Membedah Urgensi Perlindungan Hak Cipta di Era Digital
Hak Cipta, adalah satu di antara pilar hak kekayaan intelektual di bidang
ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, memegang peranan strategis dalam
mendukung pembangunan bangsa serta memajukan kesejahteraan umum.
Dalam lanskap ekonomi digital kontemporer, di mana arus informasi dan
konten kreatif bergerak tanpa batas, sebuah Ciptaan tidak hanya
merepresentasikan ekspresi artistik atau intelektual, tetapi juga merupakan aset ekonomi yang bernilai signifikan. Namun, kemudahan akses dan distribusi yang difasilitasi oleh teknologi
digital turut membawa kerentanan yang inheren; karya-karya tersebut menjadi
sasaran empuk bagi tindakan pelanggaran seperti pembajakan, plagiarisme, dan
penggunaan tanpa izin untuk tujuan komersial.
Dengan menyadari dinamika ini, kerangka hukum Hak Cipta di Indonesia telah
mengalami evolusi fundamental. Peraturan perundang-undangan yang berlaku
saat ini, yaitu
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak
Cipta, yang selanjutnya disebut dengan “UU Hak Cipta”, hadir menggantikan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Transisi ini
bukanlah sekadar pembaruan teknis, melainkan sebuah respons legislatif yang
adaptif dan strategis terhadap tantangan zaman.
UU Hak Cipta
dirancang untuk memberikan perlindungan yang lebih komprehensif dan selaras
dengan perkembangan teknologi informasi, sekaligus menyelaraskan Indonesia
dengan standar perlindungan internasional, seperti perpanjangan masa
perlindungan hak ekonomi. Dengan demikian, legislasi ini tidak hanya
berfungsi sebagai instrumen hukum, tetapi juga sebagai
kebijakan ekonomi yang bertujuan menciptakan ekosistem yang kondusif bagi
pertumbuhan industri kreatif nasional.
Meskipun UU Hak Cipta menganut prinsip perlindungan otomatis,
realitas penegakan hukum menunjukkan
bahwa pencatatan Ciptaan merupakan langkah proaktif yang esensial.
Dalam artikel ini, kami akan menyajikan panduan yuridis yang lengkap,
akurat, dan praktis mengenai mekanisme, syarat, dan prosedur pencatatan Hak
Cipta di Indonesia. Pemahaman mendalam atas tata cara ini menjadi krusial
bagi para Pencipta, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan lainnya untuk
memitigasi risiko hukum, mengamankan hak eksklusif, dan mengoptimalkan nilai
ekonomi dari aset intelektual yang mereka miliki.
Definisi Fundamental dalam Rezim Hak Cipta Indonesia
Untuk memahami mekanisme perlindungan Hak Cipta, penguasaan atas
terminologi-terminologi kunci yang menjadi fondasi rezim hukum ini adalah
suatu keniscayaan. UU Hak Cipta, khususnya dalam ketentuan Pasal 1, secara definitif menguraikan
konsep-konsep esensial tersebut.
Hak Cipta, sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 1 UU Hak Cipta, adalah:
“hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip
deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa
mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
Definisi ini mengandung tiga elemen fundamental, antara lain:
(1)
Hak Eksklusif, yang berarti hak yang hanya diperuntukkan bagi Pencipta, sehingga tidak
ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin Pencipta;
(2)
Prinsip Deklaratif, yang menegaskan bahwa hak tersebut lahir secara otomatis saat Ciptaan
diwujudkan, bukan karena pendaftaran; dan
(3)
Syarat Perwujudan Nyata, yang berarti ide atau gagasan semata belum mendapat perlindungan hingga
diekspresikan dalam bentuk yang konkret.
Kemudian, disebutkan bahwa Pencipta, menurut
Pasal 1 Angka 2 UU Hak Cipta, adalah:
“seorang atau beberapa orang yang
secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu
ciptaan yang bersifat khas dan pribadi”.
Frasa “bersifat khas dan pribadi” menjadi penekanan utama yang
merujuk pada syarat orisinalitas, di mana Ciptaan tersebut harus merupakan
hasil karya intelektual Pencipta itu sendiri dan menunjukkan keunikan.
Kemudian, Ciptaan, berdasarkan
Pasal 1 Angka 3 UU Hak Cipta, adalah:
“setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra
yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan,
keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata”.
Lingkup Ciptaan yang dilindungi sangat luas, sebagaimana dijabarkan lebih
lanjut dalam Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta, yang mencakup antara lain buku, program komputer, pamflet, karya seni
rupa (lukis, patung), lagu atau musik, karya arsitektur, peta, hingga karya
sinematografi.
Kemudian juga, Pemegang Hak Cipta, dalam
Pasal 1 Angka 4 UU Hak Cipta, didefinisikan sebagai:
“Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut
secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak
dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah”.
Definisi ini mengindikasikan bahwa kepemilikan Hak Cipta dapat beralih atau
dialihkan, baik melalui mekanisme pewarisan, hibah, wasiat, maupun
perjanjian tertulis, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Jadi, kamu perlu memahami setiap istilah-istilah tersebut di atas agar
mengetahui dengan apa yang dimaksudkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Prinsip Deklaratif vs. Fungsi Pencatatan: Kapan Hak Cipta Lahir?
Sistem hukum Hak Cipta di Indonesia secara tegas menganut
prinsip deklaratif, yang berarti perlindungan hukum atas suatu
Ciptaan lahir secara otomatis pada saat Ciptaan tersebut pertama kali
diwujudkan dalam bentuk nyata. Prinsip ini merupakan landasan fundamental
yang membedakan Hak Cipta dari rezim kekayaan intelektual lainnya seperti
Merek atau Paten yang memerlukan pendaftaran untuk melahirkan hak (prinsip
konstitutif).
Penegasan prinsip ini dapat ditemukan dalam beberapa pasal kunci UU Hak
Cipta:
-
Pasal 1 Angka 1 UU Hak Cipta
secara eksplisit menyatakan bahwa Hak Cipta
“timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu
ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata...”;
-
Pasal 64 ayat (2) UU Hak Cipta
lebih lanjut memperjelas posisi pencatatan dengan menyatakan,
“Pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bukan merupakan syarat untuk mendapatkan Hak Cipta dan Hak
Terkait.”. Penjelasan pasal ini bahkan menegaskan bahwa perlindungan suatu Ciptaan
dimulai sejak Ciptaan itu ada atau terwujud, sehingga suatu Ciptaan, baik
yang tercatat maupun tidak tercatat, tetap dilindungi oleh hukum.
Namun, di sinilah letak sebuah paradoks fungsional dalam penegakan hukum.
Meskipun secara de jure perlindungan bersifat otomatis, secara
de facto,
ketiadaan bukti formal atas kepemilikan Ciptaan dapat menciptakan
tantangan pembuktian yang signifikan apabila terjadi sengketa. Dalam proses litigasi di pengadilan, pihak yang mendalilkan haknya harus
mampu membuktikan klaim tersebut. Tanpa adanya Surat Pencatatan Ciptaan,
seorang Pencipta harus bersandar pada bukti-bukti lain seperti draf awal,
korespondensi, atau kesaksian, yang proses validasinya bisa jadi rumit dan
rentan untuk diperdebatkan.
Oleh karena itu,
pencatatan Ciptaan pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI)
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memegang fungsi yuridis yang
sangat vital. Pencatatan tidak bersifat konstitutif (melahirkan hak), melainkan sebagai
instrumen administratif yang berfungsi sebagai alat bukti permulaan yang
kuat (prima facie evidence). Surat Pencatatan Ciptaan yang
diterbitkan oleh negara menjadi jembatan yang menghubungkan antara hak
teoretis yang lahir otomatis dengan kemampuan praktis untuk menegakkan hak
tersebut secara efektif di hadapan hukum.
Prosedur dan Tata Cara Permohonan Pencatatan Hak Cipta
Prosedur teknis mengenai pencatatan Ciptaan diatur secara lebih rinci dalam
peraturan pelaksananya, yaitu
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2020 tentang
Pencatatan Ciptaan dan Produk Hak Terkait, yang selanjutnya disebut dengan “PP 16/2020”. Permohonan kini dapat diajukan secara efisien melalui sistem daring
(online) yang dikelola oleh DJKI.
Syarat-Syarat Permohonan Pencatatan
Berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 6 PP 16/2020, Pemohon wajib mempersiapkan serangkaian data dan dokumen kelengkapan
sebagai berikut:
-
Data yang Wajib Diisi dalam Formulir Permohonan
1.
Tanggal, bulan, dan tahun permohonan;
2.
Data Pencipta: Nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat;
3.
Data Pemegang Hak Cipta: Nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat (jika
berbeda dari Pencipta);
4.
Data Kuasa: Nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat (jika permohonan
diajukan melalui konsultan KI);
5.
Jenis dan judul Ciptaan yang dimohonkan;
6.
Tanggal dan tempat Ciptaan diumumkan untuk pertama kali;
7.
Uraian singkat mengenai Ciptaan tersebut.
-
Dokumen Pendukung yang Wajib Diunggah
1.
Contoh Ciptaan (misalnya, file naskah buku dalam format PDF, file lagu
dalam format MP3, atau file gambar logo dalam format JPG/PNG);
2.
Surat Pernyataan yang menyatakan bahwa Ciptaan yang dimohonkan adalah benar
milik Pemohon dan orisinal;
3.
Bukti pengalihan hak (jika Pencipta dan Pemegang Hak Cipta adalah pihak
yang berbeda, misalnya melalui surat perjanjian pengalihan hak);
4.
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) Pemohon;
5.
Untuk Pemohon badan hukum, wajib melampirkan salinan akta pendirian badan
hukum yang telah disahkan;
6.
Surat Kuasa (jika permohonan diajukan melalui Kuasa/Konsultan KI).
Alur Pendaftaran Daring (Online) via E-Hakcipta DJKI
Proses pendaftaran Hak Cipta secara elektronik dapat dilakukan melalui
laman resmi DJKI dengan mengikuti alur sebagai berikut:
1.
Registrasi Akun:
Kunjungi laman
https://e-hakcipta.dgip.go.id/.
Lakukan registrasi dengan membuat akun baru, mengisi data diri yang
diperlukan, dan melakukan aktivasi akun melalui tautan yang dikirimkan ke
alamat surel terdaftar.
2.
Login dan Pengajuan Permohonan:
Setelah akun aktif, masuk (login) ke sistem dan pilih menu untuk mengajukan
permohonan pencatatan Ciptaan baru.
3.
Pengisian Formulir Elektronik:
Isi seluruh kolom pada formulir pendaftaran elektronik secara lengkap dan
akurat sesuai dengan data yang telah disiapkan sebelumnya.
4.
Pengunggahan Dokumen:
Unggah semua dokumen pendukung yang disyaratkan dalam format digital sesuai
ketentuan.
5.
Pembayaran PNBP:
Setelah data terkirim, sistem akan menerbitkan kode pembayaran (billing
code). Lakukan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui kanal
pembayaran yang tersedia (misalnya, m-banking, ATM) sebelum batas waktu yang
ditentukan.
6.
Proses Verifikasi:
DJKI akan melakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan formal. Proses ini
umumnya berlangsung cepat, terutama dengan adanya sistem Persetujuan
Otomatis Pencatatan Hak Cipta (POP-HC) untuk jenis Ciptaan tertentu.
7.
Persetujuan dan Penerbitan Sertifikat:
Apabila permohonan dinyatakan lengkap dan disetujui, DJKI akan menerbitkan
Surat Pencatatan Ciptaan. Sertifikat digital ini dapat diunduh secara
mandiri oleh Pemohon melalui akun E-Hakcipta.
Rincian Biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Biaya yang dikenakan untuk permohonan pencatatan Hak Cipta dan layanan
terkait diatur dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2024 tentang
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku
pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Berikut adalah rincian tarif untuk beberapa jenis permohonan yang
relevan:
Jenis Permohonan PNBP Hak Cipta |
Satuan |
Tarif (Rp) |
Permohonan Pencatatan Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait |
per permohonan |
200,000 |
Permohonan Pencatatan Pengalihan Hak |
per nomor daftar |
200,000 |
Permohonan Perubahan Nama dan/atau Alamat |
per nomor daftar |
150,000 |
Permohonan Petikan Resmi Pencatatan Ciptaan |
per nomor daftar |
150,000 |
Permohonan Salinan Surat Pencatatan Ciptaan |
per nomor daftar |
150,000 |
Pencatatan Lisensi atas Ciptaan |
per permohonan |
200,000 |
Permohonan Koreksi Surat Pencatatan Ciptaan (atas kesalahan
Pemohon) |
per nomor daftar |
150,000 |
Signifikansi Yuridis Pencatatan Hak Cipta: Sebuah Alat Bukti Primer
Signifikansi utama dari pencatatan Ciptaan terletak pada kekuatan
pembuktiannya dalam ranah hukum. Surat Pencatatan Ciptaan yang
diterbitkan oleh DJKI
berfungsi sebagai alat bukti surat yang otentik, yang dalam proses
peradilan—khususnya di Pengadilan Niaga yang berwenang mengadili sengketa
Hak Cipta—diakui sebagai bukti permulaan yang sangat kuat. Dengan memiliki
dokumen ini, Pemegang Hak Cipta secara hukum dianggap sebagai pihak yang
berhak atas Ciptaan tersebut, setidaknya sampai ada pihak lain yang mampu
membuktikan sebaliknya dengan bukti yang lebih kuat.
Untuk memperkaya analisis, relevansi pencatatan ini dapat dipahami melalui
adagium hukum fundamental mengenai beban pembuktian yaitu
Ei incumbit probatio qui dicit, non qui negat. Adagium ini bermakna “beban pembuktian ada pada pihak yang mendalilkan (menggugat), bukan pada
pihak yang menyangkal”. Dalam konteks sengketa Hak Cipta, Penggugat (pihak yang merasa haknya
dilanggar) memiliki kewajiban awal untuk membuktikan kepemilikannya atas
Ciptaan yang disengketakan. Kepemilikan Surat Pencatatan Ciptaan secara
efektif memenuhi beban pembuktian awal ini.
Konsekuensinya, terjadi pergeseran beban pembuktian (shifting the burden of proof). Tergugat kini dibebani kewajiban untuk menyangkal keabsahan klaim
Penggugat, misalnya dengan membuktikan bahwa Ciptaan Penggugat tidak
orisinal, bahwa Tergugat telah menciptakan karya serupa lebih dahulu, atau
bahwa pencatatan yang dimiliki Penggugat diperoleh dengan iktikad tidak
baik.
Keuntungan strategis dalam litigasi ini sangatlah besar dan sering kali
menjadi faktor penentu kemenangan dalam suatu perkara. Dengan demikian,
pencatatan mengubah status hukum seorang Pencipta dari sekadar memiliki hak
teoretis menjadi memiliki hak yang siap dan mudah untuk ditegakkan.
Ketiadaan pencatatan Ciptaan, meskipun tidak menggugurkan hak secara
teoretis, membawa serangkaian konsekuensi yuridis dan praktis yang
merugikan. Analisis terhadap putusan pengadilan dapat memberikan gambaran
konkret mengenai bagaimana prinsip-prinsip ini diterapkan dalam sengketa
nyata.
Risiko dan Implikasi Hukum Akibat Tidak Mendaftarkan Ciptaan
Seorang Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang tidak mencatatkan Ciptaannya
menghadapi berbagai risiko, antara lain:
1.
Kesulitan Pembuktian Kepemilikan
Sebagaimana telah diuraikan, tanpa Surat Pencatatan, pembuktian menjadi
rumit. Pihak tersebut harus mengumpulkan dan menyajikan serangkaian bukti
sekunder yang mungkin tersebar dan memiliki kekuatan pembuktian yang lebih
lemah di mata hakim;
2.
Kerentanan terhadap Klaim Beriktikad Tidak Baik
Terbuka celah bagi pihak lain yang tidak jujur untuk mengklaim dan bahkan
mencatatkan Ciptaan yang bukan miliknya. Dalam situasi ini, Pencipta asli
terpaksa berada dalam posisi defensif dan harus menempuh proses hukum yang
panjang dan mahal untuk mengajukan gugatan pembatalan atas pencatatan
tersebut;
3.
Hambatan dalam Komersialisasi dan Valuasi Aset
Dalam transaksi bisnis, seperti pemberian lisensi, pengalihan hak, atau
merger dan akuisisi, kepastian hukum atas kepemilikan aset adalah krusial.
Ketiadaan bukti pencatatan dapat menghambat proses tersebut dan menurunkan
nilai ekonomi Ciptaan. Lebih lanjut, UU Hak Cipta memungkinkan Hak Cipta
dijadikan objek jaminan fidusia, sebuah proses yang nyaris mustahil
dilakukan tanpa adanya bukti kepemilikan formal yang tercatat.
Studi Kasus Sengketa Logo Tugu Selamat Datang
Salah satu kasus yang dapat menjadi yurisprudensi penting dan ilustrasi
konkret adalah sengketa mengenai penggunaan sketsa Tugu Selamat Datang.
Kasus ini diputus melalui
Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
35/Pdt.Sus-Hak Cipta/2020/PN Niaga Jkt.Pst., tertanggal 2 Desember 2020.
-
Para Pihak:
Gugatan diajukan oleh Ahli Waris dari almarhum Henk Ngantung (mantan
Gubernur DKI Jakarta dan seniman sketsa Tugu Selamat Datang) selaku Para
Penggugat, melawan PT Grand Indonesia selaku Tergugat;
-
Duduk Perkara (Fakta Hukum):
Tergugat, dalam kegiatan usahanya, menggunakan logo untuk pusat perbelanjaan
Grand Indonesia yang secara substansial memiliki persamaan pada pokoknya
dengan sketsa Tugu Selamat Datang. Penggunaan ini dilakukan untuk tujuan
komersial secara masif tanpa pernah meminta izin atau memberikan kompensasi
kepada Pencipta maupun ahli warisnya;
-
Pertimbangan Hukum Hakim (Ratio Decidendi):
Majelis Hakim dalam pertimbangannya mengakui status Henk Ngantung sebagai
Pencipta sketsa Tugu Selamat Datang. Meskipun Ciptaan tersebut dibuat dalam
konteks hubungan dinas, haknya tetap melekat. Hakim menilai bahwa penggunaan
logo oleh Tergugat yang identik dengan Ciptaan tersebut untuk kepentingan
komersial merupakan bentuk pelanggaran hak ekonomi milik Para Penggugat
sebagai ahli waris yang sah. Kasus ini menegaskan bahwa hak ekonomi tidak
lenyap dengan meninggalnya Pencipta, melainkan beralih kepada ahli warisnya
dan tetap dapat ditegakkan secara hukum, sesuai dengan
Pasal 19 UU Hak Cipta;
-
Amar Putusan:
Pengadilan mengabulkan sebagian gugatan Para Penggugat dan dalam amar
putusannya menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi materiel sebesar Rp1
Miliar atas pelanggaran hak ekonomi yang telah dilakukannya.
Putusan ini menjadi preseden penting yang menegaskan bahwa
perlindungan Hak Cipta memiliki dimensi waris yang kuat dan
dapat ditegakkan lintas generasi. Hal ini mengirimkan pesan bahwa
karya-karya warisan budaya yang memiliki nilai historis dan komersial tetap
dilindungi dari eksploitasi yang tidak sah, memperkuat perlindungan bagi
aset-aset kreatif bangsa.
Proaktif Melindungi Aset Intelektual Anda
Analisis komprehensif terhadap kerangka hukum Hak Cipta di Indonesia
membawa pada satu kesimpulan utama: meskipun Hak Cipta lahir secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif, tindakan proaktif untuk mencatatkan Ciptaan
adalah sebuah langkah strategis yang esensial. Pencatatan Ciptaan bukanlah
sekadar formalitas administratif, melainkan sebuah investasi krusial dalam
perlindungan aset intelektual. Ia berfungsi sebagai benteng pertahanan
yuridis yang memberikan kemudahan pembuktian, memperkuat posisi tawar dalam
negosiasi komersial, dan menyediakan landasan yang kokoh untuk penegakan hak
di hadapan hukum.
Oleh karena itu, sangat dianjurkan bagi para Pencipta, seniman, penulis,
programer, pelaku industri kreatif, serta entitas bisnis di segala skala
untuk tidak menunda proses pencatatan Hak Cipta atas setiap karya orisinal
yang dihasilkan. Di tengah era persaingan ide yang semakin ketat dan
masifnya arus informasi digital, kepastian dan perlindungan hukum yang solid
merupakan fondasi yang tak tergantikan bagi tumbuhnya inovasi dan
kreativitas yang berkelanjutan. Melindungi Ciptaan hari ini adalah cara
untuk mengamankan nilai dan warisan untuk masa depan.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.