Pertanyaan
Selamat pagi pak, saya pengusaha dari Bandung bergerak di bidang ekspor
impor saya ingin mengurus ET untuk Perusahaan saya yang ingin menjadi Pelaku
Usaha Non-Produsen, apa saja syaratnya? Terima Kasih.
Jawaban
Pengantar
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
(Kemendag RI), telah mengambil langkah signifikan untuk meregulasi tata
niaga ekspor komoditas kratom (Mitragyna speciosa). Kebijakan ini
merupakan tindak lanjut langsung dari arahan Presiden Joko Widodo dalam
rapat internal yang diselenggarakan pada 20 Juni 2024, yang menekankan
perlunya standar ekspor yang jelas untuk meningkatkan nilai tambah dan
memberikan kepastian hukum. Menjawab arahan tersebut, Kemendag menerbitkan
dua landasan hukum utama, yaitu
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2024
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun
2023 Tentang Barang yang Dilarang Untuk Diekspor, yang selanjutnya disebut dengan “Permendag Nomor 20 Tahun 2024
” dan
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2024
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023
tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor, yang selanjutnya disebut dengan “Permendag Nomor 21 Tahun 2024
”. Kedua peraturan ini ditetapkan secara bersamaan pada 26 Agustus 2024 dan
mulai diberlakukan secara efektif 30 hari setelah tanggal pengundangan, atau
tepatnya pada 11 Oktober 2024.
Penerbitan regulasi ini didorong oleh beberapa faktor krusial. Sebelum
adanya aturan ini, perdagangan kratom, meskipun memiliki permintaan global
yang tinggi terutama dari Amerika Serikat, beroperasi dalam kondisi
ketidakpastian hukum. Hal ini menimbulkan berbagai kendala, termasuk produk
ekspor yang terkontaminasi logam berat dan mikrobiologi, serta harga di
tingkat petani yang rendah akibat rantai pasok yang tidak terstruktur.
Oleh karena itu, tujuan utama dari kerangka regulasi baru ini bersifat
multifaset: memberikan kepastian hukum dan berusaha bagi eksportir,
meningkatkan nilai tambah komoditas melalui standar kualitas, menjamin
keberterimaan produk di negara tujuan, serta mencegah potensi penyalahgunaan
kratom untuk tujuan negatif.
Signifikansi bagi Eksportir Non-Produsen
Regulasi ini secara fundamental mengubah lanskap bisnis bagi pelaku usaha
yang berperan sebagai pedagang (trader) atau eksportir non-produsen.
Eksportir non-produsen adalah subjek hukum bisnis yang tidak melakukan
kegiatan budidaya (pertanian) atau pengolahan primer (penggilingan) kratom,
melainkan memperoleh produk dari para petani, pengumpul, atau unit
pengolahan untuk kemudian diekspor. Sebelum adanya peraturan ini, banyak
dari mereka beroperasi di area abu-abu hukum. Kini, pemerintah menyediakan
jalur hukum yang terstruktur, namun disertai dengan serangkaian kewajiban
kepatuhan yang ketat.
Penerbitan Permendag 20 & 21 Tahun 2024 menandai sebuah pergeseran
paradigma dari sektor yang sebelumnya sebagian besar bersifat informal dan
tidak teregulasi menjadi sebuah industri ekspor yang sangat diatur. Hal ini
memaksa pelaku usaha, terutama non-produsen yang sebelumnya mungkin hanya
bertindak sebagai perantara, untuk melembagakan operasi mereka secara penuh.
Jika sebelumnya kendala utama adalah “tidak jelasnya kepastian hukum”, kini
tantangannya beralih pada kemampuan untuk memenuhi persyaratan formal.
Pengenalan instrumen pemantauan yang ketat—yaitu Eksportir Terdaftar (ET),
Persetujuan Ekspor (PE), dan Laporan Surveyor (LS)—mengharuskan setiap
pelaku usaha memiliki legalitas formal (badan usaha, NIB, NPWP) dan
dokumentasi yang dapat diverifikasi, seperti kontrak kerjasama dengan
pemasok dan hasil uji laboratorium. Konsekuensinya, model bisnis “trader”
informal tidak lagi dapat beroperasi.
Mereka harus bertransformasi menjadi entitas bisnis formal yang mampu
memenuhi serangkaian kewajiban administratif dan teknis yang kompleks, yang
pada akhirnya meningkatkan biaya kepatuhan dan menjadi penghalang masuk (barrier to entry) yang lebih tinggi bagi pelaku usaha baru. Laporan ini akan menguraikan
secara spesifik dan mendalam bagaimana eksportir non-produsen dapat
menavigasi dan memenuhi seluruh persyaratan hukum yang baru ini.
Membedah Permendag 20 & 21 Tahun 2024
Kerangka hukum baru untuk ekspor kratom dibangun di atas dua pilar
peraturan yang saling melengkapi, yaitu Permendag Nomor 20 Tahun 2024 dan
Permendag Nomor 21 Tahun 2024. Pemahaman mendalam terhadap fungsi spesifik
dari masing-masing peraturan ini adalah esensial bagi setiap pelaku
usaha.
Permendag Nomor 20 Tahun 2024 merupakan perubahan kedua atas Permendag
Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor. Fungsi
utama dari peraturan ini adalah untuk menetapkan secara tegas jenis-jenis
produk kratom yang tidak diizinkan untuk diekspor. Berdasarkan analisis
terhadap isi peraturan dan dokumen sosialisasi, produk yang masuk dalam
kategori larangan ekspor adalah kratom dalam bentuk daun segar dan
remahan kasar.
Kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah ini memiliki tujuan strategis yang
jelas. Pemerintah berupaya mendorong hilirisasi di dalam negeri untuk
memastikan bahwa produk yang diekspor memiliki nilai tambah yang lebih
tinggi. Dengan melarang ekspor daun segar dan remahan kasar, pemerintah
secara efektif mewajibkan adanya proses pengolahan—seperti pengeringan,
penghalusan, dan pengujian—yang dilakukan di Indonesia.
Hal ini tidak hanya meningkatkan nilai ekonomi komoditas, tetapi juga
menciptakan lapangan kerja di sektor pengolahan dan mendukung pengembangan
industri kratom domestik yang lebih maju.
Sebagai pelengkap dari Permendag Nomor 20 Tahun 2024 , Permendag Nomor 21
Tahun 2024 , yang merupakan perubahan kedua atas Permendag Nomor 23 Tahun
2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor, secara eksplisit
mendefinisikan komoditas kratom yang diperbolehkan untuk diekspor.
Produk yang diatur dan diizinkan ekspornya adalah kratom dalam bentuk
remahan halus dan bubuk, yang diklasifikasikan di bawah Pos
Tarif/HS Code ex 1211.90.99.
Lebih dari sekadar mendefinisikan produk yang diizinkan, Permendag Nomor 21
inilah yang meletakkan fondasi bagi sistem kontrol perizinan ekspor kratom.
Peraturan ini menetapkan bahwa setiap kegiatan ekspor kratom harus melalui
tiga lapis verifikasi dan perizinan.
Tiga Pilar Perizinan: Sistem Kontrol Ekspor Terintegrasi
Permendag Nomor 21 Tahun 2024 memperkenalkan sistem kontrol berlapis yang
dikenal sebagai “tiga pilar perizinan”. Sistem ini dirancang untuk
memastikan bahwa setiap pengiriman ekspor kratom dapat dilacak,
terverifikasi kualitasnya, dan sesuai dengan kebijakan perdagangan nasional.
Ketiga pilar tersebut adalah:
1.
Eksportir Terdaftar (ET), ini adalah perizinan berusaha di bidang ekspor yang berfungsi sebagai
bukti pendaftaran dan pengakuan legalitas sebuah perusahaan sebagai
eksportir kratom yang sah oleh Kementerian Perdagangan. ET merupakan izin
dasar yang melekat pada identitas perusahaan dan menjadi prasyarat untuk
dapat mengajukan izin ekspor selanjutnya;
2.
Persetujuan Ekspor (PE), berbeda dengan ET yang melekat pada perusahaan, PE adalah izin
yang bersifat transaksional. Artinya, PE harus diperoleh untuk setiap
pengiriman atau kontrak ekspor. PE berfungsi sebagai alat kontrol pemerintah
untuk memantau dan mengatur volume serta alokasi ekspor kratom secara
nasional, kemungkinan besar melalui sistem kuota; dan
3.
Laporan Surveyor (LS), ini adalah dokumen yang diterbitkan oleh lembaga surveyor independen yang
ditunjuk pemerintah (dalam hal ini PT Sucofindo) setelah melakukan
Verifikasi atau Penelusuran Teknis (VPTI). Fungsi LS adalah untuk memastikan
bahwa produk kratom yang akan diekspor telah memenuhi standar mutu dan
keamanan yang ditetapkan, seperti batas cemaran logam berat dan
mikrobiologi.
Ketiga pilar perizinan ini, yaitu ET, PE, dan LS, tidak dapat diurus secara
terpisah atau paralel. Mereka membentuk sebuah rantai perizinan yang
bersifat sekuensial dan saling bergantung. Kegagalan pada satu tahap akan
secara otomatis menggagalkan seluruh proses ekspor. Alur prosedural ini
dimulai dengan kewajiban perusahaan untuk memiliki ET yang valid sebelum
dapat mengajukan permohonan PE.
Setelah PE diperoleh untuk sebuah rencana pengapalan spesifik, eksportir
baru dapat mengajukan permohonan verifikasi kepada surveyor untuk
mendapatkan LS. Akhirnya, Pemberitahuan Pabean Ekspor (PEB) hanya dapat
diajukan dan diproses oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai apabila ketiga
dokumen ini (ET, PE, dan LS) telah lengkap dan valid.
Dengan demikian, alur kerja yang harus dipahami dan diikuti oleh setiap
eksportir Adalah Legalitas Usaha → Pengajuan ET → Pengajuan PE → Pengajuan LS →
Pengajuan PEB dan Realisasi Ekspor. Pemahaman yang keliru terhadap alur yang kaku ini dapat menyebabkan
kesalahan perencanaan, penundaan pengiriman, dan potensi wanprestasi
terhadap kontrak dengan pembeli internasional.
Persyaratan Legalitas Usaha: Fondasi Sebelum Mengajukan Izin Ekspor
Sebelum seorang pelaku usaha dapat memulai proses pengajuan izin ekspor
kratom, terdapat serangkaian persyaratan legalitas fundamental yang harus
dipenuhi. Fondasi hukum ini merupakan gerbang utama yang menentukan apakah
sebuah entitas bisnis memenuhi kualifikasi untuk masuk ke dalam sistem tata
niaga ekspor yang diatur oleh pemerintah.
Peraturan perundang-undangan di bidang ekspor secara konsisten mensyaratkan
bahwa kegiatan ekspor dilakukan oleh entitas yang memiliki status hukum yang
jelas. Eksportir wajib berbentuk badan hukum atau badan usaha. Pilihan yang
tersedia bagi pelaku usaha di Indonesia meliputi Perseroan Terbatas (PT),
Persekutuan Komanditer (CV), Koperasi, Firma, atau bahkan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dan Daerah (BUMD).
Untuk kegiatan ekspor yang memiliki kompleksitas dan risiko bisnis yang
tinggi seperti perdagangan kratom, bentuk badan usaha
Perseroan Terbatas (PT) sangat dianjurkan. Keunggulan utama PT
terletak pada prinsip pemisahan tanggung jawab hukum dan finansial yang
tegas antara aset perusahaan dengan aset pribadi para pemegang saham dan
direksi. Hal ini memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat terhadap
risiko kerugian bisnis, tuntutan hukum dari mitra di luar negeri, atau
sanksi administratif dari pemerintah.
Setelah menentukan bentuk badan usaha, langkah selanjutnya adalah mengurus
dokumen legalitas dasar melalui sistem pemerintah yang terintegrasi:
1.
Nomor Induk Berusaha (NIB)
NIB adalah identitas tunggal bagi pelaku usaha di Indonesia yang
diterbitkan oleh Lembaga Online Single Submission (OSS) Kementerian
Investasi/BKPM. NIB memiliki fungsi ganda yang sangat krusial: ia berlaku
sebagai Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Angka Pengenal Impor (API), dan yang
terpenting, sebagai hak akses kepabeanan. Tanpa NIB yang valid dan aktif,
sebuah perusahaan tidak akan dapat berinteraksi dengan sistem kepabeanan dan
perdagangan pemerintah;
2.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
NPWP adalah syarat mutlak bagi setiap badan usaha untuk memenuhi kewajiban
perpajakannya. Status kepatuhan pajak perusahaan seringkali menjadi salah
satu poin verifikasi dalam proses perizinan.
Pemilihan KBLI untuk Eksportir Kratom Non-Produsen
Salah satu langkah paling krusial dalam proses pengurusan NIB adalah
pemilihan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang tepat. KBLI
adalah kode yang mengklasifikasikan jenis kegiatan ekonomi suatu perusahaan.
Pilihan KBLI yang tercantum dalam NIB akan secara langsung menentukan
lingkup izin usaha yang dapat dijalankan oleh perusahaan. Saat ini, belum
ada kode KBLI yang secara spesifik menyebutkan “Perdagangan Besar Kratom”.
Oleh karena itu, pelaku usaha non-produsen harus melakukan analisis cermat
untuk memilih kode yang paling relevan dan memiliki risiko hukum paling
rendah dari kategori yang ada.
Terdapat beberapa opsi KBLI yang dapat dipertimbangkan, masing-masing
dengan implikasi yang berbeda:
-
KBLI 46207 - Perdagangan Besar Hasil Kehutanan dan Perburuan,
kode ini mencakup usaha perdagangan besar hasil pengusahaan kehutanan dan
pengambilan hasil hutan, seperti bambu, getah damar, dan sejenisnya,
termasuk perdagangan besar bibit tanaman kehutanan. Mengingat kratom secara
teknis merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), KBLI ini memiliki relevansi
yang sangat tinggi dan selaras dengan nomenklatur yang digunakan oleh
kementerian terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK);
-
KBLI 46319 - Perdagangan Besar Bahan Makanan dan Minuman Hasil Pertanian
Lainnya, kode ini mencakup usaha perdagangan besar bahan makanan dan minuman dari
hasil pertanian, termasuk di dalamnya tanaman bumbu-bumbuan dan
rempah-rempah. Kratom, dengan HS Code 1211.90.99, masuk dalam Bab 12 Buku
Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) yang berjudul “Biji dan buah mengandung
minyak; aneka biji-bijian, benih dan buah; tanaman industri atau tanaman
obat; jerami dan makanan ternak”. Kategori ini seringkali diasosiasikan
dengan produk pertanian dan rempah, sehingga KBLI ini juga relevan;
-
KBLI 46442 - Perdagangan Besar Obat Tradisional Untuk Manusia, kode ini mencakup usaha perdagangan besar obat tradisional, jamu, dan
suplemen kesehatan untuk manusia. Meskipun kratom memiliki potensi
farmakologis, memilih KBLI ini merupakan langkah yang
sangat berisiko tinggi pada konteks regulasi saat ini.
Pemilihan KBLI bukan sekadar pemenuhan syarat administratif, melainkan
merupakan sebuah keputusan strategis yang secara fundamental menentukan
rezim pengawasan yang akan dihadapi oleh perusahaan.
Kesalahan dalam memilih kode dapat secara tidak sengaja menempatkan
perusahaan di bawah yurisdiksi beberapa lembaga pemerintah yang
kebijakannya berpotensi tidak selaras. Mengingat bahwa regulasi ekspor
kratom saat ini dimotori oleh Kementerian Perdagangan dengan fokus pada
aspek perdagangan, bukan penggunaan domestik sebagai obat.
Sebaliknya, KBLI 46442 secara eksplisit menyebut “Obat Tradisional”, yang merupakan domain pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Kesehatan. Kedua lembaga ini secara historis memiliki sikap yang jauh lebih hati-hati dan cenderung restriktif terhadap peredaran kratom di dalam negeri. Dengan memilih KBLI 46442, perusahaan secara proaktif menempatkan dirinya di bawah dua rezim regulasi yang berpotensi tidak sinkron, menciptakan risiko hukum yang signifikan di mana izin ekspor dari Kemendag bisa jadi tidak cukup untuk memenuhi persyaratan dari BPOM atau Kemenkes. Oleh karena itu, memilih KBLI yang selaras dengan lembaga yang memimpin regulasi ekspor (Kemendag) adalah strategi mitigasi risiko yang paling logis.
Sehingga berdasarkan pemahaman akan regulasi dan klasifikasi KBLI, terdapat
tiga kode KBLI yang berpotensi digunakan untuk kegiatan perdagangan besar
kratom bagi pelaku non-produsen.
1)
Pertama, KBLI 46207 – Perdagangan Besar Hasil Kehutanan dan
Perburuan.
Kode ini sangat relevan karena kratom tergolong sebagai Hasil Hutan Bukan
Kayu (HHBK). Dari sisi regulasi, risiko penggunaan kode ini tergolong rendah
dan selaras dengan mekanisme pengawasan yang berada di bawah kewenangan
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag RI) dan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI). Dengan
kesesuaian tersebut, KBLI ini dinilai sangat direkomendasikan untuk
digunakan;
2)
Kedua, KBLI 46319 – Perdagangan Besar Bahan Makanan dan Minuman Hasil
Pertanian Lainnya.
Kode ini cukup relevan mengingat kratom (HS 1211) dikategorikan sebagai
produk pertanian yang dalam beberapa aspek serupa dengan rempah-rempah.
Tingkat risikonya berkisar dari rendah hingga sedang. Secara umum kode ini
masih selaras dengan karakteristik produk, namun terdapat potensi ambiguitas
apabila kratom ditafsirkan sebagai bahan pangan sehingga memerlukan
klarifikasi atau penguatan regulasi. Oleh karena itu, KBLI ini
direkomendasikan, namun penggunaannya harus disertai strategi
mitigasi risiko;
3)
Ketiga, KBLI 46442 – Perdagangan Besar Obat Tradisional untuk
Manusia.
Saat ini, kode ini kurang relevan karena regulasi ekspor belum
mengklasifikasikan kratom sebagai obat tradisional. Penggunaan kode ini
membawa risiko sangat tinggi, mengingat dapat memicu pengawasan ketat dari
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) serta Kementerian Kesehatan,
yang pada gilirannya dapat berujung pada pelarangan peredaran. Dengan
mempertimbangkan faktor risiko tersebut, KBLI ini
tidak direkomendasikan untuk digunakan.
Panduan Teknis Pengurusan Eksportir Terdaftar (ET) Kratom untuk Non-Produsen
Setelah fondasi legalitas usaha terbentuk, langkah selanjutnya dalam rantai
perizinan adalah memperoleh status sebagai Eksportir Terdaftar (ET) Kratom.
Ini adalah pilar pertama dari sistem kontrol ekspor yang harus ditegakkan
oleh setiap pelaku usaha.
Eksportir Terdaftar (ET) secara definitif adalah sebuah bentuk Perizinan
Berusaha di bidang Ekspor yang berfungsi sebagai bukti pendaftaran resmi
seorang eksportir untuk komoditas tertentu. Dalam konteks ini, ET Kratom
adalah pengakuan formal dari Kementerian Perdagangan bahwa suatu perusahaan
telah diverifikasi dan diakui sebagai entitas yang sah untuk melakukan
kegiatan ekspor kratom. ET bersifat melekat pada perusahaan
(company-based) dan memiliki masa berlaku untuk periode tertentu,
yang selanjutnya dapat diajukan perpanjangannya sebelum masa berlaku
berakhir. Kepemilikan ET merupakan syarat mutlak sebelum perusahaan dapat
mengajukan Persetujuan Ekspor (PE) untuk setiap pengiriman.
Persyaratan Dokumen Kunci untuk Eksportir Non-Produsen
Bagi eksportir non-produsen, yang tidak memiliki lahan pertanian atau
fasilitas produksi sendiri, pembuktian ketertelusuran dan legalitas sumber
bahan baku menjadi fokus utama dalam proses verifikasi permohonan ET.
Berdasarkan analisis dokumen peraturan dan materi sosialisasi, berikut
adalah persyaratan kunci yang harus disiapkan:
1.
Dokumen Legalitas Dasar Perusahaan:
Ini mencakup salinan pindaian dari dokumen asli seperti NIB, NPWP, dan Akta
Pendirian Perusahaan beserta seluruh perubahannya yang telah disahkan oleh
Kemenkumham;
2.
Kontrak Kerjasama dengan Mitra Produsen Kratom:
Ini adalah dokumen paling krusial dan menjadi pembeda utama bagi eksportir
non-produsen. Berdasarkan materi sosialisasi, dokumen ini wajib dilampirkan
dalam pengajuan ET. Kontrak ini berfungsi sebagai bukti legal formal
mengenai rantai pasok (supply chain) dan ketertelusuran
(traceability) bahan baku. Pemerintah perlu memastikan bahwa kratom
yang diekspor oleh pedagang bukan berasal dari sumber ilegal atau tidak
jelas, melainkan dari petani, kelompok tani, atau unit pengolahan yang dapat
diidentifikasi.
a.
Klausul Vital dalam Kontrak:
Untuk memastikan kontrak tersebut kuat secara hukum dan memenuhi ekspektasi
regulator, dokumen tersebut harus memuat beberapa klausul esensial, antara
lain:
-
Identitas Para Pihak:
Nama, alamat, dan status hukum yang jelas dari eksportir (sebagai pembeli)
dan pemasok (sebagai penjual).
-
Objek Perjanjian:
Spesifikasi produk kratom yang diperjualbelikan (misalnya, bubuk kratom
red vein, green vein).
-
Komitmen Pasokan:
Kuantitas minimum dan/atau maksimum yang disepakati untuk dipasok dalam
periode waktu tertentu.
-
Spesifikasi Mutu Produk:
Klausul ini harus secara eksplisit merujuk pada standar kualitas yang akan
diverifikasi dalam Laporan Surveyor (LS), seperti kadar mitragynine, batas
cemaran mikroba dan logam berat, serta ukuran partikel.
-
Harga dan Mekanisme Pembayaran:
Kesepakatan harga per unit (misalnya, per kilogram) dan tata cara
pembayaran.
-
Jangka Waktu Kerjasama:
Periode validitas kontrak.
-
Penyelesaian Sengketa:
Mekanisme yang disepakati jika terjadi perselisihan.
3.
Surat Pernyataan Mandiri (SPM):
Eksportir kemungkinan besar diwajibkan untuk membuat Surat Pernyataan
Mandiri (SPM) yang dibubuhi meterai. SPM ini berisi pernyataan bahwa seluruh
data yang disampaikan adalah benar dan valid, serta memuat komitmen
eksportir untuk mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku
terkait ekspor kratom;
4.
Rekomendasi Teknis dari Dinas Daerah:
Walaupun tidak selalu dinyatakan secara eksplisit sebagai syarat wajib dalam
peraturan pusat, peran aktif Dinas Perindustrian, Perdagangan, Energi, dan
Sumber Daya Mineral (Disperindag ESDM) di daerah penghasil seperti
Kalimantan Barat sangat signifikan. Keterlibatan mereka dalam sosialisasi
dan pembinaan menunjukkan bahwa
Rekomendasi Teknis dari Disperindag Provinsi atau Kabupaten/Kota
dapat menjadi persyaratan wajib atau setidaknya dokumen pendukung yang
sangat kuat. Rekomendasi ini berfungsi sebagai validasi dari pemerintah
daerah bahwa perusahaan tersebut memang beroperasi di wilayahnya dan
memiliki rantai pasok yang jelas.
Prosedur Pengajuan ET
Seluruh proses pengajuan perizinan ekspor, termasuk ET, dilakukan secara
terintegrasi dan elektronik untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi.
Alur pengajuannya adalah sebagai berikut:
1.
Registrasi Hak Akses:
Pelaku usaha harus terlebih dahulu memiliki hak akses untuk dapat
menggunakan sistem perizinan. Registrasi hak akses dilakukan melalui portal
Sistem Indonesia National Single Window (SINSW) dengan menggunakan
NIB sebagai kunci utama.
2.
Pengajuan Permohonan:
Setelah memiliki hak akses, permohonan ET diajukan secara elektronik melalui
SINSW. Sistem SINSW akan bertindak sebagai gerbang tunggal (single submission) yang kemudian meneruskan permohonan yang lengkap ke sistem pemrosesan
internal Kementerian Perdagangan, yaitu INATRADE.
3.
Verifikasi Dokumen:
Petugas di Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag akan
melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan keabsahan dokumen yang
diunggah. Jika permohonan tidak lengkap, sistem akan menolaknya dan tidak
meneruskan ke INATRADE. Jika lengkap, permohonan akan diproses lebih lanjut.
4.
Penerbitan ET:
Apabila semua persyaratan telah terpenuhi dan terverifikasi, Direktur
Jenderal Perdagangan Luar Negeri atas nama Menteri Perdagangan akan
menerbitkan ET Kratom secara elektronik, yang dapat diunduh oleh pelaku
usaha melalui sistem.
Prosedur Memperoleh Persetujuan Ekspor (PE)
Setelah berhasil mendapatkan status Eksportir Terdaftar (ET), pelaku usaha
telah melewati gerbang pertama. Namun, untuk setiap pengiriman yang akan
dilakukan, diperlukan izin spesifik yang disebut Persetujuan Ekspor (PE).
Ini adalah pilar kedua dalam sistem kontrol tata niaga kratom.
Berbeda dengan ET yang bersifat melekat pada perusahaan dan berlaku untuk
periode waktu yang lebih panjang, Persetujuan Ekspor (PE) adalah izin yang
bersifat transaksional dan spesifik per pengapalan. Artinya, PE harus
diajukan dan diperoleh untuk setiap kali seorang eksportir berencana
melakukan pengiriman barang ke luar negeri. Fungsi utama PE adalah sebagai
instrumen bagi pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan, untuk
mengontrol dan memantau volume ekspor kratom secara nasional. Melalui PE,
pemerintah dapat melacak data real-time mengenai jumlah, nilai, dan negara
tujuan ekspor kratom dari seluruh Indonesia.
Keterkaitan dengan Kuota Ekspor
Salah satu aspek paling kritis dari PE adalah keterkaitannya yang erat
dengan sistem kuota ekspor. Penerbitan PE bagi seorang eksportir sangat
bergantung pada ketersediaan alokasi volume ekspor yang ditetapkan oleh
pemerintah. Alokasi ini diatur dalam sebuah dokumen kebijakan terpisah,
yaitu
Keputusan Menteri Perdagangan (Kepmen) tentang Persentase Hak Ekspor.
Kepmen ini akan menetapkan total volume ekspor kratom nasional yang
diizinkan untuk periode tertentu (misalnya, per semester atau per tahun) dan
kemungkinan besar juga mengatur mekanisme pembagian hak ekspor tersebut
kepada para perusahaan yang telah memiliki ET.
Ketergantungan pada Kepmen ini menciptakan sebuah risiko regulasi yang
signifikan. Sebagaimana dilaporkan pada akhir tahun 2024, keterlambatan
dalam penerbitan Kepmen mengenai alokasi kuota ekspor ini menyebabkan
kebuntuan total dalam proses penerbitan PE. Akibatnya, lebih dari 100
kontainer berisi kratom milik berbagai pengusaha tertahan di gudang dan
pelabuhan, baik di Pontianak maupun Jakarta, selama berbulan-bulan. Insiden
ini mengakibatkan kerugian finansial yang sangat besar bagi pelaku usaha dan
menyoroti betapa vitalnya Kepmen ini sebagai pemicu berjalannya seluruh
rantai ekspor. Pelaku usaha harus menyadari bahwa kelancaran bisnis mereka
tidak hanya bergantung pada kepatuhan individu, tetapi juga pada ketepatan
waktu penerbitan kebijakan makro oleh pemerintah.
Persyaratan dan Alur Pengajuan PE
Untuk dapat mengajukan permohonan PE, eksportir harus memenuhi serangkaian
persyaratan yang membuktikan adanya rencana ekspor yang konkret dan
legal.
Persyaratan Utama:
1.
Kepemilikan ET Kratom yang Masih Berlaku
Ini adalah syarat mutlak. Sistem perizinan tidak akan memproses permohonan
PE jika perusahaan pemohon tidak terdaftar sebagai ET Kratom yang aktif.
2.
Dokumen Transaksi Ekspor
Eksportir harus melampirkan bukti adanya transaksi atau kesepakatan dengan
pembeli di luar negeri. Dokumen yang umum diminta adalah
proforma invoice atau sales contract yang mencantumkan detail
pembeli, deskripsi barang, kuantitas, harga, dan syarat-syarat perdagangan
lainnya.
Alur Pengajuan:
1.
Pengajuan PE dilakukan secara elektronik melalui platform yang sama dengan
pengajuan ET, yaitu melalui
SINSW yang terintegrasi dengan INATRADE;
2.
Dalam formulir permohonan, eksportir harus mengisi rincian lengkap mengenai
rencana pengapalan, termasuk:
-
Volume (dalam kg atau ton) dan nilai barang (dalam USD);
-
Negara tujuan ekspor;
-
Nama dan alamat importir/pembeli; dan
-
Pelabuhan muat di Indonesia dan pelabuhan bongkar di negara tujuan.
3.
Sistem INATRADE akan memverifikasi permohonan terhadap data ET pemohon dan
ketersediaan kuota ekspor berdasarkan Kepmen yang berlaku;
4.
Jika semua data valid dan kuota tersedia, PE akan diterbitkan secara
elektronik. PE ini akan memuat nomor izin, masa berlaku, serta rincian
volume dan nilai ekspor yang disetujui.
Kewajiban Laporan Surveyor (LS): Verifikasi Kualitas dan Kepatuhan Standar
Pilar ketiga dan terakhir dalam rantai perizinan sebelum barang dapat
diekspor adalah Laporan Surveyor (LS). Dokumen ini merupakan jaminan
kualitas dan keamanan produk yang paling penting, baik bagi pemerintah
Indonesia maupun bagi importir di negara tujuan. Tanpa LS yang valid, barang
akan ditolak di pabean.
Pemerintah, melalui Kementerian Perdagangan, telah menunjuk lembaga
surveyor independen untuk melaksanakan Verifikasi atau Penelusuran Teknis
(VPTI) terhadap komoditas kratom yang akan diekspor. Lembaga yang ditunjuk
untuk tugas ini adalah PT Sucofindo. Peran Sucofindo adalah bertindak
sebagai pihak ketiga yang netral dan kompeten untuk melakukan pemeriksaan,
pengambilan sampel, dan pengujian laboratorium terhadap setiap lot barang
yang akan dikirim. Hasil dari seluruh proses VPTI ini kemudian dituangkan ke
dalam sebuah dokumen resmi yang disebut Laporan Surveyor (LS), yang
menjadi salah satu dokumen wajib dalam pemberitahuan pabean ekspor.
Standar Teknis dan Kualitas Wajib
Tujuan utama dari kewajiban LS adalah untuk memastikan bahwa ekspor kratom
Indonesia memenuhi standar minimum keamanan dan kualitas yang telah
ditetapkan, sekaligus untuk membangun reputasi produk Indonesia di pasar
global. Berdasarkan materi sosialisasi yang dipaparkan oleh PT Sucofindo,
standar teknis yang harus dipenuhi untuk mendapatkan LS adalah sangat
spesifik dan ketat.
Standar Kualitas Wajib untuk Laporan Surveyor (LS) Ekspor Kratom
Parameter Uji |
Kriteria Teknis |
Implikasi Kepatuhan |
Kadar Alkaloid (Mitragynine) |
≥ 1,2% (untuk kratom varian Hijau dan Putih); ≥ 0,8% (untuk kratom
varian Merah) |
Menentukan potensi, klasifikasi, dan nilai jual produk. Merupakan
parameter kualitas utama yang wajib dipenuhi. |
Cemaran Mikrobiologi: Salmonella sp. |
Negatif (-) per 25 gram sampel |
Standar keamanan absolut. Kontaminasi Salmonella akan menyebabkan
penolakan ekspor secara otomatis karena risiko kesehatan yang
serius. |
Cemaran Mikrobiologi: Escherichia Coli |
≤ 10 APM/gram |
Indikator penting tingkat kebersihan dan sanitasi selama proses
produksi, pengeringan, dan penanganan. |
Cemaran Logam Berat: Kadmium (Cd) |
≤ 0,3 mg/kg |
Batas aman cemaran logam berat yang bersifat toksik. |
Cemaran Logam Berat: Arsen (As) |
≤ 1,5 mg/kg |
Batas aman cemaran logam berat lain yang juga bersifat toksik. |
Spesifikasi Fisik: Ukuran Partikel |
≤ 600 mikron (harus lolos ayakan/saringan ukuran 30 mesh) |
Menentukan klasifikasi produk sebagai “bubuk” atau “remahan halus”
yang diizinkan, membedakannya dari “remahan kasar” yang
dilarang. |
Implikasi dari standar ini bagi eksportir non-produsen sangatlah besar.
Karena mereka tidak mengontrol proses produksi secara langsung, mereka harus
mampu memastikan bahwa pemasok mereka dapat secara konsisten menghasilkan
produk yang memenuhi kriteria ketat ini. Oleh karena itu, pencantuman
standar-standar di atas secara eksplisit ke dalam kontrak kerjasama dengan
pemasok menjadi sebuah keharusan strategis. Eksportir juga disarankan untuk
melakukan uji sampel internal secara berkala sebelum mengajukan VPTI resmi
ke Sucofindo untuk menghindari risiko penolakan, yang dapat menyebabkan
kerugian waktu dan biaya.
Prosedur VPTI dan Penerbitan LS
Proses untuk mendapatkan LS melibatkan beberapa tahapan yang
terstruktur:
1.
Pengajuan Permohonan VPTI
Bahwa Setelah Persetujuan Ekspor (PE) diterbitkan oleh Kemendag,
eksportir mengajukan permohonan VPTI kepada PT Sucofindo. Pengajuan ini
umumnya dilakukan melalui sistem online milik Sucofindo;
2.
Penyerahan Dokumen
Bahwa Eksportir harus menyiapkan dan menyerahkan dokumen-dokumen
pendukung, yang paling utama adalah salinan PE yang valid,
Final Invoice, dan Packing List untuk pengapalan yang akan
diverifikasi;
3.
Pemeriksaan Fisik dan Pengambilan Sampel
Bahwa Tim surveyor dari Sucofindo akan menjadwalkan kunjungan ke
lokasi penyimpanan barang (gudang eksportir). Di sana, mereka akan melakukan
pemeriksaan fisik terhadap kesesuaian barang dengan dokumen, serta melakukan
pengambilan sampel secara acak sesuai dengan metode standar;
4.
Pengujian Laboratorium
Bahwa Sampel yang telah diambil akan dibawa ke laboratorium
Sucofindo yang telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN)
untuk diuji berdasarkan parameter-parameter yang telah ditetapkan (kadar
mitragynine, cemaran, dll.);
5.
Penerbitan Dokumen
-
Apabila hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa semua parameter
memenuhi standar yang disyaratkan, Sucofindo akan menerbitkan Laporan
Surveyor (LS);
-
Jika hasil uji menunjukkan ada satu atau lebih parameter yang
tidak memenuhi standar, Sucofindo akan menerbitkan
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang menyatakan ketidaksesuaian
tersebut. Barang dengan LHP yang tidak sesuai tidak akan diizinkan untuk
diekspor.
Potensi Tantangan Hukum dan Operasional bagi Non-Produsen
Meskipun kerangka regulasi baru menyediakan jalur yang lebih pasti,
eksportir non-produsen menghadapi serangkaian tantangan hukum dan
operasional yang unik. Keberhasilan mereka tidak hanya bergantung pada
kemampuan menavigasi birokrasi, tetapi juga pada manajemen risiko yang
cermat di seluruh rantai pasok dan interaksi dengan regulator.
Bagi eksportir non-produsen, titik paling rentan berada pada rantai pasok
mereka. Ketergantungan pada pihak ketiga (petani, pengumpul, pengolah) untuk
bahan baku menciptakan beberapa risiko signifikan:
a.
Risiko utama terletak pada kekuatan hukum dan efektivitas pelaksanaan
kontrak kerjasama dengan pemasok. Sekalipun kontrak telah ditandatangani,
jika pemasok gagal memenuhi spesifikasi kualitas yang diperjanjikan
(misalnya, mengirimkan produk dengan kadar mitragynine rendah atau
terkontaminasi Salmonella), maka eksportir non-produsen lah yang akan
menanggung konsekuensi langsung. Penolakan penerbitan LS oleh Sucofindo akan
membuat seluruh investasi untuk pengadaan barang, pengemasan, dan logistik
menjadi sia-sia.
b.
Menjaga kualitas produk yang konsisten dari berbagai pemasok yang berbeda
merupakan tantangan operasional yang sangat besar. Praktik panen,
pengeringan, dan penggilingan di tingkat petani seringkali tidak
terstandarisasi. Eksportir non-produsen harus berinvestasi dalam sistem
kontrol kualitas internal yang ketat, termasuk melakukan pengujian mandiri
secara acak, untuk menyaring produk sebelum diajukan untuk VPTI resmi.
Risiko Regulasi dan Birokrasi
Lingkungan regulasi yang baru seringkali membawa tantangan implementasi dan
koordinasi antar lembaga:
1)
Kasus penundaan penerbitan
Keputusan Menteri tentang kuota PE adalah contoh nyata dari risiko ini.
Pelaku usaha menghadapi ketidakpastian bahwa implementasi peraturan teknis
atau kebijakan turunan dapat tertunda, yang secara efektif menghentikan
seluruh kegiatan operasional dan menyebabkan kerugian finansial yang tidak
dapat diprediksi;
2)
Terdapat potensi munculnya persyaratan tambahan atau prosedur yang berbeda
dari dinas pemerintah di tingkat daerah yang tidak sepenuhnya selaras dengan
kebijakan pemerintah pusat. Selain itu, ketergantungan pada sistem teknologi
informasi pemerintah juga menjadi risiko, seperti yang ditunjukkan oleh
gangguan pada aplikasi Srikandi di Kalimantan Barat yang menghambat
penerbitan surat rekomendasi ekspor secara elektronik. Kegagalan
infrastruktur birokrasi semacam ini berada di luar kendali pelaku usaha
namun berdampak langsung pada kelancaran bisnis.
Dalam skenario terburuk di mana pelaku usaha merasa dirugikan oleh
keputusan atau kelalaian pejabat administrasi negara, sistem hukum Indonesia
menyediakan jalur untuk mencari keadilan. Jika permohonan ET atau PE ditolak
atau ditunda tanpa dasar hukum yang jelas dan transparan, atau jika terjadi
penyalahgunaan wewenang, pelaku usaha memiliki hak untuk mengajukan gugatan
ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Analisis terhadap yurisprudensi dan kasus-kasus sengketa terkait perizinan
ekspor-impor yang melibatkan Kementerian Perdagangan dan lembaga lain
menunjukkan bahwa sengketa semacam ini dapat terjadi. Gugatan di PTUN dapat
menantang keabsahan sebuah keputusan (misalnya, surat penolakan izin) atau
menuntut agar pejabat yang berwenang segera menerbitkan izin yang dimohonkan
jika semua syarat telah terpenuhi (gugatan atas tindakan fiktif negatif).
Meskipun demikian, proses litigasi di PTUN merupakan jalur hukum terakhir
yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Ini adalah opsi yang perlu
dipertimbangkan jika terjadi kebuntuan administratif yang tidak dapat
diselesaikan melalui jalur komunikasi dan klarifikasi biasa.
Rekomendasi Strategis dan Kesimpulan
Menavigasi lanskap regulasi ekspor kratom yang baru memerlukan pendekatan
yang sistematis, proaktif, dan sadar risiko. Bagi eksportir non-produsen,
kunci keberhasilan terletak pada kepatuhan yang teliti dan manajemen rantai
pasok yang solid.
Untuk membantu pelaku usaha dalam merencanakan dan melaksanakan proses
perizinan, berikut adalah daftar periksa komprehensif yang merangkum seluruh
tahapan, dari persiapan legalitas hingga realisasi ekspor.
Daftar Periksa Komprehensif Pengajuan Izin Ekspor Kratom untuk
Non-Produsen
Tahap |
Aksi Kunci |
Dokumen/Output Kunci |
1. Legalitas Usaha |
Mendirikan badan usaha (dianjurkan PT). Mengurus NIB dan NPWP
melalui OSS. Memilih KBLI yang tepat (rekomendasi: 46207 atau
46319). |
Akta Pendirian & SK Kemenkumham, NIB, NPWP. |
2. Pengajuan ET |
Menyusun dan menandatangani kontrak kerjasama yang kuat dengan
pemasok. Mengurus rekomendasi teknis dari Disperindag daerah (jika
diperlukan). Mengajukan permohonan ET via SINSW. |
Kontrak Kerjasama, Surat Pernyataan Mandiri (SPM), Rekomendasi
Teknis, ET terbit. |
3. Pengajuan PE |
Memiliki sales contract atau proforma invoice dengan
pembeli luar negeri. Mengajukan permohonan PE via SINSW/INATRADE.
Memantau status dan ketersediaan kuota ekspor. |
Sales Contract
/ Proforma Invoice, PE terbit. |
4. Pengajuan LS |
Memastikan lot barang yang akan diekspor telah siap dan sesuai
standar kualitas. Mengajukan permohonan VPTI ke PT Sucofindo. |
PE yang valid, Invoice, Packing List, LS terbit. |
5. Realisasi Ekspor |
Menyiapkan dan menyerahkan seluruh dokumen kepabeanan (PEB, ET, PE,
LS, Invoice, Packing List, dll.) kepada Bea Cukai melalui
sistem. |
Persetujuan Muat Barang (NPE - Nota Pelayanan Ekspor). |
Selain mengikuti daftar periksa di atas, pelaku usaha non-produsen
disarankan untuk mengadopsi beberapa strategi proaktif untuk memitigasi
risiko dan meningkatkan peluang keberhasilan:
1.
Lakukan Uji Tuntas (Due Diligence) Menyeluruh pada Pemasok
Sebelum mengikatkan diri dalam kontrak, lakukan verifikasi mendalam
terhadap calon pemasok. Ini mencakup kunjungan lapangan untuk melihat
fasilitas pengolahan mereka, memeriksa rekam jejak mereka, dan memvalidasi
kapasitas produksi serta kemampuan mereka untuk memenuhi standar kualitas
yang ketat.
2.
Perkuat Kontrak Kerjasama dengan Bantuan Hukum
Jangan mengandalkan template kontrak standar. Gunakan jasa profesional
hukum untuk menyusun kontrak kerjasama yang komprehensif dan mengikat secara
hukum. Pastikan kontrak tersebut mencakup klausul spesifik mengenai standar
kualitas yang merujuk pada syarat LS, serta sanksi dan mekanisme ganti rugi
yang jelas jika pemasok melakukan wanprestasi yang menyebabkan penolakan
LS;
3.
Bangun Sistem Kontrol Kualitas Internal
Jangan menyerahkan nasib bisnis Anda sepenuhnya pada hasil verifikasi
surveyor. Investasikan pada alat uji sederhana (seperti ayakan mesh,
alat ukur kadar air) dan bangun prosedur operasional standar (SOP) untuk
melakukan penyaringan dan pengujian internal. Ini memungkinkan Anda untuk
mengidentifikasi dan menolak produk yang tidak memenuhi syarat dari pemasok
sebelum diajukan untuk VPTI resmi, sehingga menghemat waktu dan biaya;
4.
Jalin Hubungan Baik dan Proaktif dengan Regulator
Secara aktif mengikuti acara-acara sosialisasi yang diselenggarakan oleh
Kemendag, Disperindag daerah, dan lembaga terkait lainnya. Ini adalah cara
terbaik untuk mendapatkan informasi terbaru mengenai perubahan peraturan,
memahami interpretasi regulator, dan membangun jalur komunikasi yang baik
untuk klarifikasi jika terjadi masalah.
Penerbitan Permendag Nomor 20 dan 21 Tahun 2024 menandai era baru dalam
tata niaga kratom Indonesia. Kerangka regulasi ini telah berhasil
mentransformasi sektor ini dari area abu-abu menjadi jalur perdagangan yang
legal dan terstruktur, namun dengan tingkat kompleksitas dan persyaratan
kepatuhan yang tinggi. Bagi eksportir non-produsen, tantangan utama bergeser
dari ketidakpastian hukum menjadi kemampuan untuk mengelola dan membuktikan
kepatuhan rantai pasok mereka.
Kunci keberhasilan bagi eksportir non-produsen tidak hanya terletak pada
kemampuan untuk memenuhi tumpukan dokumen administratif, tetapi pada
kecakapan strategis dalam membangun dan mengelola rantai pasok yang
transparan, patuh terhadap standar kualitas, dan terdokumentasi secara solid
melalui kontrak kerjasama yang kuat.
Meskipun tantangan terkait implementasi regulasi, birokrasi, dan
konsistensi kebijakan masih ada, peluang di pasar ekspor kratom yang
bernilai tinggi tetap terbuka lebar. Dengan persiapan yang matang, manajemen
risiko yang cermat, dan pendekatan yang proaktif, pelaku usaha non-produsen
dapat menavigasi kerumitan ini dan memanfaatkan potensi komoditas “harta
karun hijau” Indonesia secara optimal dan berkelanjutan.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.