Pertanyaan
Selamat siang pak, menurut bapak bagaimana kedudukan dan dinamika Areal
Penggunaan Lain (APL) dalam sistem hukum Indonesia, serta apa implikasinya
bagi pengelolaan ruang dan tanah, khususnya di Provinsi Kalimantan Barat,
pasca-berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja? Terima kasih.
Jawaban
Memahami Konsep dan Kedudukan Hukum Areal Penggunaan Lain (APL)
Areal Penggunaan Lain (APL) memegang peranan yang unik, strategis,
sekaligus paradoksal. APL bukanlah sekadar sebuah kategori administrasi
pertanahan, melainkan sebuah arena yuridis yang kompleks, tempat bertemunya
berbagai kepentingan fundamental antara
tuntutan pembangunan ekonomi dan
imperatif konservasi ekologis, serta antara
kewenangan negara dan hak-hak masyarakat. Secara esensial, APL adalah
produk akhir dari sebuah proses administratif yang panjang di bawah rezim
hukum kehutanan, dan pada saat yang bersamaan, merupakan titik awal bagi
berlakunya rezim hukum yang baru, yaitu hukum agraria.
Kedudukan APL dapat diibaratkan sebagai “pintu gerbang” transisi. Ia
menandai momen ketika suatu bidang tanah secara sah dan formal dilepaskan
dari status Kawasan Hutan Negara, yang pengaturannya bersifat
publik-administratif di bawah yurisdiksi Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK). Begitu status APL melekat, pintu gerbang tersebut terbuka,
dan tanah tersebut memasuki domain hukum agraria di bawah kewenangan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), yang
memungkinkan lahirnya hak-hak atas tanah bersifat privat seperti Hak Guna
Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), atau bahkan Hak Milik.
Signifikansi APL dalam agenda pembangunan nasional tidak dapat diremehkan.
Bagi pemerintah dan investor, APL adalah sumber daya lahan yang krusial
untuk merealisasikan proyek-proyek investasi skala besar di berbagai sektor,
mulai dari perkebunan kelapa sawit, kawasan industri, pembangunan
infrastruktur strategis, hingga pengembangan properti dan permukiman.
Terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja beserta peraturan turunannya
merefleksikan upaya negara untuk mengakselerasi proses transformasi lahan
ini demi mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Namun, di balik perannya sebagai motor penggerak ekonomi, proses
pembentukan APL sarat dengan tantangan dan risiko. Kompleksitas regulasi
yang tumpang tindih, prosedur birokrasi yang berlapis, serta potensi konflik
tenurial dengan masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat menjadi
problematika yang inheren. Keabsahan status APL bergantung sepenuhnya pada
kesempurnaan prosedur pelepasannya dari Kawasan Hutan. Setiap cacat hukum
dalam proses tersebut dapat menjadi bom waktu yang mengancam kepastian hukum
dan keberlangsungan investasi di kemudian hari.
Artikel kami ini diharapkan mampu untuk menyajikan analisis yuridis yang
mendalam mengenai APL sehingga dapat dengan mudah dipahami pembaca, kami
juga mengurai gambaran kompleksitas peraturannya dari undang-undang induk
hingga peraturan teknis, dengan fokus pada konteks implementasi di Provinsi
Kalimantan Barat.
Secara yuridis, istilah Areal Penggunaan Lain (APL) tidak memiliki definisi
positif yang berdiri sendiri. Definisinya bersifat residual, atau dengan
kata lain, merupakan sebuah negasi dari konsep “Kawasan Hutan”. Status APL
tidaklah inheren, melainkan merupakan konsekuensi dari suatu tindakan
administratif negara yang secara resmi mengeluarkan suatu areal dari
penunjukan Kawasan Hutan.
Definisi ini dapat kita temukan di beberapa peraturan sebagaimana dalam
ketentuan
Pasal 1 Angka 8 Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor
: P. 50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan
Hutan, yang menyatakan:
“Areal Penggunaan Lain yang selanjutnya disebut APL adalah areal bukan
kawasan hutan.”
Kemudian, sebagaimana ketentuan
Pasal 1 Angka 7 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Republik Indonesia Nomor P.38/Menlhk/Setjen/Kum.1/4/2016 tentang
Persetujuan Pembuatan Dan/Atau Penggunaan Koridor, yang menyatakan:
“Areal Penggunaan Lain yang selanjutnya disebut APL yang telah dibebani
izin peruntukan adalah areal hutan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi,
atau berdasarkan tata guna hutan kesepakatan (TGHK) menjadi bukan kawasan
hutan.”
Peraturan ini dicabut dan digantikan oleh
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan Di Hutan Lindung Dan Hutan Produksi., yang selanjutnya disebut dengan “Permen LHK 8/2021” Pada dasarnya,
pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan beberapa peraturan
terkait kehutanan ke dalam satu peraturan yang lebih komprehensif untuk
memudahkan implementasi, terutama setelah adanya Undang-Undang Cipta
Kerja.
Sebagaimana peraturan induk dari Permen LHK 8/2021 yaitu
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan, yang selanjutnya disebut “PP 23/2021”. Pasal 1 Angka 29 PP 23/2021 menyatakan:
“Pelepasan Kawasan Hutan adalah perubahan peruntukan Kawasan Hutan
Produksi yang dapat Dikonversi dan/atau Hutan Produksi Tetap menjadi bukan
Kawasan Hutan.”
Dari ketentuan tersebut, dapat ditarik interpretasi yang jelas bahwa APL
adalah status hukum yang melekat pada hamparan tanah yang telah berstatus
“bukan Kawasan Hutan” sebagai hasil dari suatu proses Pelepasan
Kawasan Hutan yang sah. Kelahiran APL secara yuridis ditandai dengan
terbitnya Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
tentang Pelepasan Kawasan Hutan.
Setelah berstatus APL, areal tersebut dapat diperuntukkan bagi kegiatan
pembangunan di luar sektor kehutanan, seperti perkebunan, pertambangan,
industri, permukiman, dan kegiatan budidaya lainnya, sepanjang sejalan
dengan rencana tata ruang yang berlaku.
Sifat definisi APL yang “residual” ini secara inheren menciptakan suatu
kerentanan hukum. Status APL tidak memiliki kekuatan yang berdiri sendiri;
ia sepenuhnya bergantung pada keabsahan proses administratif yang
melahirkannya. Logika hukumnya sederhana: jika APL adalah “bukan Kawasan
Hutan”, maka status tersebut hanya sah jika proses pengeluarannya dari
Kawasan Hutan telah memenuhi seluruh syarat dan prosedur yang ditetapkan
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan asas hukum contrarius actus, yang menyatakan bahwa
lembaga yang menerbitkan suatu keputusan juga yang berwenang membatalkannya,
maka keabsahan suatu status hukum (APL) bergantung pada keabsahan tindakan
yang menciptakannya (SK Pelepasan). Konsekuensinya, setiap cacat prosedur
atau substansi dalam proses Pelepasan Kawasan Hutan akan secara langsung
menular dan mengancam keabsahan status APL itu sendiri. Hal ini membuka
ruang bagi gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang dapat
berujung pada pembatalan SK Pelepasan, yang secara otomatis menggugurkan
status APL suatu lahan.
Dualisme Rezim Hukum: Titik Transisi Kritis
Kedudukan APL yang paling fundamental adalah
sebagai titik serah terima kewenangan (jurisdictional handover point) antara dua kementerian dengan rezim hukum yang berbeda. Proses
pembentukannya, yaitu melalui mekanisme Pelepasan Kawasan Hutan,
sepenuhnya berada di bawah yurisdiksi hukum kehutanan yang diadministrasikan
oleh Kementerian LHK RI, yang kali ini menjadi domain Kementerian Kehutanan
Republik Indonesia.
Namun, begitu SK Pelepasan Kawasan Hutan diterbitkan dan areal tersebut
secara definitif menjadi APL, maka kewenangan
pengaturannya beralih ke rezim hukum agraria di bawah Kementerian Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (ATR/BPN
RI). Pada titik ini, APL bertransformasi status menjadi Tanah Negara.
Sebagai Tanah Negara, areal tersebut tunduk pada ketentuan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA) dan peraturan pelaksananya, serta dapat dimohonkan untuk dilekati
dengan hak-hak atas tanah seperti Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan
(HGB), atau Hak Milik. Dualisme ini menciptakan sebuah rantai prosedur yang
harus dipahami secara utuh oleh para pemangku kepentingan untuk memastikan
legalitas penguasaan tanah dari hulu hingga hilir.
Dampak UU Cipta Kerja: Simplifikasi dan Perubahan Paradigma
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,
yang kini telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2023, membawa perubahan signifikan dalam paradigma perizinan di
Indonesia, termasuk di sektor kehutanan. Tujuannya adalah untuk
menyederhanakan, mempercepat, dan menciptakan kepastian hukum dalam
berusaha. Terkait APL, beberapa perubahan penting meliputi:
1.
Terdapat klaim pemangkasan waktu perizinan yang drastis, dari yang
sebelumnya bisa memakan waktu 2-4 tahun menjadi hanya beberapa belas hari
kerja
2.
Istilah “Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH)” diubah menjadi
“Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH)”, yang merefleksikan pergeseran
dari rezim perizinan menjadi persetujuan;
3.
Proses permohonan diintegrasikan melalui sistem
Online Single Submission (OSS), yang bertujuan untuk mempermudah dan
mengefisienkan alur birokrasi.
Meskipun demikian, semangat percepatan ini menciptakan sebuah dinamika yang
kompleks. Di satu sisi, UU Cipta Kerja menargetkan efisiensi waktu yang
signifikan. Di sisi lain, peraturan pelaksananya seperti PP Nomor 23 Tahun
2021 dan Permen LHK Nomor 7 Tahun 2021 tetap mempertahankan persyaratan
substantif yang esensial dan memakan waktu, seperti kewajiban adanya
penelitian oleh Tim Terpadu dan perolehan rekomendasi dari Gubernur. Hal ini
menciptakan potensi implementation gap, di mana target waktu ideal
dari pemerintah pusat seringkali tidak sinkron dengan realitas waktu yang
dibutuhkan untuk koordinasi antar-lembaga, kajian teknis di daerah, dan
pemenuhan persyaratan oleh pemohon. Bagi para investor dan praktisi hukum,
memahami kesenjangan ini krusial untuk menyusun jadwal proyek yang realistis
dan menghindari ekspektasi yang keliru.
Landasan Hukum Pengaturan APL: Dari Undang-Undang Induk hingga Peraturan Pelaksana
Pengaturan mengenai APL bersifat kompleks karena melibatkan serangkaian
peraturan perundang-undangan yang saling terkait dari berbagai sektor.
Memahaminya memerlukan pendekatan hierarkis, mulai dari landasan filosofis
dalam konstitusi hingga petunjuk teknis dalam peraturan menteri.
Kerangka hukum yang mengatur APL dapat diurutkan sebagai berikut:
1.
Dasar Konstitusional
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
yang selanjutnya disebut dengan “UUD NRI 1945” yang menjadi landasan
filosofis tertinggi. Ketentuan ini menegaskan bahwa “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Prinsip ini
memberikan legitimasi bagi negara untuk mengatur peruntukan tanah, termasuk
mengubah status Kawasan Hutan menjadi APL untuk tujuan pembangunan yang
diyakini dapat meningkatkan kemakmuran rakyat;
2.
Undang-Undang Induk (Payung Hukum)
-
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut “UU tentang Kehutanan”,
undang-undang ini adalah sumber hukum primer yang mengatur definisi,
klasifikasi, dan tata cara pengelolaan Kawasan Hutan, termasuk mekanisme
perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yang menjadi cikal bakal
lahirnya APL;
-
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang selanjutnya disebut “UUPA”, yang merupakan
lex generalis di bidang pertanahan. Setelah suatu areal dilepaskan
dari status Kawasan Hutan dan menjadi APL (Tanah Negara), maka seluruh
proses pendaftaran dan pemberian hak atas tanah di atasnya tunduk pada
prinsip dan ketentuan dalam UUPA;
-
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang sebagaimana telah diubah dengan “UU tentang Cipta Kerja”, yang
selanjutnya disebut “UU tentang Penataan Ruang”, undang-undang
ini mengatur alokasi ruang secara nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dihasilkan dari undang-undang ini
menjadi acuan utama dalam menentukan apakah suatu Kawasan Hutan dapat
dilepaskan menjadi APL;
3.
Peraturan Pelaksana Utama (Tingkat Pemerintah)
-
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan, yang selanjutnya disebut “PP 23/2021”, merupakan peraturan
turunan paling krusial dari UU Cipta Kerja di sektor kehutanan. PP ini
merinci lebih lanjut mengenai perencanaan kehutanan, perubahan peruntukan
dan fungsi kawasan hutan, serta penggunaan kawasan hutan;
-
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak
Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran
Tanah, yang selanjutnya disebut “PP 18/2021”, ini merupakan
peraturan pelaksana di bidang agraria yang mengatur tata cara pendaftaran
hak atas tanah, termasuk di atas tanah berstatus APL.
4.
Peraturan Teknis (Tingkat Menteri):
-
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan
Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, Serta Penggunaan
Kawasan Hutan, yang selanjutnya disebut “Permen LHK 7/2021”, peraturan ini
adalah “buku panduan” operasional bagi proses pelepasan kawasan hutan. Di
dalamnya diatur secara sangat detail mengenai syarat, tahapan, kriteria,
hingga kewajiban pemohon;
-
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara
Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah, yang selanjutnya disebut “Permen ATR/BPN 18/2021”., Peraturan ini menjadi pedoman teknis bagi Kantor Pertanahan dalam
memproses permohonan hak atas tanah di atas APL yang telah berstatus Tanah
Negara.
Fragmentasi regulasi ini menunjukkan bahwa proses untuk memanfaatkan
sebidang tanah dari status hutan hingga menjadi aset bersertifikat
memerlukan navigasi yang cermat melalui setidaknya tiga rezim hukum yang
berbeda. Setiap rezim memiliki peraturan turunan yang sangat detail dan
diadministrasikan oleh kementerian yang berbeda. Kegagalan dalam memahami
alur dan transisi yurisdiksi ini merupakan sumber risiko hukum dan
administratif yang signifikan bagi pemohon.
Pengaturan Areal Penggunaan Lain (APL) di Indonesia melibatkan keterkaitan
lintas rezim hukum, mulai dari kehutanan, tata ruang, hingga
agraria/pertanahan. Untuk memahami prosesnya secara komprehensif, APL dapat
dianalisis dari hulu ke hilir melalui empat tahapan utama yang masing-masing
diatur oleh instrumen hukum berbeda namun saling berkaitan.
Pertama, tahapan penetapan dan pengukuhan kawasan hutan. Pada tahap ini, rezim hukum kehutanan menjadi dominan. Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2021, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun
2021 mengatur definisi, fungsi, dan mekanisme penetapan suatu wilayah
sebagai Kawasan Hutan Negara. Kejelasan status kawasan hutan menjadi dasar
awal sebelum suatu wilayah dapat dikaji untuk perubahan peruntukan menjadi
APL.
Kedua, perencanaan alokasi ruang. Tahap ini berada dalam lingkup rezim hukum tata ruang, dengan rujukan
utama pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang serta
Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota. Alokasi ruang untuk fungsi lindung dan budidaya dalam
RTRW menjadi salah satu pertimbangan kunci dalam proses pelepasan kawasan
hutan menjadi APL.
Ketiga, proses pelepasan kawasan hutan. Masih berada dalam rezim kehutanan, pelepasan kawasan hutan diatur oleh
Undang-Undang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021, serta
Permen LHK Nomor 7 Tahun 2021. Regulasi ini menetapkan syarat, prosedur, dan
produk hukum yang diperlukan untuk mengubah peruntukan kawasan hutan menjadi
APL, termasuk peran pemerintah pusat dalam proses tersebut.
Keempat, permohonan dan pendaftaran hak atas tanah. Setelah suatu wilayah berstatus APL, rezim agraria/pertanahan menjadi
relevan. Proses ini diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA),
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021, dan Permen ATR/BPN Nomor 18 Tahun
2021. Pada tahap ini, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan
pendaftaran hak atas tanah seperti Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna
Bangunan (HGB) di atas APL yang telah menjadi Tanah Negara.
Melalui pemahaman empat tahapan tersebut, terlihat bahwa APL tidak dapat
dilepaskan dari keterkaitan antara rezim kehutanan, tata ruang, dan
pertanahan. Integrasi regulasi dari hulu ke hilir menjadi kunci untuk
memastikan bahwa pemanfaatan APL sesuai dengan prinsip negara hukum,
keberlanjutan lingkungan, dan kepastian hak atas tanah.
Prosedur Pelepasan Kawasan Hutan
Proses transformasi dari Kawasan Hutan menjadi APL secara yuridis disebut
sebagai Pelepasan Kawasan Hutan. Ini adalah sebuah prosedur administratif
yang kompleks dan berlapis yang menjadi inti dari pembentukan APL dan
penentu keabsahan status lahan di kemudian hari. Prosedur ini diatur secara
sangat terperinci dalam PP 23/2021 dan Permen LHK 7/2021.
Tidak semua Kawasan Hutan dapat dilepaskan untuk dialihfungsikan. Peraturan
perundang-undangan secara tegas membatasi objek yang dapat dilepaskan untuk
menjaga fungsi ekologis dan keseimbangan lingkungan. Pembatasan ini
merupakan wujud dari prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan sumber daya
alam.
Berdasarkan Pasal 58 PP 23/2021, Pelepasan Kawasan Hutan diprioritaskan dan dibatasi pada jenis kawasan
tertentu:
1.
Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK)
Ini adalah objek prioritas utama untuk dilepaskan. Sesuai definisinya dalam
Pasal 1 Angka 12 PP 23/2021, HPK adalah kawasan hutan produksi yang secara ruang memang dicadangkan
untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Namun, pelepasan hanya dapat
dilakukan pada HPK yang dikategorikan tidak produktif;
2.
Hutan Produksi Tetap (HPT)
Pelepasan pada HPT dapat dilakukan, namun hanya untuk kepentingan
pembangunan yang bersifat sangat strategis dan tidak dapat dielakkan.
Pasal 58 ayat (4) PP 23/2021 merinci bahwa pelepasan pada HPT
(dan juga HPK) dapat dilakukan untuk kegiatan seperti:
a.
Proyek Strategis Nasional (PSN);
b.
Pemulihan ekonomi nasional;
c.
Ketahanan pangan (food estate) dan energi;
d.
Pengadaan tanah untuk objek reforma agraria (TORA); dan
e.
Penyelesaian keterlanjuran kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam
Kawasan Hutan.
Secara tegas, Hutan Lindung (HL) dan
Hutan Konservasi (HK)
tidak dapat menjadi objek Pelepasan Kawasan Hutan untuk dijadikan APL.
Perubahan peruntukan pada kedua jenis kawasan ini hanya dimungkinkan melalui
mekanisme Tukar Menukar Kawasan Hutan (TMKH), yang memiliki persyaratan dan
prosedur yang jauh lebih ketat dan kompleks, karena melibatkan kewajiban
penyediaan lahan pengganti dengan kriteria ekologis yang setara atau lebih
baik.
Tahapan Permohonan Berdasarkan Permen LHK Nomor 7 Tahun 2021
Permen LHK 7/2021 berfungsi sebagai manual teknis yang membedah setiap
langkah dalam proses permohonan pelepasan. Alur ini dirancang untuk
memastikan bahwa setiap permohonan telah melalui serangkaian verifikasi
administrasi, teknis, dan kajian lapangan yang komprehensif sebelum
keputusan final diambil oleh Menteri.
Dimulai dengan Pengajuan Permohonan sebagaimana ketentuan
Pasal 279 Permen LHK 7/2021, alur pengajuan dibedakan berdasarkan jenis pemohon:
a.
Badan Usaha/Pelaku Usaha Komersial
Permohonan diajukan secara elektronik melalui sistem
Online Single Submission (OSS) yang dikelola oleh Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM). Sistem ini mengintegrasikan permohonan dengan proses
perizinan berusaha lainnya;
b.
Instansi Pemerintah/Kegiatan Non-Komersial
Permohonan diajukan secara langsung ke loket pelayanan terpadu di
Kementerian LHK atau melalui sistem aplikasi internal KLHK.
Pemenuhan Persyaratan, pemohon wajib melengkapi serangkaian dokumen yang menjadi dasar penilaian
awal. Kegagalan melengkapi persyaratan ini akan menyebabkan permohonan
ditolak di tahap verifikasi awal. Berdasarkan Permen LHK 7/2021, persyaratan
ini terbagi menjadi dua kategori utama:
1.
Pernyataan Komitmen; dan
2.
Persyaratan Administrasi & Teknis.
Pertama, pemohon harus menyampaikan Pernyataan Komitmen sebagaimana diatur dalam
Pasal 281 Permen LHK 7/2021. Dokumen ini merupakan pernyataan kesanggupan untuk memenuhi serangkaian
kewajiban pasca-persetujuan, yang harus dibuat dalam bentuk akta notariil
untuk badan usaha atau surat pernyataan bermeterai untuk instansi
pemerintah. Komitmen tersebut mencakup beberapa poin krusial, yaitu:
(a)
kesanggupan untuk menyelesaikan Persetujuan Lingkungan (AMDAL, UKL-UPL,
atau SPPL) sesuai skala kegiatan (vide
Pasal 281 huruf a Permen LHK 7/2021), yang harus dipenuhi sebelum penetapan batas areal definitif;
(b)
kesanggupan menyelesaikan Perizinan Berusaha sektoral terkait, seperti Izin
Usaha Perkebunan (vide
Pasal 281 huruf b Permen LHK 7/2021);
(c)
kesanggupan menyelesaikan Tata Batas Areal definitif di lapangan bersama
BPKH (vide Pasal 281 huruf c Permen LHK 7/2021); dan
(d)
kesanggupan untuk membayar kewajiban finansial sebagai kompensasi atas
hilangnya aset hutan, yaitu PNBP Pelepasan (untuk HPT), serta Provisi Sumber
Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) jika terdapat potensi kayu di
areal yang dimohon (vide
Pasal 281 huruf d dan e Permen LHK 7/2021).
Kedua, pemohon wajib melengkapi Persyaratan Administrasi dan Teknis yang
merupakan dokumen inti untuk dianalisis oleh Tim Terpadu, sebagaimana
dirinci dalam Pasal 282 Permen LHK 7/2021. Seluruh dokumen ini harus diserahkan dalam bentuk asli atau salinan yang
telah dilegalisir. Persyaratan tersebut meliputi:
(a)
Proposal dan Rencana Teknis yang menguraikan secara detail rencana
kegiatan, kelayakan investasi, dan analisis dampak (vide
Pasal 282 ayat (1) huruf a Permen LHK 7/2021);
(b)
Peta Permohonan dengan skala minimal 1:50.000 dalam format digital
shapefile (shp) dengan sistem koordinat UTM Datum WGS 84, di mana
kesalahan format atau koordinat dapat berakibat pada penolakan teknis (vide
Pasal 282 ayat (1) huruf b Permen LHK 7/2021);
(c)
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai analisis untuk memastikan
usulan sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, yang dapat
menggunakan KLHS RTRW Provinsi atau RPJMD yang sudah ada (vide
Pasal 282 ayat (1) huruf c Permen LHK 7/2021);
(d)
Pertimbangan atau Rekomendasi Gubernur, sebuah dokumen yang bersifat mutlak
dan menjadi filter utama di tingkat daerah, berisi pernyataan kesesuaian
dengan RTRW Provinsi (vide
Pasal 282 ayat (1) huruf d Permen LHK 7/2021);
(e)
Peta Citra Penginderaan Jauh dengan resolusi minimal 5 meter dari liputan
satu tahun terakhir untuk verifikasi awal kondisi tutupan lahan (vide
Pasal 282 ayat (1) huruf f Permen LHK 7/2021); dan
(f)
Pakta Integritas yang dibuat dalam bentuk akta notariil, berisi komitmen
anti-korupsi dan kepatuhan hukum sebagai bukti keseriusan dan itikad baik
pemohon (vide
Pasal 282 ayat (1) huruf h Permen LHK 7/2021).
Verifikasi dan Peran Tim Terpadu, setelah berkas permohonan dinyatakan lengkap secara administratif oleh
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK,
proses berlanjut ke tahap penelitian substantif yang menjadi jantung dari
pengambilan keputusan.
a)
Pembentukan Tim Terpadu
sebagaimana ketentuan Pasal 284 Permen LHK 7/2021, Menteri LHK membentuk Tim Terpadu yang bersifat independen. Tim ini
memiliki komposisi multi-disiplin, terdiri dari para ahli dan perwakilan
dari KLHK, pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), akademisi dari
perguruan tinggi, serta lembaga penelitian. Keberadaan tim ini bertujuan
untuk memastikan proses penilaian dilakukan secara objektif, komprehensif,
dan ilmiah;
b)
Penelitian Lapangan dan Desk Analysis: Tim Terpadu memiliki mandat
untuk melakukan kajian mendalam, baik melalui analisis data (seperti citra
satelit, peta tumpang tindih, dan dokumen RTRW) maupun verifikasi langsung
ke lapangan. Aspek yang dinilai sangat luas, mencakup kondisi biofisik
(topografi, jenis tanah, tutupan lahan, keanekaragaman hayati), kondisi
sosial-ekonomi masyarakat sekitar, potensi konflik tenurial, serta
kesesuaian mutlak dengan RTRW;
c)
Penyusunan Rekomendasi: Berdasarkan hasil penelitian, Tim Terpadu menyusun
laporan akhir yang berisi rekomendasi teknis kepada Menteri LHK. Rekomendasi
ini bisa berupa:
(a)
menyetujui pelepasan seluruh areal;
(b)
menyetujui pelepasan sebagian areal;
(c)
menolak permohonan, atau
(d)
merekomendasikan perubahan fungsi menjadi kawasan Hutan Tetap (misalnya
dari HPK menjadi HPT atau Hutan Lindung) jika dinilai memiliki nilai
ekologis yang sangat tinggi.
Penerbitan Keputusan dan Kewajiban Pasca-Penerbitan, apabilaMenteri LHK menyetujui rekomendasi Tim Terpadu, maka akan
diterbitkan produk hukum final berupa Surat Keputusan (SK) Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pelepasan Kawasan Hutan (vide
Pasal 286 Permen LHK 7/2021). SK ini menjadi dasar hukum yang sah atas perubahan status lahan dari
Kawasan Hutan menjadi APL. Namun, proses belum berakhir. Pemegang SK masih
memiliki kewajiban pasca-penerbitan, antara lain melaksanakan penataan batas
definitif di lapangan yang disupervisi oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan
(BPKH) setempat dan mengamankan areal yang telah dilepaskan dari perambahan
atau kegiatan ilegal lainnya.
Narasi Estimasi Alur Waktu Prosedur Pelepasan Kawasan Hutan
Proses pelepasan kawasan hutan, meskipun telah disederhanakan melalui
berbagai regulasi, tetap merupakan sebuah maraton birokrasi dan teknis yang
memakan waktu. Terdapat perbedaan signifikan antara batas waktu yang
ditetapkan secara formal dalam Permen LHK 7/2021 dengan estimasi waktu
praktis di lapangan.
-
Tahap Pertama: Persiapan dan Pengajuan Permohonan. Tahap ini tidak diatur
secara spesifik batas waktunya dalam regulasi. Namun, dalam praktiknya, ini
adalah fase yang sangat intensif dan bisa memakan waktu antara 3 hingga 12
bulan. Faktor utamanya adalah kompleksitas penyusunan dokumen-dokumen
krusial seperti proposal teknis yang komprehensif dan Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS). Selain itu, proses untuk memperoleh Rekomendasi
Gubernur, yang merupakan syarat mutlak, seringkali memerlukan waktu yang
tidak sebentar karena melibatkan proses penelaahan di tingkat pemerintah
daerah;
-
Tahap Kedua: Verifikasi Berkas Awal oleh KLHK. Setelah permohonan diajukan,
Pasal 283 Permen LHK 7/2021 memberikan batas waktu 24 hari
kerja bagi Direktorat Jenderal PKTL untuk melakukan verifikasi kelengkapan
berkas. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tahap ini bisa
memanjang hingga 1 sampai 2 bulan. Penundaan ini umumnya disebabkan oleh
antrian berkas yang menumpuk di kementerian dan kebutuhan untuk melakukan
klarifikasi atau meminta kelengkapan dokumen tambahan dari pemohon;
-
Tahap Ketiga: Pembentukan Tim Terpadu. Apabila berkas dinyatakan lengkap,
Pasal 283 ayat (4) Permen LHK 7/2021 mengamanatkan pembentukan
Tim Terpadu dalam waktu paling lama 15 hari kerja. Dalam praktiknya, tahap
ini seringkali membutuhkan waktu 1 hingga 2 bulan. Faktor utama yang
memperlambat adalah tantangan dalam mengoordinasikan jadwal para anggota tim
yang berasal dari berbagai instansi dan disiplin ilmu yang berbeda;
-
Tahap Keempat: Penelitian dan Kajian Lapangan oleh Tim Terpadu. Ini adalah
jantung dari proses pelepasan. Sebagaimana ketentuan
Pasal 284 ayat (5) Permen LHK 7/2021, Tim Terpadu diberikan waktu 60 hari kerja untuk menyelesaikan penelitian
dan menyampaikan rekomendasi. Namun, ini adalah tahap yang paling sering
mengalami perpanjangan waktu, dengan estimasi praktis mencapai 4 hingga 8
bulan. Penyebabnya sangat beragam, mulai dari kompleksitas kondisi lapangan
seperti akses yang sulit dan cuaca yang tidak menentu, hingga kedalaman
analisis sosial-ekonomi dan identifikasi potensi konflik tenurial yang
memerlukan waktu lebih. Seringkali, tim juga membutuhkan data tambahan yang
tidak tersedia saat awal penelitian;
-
Tahap Kelima: Telaah dan Penerbitan SK Menteri. Setelah rekomendasi Tim
Terpadu diterima, proses internal di KLHK untuk menelaah dan menerbitkan SK
Menteri memiliki batas waktu regulasi 24 hari kerja (vide
Pasal 286 Permen LHK 7/2021 yang mengatur alur dari telaahan
teknis hingga penerbitan SK). Namun, dalam praktiknya, tahap ini bisa
memakan waktu 2 hingga 4 bulan. Proses telaah yang berjenjang di internal
KLHK, mulai dari Direktorat Jenderal PKTL hingga Sekretariat Jenderal, serta
antrian untuk penandatanganan akhir oleh Menteri, menjadi faktor utama yang
memperpanjang waktu;
-
Tahap Keenam: Penataan Batas Definitif Areal. Setelah SK Pelepasan terbit,
proses belum selesai. Pemegang SK memiliki kewajiban untuk melakukan
penataan batas definitif di lapangan. Regulasi memberikan waktu 1 hingga 2
tahun untuk penyelesaian tahap ini. Namun, estimasi praktis di lapangan bisa
mencapai 1 hingga 3 tahun. Ketersediaan anggaran dan personel di Balai
Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) serta potensi munculnya sengketa batas
dengan masyarakat atau pihak lain di lapangan menjadi kendala utama.
Secara keseluruhan, jika dijumlahkan, total estimasi waktu dari pengajuan
permohonan hingga terbitnya SK Menteri menurut regulasi adalah sekitar 6
bulan. Namun, estimasi praktis di lapangan menunjukkan bahwa proses ini
lebih realistis memakan waktu antara 12 hingga 24 bulan, bahkan bisa lebih
lama tergantung pada kompleksitas kasus. Kesenjangan ini disebabkan oleh
kombinasi faktor birokrasi, teknis, dan sosial yang harus dipahami secara
cermat oleh pemohon.
Peran Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Barat dalam Penetapan APL
Kewenangan untuk melepaskan Kawasan Hutan berada di tangan pemerintah
pusat, yaitu Menteri LHK. Namun, pemerintah daerah, khususnya pada tingkat
provinsi, memegang peranan yang sangat strategis dan menentukan sebagai
penjaga gerbang (gatekeeper) kesesuaian pemanfaatan ruang di
wilayahnya. Tanpa persetujuan dari daerah, proses di tingkat pusat tidak
dapat berjalan.
Salah satu persyaratan teknis yang paling fundamental dan bersifat mutlak
(conditio sine qua non) dalam permohonan pelepasan kawasan hutan
adalah adanya “pertimbangan teknis” atau “rekomendasi” dari
Gubernur (vide
Pasal 282 ayat (1) huruf d Permen LHK 7/2021). Dokumen ini berfungsi sebagai pernyataan resmi dari kepala daerah bahwa
usulan pelepasan kawasan hutan tersebut tidak bertentangan dengan arah
kebijakan pembangunan dan, yang terpenting, tidak melanggar rencana tata
ruang di provinsinya.
Peran ini menempatkan Gubernur pada posisi yang sangat kuat. Rekomendasi
Gubernur menjadi filter pertama dan paling krusial. Kegagalan pemohon untuk
meyakinkan pemerintah daerah akan menyebabkan permohonan macet di tingkat
lokal, bahkan sebelum sempat dinilai oleh Tim Terpadu di tingkat pusat. Di
Provinsi Kalimantan Barat, kewenangan ini dijalankan oleh Gubernur, yang
dalam praktiknya dapat mendelegasikan proses penelaahan teknis kepada
perangkat daerah terkait, seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(DLHK) atau Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(DPMPTSP). Namun, penandatanganan surat rekomendasi final tetap menjadi
kewenangan Gubernur.
Proses di tingkat daerah ini seringkali bukan sekadar proses administratif
“centang-kotak”. Ia menciptakan sebuah arena “pra-negosiasi” politik dan
teknis yang tidak terlihat dalam alur formal di KLHK. Keberhasilan pemohon
tidak hanya bergantung pada kelengkapan dokumen, tetapi juga pada kemampuan
mereka melakukan sosialisasi, meyakinkan pemerintah daerah akan manfaat
proyeknya, dan yang terpenting, kemampuannya memitigasi potensi dampak
negatif. Pemohon harus secara proaktif berinteraksi dengan berbagai dinas
teknis, dan terkadang bahkan dengan DPRD serta kelompok masyarakat sipil,
untuk membangun konsensus. Kegagalan dalam “mengelola” arena daerah ini
adalah sebuah realitas yang sering diabaikan oleh pemohon yang hanya fokus
pada prosedur di tingkat pusat.
Keterkaitan dengan Perda Nomor 8 Tahun 2024 tentang RTRW Provinsi Kalimantan Barat
Dasar hukum utama bagi Gubernur Kalimantan Barat dalam memberikan atau
menolak rekomendasi adalah peraturan daerah tentang rencana tata ruang
wilayah. Sebagaimana disebutkan dalam draf awal,
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 8 Tahun 2024 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalimantan Barat Tahun
2024-2043
telah ditetapkan, menggantikan Perda sebelumnya (Perda Kalbar Nomor 10 Tahun
2014). Perda RTRW ini berfungsi sebagai instrument
gatekeeping regional yang mengikat secara hukum bagi Gubernur.
Langkah pertama yang harus dilakukan oleh setiap calon pemohon APL di
Kalimantan Barat adalah melakukan analisis tumpang susun (overlay analysis) antara lokasi yang diinginkan dengan peta rencana pola ruang yang
termaktub dalam lampiran Perda RTRW. Perda ini membagi seluruh wilayah
provinsi ke dalam dua kategori besar pola ruang:
1.
Kawasan Lindung:
Meliputi area-area yang memiliki fungsi ekologis vital dan harus
dipertahankan, seperti kawasan lindung gambut, sempadan sungai, kawasan
resapan air, dan kawasan suaka alam. Areal yang dalam RTRW ditetapkan
sebagai kawasan lindung secara hukum tidak dapat direkomendasikan
untuk dilepaskan menjadi APL untuk kegiatan budidaya yang tidak sejalan
dengan fungsi lindungnya;
2.
Kawasan Budidaya:
Ini adalah zona yang dialokasikan untuk berbagai kegiatan pembangunan
ekonomi, seperti kawasan peruntukan pertanian, perkebunan, pertambangan,
industri, pariwisata, dan permukiman. Permohonan pelepasan kawasan hutan
yang berlokasi di dalam zona peruntukan budidaya inilah yang memiliki
kemungkinan besar untuk mendapatkan rekomendasi dari Gubernur.
Namun, bahkan di dalam kawasan budidaya sekalipun, Gubernur tetap harus
menggunakan diskresinya dengan mempertimbangkan berbagai faktor lain,
terutama potensi konflik agraria. Kalimantan Barat memiliki rekam jejak
tumpang tindih perizinan yang tinggi antara sektor kehutanan, perkebunan,
dan pertambangan, yang seringkali memicu sengketa lahan berkepanjangan
dengan masyarakat lokal dan masyarakat adat. Pertimbangan untuk menjaga
stabilitas sosial dan kepastian hukum di wilayahnya menjadi bagian dari
diskresi Gubernur dalam memutuskan apakah akan mendukung suatu permohonan
pelepasan atau tidak.
Peran Pemerintah Kabupaten/Kota
Meskipun rekomendasi utama berasal dari Gubernur, pemerintah kabupaten/kota
tetap memiliki peran penting dalam rantai proses ini. Peran mereka terutama
berada pada tahap awal dan sebagai pemberi masukan teknis kepada pemerintah
provinsi. Sebelum era UU Cipta Kerja, pemerintah kabupaten/kota berwenang
menerbitkan Izin Lokasi, yang merupakan salah satu syarat awal. Pasca-UU
Cipta Kerja, peran ini bertransformasi.
Jika suatu kabupaten/kota telah memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR),
maka pemerintah daerah tersebut yang akan memberikan Konfirmasi Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). Selain itu, dinas-dinas teknis di tingkat
kabupaten/kota (seperti Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Lingkungan Hidup)
seringkali dilibatkan oleh pemerintah provinsi untuk memberikan pertimbangan
teknis sebelum rekomendasi final dari Gubernur diterbitkan.
Status Tanah APL dari Kawasan Hutan Menjadi Objek Hak Atas Tanah
Penerbitan Surat Keputusan (SK) Menteri LHK tentang Pelepasan Kawasan Hutan
menandai berakhirnya satu babak hukum dan dimulainya babak baru yang
fundamental. Pada momen ini, terjadi sebuah transisi kewenangan yang
krusial, di mana tanah tersebut secara definitif keluar dari rezim hukum
kehutanan dan masuk sepenuhnya ke dalam domain rezim hukum agraria.
Setelah SK Pelepasan diterbitkan dan berkekuatan hukum tetap, areal yang
dilepaskan tersebut secara otomatis kehilangan statusnya sebagai Kawasan
Hutan dan bertransformasi menjadi Tanah Negara. Sesuai dengan konsep
dalam UUPA dan peraturan pelaksananya, Tanah Negara merujuk pada tanah yang
tidak dilekati dengan hak atas tanah bersifat privat (seperti Hak Milik,
HGU, atau HGB), bukan tanah wakaf, dan bukan pula tanah ulayat.
Sebagai Tanah Negara, kewenangan penguasaan dan pengaturannya beralih ke
tangan negara, yang dalam praktiknya dilaksanakan oleh Kementerian ATR/BPN.
Tanah Negara inilah yang kemudian menjadi objek yang dapat didistribusikan
kepada masyarakat atau badan hukum melalui pemberian hak-hak atas tanah
untuk dimanfaatkan sesuai peruntukannya.
Proses untuk memperoleh hak atas tanah di atas APL ini diatur secara
komprehensif dalam PP 18/2021 dan peraturan teknisnya,
Permen ATR/BPN 18/2021. Alur prosedurnya merupakan sebuah rangkaian tahapan yang sistematis.
Dimulai dengan penguasaan fisik atas bidang tanah oleh pemohon yang telah
memegang SK Pelepasan, proses berlanjut dengan pengajuan permohonan
pengukuran dan pemetaan ke Kantor Pertanahan (Kantah) setempat. Setelah itu,
Kantah akan membentuk Panitia Pemeriksaan Tanah—dikenal sebagai Panitia A
untuk permohonan Hak Milik, atau Panitia B untuk permohonan HGU/HGB—yang
bertugas melakukan pemeriksaan data yuridis (seperti alas hak dan riwayat
tanah) serta data fisik (meliputi batas, luas, dan penggunaan tanah).
Hasil pemeriksaan ini kemudian diumumkan di kantor desa/kelurahan dan
kantor pertanahan, biasanya selama 60 hari, untuk memberikan kesempatan
kepada pihak lain yang berkepentingan untuk mengajukan sanggahan. Apabila
tidak ada sanggahan yang beralasan, pejabat yang berwenang di lingkungan
ATR/BPN akan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah. Tahap
akhir dari proses ini adalah pendaftaran hak berdasarkan SK tersebut, yang
didahului dengan pelunasan kewajiban finansial seperti Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Setelah hak didaftarkan dalam buku tanah,
diterbitkanlah sertipikat hak atas tanah, yang berfungsi sebagai alat
bukti kepemilikan yang kuat menurut hukum agraria Indonesia.
Dalam keseluruhan proses ini,
SK Menteri LHK tentang Pelepasan Kawasan Hutan memegang peranan
sentral sebagai alas hak atau dasar penguasaan utama.
Permen ATR/BPN 18/2021 secara eksplisit mengakui “keputusan pelepasan
kawasan hutan dari instansi yang berwenang” sebagai salah satu bukti
perolehan tanah yang sah untuk dapat mengajukan permohonan HGU atau HGB.
Dengan demikian, SK Pelepasan ini berfungsi sebagai “dokumen jembatan” yang
secara yuridis menghubungkan dua rezim hukum yang berbeda. Tanpa adanya SK
Pelepasan yang sah dan berkekuatan hukum, Kementerian ATR/BPN tidak memiliki
dasar hukum untuk memulai proses pendaftaran tanah, karena secara
de jure bidang tanah tersebut masih dianggap sebagai Kawasan Hutan di
bawah yurisdiksi KLHK.
Yurisprudensi sebagai Pelajaran dan Peringatan
Proses perubahan peruntukan dari Kawasan Hutan menjadi APL sarat dengan
potensi sengketa. Ketidakpastian mengenai batas, tumpang tindih klaim, dan
pengabaian hak-hak masyarakat seringkali berujung pada litigasi di
pengadilan. Analisis terhadap yurisprudensi, terutama putusan-putusan
penting, memberikan pemahaman mendalam mengenai titik-titik rawan hukum
dalam proses ini dan berfungsi sebagai peringatan bagi para pemangku
kepentingan.
Pemisahan Hutan Adat dari Hutan Negara
Sebagaimana
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 35/PUU-X/2012, tertanggal 16 Mei 2013., putusan ini merupakan salah satu putusan paling
transformatif dalam sejarah hukum kehutanan dan agraria di Indonesia. Pokok
perkaranya adalah uji materiil terhadap definisi “Hutan Adat” dalam UU
Kehutanan yang sebelumnya menyatakan bahwa Hutan Adat adalah bagian dari
Hutan Negara.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan tersebut dan menyatakan
bahwa frasa “negara” dalam definisi Hutan Adat bertentangan dengan UUD NRI
1945. Dengan demikian, putusan ini secara tegas memisahkan Hutan Adat dari
kategori Hutan Negara, dan mendefinisikannya sebagai “hutan yang berada
dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Putusan ini menciptakan risiko
tenurial laten yang sangat signifikan. Konsekuensinya adalah:
1.
Pergeseran Beban Pembuktian:
Sebelum melepaskan suatu kawasan hutan, negara (melalui KLHK) kini memiliki
beban pembuktian untuk memastikan bahwa kawasan yang akan dilepaskan
tersebut adalah murni Hutan Negara dan tidak tumpang tindih dengan wilayah
adat, meskipun wilayah adat tersebut belum diakui secara formal melalui
Peraturan Daerah;
2.
Kerentanan SK Pelepasan:
Setiap SK Pelepasan Kawasan Hutan yang diterbitkan di atas wilayah yang
ternyata merupakan Hutan Adat menjadi sangat rentan untuk digugat dan
dibatalkan. Argumen hukumnya adalah bahwa objek yang dilepaskan oleh Menteri
LHK dianggap bukan milik negara, sehingga Menteri tidak memiliki kewenangan
(ultra vires) untuk melepaskannya. Ini menjadi dasar gugatan yang
sangat kuat di PTUN;
3.
Perubahan Paradigma Due Diligence:
Bagi investor atau pelaku usaha, audit kepatuhan hukum (due diligence) tidak lagi cukup hanya dengan memverifikasi peta kawasan hutan dari KLHK.
Diperlukan pemetaan sosial dan identifikasi klaim-klaim masyarakat hukum
adat secara mendalam untuk memitigasi risiko hukum tenurial yang laten
ini.
Pembatalan SK Pelepasan Akibat Cacat Prosedur
Sebagaimana
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor
24/G/2023/PTUN.JKT, tertanggal 4 Juli 2023., Putusan ini menjadi studi kasus konkret dan
dramatis di mana sebuah SK Pelepasan Kawasan Hutan yang telah berusia 25
tahun (Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 17/Kpts-II/1998) berhasil
dibatalkan oleh pengadilan. Gugatan diajukan oleh pemilik tanah
bersertifikat yang lahannya tumpang tindih dengan areal pelepasan yang
diberikan kepada PT. Duta Swakarya Indah.
Majelis Hakim menemukan adanya cacat prosedur yang fatal dalam proses
penerbitan SK tersebut pada tahun 1998. Pelanggaran tersebut antara lain:
tidak adanya bukti permohonan formal dari perusahaan, tidak dilibatkannya
Tim Pertimbangan yang diwajibkan oleh peraturan saat itu, dan yang paling
krusial, kegagalan perusahaan untuk memperoleh HGU dalam jangka waktu satu
tahun sebagaimana diwajibkan oleh diktum dalam SK itu sendiri, yang
menyebabkan SK tersebut batal demi hukum secara otomatis.
Putusan ini mengirimkan pesan yang sangat kuat bahwa status APL dan hak-hak
turunannya (seperti HGU) tidak pernah benar-benar aman jika proses
pelepasannya dari Kawasan Hutan cacat secara hukum. Risiko litigasi dapat
muncul kapan saja, bahkan puluhan tahun setelah SK diterbitkan. Ini
menggarisbawahi pentingnya due diligence historis yang mendalam
terhadap seluruh rantai proses administratif, bukan hanya mengandalkan
status akhir suatu lahan.
Penyelesaian Keterlanjuran dengan Batasan Waktu
Sebagaimana
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 77 P/HUM/2019, tertanggal 28 Oktober 2019., Putusan ini menguji
Pasal 51 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 104
Tahun 2015 Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, sebuah regulasi yang mencoba memberikan solusi bagi perkebunan kelapa
sawit yang telanjur memiliki izin dari pemerintah daerah namun berada di
dalam kawasan hutan lindung dan/atau konservasi. Pasal tersebut memberikan
“kesempatan melanjutkan usaha selama 1 daur tanaman pokok”.
Mahkamah Agung (MA) tidak membatalkan pasal tersebut sepenuhnya, melainkan
memberikan putusan bersyarat. MA menyatakan bahwa frasa “1 (satu) daur
tanaman pokok” bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi,
kecuali jika dimaknai secara limitatif sebagai
“melanjutkan usahanya selama 15 (lima belas) tahun sejak masa tanam”.
Yang lebih penting, MA menegaskan bahwa setelah periode tersebut, perusahaan
tidak boleh melakukan penanaman kembali (replanting).
Putusan ini memberikan jalan keluar yang terbatas dan berjangka waktu untuk
menyelesaikan masalah keterlanjuran yang kompleks. Tujuannya bukan untuk
melegalkan okupasi secara permanen, melainkan untuk memberikan periode
transisi sebelum fungsi kawasan hutan dikembalikan. Ini menjadi
yurisprudensi penting dalam menangani konflik antara izin daerah dan status
kawasan hutan, dengan menekankan pada prinsip pemulihan ekologis sebagai
tujuan akhir.
Adagium Hukum sebagai Kerangka Filosofis
Untuk merefleksikan kompleksitas ini, beberapa adagium hukum menjadi sangat
relevan:
1.
Salus Populi Suprema Lex Esto
– “Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi.” Adagium ini menjadi
landasan filosofis bagi kewenangan negara untuk mengubah peruntukan hutan
demi pembangunan yang dianggap membawa kemakmuran. Namun, adagium ini juga
menjadi pedang bermata dua. Ia dapat digunakan oleh masyarakat untuk
menuntut agar proses penetapan APL dan pemanfaatannya benar-benar memberikan
manfaat yang adil dan merata, bukan hanya menguntungkan segelintir elite
atau korporasi;
2.
Het recht hinkt achter de feiten aan
–
“Hukum selalu tertatih-tatih mengejar fakta/perkembangan zaman.”
Adagium ini secara sempurna menggambarkan dinamika hukum kehutanan dan
pertanahan di Indonesia. UU Cipta Kerja adalah manifestasi dari upaya hukum
untuk “mengejar” tuntutan percepatan ekonomi global. Namun, di sisi lain,
hukum masih tertatih dalam merespons fakta sosial yang telah lama ada,
seperti keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat, yang baru diakui
secara konstitusional melalui Putusan MK 35/PUU-X/2012 setelah puluhan tahun
diabaikan;
3.
Ubi Jus Ibi Remedium
– “Di mana ada hak, di situ ada pemulihan.” Prinsip ini menegaskan
bahwa sistem hukum harus menyediakan mekanisme pemulihan yang efektif bagi
pihak yang haknya dilanggar. Dalam konteks APL, jika hak masyarakat adat
terlanggar oleh penerbitan SK Pelepasan, atau jika hak investor yang telah
sah terganggu oleh klaim yang tidak berdasar, maka harus ada jalur
penyelesaian sengketa—baik melalui pengadilan maupun alternatif lain—yang
dapat diakses, adil, dan memberikan putusan yang dapat dieksekusi;
4.
In Dubio Pro Natura
– “Dalam keraguan, berpihak pada alam.” Adagium hukum lingkungan ini
berfungsi sebagai penyeimbang penting. Dalam situasi di mana terdapat
ketidakpastian ilmiah mengenai dampak lingkungan dari suatu proyek pelepasan
kawasan hutan, maka keputusan seharusnya mengutamakan perlindungan terhadap
fungsi-fungsi ekologis.
Rekomendasi untuk Praktisi Hukum dan Pelaku Usaha
Berdasarkan analisis komprehensif ini, beberapa rekomendasi strategis dapat
dirumuskan bagi para praktisi hukum dan pelaku usaha yang bernavigasi dalam
lanskap hukum APL:
1.
Lakukan Multi-Layered Due Diligence:
Verifikasi hukum tidak boleh berhenti pada pemeriksaan dokumen di KLHK dan
ATR/BPN. Wajib dilakukan analisis tumpang susun dengan Perda RTRW terbaru
dan, yang terpenting, melakukan pemetaan sosial-hukum di tingkat tapak untuk
mengidentifikasi potensi klaim hak ulayat atau penguasaan lahan oleh
masyarakat lokal.
2.
Kelola Proses Birokrasi Secara Paralel:
Pahami bahwa proses di tingkat daerah (untuk rekomendasi Gubernur) dan di
tingkat pusat (di KLHK) adalah dua alur yang berjalan paralel namun saling
bergantung. Keduanya harus dikelola secara proaktif dan simultan untuk
menghindari kebuntuan dan penundaan.
3.
Strukturkan Investasi dengan Mitigasi Risiko:
Rencanakan investasi dengan asumsi bahwa risiko sengketa tenurial adalah
nyata. Alokasikan sumber daya untuk dialog dengan masyarakat, siapkan skema
kemitraan yang adil, dan bangun strategi litigasi yang solid sebagai bagian
dari rencana mitigasi risiko sejak awal.
Pada akhirnya, APL akan terus menjadi arena dinamis yang mencerminkan arah
kebijakan pembangunan nasional. Bagi para pemangku kepentingan, kunci untuk
berhasil adalah kemampuan untuk memahami dan menavigasi tidak hanya teks
peraturan yang ada, tetapi juga konteks sosial, politik, dan filosofis yang
melingkupinya.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.