Pertanyaan
Selamat pagi, pak. Boleh pak dibahas terkait
izin usaha di kawasan hutan yang disebut PBPH. Bisa tolong jelaskan secara
lengkap dan mudah dipahami apa itu PBPH, apa bedanya dengan izin-izin
sebelumnya, dan bagaimana aturan mainnya sekarang dari A sampai Z?
Jawaban
Pengantar
Dasar filosofis pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, termasuk hutan,
berakar kuat pada
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang selanjutnya disebut dengan “UUD
NRI
1945”, yang menyatakan:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Amanat konstitusional ini menempatkan negara sebagai pemegang kuasa (bukan
pemilik) atas sumber daya alam dengan tujuan utama untuk mewujudkan
kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Konsep “dikuasai oleh negara” ini
kemudian ditafsirkan sebagai kewenangan negara untuk mengatur, mengurus,
mengelola, dan mengawasi pemanfaatan sumber daya alam.
Filosofi ini dielaborasi lebih lanjut dalam konsiderans
(bagian menimbang)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang selanjutnya disebut
dengan
“UU
tentang
Kehutanan”).
Dalam konsideransnya, UU tentang Kehutanan menegaskan bahwa hutan adalah “karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa
Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan
manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus dan
dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya”.
Tulisan ini secara inheren mengandung sebuah tegangan fundamental yang membentuk
seluruh dinamika kebijakan dan perizinan kehutanan di Indonesia. Di satu
sisi, terdapat mandat konstitusional yang kuat untuk pemanfaatan ekonomi
demi kemakmuran rakyat, sebuah tujuan yang bersifat utilitarian. Di sisi
lain, kerangka hukum yang sama juga menyematkan prinsip-prinsip keadilan,
partisipasi publik, dan kelestarian ekologis.
Lahirnya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja
(selanjutnya disebut “UU
tentang
Cipta Kerja”), yang kemudian dikonsolidasikan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023, secara eksplisit menambahkan dan mengangkat tujuan baru, yaitu “peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha” serta “kemudahan berusaha”.
Pengenalan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) sebagai instrumen utama untuk mencapai tujuan kemudahan berusaha ini menandai sebuah pergeseran ideologis yang signifikan. PBPH tidak hanya merupakan perubahan teknis-administratif, tetapi juga representasi dari upaya penyeimbangan kembali—atau bahkan pergeseran prioritas—antara tujuan ekonomi-investasi dengan tujuan sosial-ekologis yang telah lama tertanam dalam filosofi kehutanan nasional.
Untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan tersebut,
Pasal 2 UU tentang
Kehutanan
menetapkan bahwa penyelenggaraan kehutanan harus berlandaskan pada
serangkaian asas, yaitu:
1.
Manfaat dan Lestari
Menjamin bahwa pengelolaan hutan memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan
ekologis secara seimbang dan berkelanjutan bagi generasi sekarang dan
mendatang;
2.
Kerakyatan
Memberikan akses dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka;
3.
Keadilan
Menjamin pembagian manfaat dari sumber daya hutan secara adil dan
merata;
4.
Kebersamaan
Mendorong kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha;
5.
Keterbukaan
Menjamin akses informasi dan transparansi dalam setiap proses
penyelenggaraan kehutanan;
6.
Keterpaduan
Mengintegrasikan pengelolaan hutan dengan sektor pembangunan lainnya secara
harmonis.
Asas-asas ini menjadi pedoman dalam mencapai tujuan penyelenggaraan
kehutanan yang diatur dalam Pasal 3 UU
tentang
Kehutanan, yang meliputi:
a.
Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang
proporsional;
b.
Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi
lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial,
budaya, dan ekonomi yang seimbang dan lestari;
c.
Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai (DAS);
d.
Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan
masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan.
Sejarah perizinan pemanfaatan hutan di Indonesia merefleksikan evolusi
paradigma dalam memandang dan mengelola hutan. Era awal yang didominasi oleh
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) cenderung berfokus pada eksploitasi kayu skala
besar sebagai pendorong utama pembangunan ekonomi. Seiring dengan
meningkatnya kesadaran akan degradasi lingkungan dan isu sosial, paradigma
bergeser menuju model yang lebih terstruktur di bawah UU Kehutanan 1999
dengan berbagai jenis Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUPH) yang lebih
tersegmentasi, seperti
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK). Model ini,
meskipun lebih rinci, dianggap masih terlalu birokratis dan terfragmentasi.
Puncaknya, melalui UU tentang Cipta Kerja, pemerintah memperkenalkan PBPH sebagai sebuah terobosan yang
bertujuan menyederhanakan dan mengintegrasikan seluruh skema perizinan ke
dalam satu payung hukum. Pergeseran ini menandai transisi dari model
perizinan yang tersegmentasi dan sektoral menuju model yang berorientasi
pada efisiensi, optimalisasi lahan, dan kemudahan investasi, dengan konsep
“multiusaha” sebagai landasan operasionalnya.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam seluruh aspek yuridis dari PBPH,
mulai dari sejarah transformasinya, kerangka hukum yang mengaturnya, hingga
implikasinya di lapangan.
Sejarah dan Transformasi Perizinan Pemanfaatan Hutan di Indonesia
Sejarah modern pemanfaatan hutan komersial di Indonesia dimulai secara
masif pada era Orde Baru. Didorong oleh Undang-Undang
Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
(PMA) dan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN), serta landasan hukum sektoral melalui Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, pemerintah memperkenalkan instrumen Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
HPH menjadi tulang punggung ekonomi nasional yang berbasis pada eksploitasi kayu gelondongan (log) dari hutan alam. Pada masanya, HPH diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar untuk menebang kayu dengan sistem silvikultur seperti Tebang Pilih Indonesia (TPI) yang kemudian disempurnakan menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Meskipun berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi, model HPH ini sering dikritik karena menyebabkan deforestasi yang luas dan memicu konflik sosial dengan masyarakat lokal yang hak-haknya terabaikan.
Baca Juga: Berikut Jenis-Jenis dan Kualifikasi Hutan yang Wajib Kamu Ketahui
Rezim Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUPH) berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999
Sebagai respons terhadap kritik dan dinamika baru dalam pengelolaan hutan,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan
memperkenalkan rezim perizinan yang lebih kompleks dan terfragmentasi.
Istilah HPH secara formal digantikan oleh berbagai jenis
Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUPH) yang dibedakan berdasarkan fungsi
kawasan hutan (Hutan Lindung dan Hutan Produksi) serta jenis
kegiatan pemanfaatannya. Sebelum berlakunya UU tentang Cipta Kerja, skema perizinan ini meliputi:
1)
Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK), yang diberikan untuk memanfaatkan kawasan pada hutan lindung dan hutan
produksi, misalnya untuk budidaya tanaman obat atau tanaman hias (vide
Pasal 26 ayat (2) dan
Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan; serta
Pasal 1 Angka 11 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta
Pemanfaatan Hutan);
2)
Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL), yang diberikan untuk memanfaatkan jasa lingkungan seperti ekowisata,
perdagangan karbon, atau pemanfaatan air (vide
Pasal 26 ayat (2) dan
Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan; serta
Pasal 1 Angka 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta
Pemanfaatan Hutan);
3)
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), ini adalah izin yang paling signifikan secara ekonomi dan merupakan
kelanjutan dari HPH (vide
Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan; serta
Pasal 1 Angka 13 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta
Pemanfaatan Hutan). IUPHHK dibedakan lagi menjadi:
1.
IUPHHK pada Hutan Alam (IUPHHK-HA)
yang mengizinkan pemanenan kayu dari hutan yang tumbuh secara alami;
2.
IUPHHK pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI), yang mengizinkan pembangunan hutan tanaman untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
industri;
3.
IUPHHK Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE), ini adalah izin untuk memulihkan ekosistem di hutan produksi yang terdegradasi. (vide Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.50/Menhut-II/2010. Tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan
Areal Kerja Izin Usaha Bemanfaatan Hasil Hutam Kayu (IUPHHK) dalam Hutan
Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem, atau IUPHHK Hutan Tanaman Industri
pada Hutan Produksi;
4)
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK), yaitu izin untuk memanfaatkan hasil hutan selain kayu, seperti rotan, madu,
atau getah (vide
Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan; serta
Pasal 1 Angka 14 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta
Pemanfaatan Hutan);
5)
Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan/atau Bukan Kayu (IPHHK), merupakan izin skala kecil yang diberikan kepada perorangan atau koperasi
untuk memungut hasil hutan dalam volume dan jangka waktu terbatas (vide
Pasal 26 ayat (2) dan
Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan; serta Pasal 1 Angka 15 dan Angka
16 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan
Hutan).
Sistem yang terfragmentasi ini, meskipun bertujuan untuk mengatur
pemanfaatan secara lebih spesifik, pada praktiknya menciptakan birokrasi
yang rumit, tumpang tindih, dan tidak efisien, sehingga mendorong lahirnya
gagasan penyederhanaan.
Lahirnya Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) melalui UU Cipta Kerja
Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja menjadi titik balik yang fundamental dalam tata kelola perizinan
kehutanan. Dengan tujuan utama untuk “peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha” dan “kemudahan berusaha”, UU Cipta Kerja merombak dan
menyederhanakan ratusan peraturan di berbagai sektor, termasuk kehutanan.
Di sektor kehutanan, perubahan paling drastis adalah penghapusan sistem
perizinan yang terfragmentasi (IUPK, IUPJL, IUPHHK, IUPHHBK, dll.) dan
pengenalan satu izin tunggal, yaitu
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Semua izin usaha
pemanfaatan hutan yang sebelumnya berdiri sendiri kini dilebur menjadi satu
nomenklatur PBPH. Landasan operasional dari PBPH ini adalah konsep
“Multiusaha Kehutanan”, yang memungkinkan satu pemegang izin untuk melakukan berbagai jenis
kegiatan pemanfaatan hutan secara terintegrasi dalam satu areal konsesi.
Perubahan ini secara resmi diatur dalam pasal-pasal perubahan UU Kehutanan
yang disisipkan oleh UU Cipta Kerja dan kemudian diatur lebih lanjut dalam
peraturan pelaksananya.
Transformasi dari rezim IUPHHK (dan izin sejenisnya) ke PBPH bukan sekadar
perubahan nama atau penyederhanaan administratif, melainkan sebuah
pergeseran paradigma yang mendasar dalam pengelolaan konsesi hutan. Model
lama yang bersifat tersegmentasi (siloed), di mana satu izin hanya berlaku
untuk satu jenis kegiatan spesifik (misalnya, IUPHHK-HA hanya untuk
penebangan kayu alam), digantikan oleh model “Multiusaha Kehutanan” yang
terintegrasi.
Model baru ini secara teoretis memungkinkan pelaku usaha untuk
mengoptimalkan seluruh potensi dalam areal konsesinya—mulai dari kayu, hasil
hutan bukan kayu, jasa lingkungan seperti ekowisata, hingga perdagangan
karbon—di bawah satu payung perizinan.
Langkah ini diambil untuk mencapai tujuan utama UU tentang Cipta Kerja, yaitu penyederhanaan dan efisiensi. Dengan melebur berbagai
izin menjadi satu PBPH, pemerintah berharap dapat memangkas birokrasi,
mengurangi biaya transaksi, dan memberikan kepastian yang lebih besar bagi
investor.
Namun, pergeseran ini juga melahirkan tantangan dan risiko baru.
Model multiusaha yang kompleks menuntut kapasitas pengawasan dan penegakan
hukum yang jauh lebih kuat dari pemerintah. Tanpa pengawasan yang ketat,
terdapat kekhawatiran bahwa kegiatan yang paling menguntungkan secara
finansial dalam jangka pendek (seperti pemanenan kayu) akan lebih
diprioritaskan, sementara kegiatan yang krusial secara ekologis namun kurang
profitabel (seperti konservasi, restorasi, atau pemberdayaan masyarakat)
akan terabaikan. Dengan demikian, keberhasilan model PBPH berbasis
multiusaha ini sangat bergantung pada kemampuan negara untuk memastikan
bahwa optimalisasi ekonomi tidak mengorbankan kelestarian ekologi dan
keadilan sosial.
Perbedaan fundamental antara kedua rezim perizinan tersebut dapat dirangkum
dalam tabel berikut:
Perbandingan Rezim Perizinan IUPHHK vs. PBPH
Aspek |
IUPHHK (dan sejenisnya) - Pra-UU Cipta Kerja |
PBPH - Pasca-UU Cipta Kerja |
Paradigma |
Tersegmentasi (Siloed), satu izin untuk satu jenis kegiatan (misal:
IUPHHK-HA hanya untuk kayu alam). |
Terintegrasi, berorientasi pada kemudahan investasi dan
optimalisasi lahan. |
Dasar Hukum |
UU No. 41/1999; PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008. |
UU No. 41/1999 sebagaimana diubah UU No. 6/2023; PP No.
23/2021. |
Subjek Hukum |
Perorangan, Koperasi, BUMS, BUMN/BUMD (bervariasi tergantung jenis
izin). |
Pelaku Usaha (Badan Usaha Milik Swasta, Koperasi, BUMN/BUMD).
|
Model Bisnis |
Usaha Tunggal (Single Business). |
Multiusaha Kehutanan. |
Kewenangan |
Terbagi antara Pusat dan Daerah (tergantung luasan dan fungsi). |
Ditarik menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
|
Prasyarat |
Proses perizinan sektoral yang terpisah dan berurutan. |
Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, dengan prasyarat dasar
terintegrasi (KKPR, Persetujuan Lingkungan) melalui
Online Single Submission (OSS). |
Kerangka Hukum Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH)
Struktur hukum yang mengatur PBPH bersifat hierarkis, dimulai dari
undang-undang sebagai landasan utama hingga peraturan teknis di tingkat
kementerian.
1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan
tetap menjadi lex specialis yang mengatur prinsip-prinsip dasar
pengelolaan hutan di Indonesia, termasuk klasifikasi hutan, fungsi hutan,
dan tanggung jawab pemegang izin. Namun, banyak pasal di dalamnya, terutama
yang berkaitan dengan perizinan, telah diubah secara signifikan.
2.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja
adalah instrumen hukum yang secara formal memperkenalkan konsep PBPH dan
sentralisasi perizinan. Meskipun sempat dinyatakan “inkonstitusional
bersyarat” melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020
karena cacat formil dalam proses pembentukannya , pemerintah merespons
putusan tersebut dengan menerbitkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu ini kemudian disetujui oleh DPR dan disahkan menjadi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023. Dengan demikian,
UU Nomor
6 Tahun 2023 menjadi dasar hukum terkini yang mengukuhkan
perubahan-perubahan yang diamanatkan oleh UU Cipta Kerja, termasuk dalam
sektor kehutanan.
Sebagai amanat dari UU Cipta Kerja, pemerintah menerbitkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan
(selanjutnya disebut “PP 23/2021”). Peraturan ini merupakan peraturan pelaksana paling krusial dan
komprehensif untuk klaster kehutanan. PP 23/2021 mencabut dan menyatukan
substansi dari berbagai Peraturan Pemerintah sebelumnya, seperti
PP Nomor
6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan, PP Nomor
44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, dan PP Nomor
104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan
Hutan.
Kemudian dalam PP 23/2021 mengatur secara detail berbagai aspek penyelenggaraan kehutanan
pasca-UU tentang Cipta Kerja, antara lain:
-
Perencanaan Kehutanan;
-
Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan;
-
Penggunaan Kawasan Hutan;
-
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan;
-
Pemanfaatan Hutan, yang di dalamnya memuat ketentuan rinci mengenai PBPH;
-
Pengelolaan Perhutanan Sosial; dan
-
Perlindungan Hutan dan Pengawasan.
Dalam peraturan inilah definisi yuridis PBPH, ruang lingkup multiusaha,
serta prosedur umum pengajuannya diatur secara formal.
Petunjuk Teknis: Peran Sentral Peraturan Menteri LHK
Kerangka peraturan perundang-undangan tentang PBPH menunjukkan adanya sebuah “kaskade regulasi” yang jelas dan terpusat. Apabila UU tentang Cipta Kerja menetapkan kebijakan makro (“penyederhanaan dan sentralisasi”), dan PP 23/2021 menyediakan kerangka operasionalnya, maka peraturan di tingkat menteri menyediakan petunjuk teknis yang sangat rinci. Struktur ini secara efektif memusatkan kewenangan penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) di tangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI), yang secara signifikan mengurangi ruang diskresi dan regulasi bagi pemerintah daerah.
Peraturan teknis utama yang menjadi pedoman pelaksanaan PBPH adalah
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi
(selanjutnya disebut “Permen LHK 8/2021”). Peraturan setebal lebih dari 300 halaman ini merupakan turunan langsung
dari amanat Pasal 202 PP 23/2021. Di dalamnya diatur secara granular segala hal terkait PBPH, mulai dari
definisi teknis seperti Tempat Penimbunan Kayu (TPK) Hutan,
standar untuk Sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari (S-PHL), hingga
prosedur detail pengajuan Rencana Kerja Usaha (RKU).
Selain Permen LHK 8/2021, terdapat peraturan menteri lain yang relevan dan
saling terkait, antara lain:
1)
Peraturan Menteri LHK Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2021 tentang
Pengelolaan Perhutanan Sosial;
2)
Peraturan Menteri LHK Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan
Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan;
dan
3)
Peraturan Menteri LHK Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang
Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Instrumen Regulasi Lainnya
Di bawah peraturan menteri, terdapat instrumen-instrumen regulasi yang
lebih teknis lagi, seperti Surat Keputusan (SK) Menteri, Peraturan Direktur
Jenderal, dan Surat Edaran Direktur Jenderal. Contoh penting adalah
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor SK.9895/MenLHK-PHL/BPPHH/HPL.3/12/2022 tentang Standar dan Pedoman
Pelaksanaan Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian. SK Menteri ini memberikan pedoman teknis yang wajib diikuti oleh pemegang
PBPH dan lembaga verifikasi dalam implementasi Sistem Verifikasi Legalitas
dan Kelestarian (SVLK). Instrumen-instrumen ini berfungsi untuk memberikan
panduan yang sangat spesifik dan dapat diperbarui dengan lebih cepat sesuai
dengan dinamika di lapangan.
Definisi, Fungsi, dan Kualifikasi PBPH
Secara yuridis, Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) didefinisikan
dalam Pasal 1 Angka 51 PP 23/2021
dan ditegaskan kembali dalam Pasal 1 Angka 21 Permen LHK 8/2021
sebagai:
“Perizinan Berusaha yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan
menjalankan usaha dan/atau kegiatan Pemanfaatan Hutan.”
Definisi ini, meskipun terlihat sederhana, memiliki makna yang luas. PBPH
bukanlah izin untuk satu aktivitas tunggal, melainkan sebuah
umbrella permit atau izin payung yang memberikan legalitas kepada
pelaku usaha untuk melaksanakan
serangkaian kegiatan pemanfaatan hutan secara terintegrasi dalam suatu
areal tertentu. Pelaku Usaha yang dimaksud adalah perseorangan, badan usaha, koperasi,
atau badan hukum lainnya yang melakukan kegiatan usaha dan/atau kegiatan
pada bidang tertentu.
Sebagai instrumen hukum utama dalam pemanfaatan hutan, PBPH memiliki
beberapa fungsi strategis:
1.
Fungsi Yuridis
yaitu Fungsi utama PBPH adalah memberikan dasar legalitas dan kepastian hukum
bagi pelaku usaha untuk menjalankan kegiatannya di dalam kawasan hutan.
Tanpa PBPH, segala bentuk kegiatan pemanfaatan hutan komersial dianggap
ilegal dan dapat dikenai sanksi pidana maupun administratif;
2.
Fungsi Pengendalian, yaitu PBPH berfungsi sebagai instrumen bagi pemerintah (dalam hal ini KLHK) untuk
mengendalikan pemanfaatan sumber daya hutan. Melalui persyaratan, kewajiban,
dan standar yang melekat pada izin, pemerintah dapat mengarahkan kegiatan
pelaku usaha agar sejalan dengan prinsip pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management). Pengawasan dan evaluasi berkala terhadap pemegang PBPH merupakan wujud
dari fungsi pengendalian ini;
3.
Fungsi Ekonomi, yang mana PBPH dirancang untuk mengoptimalkan nilai ekonomi kawasan hutan. Dengan
mengadopsi model multiusaha, pemegang izin didorong untuk tidak hanya
bergantung pada satu komoditas (misalnya kayu), tetapi juga mengembangkan
potensi lain seperti hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan (ekowisata,
air), dan perdagangan karbon, sehingga dapat meningkatkan kontribusi sektor
kehutanan terhadap perekonomian nasional dan daerah;
4.
Fungsi Ekologis, yaitu PBPH meletakkan tanggung jawab hukum kepada pemegangnya untuk menjaga
kelestarian lingkungan di areal kerjanya. Kewajiban ini mencakup
perlindungan keanekaragaman hayati, pencegahan kerusakan tanah dan air,
serta rehabilitasi lahan. Secara spesifik, Pasal 49 UU tentang
Kehutanan
menegaskan bahwa “pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan
di areal kerjanya,” yang menempatkan tanggung jawab mutlak (strict liability) pada
pemegang PBPH.
Sehingga, inti dari operasionalisasi PBPH adalah konsep
Multiusaha Kehutanan. Konsep ini didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 28 Permen LHK 8/2021
sebagai:
“penerapan beberapa kegiatan usaha Kehutanan berupa usaha Pemanfaatan
Kawasan, usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu, dan/atau usaha
Pemanfaatan Jasa Lingkungan untuk mengoptimalkan Kawasan Hutan pada Hutan
Lindung dan Hutan Produksi”.
Ruang lingkup atau kualifikasi kegiatan yang diizinkan dalam PBPH dibedakan
secara tegas berdasarkan fungsi utama kawasan hutan:
PBPH pada Hutan Lindung
Pemanfaatan hutan di kawasan Hutan Lindung (HL) diarahkan untuk
mempertahankan fungsi pokoknya sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan. Oleh karena itu, kegiatan yang diizinkan dalam PBPH pada Hutan
Lindung bersifat non-destruktif dan terbatas pada:
a.
Usaha Pemanfaatan Kawasan
Kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh hasil hutan
bukan kayu dan/atau jasa lingkungan dengan tidak memanen kayu, seperti
budidaya tanaman obat di bawah tegakan;
b.
Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan
Kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan, seperti pemanfaatan
aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman
hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, serta penyerapan dan/atau
penyimpanan karbon; dan
c.
Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
Kegiatan untuk mengambil hasil hutan selain kayu seperti rotan, madu,
getah, dan buah-buahan.
Secara kritis, meskipun kegiatan penebangan pohon dilarang keras di Hutan
Lindung, pengembangan berbagai kegiatan jasa lingkungan dan pemungutan HHBK
secara masif tetap berpotensi menimbulkan dampak kumulatif terhadap
ekosistem. Pembangunan sarana dan prasarana penunjang, peningkatan aktivitas
manusia, dan potensi eksploitasi HHBK yang berlebihan menuntut pengawasan
yang sangat ketat untuk memastikan fungsi lindung tidak terganggu.
PBPH pada Hutan Produksi
Kawasan Hutan Produksi (HP) memiliki fungsi pokok untuk memproduksi hasil
hutan. Oleh karena itu, ruang lingkup kegiatan dalam PBPH pada Hutan
Produksi jauh lebih luas, mencakup seluruh kegiatan yang diizinkan di Hutan
Lindung, ditambah dengan kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan
kayu, antara lain:
a.
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (HHK)
meliputi kegiatan pada hutan alam (pemanenan kayu alam) dan hutan tanaman
(pembangunan HTI);
b.
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
meliputi kegiatan budidaya dan pemanenan HHBK secara intensif; dan
c.
Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu
yaitu kegiatan pengambilan HHK dan HHBK dalam skala yang lebih kecil dan
terbatas.
Selain dua kualifikasi utama di atas, terdapat skema lain yang terintegrasi
dalam PBPH, salah satunya adalah PBPH Restorasi Ekosistem. Skema ini
merupakan kelanjutan dari Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi
Ekosistem (IUPHHK-RE) yang bertujuan untuk memulihkan ekosistem hutan yang
terdegradasi di kawasan Hutan Produksi. Pemegang PBPH-RE dapat memanfaatkan
HHBK dan jasa lingkungan sebagai insentif ekonomi selama proses pemulihan
ekosistem berlangsung.
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Penyelenggaraan PBPH
Salah satu perubahan paling fundamental yang dibawa oleh UU tentang Cipta Kerja adalah sentralisasi kewenangan penerbitan perizinan berusaha.
Sebelum UU tentang Cipta Kerja, kewenangan penerbitan izin pemanfaatan hutan terbagi antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi), umumnya berdasarkan
kriteria luasan areal atau lintas wilayah administrasi. Namun, UU tentang Cipta Kerja secara tegas menarik hampir seluruh kewenangan penerbitan
Perizinan Berusaha, termasuk PBPH, dari Pemerintah Daerah ke tangan Pemerintah Pusat, yang dalam hal ini didelegasikan kepada Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Republik Indonesia.
Tujuan dari sentralisasi ini adalah untuk menciptakan standardisasi
nasional, mempercepat proses perizinan, meningkatkan iklim investasi, dan
memberantas praktik pungutan liar di daerah. Namun, kebijakan ini menuai
kritik tajam karena berpotensi menghilangkan konteks sosial-ekologis lokal
dalam pengambilan keputusan, melemahkan fungsi pengawasan pemerintah daerah,
dan menciptakan jarak birokrasi yang jauh antara regulator di Jakarta dengan
lokasi izin di daerah.
Pergeseran kewenangan ini berdampak langsung pada Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Pemerintah daerah tidak lagi pasif; mereka secara strategis beradaptasi dengan memfokuskan regulasi pada sisa-sisa kewenangan yang masih mereka miliki.
Sebelum UU Cipta Kerja, kewenangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat
dalam pengelolaan hutan cukup signifikan, sebagaimana tercermin dalam
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 8 Tahun 2019 tentang
Pengelolaan Kehutanan. Perda ini, yang dibuat berdasarkan amanat
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan landasan bagi provinsi untuk mengatur berbagai aspek kehutanan
di wilayahnya, termasuk pemanfaatan hutan, rehabilitasi, perlindungan, dan
pemberdayaan masyarakat.
Setelah kewenangan penerbitan PBPH ditarik ke pusat, Pemerintah Provinsi
Kalimantan Barat beradaptasi dengan mengeluarkan
Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 33 Tahun 2022 tentang
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu. Langkah ini dapat dilihat sebagai manuver strategis untuk tetap relevan
dan menjalankan fungsi pemerintahan di sektor kehutanan. Dengan hilangnya
kontrol atas izin-izin besar (terutama yang berbasis kayu), provinsi
mengukir ceruk regulasi baru di bidang HHBK, sebuah area di mana mereka
masih mempertahankan kewenangan yang jelas, seperti “pengolahan hasil hutan bukan kayu” dan “pemberdayaan masyarakat”. Fokus pada HHBK juga sejalan dengan
upaya mendorong ekonomi masyarakat lokal, yang seringkali menjadi pelaku
utama dalam pemanfaatan HHBK.
Selain itu, Gubernur masih memiliki peran-peran non-perizinan yang penting,
antara lain:
a.
Memberikan rekomendasi untuk permohonan PBPH yang diajukan di
wilayahnya, meskipun rekomendasi ini tidak bersifat mengikat bagi pemerintah
pusat;
b.
Menetapkan persetujuan pemungutan HHBK yang tumbuh alami dan hasil
rehabilitasi yang berada di hutan negara di luar kawasan hutan;
c.
Mengkoordinasikan upaya
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di tingkat
provinsi; dan
d.
Mengelola Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Lindung dan Produksi di
wilayahnya.
Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat
Dampak sentralisasi paling terasa di tingkat pemerintah kabupaten/kota.
Pasca-UU Cipta Kerja, kewenangan mereka dalam hal perizinan pemanfaatan
hutan secara efektif dihilangkan. Peran mereka kini lebih terfokus pada
fungsi-fungsi pendukung, seperti pengawasan di tingkat tapak, fasilitasi
program perhutanan sosial, dan implementasi kebijakan yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat atau provinsi.
Sentralisasi kewenangan dalam penerbitan PBPH membawa implikasi ganda. Di
satu sisi, ia menjanjikan efisiensi, standardisasi, dan potensi percepatan
investasi. Di sisi lain, ia melahirkan risiko-risiko signifikan. Pengawasan
menjadi lebih sulit karena jarak geografis dan birokrasi antara KLHK di
Jakarta dengan ribuan titik lokasi PBPH di seluruh Indonesia. Keputusan yang
diambil di tingkat pusat berisiko tidak sensitif terhadap kondisi ekologis
dan sosial yang unik di setiap daerah, yang pada gilirannya dapat memicu
atau memperburuk konflik tenurial dengan masyarakat adat dan lokal.
Berikut adalah tabel yang merangkum pembagian kewenangan urusan kehutanan
antara Pemerintah Pusat dan Provinsi Kalimantan Barat setelah berlakunya UU
Cipta Kerja.
Pembagian Kewenangan Urusan Kehutanan Pusat dan Provinsi Kalbar (Pasca-UU
Cipta Kerja)
Sub-Urusan |
Kewenangan Pemerintah Pusat (Menteri LHK) |
Kewenangan Pemerintah Provinsi (Gubernur Kalbar) |
Pemanfaatan Hutan |
Menerbitkan PBPH (Hutan Lindung & Produksi), termasuk
pemanfaatan HHK, HHBK, Jasa Lingkungan, Karbon. |
Memberikan persetujuan pemungutan HHBK di luar kawasan hutan,
Mengatur pengembangan HHBK, Memberikan rekomendasi PBPH.
|
Pengelolaan Hutan |
Menetapkan KPH Konservasi (KPHK), Menetapkan kebijakan tata hutan
nasional. |
Mengelola KPH Lindung & Produksi (KPHL/KPHP), Menyusun rencana
pengelolaan KPHL/KPHP. |
Rehabilitasi Hutan |
Menetapkan kebijakan RHL nasional. |
Melaksanakan rehabilitasi di luar kawasan hutan negara.
|
Pengawasan |
Melakukan pengawasan terhadap seluruh PBPH. Dapat menerapkan sanksi
administratif secara langsung kepada pemegang izin.
|
Melakukan pengawasan di wilayahnya, khususnya pada kegiatan yang
menjadi kewenangannya, serta pembinaan kepada masyarakat.
|
Keterkaitan PBPH dengan Rezim Hukum Lainnya
Penerbitan dan pelaksanaan PBPH tidak berdiri sendiri, melainkan terikat
erat dengan berbagai rezim hukum lainnya. Tiga keterkaitan yang paling
fundamental adalah dengan penataan ruang, perlindungan lingkungan hidup, dan
perdagangan hasil hutan.
Salah satu inovasi terbesar UU Cipta Kerja adalah pengenalan “persyaratan dasar perizinan berusaha”, yang secara efektif mengangkat peran Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menjadi gerbang utama (gatekeeper) bagi seluruh kegiatan investasi, termasuk PBPH. Sebelum PBPH dapat diproses lebih lanjut, pemohon wajib terlebih dahulu memperoleh Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR).
Fungsi KKPR adalah untuk memastikan bahwa rencana lokasi dan kegiatan yang
diusulkan dalam permohonan PBPH telah sesuai dengan peruntukan ruang yang
ditetapkan dalam RTRW Provinsi dan/atau RTRW Kabupaten/Kota yang berlaku.
Jika suatu areal dalam RTRW tidak dialokasikan untuk kegiatan kehutanan
(misalnya, ditetapkan sebagai kawasan permukiman atau industri), maka KKPR
untuk PBPH di lokasi tersebut tidak dapat diterbitkan, dan proses perizinan
akan berhenti. Seluruh proses ini terintegrasi dalam sistem
Online Single Submission
(OSS), yang akan melakukan verifikasi kesesuaian spasial secara otomatis.
Implikasi dari mekanisme ini sangat signifikan. RTRW tidak lagi hanya
sekadar dokumen perencanaan yang bersifat panduan, tetapi telah
bertransformasi menjadi instrumen hukum yang mengikat dan menjadi prasyarat
mutlak bagi perizinan. Hal ini menggeser arena advokasi dan lobi
kepentingan. Jika sebelumnya pertarungan banyak terjadi pada level pengajuan
izin individual, kini pertarungan yang lebih strategis adalah pada saat
proses penyusunan atau revisi RTRW itu sendiri, karena dokumen inilah yang
akan menentukan kemungkinan pemanfaatan lahan untuk puluhan tahun ke depan.
Kemudian, setiap pemegang PBPH, sebagai bagian dari pemenuhan komitmennya, wajib
menyusun dokumen lingkungan hidup. Jenis dokumen yang disyaratkan ditentukan
melalui pendekatan berbasis risiko (risk-based approach), sebagaimana
diatur dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
a.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL)
Diwajibkan untuk kegiatan PBPH yang dinilai memiliki dampak penting dan
risiko tinggi terhadap lingkungan. Berdasarkan
Peraturan Menteri LHK Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2021 tentang
Daftar Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Amdal, UKL-UPL, atau
SPPL, kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu (penebangan hutan alam) untuk semua
besaran skala wajib menyusun AMDAL. Proses AMDAL meliputi penyusunan
Kerangka Acuan (KA), Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), dan Rencana
Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL);
b.
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup
(UKL-UPL)
Diwajibkan untuk kegiatan PBPH dengan risiko menengah yang tidak berdampak
penting. Contohnya bisa mencakup kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan atau
HHBK dengan skala tertentu.
Persetujuan atas dokumen lingkungan ini (berupa Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup/SKKL untuk AMDAL atau Persetujuan Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup/PKPLH untuk UKL-UPL) menjadi prasyarat untuk efektivitas PBPH.
PBPH dan Perdagangan Hasil Hutan: Integrasi Wajib dengan SVLK
Untuk memastikan legalitas sumber bahan baku dan mendorong pengelolaan
hutan yang lestari, setiap hasil hutan yang berasal dari areal PBPH dan akan
diperdagangkan (terutama untuk pasar ekspor) wajib memenuhi ketentuan
Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK). SVLK adalah
sistem penjaminan yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia untuk
memastikan bahwa produk kayu dan hasil hutan lainnya berasal dari sumber
yang legal dan dikelola secara lestari.
Kewajiban ini diatur secara rinci dalam Permen LHK 8/2021 dan diperkuat
oleh
Keputusan Menteri LHK Republik Indonesia Nomor
SK.9895/MenLHK-PHL/BPPHH/HPL.3/12/2022. Pemegang PBPH harus menjalani audit oleh Lembaga Penilai dan Verifikasi
Independen (LPVI) yang terakreditasi. Jika dinilai memenuhi standar,
pemegang PBPH akan memperoleh:
-
Sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari (S-PHL)
Diberikan kepada pemegang PBPH yang dinilai telah berhasil menerapkan
prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari;
-
Sertifikat Legalitas Hasil Hutan (S-Legalitas)
Diberikan kepada unit usaha yang telah memenuhi standar verifikasi
legalitas kayu.
Sertifikat inilah yang menjadi dasar bagi penerbitan
Dokumen V-Legal, sebuah lisensi yang wajib menyertai produk kayu dan
hasil hutan yang diekspor ke pasar internasional, terutama Uni Eropa. Dengan
demikian, SVLK menjadi instrumen pasar yang mengikat PBPH dengan standar
tata kelola dan perdagangan global.
Selain aspek-aspek di atas, PBPH juga memiliki keterkaitan erat dengan
mitigasi bencana, khususnya kebakaran hutan dan lahan.
Pasal 49 UU tentang
Kehutanan
secara tegas meletakkan tanggung jawab mutlak (strict liability) pada
pemegang izin atas terjadinya kebakaran di areal kerjanya. Artinya, pemegang
PBPH dapat dimintai pertanggungjawaban hukum tanpa perlu dibuktikan adanya
unsur kesalahan (fault), cukup dengan fakta bahwa kebakaran terjadi
di dalam konsesi mereka. Ketentuan ini menjadi instrumen hukum yang kuat
untuk mendorong pemegang PBPH berinvestasi dalam sistem pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan.
Penegakan Hukum dan Sengketa dalam Perizinan Pemanfaatan Hutan
Yurisprudensi atau putusan pengadilan memainkan peran krusial dalam
menafsirkan, menguji, dan membentuk praktik hukum perizinan kehutanan.
Analisis terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung
(MA), dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengungkapkan adanya dualitas
jalur hukum yang konsisten digunakan oleh para pemangku kepentingan. Jalur
pertama adalah sengketa hukum administrasi di PTUN yang berfokus pada
keabsahan prosedur dan kepatuhan pemerintah terhadap Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AUPB) dalam menerbitkan atau mencabut izin. Jalur
kedua adalah pengujian hukum substantif dan konstitusional di MK atau
pengadilan lain, yang mempersoalkan validitas undang-undang induk itu
sendiri atau konfliknya dengan norma hukum yang lebih tinggi.
Putusan Pra-Cipta Kerja
melalui
Pengakuan Hutan Adat
sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012,
tertanggal 16 Mei 2013, menjadi tonggak sejarah dalam hukum kehutanan
Indonesia, yang mana dalam amar putusannya menyatakan:
“Mengabulkan permohonan para Pemohon (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN
dkk.) untuk sebagian. Mahkamah menyatakan frasa “negara” dalam Pasal 1 angka
6 UU Kehutanan yang mendefinisikan “Hutan adat adalah hutan negara yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” adalah bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Adapun Pertimbangan Hukum (Ratio Decidendi)-nya,
Mahkamah berpendapat bahwa menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan
negara merupakan bentuk pengabaian terhadap hak konstitusional masyarakat
hukum adat yang telah diakui dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Menurut Mahkamah, hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah
masyarakat hukum adat, bukan hutan milik negara. Penguasaan hutan oleh
negara tidak serta-merta berarti kepemilikan, melainkan kewenangan untuk
mengatur demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, negara
tidak dapat secara sepihak menetapkan hutan adat sebagai hutan negara.
Putusan ini secara fundamental mengubah lanskap tenurial kehutanan. Areal
yang sebelumnya dianggap sebagai “hutan negara” dan berpotensi dialokasikan
untuk PBPH, kini harus diverifikasi terlebih dahulu statusnya. Jika suatu
wilayah terbukti merupakan hutan adat, maka wilayah tersebut tidak dapat
dijadikan objek PBPH oleh pemerintah pusat. Putusan ini menjadi dasar hukum
yang kuat bagi masyarakat adat untuk menolak pemberian PBPH di wilayah
mereka dan menuntut pengakuan atas hutan adatnya, sehingga menciptakan
potensi sengketa tenurial yang harus diantisipasi dalam setiap proses
penerbitan PBPH.
Selanjutnya, Putusan Pasca-Cipta Kerja
terkait
Cacat Formil UU Cipta Kerja
sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia
Nomor 91/PUU-XVIII/2020.,
tertanggal 25 November 2021, kembali mengguncang lanskap hukum
nasional, yang mana dalam amar putusannya menyatakan:
“Menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional). Mahkamah memberikan waktu dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan. Selama masa perbaikan, UU Cipta Kerja tetap berlaku, namun pemerintah dilarang menerbitkan peraturan pelaksana baru yang bersifat strategis dan berdampak luas.
Adapun Pertimbangan Hukum (Ratio Decidendi)-nya,
Mahkamah menilai proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi asas
keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Penggunaan metode omnibus law tidak memiliki landasan hukum yang
jelas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan menyimpang
dari prosedur legislasi yang standar.
PBPH adalah instrumen yang lahir langsung dari UU tentang Cipta Kerja. Putusan ini menciptakan periode ketidakpastian hukum yang
signifikan terhadap seluruh rezim perizinan baru, termasuk PBPH. Meskipun
PBPH yang sudah terbit tetap berlaku, putusan ini menangguhkan
kebijakan-kebijakan strategis baru terkait PBPH dan menimbulkan keraguan
bagi investor. Respons pemerintah dengan menerbitkan Perppu Nomor
2/2022 (kini UU Nomor
6/2023) adalah upaya untuk mengatasi ketidakpastian ini, namun kontroversi
mengenai cacat formil dan kurangnya partisipasi publik tetap melekat pada
legitimasi PBPH.
Sengketa Tata Usaha Negara: Gugatan terhadap Penerbitan dan Pencabutan Izin
Kasus
Pencabutan Izin karena Tidak Aktif
sebagaimana
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor
223/G/2014/PTUN-JKT.,
tertanggal 18 Desember 2014, dalam perkara antara PT Merauke Rayon Jaya
melawan Menteri Kehutanan memberikan gambaran bagaimana pengadilan menguji
keabsahan tindakan pemerintah, yang mana dalam amar putusannya:
“Menolak gugatan Penggugat (PT. Merauke Rayon Jaya).”
Adapun Pertimbangan Hukum (Ratio Decidendi)-nya,
Majelis Hakim mendasarkan putusannya pada bukti bahwa perusahaan (Penggugat) secara
nyata tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Pertimbangan utama adalah
hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP) lapangan yang menunjukkan tidak adanya
kegiatan nyata, tidak adanya penyusunan Rencana Kerja Tahunan (RKT), dan
tidak adanya tenaga teknis kehutanan. Selain itu, hakim menilai tindakan
Menteri Kehutanan (Tergugat) telah sesuai prosedur karena telah memberikan
surat peringatan secara bertahap (Peringatan I, II, dan III) sebelum
menerbitkan surat keputusan pencabutan. Dengan demikian, tindakan Tergugat
tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), khususnya asas
kecermatan dan tidak sewenang-wenang.
Perkara ini menjadi yurisprudensi penting yang menegaskan bahwa Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK) atau kini yang disebut PBPH bukanlah hak yang absolut. Pemegang PBPH memiliki kewajiban-kewajiban konkret yang harus dilaksanakan, dan kegagalan untuk memenuhinya dapat berujung pada pencabutan izin. Putusan ini menggarisbawahi pentingnya fungsi pengawasan pemerintah dan memberikan landasan hukum bagi KLHK untuk menindak tegas pemegang PBPH yang tidak aktif atau tidak memenuhi komitmennya, asalkan tindakan tersebut didukung oleh bukti yang kuat dan prosedur administratif yang benar.
Kemudian kasus Pengenaan Sanksi Administratif
sebagaimana
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134 PK/TUN/2022,
tertanggal 4 Agustus 2022, dalam perkara Peninjauan Kembali antara PT
Narkata Rimba melawan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
KLHK, menjadi yurisprudensi penting terkait penerapan sanksi
administratif, yang mana amar putusannya menyatakan:
“Menolak permohonan Peninjauan Kembali dari PT. Narkata Rimba.”
Mahkamah Agung dalam tingkat Peninjauan Kembali akan menguji apakah
terdapat kekhilafan hakim atau bukti baru (novum). Dalam konteks
sanksi administratif, MA akan memastikan bahwa penerapan sanksi (misalnya
denda atas pelanggaran Provisi Sumber Daya Hutan/PSDH) telah didasarkan pada
bukti pelanggaran yang sah dan perhitungan denda yang sesuai dengan formula
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Penolakan PK mengindikasikan
bahwa MA menilai putusan sebelumnya yang menguatkan sanksi dari pemerintah
sudah tepat dan tidak ditemukan adanya kekhilafan atau bukti baru yang
signifikan.
Putusan ini sangat relevan karena memperkuat posisi pemerintah dalam
menegakkan kewajiban finansial dan sanksi denda administratif terhadap
pemegang PBPH. Ini memberikan kepastian hukum bahwa selama pemerintah dapat
membuktikan adanya pelanggaran dan menerapkan denda sesuai aturan, maka
sanksi tersebut sah secara hukum. Bagi pemegang PBPH, putusan ini menjadi
pengingat akan konsekuensi finansial yang serius dari ketidakpatuhan
terhadap aturan main, seperti pembayaran PSDH dan Dana Reboisasi (DR).
Kemudian Studi Kasus
yang tak kalah menarik adalah
Konflik dengan Kepentingan Strategis
Nasional, sebagaimana
Kasus sengketa terkait pencabutan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan
(PBPH) di Pulau Rempang yang diputus dalam
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 465/G/2023/PTUN.JKT, tertanggal 21 Februari 2024, menyoroti kompleksitas baru dalam hukum
perizinan.
Dalam Amar Putusannya Majelis Hakim Menolak gugatan Penggugat
yaitu PT Agrilindo Estate.
Majelis Hakim kemungkinan besar mempertimbangkan bahwa penetapan Pulau Rempang
sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) merupakan kepentingan umum yang
lebih tinggi dan memiliki landasan hukum yang kuat, yang dapat
mengesampingkan izin yang telah ada sebelumnya. Pertimbangan lainnya adalah
kewenangan pemerintah untuk mengevaluasi dan menata kembali perizinan demi
kepentingan strategis nasional, selama tindakan pencabutan tersebut
dilakukan sesuai dengan mekanisme dan peraturan yang berlaku.
Sengketa ini menjadi preseden krusial yang menunjukkan bahwa kepastian
hukum pemegang PBPH tidaklah mutlak dan dapat dianulir oleh kebijakan Proyek
Strategis Nasional. Hal ini menimbulkan risiko investasi yang signifikan
bagi pemegang PBPH, karena areal konsesi mereka dapat sewaktu-waktu
dialihfungsikan untuk proyek yang dianggap lebih strategis oleh pemerintah.
Putusan ini menegaskan bahwa dalam benturan antara hak privat pemegang izin
dan kepentingan publik yang diwakili oleh PSN, kepentingan publik cenderung
dimenangkan, yang menggarisbawahi perlunya klausul perlindungan investasi
yang lebih kuat dalam rezim PBPH.
Selanjutnya, Konflik Antar-Sektor, sengketa terkait izin tambang PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Pulau Wawonii, yang berpuncak pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 403 K/TUN/TF/2024, tertanggal 7 Oktober 2024, menunjukkan adanya jalur gugatan lain, yaitu konflik antar-undang-undang sektoral.
Mengabulkan permohonan kasasi dari warga dan membatalkan Izin Pinjam Pakai
Kawasan Hutan (IPPKH) yang dimiliki oleh PT GKP.
Pertimbangan utama MA adalah adanya pertentangan antara izin sektoral
(IPPKH dari KLHK) dengan undang-undang yang memiliki hierarki lebih tinggi
dan bersifat khusus untuk perlindungan ekosistem, yaitu Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU
PWP3K). UU PWP3K secara eksplisit melarang kegiatan pertambangan di
pulau-pulau kecil seperti Wawonii. Dengan demikian, MA menerapkan asas
lex superior derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi
mengesampingkan hukum yang lebih rendah), di mana ketentuan dalam UU PWP3K
membatalkan keabsahan IPPKH yang diterbitkan oleh kementerian.
Putusan ini memberikan pelajaran fundamental bahwa PBPH, meskipun merupakan izin terintegrasi dari pemerintah pusat, harus tunduk pada peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi atau bersifat khusus, terutama yang berkaitan dengan tata ruang dan perlindungan ekosistem. Kasus ini menegaskan bahwa Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) bukan hanya formalitas administratif, tetapi merupakan uji materiil yang krusial. Setiap permohonan PBPH di lokasi yang memiliki kerentanan ekologis (seperti pulau kecil, kawasan pesisir, atau kawasan lindung lainnya) harus dipastikan tidak bertentangan dengan undang-undang perlindungan spesifik yang berlaku untuk wilayah tersebut.
Putusan-putusan pengadilan tersebut di atas
secara kolektif memberikan dampak signifikan. Putusan MK membentuk ulang
norma-norma dasar dalam UU tetang Kehutanan. Putusan PTUN dan MA, di sisi lain, berfungsi sebagai “penjaga
gawang” bagi pelaksanaan administrasi pemerintahan. Putusan-putusan tersebut
secara konsisten menekankan bahwa pemerintah, dalam menjalankan
kewenangannya, harus patuh tidak hanya pada hukum tertulis (prosedur),
tetapi juga pada AUPB, seperti asas kepastian hukum, asas kecermatan, dan
asas tidak sewenang-wenang. Yurisprudensi ini menjadi pelajaran penting bagi
KLHK dalam merumuskan kebijakan dan bagi pelaku usaha dalam memahami hak dan
kewajiban mereka.
Kesimpulan dan Rekomendasi Kritis
Dapat kita perhatikan secara seksama bahwa
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) menunjukkan bahwa ia merupakan
sebuah transformasi fundamental dari rezim perizinan sebelumnya. Didorong
oleh agenda penyederhanaan birokrasi dan peningkatan kemudahan investasi
yang diusung oleh UU Cipta Kerja, PBPH mengubah lanskap hukum dan praktik
pemanfaatan hutan di Indonesia secara mendasar. Perubahan ini tidak hanya
bersifat administratif, tetapi juga paradigmatik, yakni dari model usaha
tunggal yang tersegmentasi menjadi model multiusaha yang terintegrasi.
Pada akhirnya, PBPH adalah sebuah instrumen. Efektivitas dan
dampaknya—apakah akan membawa pada pengelolaan hutan yang lebih baik atau
justru mempercepat degradasi—sangat bergantung pada kemauan politik dan
kapasitas kelembagaan untuk menegakkan aturan main, menjaga keseimbangan
antara berbagai tujuan, dan memastikan bahwa “sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat” ditafsirkan secara luas untuk mencakup kesejahteraan ekologis dan
sosial, bukan hanya keuntungan ekonomi sesaat.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.