Pengantar
Dalam ekosistem bisnis dan perdagangan modern, merek (trademark)
telah bertransformasi dari sekadar penanda identitas menjadi aset
intangible (tidak berwujud) yang paling fundamental dan bernilai.
Merek tidak lagi hanya berfungsi sebagai pembeda antara produk satu dengan
yang lain, melainkan telah menjadi representasi dari reputasi, jaminan
kualitas (guarantee of quality), dan penunjuk asal-usul komersial (guarantee of origin) suatu barang atau jasa.
Kekuatan ekonomi yang melekat pada sebuah merek menjadikannya objek
pelindungan hukum yang krusial, di mana negara memberikan hak eksklusif
kepada pemiliknya untuk menggunakan dan mengambil manfaat ekonomi dari merek
tersebut.
Namun, pelindungan hukum yang diberikan oleh negara bukanlah sebuah selimut
tanpa batas. Lingkup atau cakupan pelindungan tersebut didefinisikan secara
presisi melalui sebuah mekanisme yang seringkali dianggap bersifat
teknis-administratif, yaitu sistem klasifikasi kelas merek. Artikel ini
berargumentasi bahwa sistem klasifikasi merek bukanlah sekadar formalitas
prosedural, melainkan merupakan pilar substantif yang menentukan batas-batas
yuridis (metes and bounds) dari hak eksklusif yang diperoleh.
Terdapat hubungan kausalitas yang tak terpisahkan antara ketepatan dalam
penentuan kelas pada tahap permohonan dengan kekuatan dan efektivitas
pelindungan hukum merek di kemudian hari. Kesalahan dalam klasifikasi
bukanlah kekeliruan administratif yang sepele, melainkan dapat berakibat
fatal terhadap validitas dan daya laku (enforceability) hak merek itu
sendiri.
Sebagaimana diamanatkan oleh adagium hukum klasik,
“Vigilantibus non dormientibus aequitas subvenit” (hukum membantu
mereka yang waspada, bukan mereka yang lalai), kewajiban untuk cermat dan
teliti dalam menentukan kelas merek yang sesuai sepenuhnya berada di pundak
pemohon. Kewaspadaan ini merupakan manifestasi dari itikad baik (good faith) dan prasyarat esensial untuk memperoleh pelindungan hukum yang optimal.
Kelalaian pada tahap fundamental ini dapat ditafsirkan sebagai kegagalan
pemohon dalam menjalankan kewajiban kehati-hatiannya, yang pada akhirnya
dapat meruntuhkan seluruh bangunan hak yang hendak didirikannya.
Untuk mengupas tuntas urgensi ini, artikel ini akan menyajikan analisis
komprehensif yang terstruktur. Dimulai dari penjabaran definisi yuridis
merek dan kelas merek dalam kerangka hukum Indonesia, dilanjutkan dengan
penelusuran genealogi sistem klasifikasi internasional yang menjadi rujukan
global. Selanjutnya, akan dibahas implementasi sistem ini di Indonesia,
termasuk kewenangan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dan
tahapan prosedural yang relevan.
Sebagai panduan praktis, akan disajikan pula daftar lengkap 45 kelas merek.
Puncak analisis akan berada pada studi kasus hukum, baik dari yurisdiksi
Indonesia maupun perbandingan internasional, untuk menunjukkan secara
konkret implikasi yuridis dari ketepatan—dan kesalahan—klasifikasi. Artikel
ini ditutup dengan kesimpulan dan pandangan kritis yang diharapkan dapat
menjadi pedoman bagi para pelaku usaha, praktisi hukum, dan akademisi dalam
menavigasi kompleksitas hukum merek.
Definisi Yuridis Merek dan Kelas Merek dalam Sistem Hukum Indonesia
Kerangka hukum pelindungan merek di Indonesia secara fundamental diatur
dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut dengan “UU MIG”.
Definisi yuridis mengenai Merek secara eksplisit diatur dalam
Pasal 1 ayat (1) UU MIG, yang menyatakan:
“Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar,
logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua)
dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2
(dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang
diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang
dan/atau jasa.”
Analisis terhadap pasal ini menyingkap beberapa unsur esensial yang
membentuk definisi sebuah merek. Pertama, unsur
“tanda yang dapat ditampilkan secara grafis” merupakan
prasyarat representasi. Artinya, tanda tersebut harus dapat dipersepsikan
secara visual dan direproduksi secara konsisten, baik dalam dokumen
pendaftaran maupun dalam peredaran komersial. Kedua, UU MIG mengadopsi
cakupan bentuk tanda yang sangat luas dan progresif, mengakomodasi tidak
hanya merek konvensional (gambar, kata, logo), tetapi juga merek
non-konvensional seperti merek tiga dimensi, suara, dan hologram.
Fleksibilitas ini menunjukkan adaptasi hukum terhadap praktik pemasaran
modern. Ketiga, dan yang paling krusial, adalah fungsi utama merek, yaitu
sebagai daya pembeda (distinctive character). Sebuah tanda
hanya dapat dikualifikasikan sebagai merek apabila ia mampu membedakan
barang dan/atau jasa dari satu produsen dengan produsen lainnya, sehingga
mencegah terjadinya kebingungan di tengah masyarakat konsumen.
Definisi dan Konsep Kelas Merek
Berbeda dengan definisi Merek yang tertuang lugas, UU MIG tidak memberikan
satu definisi eksplisit untuk “Kelas Merek”. Konsep ini diatur secara
implisit dan prosedural sebagai bagian tak terpisahkan dari proses
permohonan pendaftaran. Secara konseptual, Kelas Merek adalah sebuah sistem
taksonomi hukum yang berfungsi untuk mengkategorikan seluruh spektrum barang
dan jasa yang dapat diperdagangkan ke dalam kelompok-kelompok yang telah
ditentukan secara internasional.
Keberadaan sistem ini ditegaskan dalam beberapa ketentuan
UU MIG. Pasal 4 ayat (2) huruf e UU MIG secara imperatif
mensyaratkan bahwa suatu permohonan pendaftaran merek harus mencantumkan
“kelas barang dan/atau kelas jasa serta uraian jenis barang dan/atau jenis
jasa”.
Lebih lanjut, Pasal 6 ayat (1) UU MIG membuka kemungkinan
bagi pemohon untuk mengajukan pendaftaran merek untuk lebih dari satu kelas
barang dan/atau jasa dalam satu permohonan (multi-class application),
sebuah efisiensi prosedural yang menegaskan kembali eksistensi sistem kelas
sebagai kerangka kerja pendaftaran.
Pengaturan yang lebih teknis dan mendetail mengenai sistem klasifikasi ini
didelegasikan kepada peraturan pelaksana.
Bab III Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek, yang selanjutnya disebut dengan “Permenkumham 67/2016”, secara khusus mengatur tentang “Kelas Barang atau Jasa”. Ketiadaan
definisi eksplisit dalam UU MIG dan pendelegasiannya kepada peraturan
setingkat menteri mengindikasikan bahwa sistem klasifikasi ini dipandang
sebagai sebuah kerangka kerja prosedural yang diadopsi dari praktik
internasional yang sudah mapan (a given procedural framework), bukan
merupakan konsep yang lahir secara otonom dari sistem hukum Indonesia.
Penempatan detail teknis pada level regulasi yang lebih fleksibel ini juga
merupakan langkah pragmatis yang memungkinkan pemerintah, melalui DJKI,
untuk lebih mudah beradaptasi dengan revisi dan pembaruan sistem klasifikasi
internasional di masa mendatang tanpa harus melalui proses legislasi yang
panjang.
Genealogi dan Peran Klasifikasi Nice (NCL) dalam Harmonisasi Global
Sejarah Sistem Klasifikasi Merek
Sebelum terwujudnya sebuah standar global, sistem pendaftaran merek di
berbagai negara diwarnai oleh fragmentasi. Setiap yurisdiksi memiliki sistem
klasifikasi barang dan jasanya sendiri, atau bahkan tidak memilikinya sama
sekali. Kondisi ini menciptakan hambatan yang signifikan bagi perdagangan
internasional dan pelindungan merek lintas batas. Pelaku usaha yang ingin
melindungi mereknya di beberapa negara harus berhadapan dengan kerumitan
birokrasi dan ketidakpastian hukum akibat perbedaan sistem klasifikasi.
Inisiatif untuk melakukan standardisasi mulai mengemuka pada paruh pertama
abad ke-20. Langkah penting pertama diambil pada tahun 1935 ketika
United International Bureaux for the Protection of Intellectual
Property
(BIRPI)—organisasi pendahulu
World Intellectual Property Organization (WIPO)—menyiapkan sebuah
sistem klasifikasi yang terdiri dari 34 kelas untuk barang. Klasifikasi awal
inilah yang menjadi cikal bakal dari sistem yang kita kenal saat ini.
Peran Sentral Nice Classification (NCL) oleh WIPO
Tonggak sejarah dalam harmonisasi global sistem klasifikasi merek terjadi
pada 15 Juni 1957 melalui penandatanganan
Nice Agreement Concerning the International Classification of Goods and
Services for the Purposes of the Registration of Marks, atau yang lebih dikenal sebagai Nice Agreement. Perjanjian
multilateral yang dikelola oleh WIPO ini menginstitusionalisasikan sebuah
sistem klasifikasi tunggal yang kini dikenal sebagai
Nice Classification (NCL).
Struktur NCL terdiri dari 45 kelas, yang terbagi menjadi 34 kelas untuk
barang (Kelas 1-34) dan 11 kelas untuk jasa (Kelas 35-45). Setiap kelas
memiliki judul (Class Headings) yang memberikan indikasi umum
mengenai jenis barang atau jasa yang tercakup di dalamnya. Untuk memberikan
panduan interpretasi yang lebih mendalam, NCL juga dilengkapi dengan Catatan
Penjelasan (Explanatory Notes) yang merinci jenis-jenis produk atau
layanan yang termasuk dan tidak termasuk dalam suatu kelas.
Salah satu karakteristik utama NCL adalah sifatnya yang dinamis. Sistem ini
tidak statis, melainkan terus direvisi secara berkala oleh sebuah Komite
Ahli (Committee of Experts) yang beranggotakan negara-negara
penandatangan Nice Agreement. Revisi ini bertujuan untuk
mengakomodasi kemunculan produk, jasa, dan model bisnis baru yang lahir dari
perkembangan teknologi dan inovasi, sehingga NCL tetap relevan dengan
dinamika pasar global.
Penggunaan NCL bersifat mandatori bagi negara-negara anggota
Nice Union. Mereka diwajibkan untuk menerapkan NCL dalam prosedur
pendaftaran merek nasionalnya, baik sebagai sistem klasifikasi utama maupun
subsider. Lebih dari itu, NCL juga menjadi bahasa universal dalam sistem
pendaftaran merek internasional, terutama melalui Sistem Madrid. Ketika
seorang pemohon mengajukan pendaftaran internasional melalui
Madrid Protocol, penentuan kelas barang dan jasa harus mengacu pada
NCL. Adopsi NCL oleh Indonesia, yang diperkuat dengan ratifikasi
Madrid Protocol, bukanlah sekadar kepatuhan teknis, melainkan sebuah
langkah strategis untuk berintegrasi penuh ke dalam ekosistem kekayaan
intelektual global. Harmonisasi ini secara signifikan mempermudah pelaku
usaha Indonesia untuk memperluas pelindungan merek mereka ke pasar
internasional, dan sebaliknya, memberikan kepastian bagi investor asing yang
ingin mendaftarkan mereknya di Indonesia.
Implementasi Sistem Klasifikasi Merek di Indonesia
Dasar Hukum Adopsi Klasifikasi Nice
Indonesia telah secara resmi mengadopsi dan mengimplementasikan sistem
Klasifikasi Nice sebagai standar tunggal dalam administrasi pendaftaran
merek. Landasan hukum awal untuk adopsi ini diletakkan melalui
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1993 tentang
Kelas Barang atau Jasa Bagi Pendaftaran Merek. Seiring dengan pembaruan kerangka hukum merek, kewajiban ini dipertegas
dalam peraturan pelaksana dari UU MIG.
Pasal 14 ayat (3) Permenkumham 67/2016
menjadi ketentuan kunci yang secara eksplisit mengikat sistem pendaftaran
merek Indonesia pada standar internasional. Pasal tersebut menyatakan:
“Penentuan kelas barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) didasarkan pada sistem klasifikasi yang diatur dalam
perjanjian internasional mengenai klasifikasi Merek yang berlaku.”
Frasa “perjanjian internasional mengenai klasifikasi Merek yang berlaku”
secara de jure dan de facto merujuk pada
Nice Agreement dan sistem Nice Classification (NCL) yang
dihasilkannya. Dengan demikian, setiap permohonan pendaftaran merek yang
diajukan kepada DJKI harus tunduk pada struktur dan kaidah interpretasi yang
ditetapkan dalam NCL edisi terbaru yang berlaku.
Kewenangan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI)
Sebagai lembaga pemerintah di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, DJKI memegang kewenangan penuh sebagai administrator dan pemeriksa
dalam proses pendaftaran merek di Indonesia. Kewenangan ini tidak hanya
bersifat pasif sebagai penerima permohonan, tetapi juga aktif sebagai
penjaga gerbang (gatekeeper) yang memastikan integritas sistem,
termasuk dalam hal klasifikasi.
Pada tahap pemeriksaan formalitas, DJKI memiliki kewenangan substantif
untuk menilai kesesuaian antara kelas yang dipilih oleh pemohon dengan
uraian jenis barang dan/atau jasa yang dicantumkan. Kewenangan ini diatur
secara tegas dalam Pasal 15 Permenkumham 67/2016, yang memberikan diskresi kepada Menteri (cq. DJKI) untuk:
1.
Mencoret jenis barang dan/atau jasa
dari permohonan apabila dianggap tidak sesuai dengan kelas yang
dimohonkan.
2.
Melakukan perbaikan terhadap kesalahan penulisan
pada jenis barang dan/atau jasa.
Kewenangan ini menciptakan sebuah dinamika di mana interpretasi DJKI
terhadap NCL menjadi otoritas final pada tahap administratif. Apabila DJKI
menilai suatu uraian barang tidak relevan dengan kelas yang dipilih, DJKI
akan memberitahukan pemohon dan mencoret item tersebut. Pilihan yang
tersedia bagi pemohon adalah menerima keputusan tersebut atau mengajukan
kembali item yang dicoret sebagai permohonan pendaftaran baru di kelas yang
sesuai.
Mekanisme ini menunjukkan bahwa DJKI bukan sekadar fasilitator, melainkan
juga adjudikator awal yang secara sepihak dapat menentukan dan membatasi
lingkup hak yang akan didaftarkan. Keputusan yang diambil pada tahap
formalitas ini memiliki implikasi substantif yang mendalam bagi strategi
bisnis dan pelindungan hukum pemohon.
Tahapan Prosedural Penentuan Kelas Merek
Bagi pemohon, proses penentuan kelas merek yang akurat merupakan langkah
kritis yang harus dilalui dengan cermat. Berikut adalah tahapan prosedural
yang direkomendasikan:
1.
Identifikasi Komprehensif Barang dan/atau Jasa:
Langkah pertama dan paling fundamental adalah melakukan inventarisasi yang
lengkap dan detail atas seluruh jenis barang atau jasa di mana merek
tersebut telah digunakan atau direncanakan untuk digunakan. Pemohon harus
berpikir tidak hanya tentang produk utama, tetapi juga produk turunan,
aksesoris, atau layanan pendukung yang ditawarkan di bawah merek yang sama.
2.
Pemanfaatan Alat Bantu Klasifikasi DJKI:
DJKI menyediakan fasilitas pencarian online bernama
Sistem Klasifikasi Merek (SKM). Alat bantu ini merupakan basis data
yang dapat diakses publik dan berisi daftar barang dan jasa sesuai dengan
NCL edisi terbaru yang diadopsi oleh Indonesia. Pemohon dapat memasukkan
kata kunci yang relevan dengan bisnisnya (misalnya, “kopi”, “perangkat
lunak”, “konsultasi keuangan”) untuk menemukan kelas dan uraian standar yang
paling sesuai.
3.
Pencantuman Akurat dalam Formulir Permohonan:
Setelah kelas dan uraian jenis barang/jasa yang tepat teridentifikasi,
informasi tersebut harus dicantumkan secara akurat pada formulir permohonan
pendaftaran merek. Baik dalam pengajuan secara elektronik melalui sistem
e-Merek maupun secara non-elektronik, kolom kelas dan uraian barang/jasa
wajib diisi dengan lengkap dan benar sesuai dengan hasil identifikasi.
Ketidakakuratan pada tahap ini dapat memicu koreksi dari DJKI atau, dalam
skenario terburuk, mengakibatkan lingkup pelindungan yang tidak sesuai
dengan realitas bisnis.
Daftar Klasifikasi Kelas Merek Barang dan Jasa (Kelas 1-45)
Sebagai panduan referensi yang esensial bagi para pemohon merek dan
praktisi hukum, berikut disajikan daftar lengkap 45 kelas merek berdasarkan
sistem Nice Classification yang diadopsi dan diimplementasikan oleh
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) di Indonesia. Tabel ini
memisahkan secara jelas antara kelas untuk barang (Kelas 1-34) dan kelas
untuk jasa (Kelas 35-45), beserta deskripsi singkat dari cakupan
masing-masing kelas.
Tabel 1: Daftar 45 Kelas Merek Sesuai Klasifikasi Nice |
KELAS BARANG (1-45) |
Kelas 1:
Bahan kimia yang digunakan dalam industri, ilmu pengetahuan dan
fotografi, serta dalam pertanian, hortikultura dan kehutanan; resin
buatan yang belum diolah; plastik yang belum diolah; pupuk;
komposisi pemadam kebakaran; sediaan-sediaan mengeraskan dan mematri
logam. |
Kelas 2:
Cat, pernis, lak; bahan pencegah karatan dan kelapukan kayu; bahan
warna; bahan penyamak; tinta cetak, tinta penanda dan tinta ukir;
resin alami mentah; logam dalam bentuk foil dan bubuk untuk
keperluan melukis, dekorasi, mencetak dan seni. |
Kelas 3:
Sediaan pemutih dan bahan-bahan lain untuk keperluan mencuci;
sediaan untuk membersihkan, mengkilatkan, membuang lemak dan
menggosok; sabun; wangi-wangian, minyak esensial, kosmetik, losion
rambut; pasta gigi. |
Kelas 4:
Minyak dan gemuk untuk industri; pelumas; kompon untuk menyerap,
membasahi dan mengikat debu; bahan bakar (termasuk bahan bakar
motor) dan bahan penerangan; lilin dan sumbu untuk penerangan. |
Kelas 5:
Sediaan farmasi, medis dan kedokteran hewan; sediaan sanitasi untuk
keperluan medis; makanan dan zat dietetik yang disesuaikan untuk
penggunaan medis atau veteriner, makanan untuk bayi; suplemen diet
untuk manusia dan hewan; plester, bahan pembalut; bahan untuk
menambal gigi, malam gigi; desinfektan; sediaan untuk membasmi
binatang perusak; fungisida, herbisida. |
Kelas 6:
Logam biasa dan campurannya; bahan bangunan dari logam; bangunan
yang dapat dipindahkan dari logam; bahan dari logam untuk rel kereta
api; kabel dan kawat dari logam biasa yang bukan untuk listrik;
barang-barang kecil dari logam; pipa dan tabung dari logam;
brankas. |
Kelas 7:
Mesin dan mesin perkakas; motor dan mesin (kecuali untuk kendaraan
darat); kopling dan komponen transmisi (kecuali untuk kendaraan
darat); alat pertanian selain yang dioperasikan secara manual;
inkubator untuk telur; mesin penjual otomatis. |
Kelas 8:
Perkakas dan alat tangan yang dioperasikan secara manual; alat
potong; senjata tajam; silet. |
Kelas 9:
Aparat dan instrumen untuk keperluan ilmiah, penelitian, navigasi,
survei, fotografi, sinematografi, audiovisual, optik, timbang, ukur,
sinyal, deteksi, pengujian, inspeksi, penyelamatan, dan pengajaran;
perangkat lunak komputer; kacamata; baterai. |
Kelas 10:
Aparat dan instrumen bedah, medis, kedokteran gigi dan kedokteran
hewan; kaki, mata dan gigi palsu; barang-barang ortopedi;
bahan-bahan jahitan untuk operasi. |
Kelas 11:
Instalasi penerangan, pemanasan, penghasil uap, pemasakan,
pendinginan, pengeringan, ventilasi, penyediaan air dan keperluan
sanitasi. |
Kelas 12:
Kendaraan; alat untuk bergerak di darat, udara atau air. |
Kelas 13:
Senjata api; amunisi dan proyektil; bahan peledak; kembang api. |
Kelas 14:
Logam mulia dan campurannya; perhiasan, batu mulia dan semi mulia;
instrumen horologis dan kronometrik. |
Kelas 15:
Alat-alat musik. |
Kelas 16:
Kertas dan karton; barang cetakan; bahan penjilid buku; foto; alat
tulis dan perekat untuk keperluan tulis atau rumah tangga; bahan
untuk seniman dan menggambar; kuas; bahan-bahan pengajaran dan
pendidikan; lembaran, film dan kantong plastik untuk pembungkus dan
pengemasan; huruf-huruf cetak, blok-blok cetak. |
Kelas 17:
Karet, getah perca, getah, asbes, mika yang belum diolah dan
setengah jadi dan pengganti untuk bahan-bahan ini; plastik dan resin
dalam bentuk ekstrusi untuk digunakan dalam manufaktur; bahan untuk
memadatkan, menyumbat dan menyekat; pipa, tabung dan selang
fleksibel bukan dari logam. |
Kelas 18:
Kulit dan kulit imitasi; kulit binatang; koper dan tas jinjing;
payung dan payung matahari; tongkat; cambuk, tali kekang dan pelana;
kerah, tali dan pakaian untuk hewan. |
Kelas 19:
Bahan bangunan (bukan dari logam); pipa kaku bukan dari logam untuk
bangunan; aspal, pek dan bitumen; bangunan yang dapat dipindahkan
bukan dari logam; monumen, bukan dari logam. |
Kelas 20:
Perabot, cermin, bingkai foto; peti dari kayu atau plastik; gabus,
rotan, tanduk, tulang, gading, tulang ikan paus, kerang, ambar,
kulit mutiara, dan pengganti dari semua bahan ini, atau dari
plastik. |
Kelas 21:
Perkakas dan wadah untuk rumah tangga atau dapur; sisir dan spons;
sikat; bahan pembuat sikat; perkakas untuk membersihkan; wol baja;
kaca yang belum dikerjakan atau setengah jadi (kecuali kaca yang
digunakan dalam bangunan); barang pecah belah, porselen dan
tembikar. |
Kelas 22:
Tali dan tali-temali; jaring; tenda dan terpal; tenda dari tekstil
atau bahan sintetis; layar; karung untuk pengangkutan dan
penyimpanan bahan curah; bahan bantalan dan isian (kecuali kertas,
karton, karet atau plastik); bahan tekstil berserat mentah dan
penggantinya. |
Kelas 23:
Benang untuk penggunaan tekstil. |
Kelas 24:
Tekstil dan pengganti tekstil; linen rumah tangga; tirai dari
tekstil atau plastik. |
Kelas 25:
Pakaian, alas kaki, tutup kepala. |
Kelas 26:
Renda, jalinan dan sulaman, dan pita dan busur untuk pakaian;
kancing, kait dan mata, peniti dan jarum; bunga buatan; hiasan
rambut; rambut palsu. |
Kelas 27:
Karpet, permadani, tikar dan anyaman, linoleum dan bahan-bahan lain
untuk menutupi lantai yang telah ada; hiasan dinding (bukan dari
tekstil). |
Kelas 28:
Permainan dan alat-alat permainan; peralatan senam dan olahraga;
hiasan untuk pohon Natal. |
Kelas 29:
Daging, ikan, unggas dan binatang buruan; ekstrak daging;
buah-buahan dan sayur-sayuran yang diawetkan, dibekukan, dikeringkan
dan dimasak; jeli, selai, kolak; telur; susu dan produk susu; minyak
dan lemak yang dapat dimakan. |
Kelas 30:
Kopi, teh, kakao dan kopi buatan; beras; tapioka dan sagu; tepung
dan sediaan terbuat dari gandum; roti, kue dan kembang gula; es
konsumsi; gula, madu, sirup; ragi, bubuk untuk membuat roti; garam;
moster; cuka, saus; rempah-rempah; es. |
Kelas 31:
Produk pertanian, akuakultur, hortikultura dan kehutanan mentah dan
belum diolah; biji-bijian dan benih mentah dan belum diolah;
buah-buahan dan sayuran segar, herbal segar; tanaman dan bunga
alami; umbi-umbian, bibit dan benih untuk ditanam; hewan hidup;
bahan makanan untuk hewan; malt. |
Kelas 32:
Bir; air mineral dan air soda dan minuman non-alkohol lainnya;
minuman dan jus buah; sirup dan sediaan lain untuk membuat
minuman. |
Kelas 33:
Minuman beralkohol (kecuali bir). |
Kelas 34:
Tembakau; barang-barang kebutuhan perokok; korek api. |
Kelas 35:
Iklan; manajemen bisnis; administrasi Bisnis; fungsi kantor. |
Kelas 36:
asuransi; urusan keuangan; urusan moneter; urusan real estat. |
Kelas 37:
Konstruksi bangunan; perbaikan; layanan instalasi. |
Kelas 38:
Telekomunikasi. |
Kelas 39:
Transportas; pengemasan dan penyimpanan barang; pengaturan
perjalanan. |
Kelas 40:
Perawatan bahan / Penanganan Material. |
Kelas 41:
Pendidikan; penyediaan pelatihan; hiburan; kegiatan olahraga dan
budaya. |
Kelas 42:
Layanan ilmiah dan teknologi serta penelitian dan desain yang
berkaitan dengannya; analisis industri dan layanan penelitian
industri; desain dan pengembangan perangkat keras dan lunak
komputer. |
Kelas 43:
Layanan untuk menyediakan makanan dan minuman; akomodasi
sementara. |
Kelas 44:
Pelayanan medis; layanan kedokteran hewan; perawatan kesehatan dan
higienis untuk manusia atau hewan; layanan pertanian, hortikultura
dan kehutanan. |
Kelas 45:
Layanan hukum; layanan keamanan untuk perlindungan fisik harta
benda dan individu; layanan pribadi dan sosial yang diberikan oleh
orang lain untuk memenuhi kebutuhan individu. |
Implikasi Yuridis Kesalahan Klasifikasi Merek
Teori dan peraturan mengenai sistem klasifikasi merek menjadi hidup dan
relevan ketika diuji dalam sengketa konkret di pengadilan. Analisis terhadap
putusan-putusan pengadilan, baik di dalam maupun di luar negeri, memberikan
gambaran yang jelas mengenai bagaimana hakim menafsirkan dan menerapkan
prinsip-prinsip klasifikasi, serta konsekuensi yuridis yang timbul dari
ketidakakuratan dalam penentuan kelas.
Studi Kasus di Indonesia
Yurisprudensi di Indonesia telah menghasilkan beberapa putusan penting yang
menyoroti peran sentral klasifikasi merek dalam menentukan nasib sebuah
sengketa.
Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya Nomor
2/Pdt.Sus-HKI/Merek/2022/PN.Niaga.Sby., tertanggal 12 Juli 2022 (Kasus MS
Glow vs. PS Glow)
Kasus ini menjadi salah satu preseden paling signifikan mengenai dampak
fatal dari kesalahan klasifikasi merek. Dalam sengketa ini, PT Kosmetika
Global Indonesia (pemilik merek dagang “MS GLOW”) menggugat Putra Siregar
(pemilik merek “PS GLOW”) atas dasar pelanggaran merek. Namun, fakta krusial
yang terungkap di persidangan adalah bahwa pendaftaran merek “MS GLOW” milik
Penggugat ternyata berada di Kelas 32, yang mencakup produk seperti
“minuman serbuk instan”, bukan di Kelas 3 yang semestinya untuk
produk “kosmetik”.
Pertimbangan hakim dalam putusan ini sangatlah mendasar. Pengadilan Niaga
Surabaya pada pokoknya menyatakan bahwa hak eksklusif yang lahir dari
pendaftaran sebuah merek secara inheren terikat dan terbatas pada jenis
barang atau jasa yang tercantum dalam sertifikat pendaftaran pada kelas yang
bersangkutan. Karena merek “MS GLOW” terdaftar untuk minuman dan bukan
kosmetik, maka Penggugat tidak memiliki locus standi atau kedudukan
hukum untuk menggugat pihak lain yang menggunakan merek serupa untuk produk
kosmetik.
Pelindungan hukum tidak melekat pada “nama merek” secara abstrak di segala
bidang, melainkan pada kombinasi spesifik antara “nama merek” dan
“barang/jasa di kelas terdaftar”. Putusan ini menjadi pelajaran yang sangat
berharga bagi pelaku usaha mengenai pentingnya due diligence dalam
proses klasifikasi. Kesalahan fundamental ini tidak hanya membuat merek
rentan terhadap serangan dari kompetitor, tetapi juga secara efektif
melumpuhkan kemampuan pemilik merek untuk menegakkan haknya di pengadilan
untuk produk yang secara nyata mereka perdagangkan.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3011 K/Pdt/2018.,
tertanggal 30 November 2018
Putusan ini memberikan ilustrasi tajam mengenai fungsi kelas sebagai garis
demarkasi yuridis dan pentingnya menempuh jalur hukum yang tepat. Sengketa
ini berpusat pada merek “Soerabi Enhaii”, di mana Penggugat (Cecep Sumarno)
merupakan pemilik terdaftar untuk Kelas 30 (produk makanan, yaitu
surabi), sementara Para Tergugat (H. Andri Anis dan Yasmar) adalah
pemilik terdaftar untuk Kelas 43 (jasa penyediaan makanan dan
minuman/restoran).
Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan
tujuan utama membatalkan pendaftaran merek milik Tergugat di Kelas 43,
dengan dalil bahwa pendaftaran tersebut dilakukan dengan
itikad tidak baik karena meniru mereknya yang telah ada lebih dahulu.
Namun, kasus ini tidak pernah sampai pada pemeriksaan substantif mengenai
ada atau tidaknya itikad tidak baik.
Seluruh proses peradilan, dari tingkat pertama hingga kasasi di Mahkamah
Agung, berfokus pada satu isu prosedural fundamental yang diajukan oleh
Tergugat, yaitu eksepsi kompetensi absolut.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung secara tegas menyatakan bahwa
Judex Facti (peradilan tingkat bawah) telah benar dalam menerapkan
hukum. Poin sentral dari putusan ini adalah penegasan bahwa sengketa yang
pada pokoknya memohon pembatalan pendaftaran merek merupakan kewenangan
absolut dari Pengadilan Niaga, bukan Pengadilan Negeri biasa. Oleh karena
itu, gugatan yang diajukan oleh Penggugat di Pengadilan Negeri dianggap
salah alamat secara yuridis. Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi
Penggugat bukan karena dalil itikad tidak baiknya tidak terbukti, melainkan
karena ia menempuh jalur peradilan yang keliru.
Putusan ini memiliki beberapa implikasi penting. Pertama, ia menjadi
yurisprudensi yang menggarisbawahi spesialisasi dan pembagian kewenangan
yang ketat dalam sistem peradilan di Indonesia, di mana sengketa kekayaan
intelektual yang bersifat substantif seperti pembatalan merek harus
ditangani oleh hakim-hakim khusus di Pengadilan Niaga.
Kedua, secara implisit, kasus ini menyoroti potensi konflik yang inheren
ketika merek yang identik didaftarkan pada kelas-kelas yang berbeda namun
memiliki keterkaitan komersial yang sangat erat. Hubungan antara produk
makanan (Kelas 30) dan jasa restoran yang menyajikannya (Kelas 43) sangatlah
dekat, sehingga berpotensi tinggi menimbulkan kebingungan di mata konsumen
mengenai asal-usul atau afiliasi bisnis.
Meskipun merek tersebut dapat hidup berdampingan secara registrasi, potensi
sengketa di dunia nyata tetap terbuka lebar, terutama jika salah satu pihak
dapat membuktikan adanya unsur itikad tidak baik dari pihak lainnya.
Perspektif Komparatif Internasional
Prinsip bahwa klasifikasi merek menentukan lingkup pelindungan bukanlah
kekhasan sistem hukum Indonesia, melainkan sebuah tema universal yang
ditegaskan secara konsisten di berbagai yurisdiksi.
Australia (Kasus Fanatics, LLC v FanFirm Pty Limited FCAFC 87)
Dalam kasus ini, Pengadilan Federal Australia (Full Court)
memberikan penegasan yang kuat mengenai batas-batas kaku yang diciptakan
oleh sistem kelas. Fanatics, LLC, yang memiliki pendaftaran merek “FANATICS”
di Kelas 35 untuk jasa ritel, dituduh melanggar merek “FANATICS”
milik FanFirm yang terdaftar untuk barang di Kelas 25 (pakaian).
Salah satu pembelaan yang diajukan oleh Fanatics, LLC adalah bahwa mereka
berhak menggunakan merek tersebut berdasarkan pendaftaran yang mereka miliki
di Kelas 35. Pembelaan ini ditolak mentah-mentah oleh pengadilan. Hakim
berpendapat bahwa hak yang timbul dari pendaftaran di Kelas 35 (jasa) tidak
dapat diekstrapolasi atau diperluas untuk memberikan hak atau pembelaan atas
penggunaan merek tersebut pada barang di Kelas 25. Putusan ini
menggarisbawahi sifat terbatas dari pelindungan berbasis kelas; ia
menciptakan “pagar” hukum yang tidak dapat “meluber” ke kelas lain, bahkan
jika secara komersial terdapat hubungan antara jasa ritel dan barang yang
dijual.
Singapura (Prinsip dari Kasus Staywell dan
Combe International)
Sistem peradilan Singapura dikenal dengan pendekatan yang metodis dan
terstruktur dalam menangani sengketa merek. Dalam menentukan adanya
kemungkinan kebingungan publik (likelihood of confusion), pengadilan
Singapura menerapkan uji langkah-demi-langkah (step-by-step approach). Pertama, pengadilan akan menilai kesamaan antara kedua merek (secara
visual, aural, dan konseptual). Kedua, dan yang relevan dengan topik ini,
pengadilan akan melakukan analisis terpisah mengenai
“kesamaan barang atau jasa” (similarity of goods or services).
Baru setelah kedua elemen ini dinilai, pengadilan akan menyimpulkan apakah
kombinasi dari kedua kesamaan tersebut menimbulkan kemungkinan
kebingungan.
Analisis “kesamaan barang atau jasa” ini secara fundamental bergantung pada
sistem klasifikasi NCL. Barang atau jasa yang berada dalam kelas yang sama
secara prima facie dianggap serupa. Barang atau jasa di kelas yang
berdekatan dan memiliki fungsi, target konsumen, atau saluran distribusi
yang sama (misalnya, kosmetik di Kelas 3 dan sediaan farmasi di Kelas 5)
juga memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk dianggap serupa dibandingkan
dengan barang atau jasa di kelas yang berjauhan (misalnya, kosmetik di Kelas
3 dan kendaraan di Kelas 12). Pendekatan analitis Singapura ini dapat
menjadi model yang berharga bagi pengadilan di Indonesia untuk memperdalam
analisis sengketa merek, dengan menjadikan sistem klasifikasi sebagai titik
awal yang objektif.
Amerika Serikat (Peran Trademark Trial and Appeal Board -
TTAB)
Di Amerika Serikat, sebelum sengketa sampai ke pengadilan federal, banyak
perselisihan mengenai pendaftaran merek diselesaikan di hadapan
Trademark Trial and Appeal Board (TTAB), sebuah badan kuasi-yudisial
di dalam United States Patent and Trademark Office (USPTO). TTAB
menangani proses oposisi (keberatan terhadap permohonan yang belum
terdaftar) dan pembatalan (gugatan terhadap merek yang sudah terdaftar).
Dalam proses-proses ini, akurasi identifikasi dan klasifikasi barang/jasa
menjadi isu sentral. Salah satu dasar utama untuk menolak atau membatalkan
pendaftaran adalah likelihood of confusion dengan merek yang sudah
ada sebelumnya. Dalam menilai hal ini, TTAB akan membandingkan barang/jasa
sebagaimana yang dideskripsikan dalam permohonan/pendaftaran, bukan
sebagaimana barang/jasa tersebut mungkin dijual di pasar. Deskripsi yang
terlalu luas, ambigu, atau salah klasifikasi dapat menjadi dasar yang kuat
bagi pihak lawan untuk menentang pendaftaran. Hal ini menunjukkan bahwa di
yurisdiksi HKI yang sangat matang, ketepatan klasifikasi adalah isu litigasi
yang krusial bahkan pada tahap administratif, jauh sebelum merek tersebut
memperoleh status terdaftar penuh.
Analisis lintas yurisdiksi ini mengarah pada satu kesimpulan yang
konvergen: sistem klasifikasi merek berfungsi sebagai penentu utama (primary determinant) dari lingkup pelindungan hukum. Meskipun pendekatan yudisial dan
prosedural dapat bervariasi, prinsip dasarnya tetap sama di seluruh dunia.
Kelas bukanlah sekadar formalitas, melainkan fondasi substantif di mana
seluruh hak eksklusif atas merek dibangun.
Kesimpulan dan Pandangan Kritis
Analisis komprehensif terhadap kerangka hukum, praktik administratif, dan
yurisprudensi telah menegaskan bahwa sistem klasifikasi kelas merek memegang
fungsi ganda yang vital dalam arsitektur pelindungan kekayaan intelektual.
Di satu sisi, ia berfungsi sebagai alat administratif yang esensial,
menciptakan efisiensi, standardisasi, dan harmonisasi dalam proses
pendaftaran merek di tingkat nasional dan global. Adopsi
Nice Classification memungkinkan interoperabilitas antar kantor merek
di seluruh dunia, memfasilitasi perdagangan internasional, dan
menyederhanakan proses bagi pelaku usaha yang ingin melindungi asetnya
lintas yurisdiksi.
Di sisi lain, dan yang jauh lebih fundamental, sistem klasifikasi adalah
instrumen hukum substantif yang mendefinisikan secara presisi lingkup
dan batas-batas hak eksklusif yang diberikan oleh negara. Sebagaimana telah
ditunjukkan secara gamblang melalui studi kasus, pelindungan merek tidak
diberikan secara abstrak, melainkan terikat erat pada jenis barang dan/atau
jasa spesifik dalam kelas yang didaftarkan. Fungsi demarkasi ini menjadi
penentu utama dalam sengketa pelanggaran, di mana pengadilan akan
pertama-tama melihat apakah produk yang disengketakan berada dalam “pagar”
yuridis yang telah ditetapkan oleh sertifikat merek.
Meskipun sistem ini dirancang untuk menciptakan kepastian hukum, ia juga
menghadirkan tantangan. Salah satu tantangan utama terletak pada pelaku
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang seringkali tidak memiliki
sumber daya atau akses terhadap keahlian hukum untuk melakukan analisis
klasifikasi yang mendalam. Kerentanan ini membuat mereka berisiko tinggi
melakukan kesalahan fatal, seperti yang terjadi dalam kasus MS Glow, yang
dapat menihilkan seluruh investasi yang telah mereka tanamkan dalam
membangun merek. Selain itu, laju inovasi yang pesat seringkali melahirkan
produk dan jasa hibrida—misalnya, perangkat fisik (barang) yang nilainya
justru terletak pada layanan perangkat lunak berlangganan (jasa) yang
terintegrasi—yang menciptakan ambiguitas dan tantangan baru dalam
klasifikasi yang mungkin belum sepenuhnya diakomodasi oleh edisi NCL saat
ini.
Berdasarkan analisis yang telah dipaparkan, beberapa rekomendasi strategis
dapat dirumuskan bagi para pemilik merek dan pemangku kepentingan:
1.
Adopsi Pendekatan Strategis dan Antisipatif:
Pendaftaran merek tidak seharusnya hanya mencerminkan portofolio produk saat
ini. Pemilik merek harus mengadopsi visi jangka panjang, mengantisipasi
potensi ekspansi bisnis di masa depan dengan mendaftarkan mereknya di
kelas-kelas lain yang relevan secara strategis, bahkan sebelum produk atau
jasa tersebut diluncurkan.
2.
Lakukan Audit Kekayaan Intelektual Berkala:
Kepemilikan merek bukanlah aset yang statis. Pelaku usaha disarankan untuk
melakukan audit HKI secara berkala guna memastikan bahwa pendaftaran merek
yang dimiliki masih selaras dan relevan dengan praktik bisnis yang berjalan.
Jika bisnis telah berekspansi ke kategori produk baru, pendaftaran tambahan
di kelas yang sesuai harus segera diajukan.
3.
Investasi pada Keahlian Profesional:
Menavigasi 45 kelas merek dengan ribuan deskripsi barang dan jasa adalah
tugas yang kompleks. Menggunakan jasa konsultan kekayaan intelektual yang
profesional bukanlah biaya, melainkan investasi untuk memitigasi risiko
hukum yang jauh lebih besar di kemudian hari. Keahlian mereka dalam
menafsirkan NCL dan menyusun uraian barang/jasa yang tepat dapat menjadi
benteng pertahanan terkuat dalam sengketa.
Pada akhirnya, sistem klasifikasi merek adalah manifestasi dari adagium
vigilantibus non dormientibus aequitas subvenit. Hukum akan
memberikan pelindungan yang kokoh bagi mereka yang waspada, cermat, dan
beritikad baik sejak awal. Sebaliknya, kelalaian dalam memahami dan
menerapkan fondasi klasifikasi ini dapat membuat bangunan merek yang paling
megah sekalipun berdiri di atas pondasi yang rapuh, siap runtuh kapan saja
di hadapan tantangan hukum.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda
melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.