakah terdapat kekhilafan hakim atau bukti baru (novum). Dalam konteks sanksi administratif, MA akan memastikan bahwa penerapan sanksi (misalnya denda atas pelanggaran Provisi Sumber Daya Hutan/PSDH) telah didasarkan pada bukti pelanggaran yang sah dan perhitungan denda yang sesuai dengan formula yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Penolakan PK mengindikasikan bahwa MA menilai putusan sebelumnya yang menguatkan sanksi dari pemerintah sudah tepat dan tidak ditemukan adanya kekhilafan atau bukti baru yang signifikan.

Putusan ini sangat relevan karena memperkuat posisi pemerintah dalam menegakkan kewajiban finansial dan sanksi denda administratif terhadap pemegang PBPH. Ini memberikan kepastian hukum bahwa selama pemerintah dapat membuktikan adanya pelanggaran dan menerapkan denda sesuai aturan, maka sanksi tersebut sah secara hukum. Bagi pemegang PBPH, putusan ini menjadi pengingat akan konsekuensi finansial yang serius dari ketidakpatuhan terhadap aturan main, seperti pembayaran PSDH dan Dana Reboisasi (DR).

Kemudian Studi Kasus yang tak kalah menarik adalah Konflik dengan Kepentingan Strategis Nasional, sebagaimana Kasus sengketa terkait pencabutan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di Pulau Rempang yang diputus dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 465/G/2023/PTUN.JKT, tertanggal 21 Februari 2024, menyoroti kompleksitas baru dalam hukum perizinan.

Dalam Amar Putusannya Majelis Hakim Menolak gugatan Penggugat yaitu PT Agrilindo Estate. Majelis Hakim kemungkinan besar mempertimbangkan bahwa penetapan Pulau Rempang sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) merupakan kepentingan umum yang lebih tinggi dan memiliki landasan hukum yang kuat, yang dapat mengesampingkan izin yang telah ada sebelumnya. Pertimbangan lainnya adalah kewenangan pemerintah untuk mengevaluasi dan menata kembali perizinan demi kepentingan strategis nasional, selama tindakan pencabutan tersebut dilakukan sesuai dengan mekanisme dan peraturan yang berlaku.

Sengketa ini menjadi preseden krusial yang menunjukkan bahwa kepastian hukum pemegang PBPH tidaklah mutlak dan dapat dianulir oleh kebijakan Proyek Strategis Nasional. Hal ini menimbulkan risiko investasi yang signifikan bagi pemegang PBPH, karena areal konsesi mereka dapat sewaktu-waktu dialihfungsikan untuk proyek yang dianggap lebih strategis oleh pemerintah. Putusan ini menegaskan bahwa dalam benturan antara hak privat pemegang izin dan kepentingan publik yang diwakili oleh PSN, kepentingan publik cenderung dimenangkan, yang menggarisbawahi perlunya klausul perlindungan investasi yang lebih kuat dalam rezim PBPH.

Selanjutnya, Konflik Antar-Sektor, sengketa terkait izin tambang PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Pulau Wawonii, yang berpuncak pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 403 K/TUN/TF/2024, tertanggal 7 Oktober 2024, menunjukkan adanya jalur gugatan lain, yaitu konflik antar-undang-undang sektoral., yang mana dalam amar putusannya menyatakan:

Mengabulkan permohonan kasasi dari warga dan membatalkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang dimiliki oleh PT GKP.

Pertimbangan utama MA adalah adanya pertentangan antara izin sektoral (IPPKH dari KLHK) dengan undang-undang yang memiliki hierarki lebih tinggi dan bersifat khusus untuk perlindungan ekosistem, yaitu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K). UU PWP3K secara eksplisit melarang kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil seperti Wawonii. Dengan demikian, MA menerapkan asas lex superior derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah), di mana ketentuan dalam UU PWP3K membatalkan keabsahan IPPKH yang diterbitkan oleh kementerian.

Putusan ini memberikan pelajaran fundamental bahwa PBPH, meskipun merupakan izin terintegrasi dari pemerintah pusat, harus tunduk pada peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi atau bersifat khusus, terutama yang berkaitan dengan tata ruang dan perlindungan ekosistem. Kasus ini menegaskan bahwa Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) bukan hanya formalitas administratif, tetapi merupakan uji materiil yang krusial. Setiap permohonan PBPH di lokasi yang memiliki kerentanan ekologis (seperti pulau kecil, kawasan pesisir, atau kawasan lindung lainnya) harus dipastikan tidak bertentangan dengan undang-undang perlindungan spesifik yang berlaku untuk wilayah tersebut.

Putusan-putusan pengadilan tersebut di atas secara kolektif memberikan dampak signifikan. Putusan MK membentuk ulang norma-norma dasar dalam UU tetang Kehutanan. Putusan PTUN dan MA, di sisi lain, berfungsi sebagai “penjaga gawang” bagi pelaksanaan administrasi pemerintahan. Putusan-putusan tersebut secara konsisten menekankan bahwa pemerintah, dalam menjalankan kewenangannya, harus patuh tidak hanya pada hukum tertulis (prosedur), tetapi juga pada AUPB, seperti asas kepastian hukum, asas kecermatan, dan asas tidak sewenang-wenang. Yurisprudensi ini menjadi pelajaran penting bagi KLHK dalam merumuskan kebijakan dan bagi pelaku usaha dalam memahami hak dan kewajiban mereka.

Kesimpulan dan Rekomendasi Kritis

Dapat kita perhatikan secara seksama bahwa Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) menunjukkan bahwa ia merupakan sebuah transformasi fundamental dari rezim perizinan sebelumnya. Didorong oleh agenda penyederhanaan birokrasi dan peningkatan kemudahan investasi yang diusung oleh UU Cipta Kerja, PBPH mengubah lanskap hukum dan praktik pemanfaatan hutan di Indonesia secara mendasar. Perubahan ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga paradigmatik, yakni dari model usaha tunggal yang tersegmentasi menjadi model multiusaha yang terintegrasi.

Pada akhirnya, PBPH adalah sebuah instrumen. Efektivitas dan dampaknya—apakah akan membawa pada pengelolaan hutan yang lebih baik atau justru mempercepat degradasi—sangat bergantung pada kemauan politik dan kapasitas kelembagaan untuk menegakkan aturan main, menjaga keseimbangan antara berbagai tujuan, dan memastikan bahwa “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” ditafsirkan secara luas untuk mencakup kesejahteraan ekologis dan sosial, bukan hanya keuntungan ekonomi sesaat.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.