Mengukur Kerugian, Menegakkan Keadilan
Dalam lanskap sistem peradilan pidana modern, paradigma keadilan telah
bergeser secara fundamental. Keadilan tidak lagi semata-mata dimaknai
sebagai penghukuman terhadap pelaku (retributive justice), melainkan
juga sebagai pemulihan kondisi korban (restorative justice).
Di jantung keadilan restoratif ini, terdapat instrumen hukum vital yang
disebut restitusi, yaitu
ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku tindak pidana untuk
memulihkan kerugian yang diderita oleh korban. Prinsip ini berakar pada adagium hukum kuno
restitutio in integrum, yang mengamanatkan pemulihan kembali pada
keadaan semula, sedekat mungkin dengan kondisi sebelum terjadinya tindak
pidana.
Namun, pertanyaan krusial yang sering kali muncul dalam praktik adalah
bagaimana cara menghitung nilai restitusi secara adil, objektif, dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum?
Menghitung kerugian materiil seperti biaya pengobatan atau barang yang
hilang mungkin tampak sederhana, tetapi bagaimana cara mengkuantifikasi
penderitaan psikis, trauma mendalam, atau rusaknya nama baik yang bersifat
imateriel? Kekeliruan dalam metodologi penghitungan tidak hanya berisiko
mencederai rasa keadilan korban, tetapi juga dapat menimbulkan
kesewenang-wenangan dalam pembebanan ganti rugi kepada pelaku.
Artikel ini akan mengupas secara komprehensif dan sistematis mengenai tata
cara penghitungan restitusi yang baik dan benar menurut kerangka hukum
positif di Indonesia. Pembahasan akan mencakup analisis mendalam mengenai
lembaga yang berwenang melakukan penilaian, komponen-komponen kerugian yang
dapat dimohonkan, hingga metodologi yang digunakan untuk menghitung kerugian
materiil dan, yang paling kompleks, kerugian imateriel.
Dengan membedah landasan hukum dan praktik yang ada, artikel ini bertujuan
untuk memberikan panduan yang jelas dan rasional bagi para pencari keadilan,
praktisi hukum, dan masyarakat luas dalam memahami bagaimana kerugian korban
ditransformasikan menjadi nilai keadilan yang terukur.
Kewenangan Penilaian dan Penghitungan Restitusi
Sebelum melangkah ke teknis penghitungan, penting untuk terlebih dahulu
memahami subjek hukum atau lembaga mana yang oleh undang-undang diberi
kewenangan untuk melakukan penilaian dan penghitungan restitusi. Kewenangan
ini tidak dapat dilakukan secara sembarangan, melainkan harus didasarkan
pada mandat hukum yang jelas untuk menjamin objektivitas dan legitimasi.
Di Indonesia, lembaga negara yang secara spesifik diberikan mandat untuk
melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian restitusi adalah
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia (LPSK RI).
Kewenangan ini ditegaskan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, yang selanjutnya disebut dengan “UU Perlindungan Saksi dan Korban”.
Secara spesifik,
Pasal 12A ayat (1) huruf j UU Perlindungan Saksi dan Korban
menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan perlindungan dan bantuan, LPSK
berwenang:
“melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian Restitusi dan
Kompensasi.”
Kewenangan ini menjadikan LPSK sebagai lembaga sentral yang bertindak
sebagai penilai ahli (expert assessor). Hasil penilaian LPSK
dituangkan dalam sebuah produk hukum berupa
Keputusan LPSK yang memuat uraian terperinci mengenai
perhitungan kerugian dan besaran nilai restitusi yang direkomendasikan.
Keputusan ini kemudian menjadi dasar yang kuat bagi Penuntut Umum untuk
mencantumkan permohonan restitusi dalam surat tuntutannya dan menjadi alat
bukti penting bagi Majelis Hakim dalam mempertimbangkan serta memutus
besaran restitusi yang adil di persidangan.
Komponen-Komponen Kerugian yang Dapat Direstitusi
Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi jenis-jenis kerugian apa saja
yang secara hukum dapat dimohonkan untuk pemulihan melalui mekanisme
restitusi. Kerangka hukum Indonesia, khususnya melalui terobosan Mahkamah
Agung, telah memberikan rincian yang sangat komprehensif mengenai hal
ini.
Landasan hukum utama yang merinci komponen restitusi adalah
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi
kepada Korban Tindak Pidana, yang selanjutnya disebut dengan “PERMA 1/2022”. Pasal 4 PERMA 1/2022 menyatakan secara eksplisit bahwa
korban berhak memperoleh restitusi yang mencakup:
a.
Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan;
Ini adalah komponen kerugian materiil yang paling nyata dan dapat dihitung
secara langsung. Contohnya meliputi nilai barang yang dicuri, biaya
perbaikan aset yang dirusak, serta hilangnya pendapatan atau upah selama
korban tidak dapat bekerja akibat tindak pidana.
b.
Ganti kerugian, baik materiil maupun imateriil, yang ditimbulkan akibat
penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana;
Komponen ini mengakui bahwa dampak tindak pidana melampaui kerugian
finansial. Ini mencakup penderitaan fisik (rasa sakit, cacat) dan
penderitaan psikis (trauma, depresi, kecemasan, rasa takut) yang dialami
korban.
c.
Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis;
Ini mencakup seluruh biaya yang dikeluarkan korban untuk pemulihan fisik
dan mental, seperti biaya rawat inap di rumah sakit, pembelian obat-obatan,
biaya fisioterapi, hingga biaya sesi konseling dengan psikolog atau
psikiater.
d.
Kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat tindak pidana, termasuk
biaya transportasi dasar, biaya pengacara, atau biaya lain yang
berhubungan dengan proses hukum.
Pasal ini merupakan klausul penampung (catch-all clause) yang
memberikan fleksibilitas untuk mengakomodasi kerugian-kerugian lain yang
timbul sebagai konsekuensi logis dari tindak pidana dan proses hukumnya,
seperti biaya transportasi ke kantor polisi atau pengadilan dan biaya jasa
penasihat hukum.
Rincian dalam PERMA 1/2022 ini menunjukkan cakupan restitusi
yang sangat luas dan berorientasi penuh pada pemulihan korban secara
holistik.
Metodologi Penghitungan Restitusi
Setelah mengetahui kewenangan dan komponennya, fokus beralih pada
metodologi penghitungan. Meskipun tidak ada “rumus” matematis tunggal yang
diatur dalam undang-undang, LPSK dan praktik peradilan telah mengembangkan
pendekatan yang sistematis untuk menghitung setiap komponen kerugian.
Penghitungan kerugian materiil (komponen a, c, dan d di atas) bersifat
lebih pasti dan didasarkan pada prinsip pembuktian yang konkret
(evidence-based). Metodologinya adalah sebagai berikut:
-
Pengumpulan Bukti:
Korban atau keluarga korban, dengan difasilitasi oleh LPSK, mengumpulkan
semua bukti pendukung yang relevan, seperti
kuitansi pembayaran rumah sakit, tagihan obat,
slip gaji untuk membuktikan kehilangan penghasilan,
faktur perbaikan barang, dan
bukti-bukti pengeluaran lainnya;
-
Verifikasi dan Valuasi:
LPSK akan melakukan verifikasi atas keabsahan bukti-bukti tersebut. Untuk
barang yang hilang atau rusak,
nilainya dapat ditentukan berdasarkan harga pasar wajar pada saat
kejadian, yang
jika perlu dapat didukung oleh penilaian dari ahli penaksir harga
(appraiser);
-
Akumulasi:
Seluruh nilai kerugian yang telah diverifikasi kemudian dijumlahkan untuk
mendapatkan total kerugian materiil yang akan dimohonkan.
Tantangan dan Pendekatan Penghitungan Kerugian Imateriel
Penghitungan kerugian imateriel—atau yang dalam praktik teknis LPSK sering
disebut sebagai penilaian atas penderitaan—merupakan aspek yang paling kompleks karena sifatnya yang abstrak dan
subjektif. Tidak ada kuitansi untuk rasa sakit atau trauma. Namun, bukan
berarti perhitungannya dilakukan secara sewenang-wenang.
LPSK telah mengembangkan pendekatan multidisipliner untuk mengkuantifikasi
kerugian ini secara lebih objektif dengan melibatkan tim ahli, seperti
dokter, forensik, dan psikolog. Beberapa metode dan pendekatan yang
digunakan antara lain:
1.
Penilaian Berbasis Dampak Fungsional (Psychological Assessment):
Untuk kerugian psikis, psikolog dapat menggunakan instrumen asesmen
terstandar seperti Global Assessment of Functioning (GAF).
Skala GAF digunakan untuk menilai tingkat keberfungsian psikologis, sosial,
dan pekerjaan korban sebelum dan sesudah tindak pidana. Penurunan skor GAF
yang signifikan menunjukkan dampak trauma yang berat. Nilai restitusi
kemudian dapat diproyeksikan dari biaya dan durasi terapi psikologis atau
psikiatris yang dibutuhkan untuk mengembalikan korban ke tingkat
fungsionalitas semula;
2.
Penilaian Berbasis Proksi Medis (Medical Proxy Valuation):
Dalam kasus-kasus tertentu seperti kekerasan seksual yang menyebabkan
kerusakan fisik, penilaian dapat menggunakan proksi atau tolok ukur biaya
tindakan medis restoratif. Sebagai contoh, untuk mengkuantifikasi
penderitaan akibat perkosaan, salah satu pendekatan yang pernah didiskusikan
adalah menggunakan nilai biaya operasi pemulihan selaput dara
(hymenoplasty) sebagai salah satu dasar untuk menentukan nilai
penderitaan fisik yang dialami korban. Pendekatan ini bukan untuk mereduksi
penderitaan korban, melainkan sebagai upaya mencari tolok ukur moneter yang
paling rasional dan dapat dipertanggungjawabkan;
3.
Pendekatan Berbasis Yurisprudensi dan Kepatutan:
Tim penilai LPSK dan hakim juga dapat merujuk pada putusan-putusan
pengadilan sebelumnya dalam kasus-kasus serupa untuk melihat rentang nilai
ganti rugi imateriel yang dianggap patut dan adil oleh pengadilan.
Hasil dari berbagai pendekatan ini kemudian dianalisis dan disintesis oleh
Tim Penilai LPSK untuk menghasilkan satu angka final yang dianggap layak dan
adil sebagai nilai ganti rugi atas penderitaan korban, yang kemudian
dituangkan dalam Keputusan LPSK.
Studi Kasus dalam Yurisprudensi
Praktik pengadilan di Indonesia telah menunjukkan penerapan prinsip-prinsip
penghitungan restitusi ini. Banyak putusan pengadilan yang kini secara
eksplisit merujuk pada hasil perhitungan LPSK sebagai dasar pertimbangan
utama dalam mengabulkan permohonan restitusi.
Sebagai contoh konkret, dapat dirujuk
Putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 149/Pid.Sus/2020/PN Wno,
tertanggal 17 Februari 2021. Dalam perkara tindak pidana persetubuhan terhadap anak, Majelis Hakim
dalam amar putusannya menyatakan:
“Menghukum Terdakwa untuk membayar Restitusi kepada korban atas nama
SUPRIHATIN Binti WALUYO sebagaimana Laporan Penilaian Restitusi LPSK
(Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban) No. Register:
1198/P.BPP-LPSK/XII/2020, tanggal 20 Januari 2021 sejumlah Rp.
1.356.500,00 (satu juta tiga ratus lima puluh enam ribu lima ratus
rupiah)”
Contoh lain adalah
Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 629/Pid.Sus/2023/PN Smn,
tertanggal 9 Januari 2024
di mana hakim dalam satu di antara amarnya menyatakan:
“Membebankan terdakwa untuk membayar restitusi sesuai dengan penghitungan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Nomor : R-3835 / 5.2.HSKR /
LPSK / 12 / 2022 tertanggal 07 Desember 2023 kepada saksi korban LAKSMI
NARASITA sebesar Rp5.590.000,00 (Lima juta lima ratus Sembilan puluh ribu rupiah);”
Putusan-putusan ini menunjukkan dua hal penting. Pertama,
pengadilan mengakui dan menghormati kewenangan serta hasil kerja
profesional LPSK dalam melakukan penilaian restitusi. Kedua,
angka restitusi yang diputuskan didasarkan pada perhitungan yang detail
dan dapat dipertanggungjawabkan, bukan sekadar angka perkiraan. Hal ini memberikan kepastian hukum dan menegaskan bahwa perhitungan
restitusi dilakukan melalui prosedur yang benar.
Menuju Keadilan Restitusi yang Terukur
Menghitung restitusi bukanlah sekadar proses aritmetika, melainkan sebuah
upaya untuk menerjemahkan penderitaan dan kerugian korban ke dalam bahasa
hukum yang dapat dieksekusi. Tata cara penghitungan yang baik dan benar,
sebagaimana telah diatur dalam kerangka hukum positif Indonesia,
mensyaratkan sebuah proses yang sistematis, berbasis bukti, dan melibatkan
keahlian multidisipliner.
Kewenangan sentral yang diberikan kepada LPSK untuk melakukan penilaian
ganti rugi menjadi kunci untuk memastikan objektivitas dan standardisasi.
Sementara penghitungan kerugian materiil didasarkan pada bukti-bukti yang
konkret, tantangan terbesar dalam mengkuantifikasi kerugian imateriel
dijawab dengan pendekatan-pendekatan ahli yang semakin berkembang, seperti
asesmen psikologis dan proksi medis.
Adagium suum cuique tribuere—memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya—menemukan manifestasi konkretnya dalam proses ini, di mana hak korban atas
pemulihan diupayakan untuk dipenuhi secara adil dan terukur.
Meskipun sistem yang ada sudah cukup komprehensif, standardisasi lebih
lanjut mengenai metodologi penilaian kerugian imateriel melalui peraturan
teknis LPSK yang lebih detail akan semakin memperkuat kepastian hukum dan
konsistensi dalam pemberian restitusi di masa depan. Pada akhirnya, proses
penghitungan restitusi yang transparan dan akuntabel adalah pilar esensial
dalam mewujudkan cita-cita keadilan restoratif yang seutuhnya.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.