layananhukum

Begini Aturan Hukum Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Wajib Anda Ketahui

 

    Di Balik Otak Elektronik Dunia Modern

    Setiap kali Anda menggunakan ponsel pintar, menyalakan laptop, mengendarai mobil modern (mobil Listrik), atau bahkan mengandalkan peralatan medis canggih, Anda sedang berinteraksi dengan sebuah keajaiban teknologi mikroskopis yaitu sirkuit terpadu atau chip.

    Benda kecil ini adalah otak di balik hampir setiap perangkat elektronik yang menopang peradaban digital. Namun, di balik fungsinya yang kompleks, terdapat sebuah aset intelektual yang tak kalah rumit dan berharga, yaitu Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST). Aset ini bukanlah sekadar ide atau invensi, melainkan sebuah karya seni rekayasa tiga dimensi yang dilindungi oleh rezim hukumnya sendiri.

    DTLST merupakan bentuk kekayaan intelektual yang bersifat sui generis, unik dan berdiri sendiri. Perlindungannya berbeda dari paten yang melindungi ide fungsional sebuah invensi, hak cipta yang melindungi ekspresi artistik, maupun desain industri yang melindungi tampilan luar sebuah produk.


    Yang dilindungi oleh hukum DTLST adalah topografi atau rancangan peletakan tiga dimensi dari jutaan, bahkan miliaran, elemen elektronik dalam sebuah kepingan semikonduktor. Perlindungan ini adalah pilar fundamental yang menopang industri semikonduktor global yang bernilai triliunan dolar, memastikan bahwa investasi masif dalam riset dan pengembangan tidak sia-sia akibat peniruan. Memahami kerangka hukum DTLST di Indonesia, beserta konteks global yang membentuknya, menjadi sebuah keharusan bagi para inovator, investor, dan praktisi hukum yang berlayar di samudra era digital.  

    Jejak Sejarah - Dari Transistor Tunggal ke Revolusi Silikon

    Revolusi digital tidak terjadi dalam semalam. Ia lahir dari sebuah terobosan fundamental pada tahun 1958, ketika dua insinyur Amerika, yang bekerja secara terpisah di perusahaan yang berbeda, berhasil memecahkan “tirani angka”, masalah konektivitas yang menghambat pengembangan sirkuit elektronik yang semakin kompleks. Mereka adalah Jack Kilby dari Texas Instruments dan Robert Noyce dari Fairchild Semiconductor.

    Pada musim panas 1958, Jack Kilby mendemonstrasikan sirkuit terpadu pertama di dunia. Karyanya, yang menggunakan sepotong germanium dengan beberapa komponen yang terhubung oleh kabel-kabel emas halus, membuktikan bahwa seluruh elemen sirkuit dapat diintegrasikan dalam satu bahan semikonduktor tunggal. Beberapa bulan kemudian, Robert Noyce mengembangkan konsep sirkuit terpadu monolitik yang menggunakan silikon dan proses planar, sebuah metode yang jauh lebih praktis dan efisien untuk produksi massal, yang kemudian menjadi standar industri hingga hari ini. Skala transformasi yang dipicu oleh penemuan ini sangatlah masif. Sebagaimana dicatat dalam sebuah buku klasik mengenai sejarah ini:  

    “Dalam buku klasiknya, T.R. Reid mengisahkan bagaimana dua penemu Amerika secara terpisah melahirkan sebuah revolusi. Reid mencatat bahwa 'Barely fifty years ago a computer was a gargantuan, vastly expensive thing that only a handful of scientists had ever seen,' yang menyoroti skala transformasi yang dipicu oleh penemuan microchip.”[1]  

    Penemuan yang hampir bersamaan ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan puncak dari riset semikonduktor yang intensif pasca-Perang Dunia II. Fakta bahwa dua pribadi berbeda mencapai solusi serupa mengindikasikan bahwa industri teknologi secara keseluruhan telah matang untuk sebuah lompatan kuantum.

    Implikasinya, ketika sebuah teknologi baru yang fundamental muncul, kebutuhan akan kerangka hukum untuk melindunginya juga menjadi mendesak dan tak terelakkan. Hal ini menjelaskan mengapa Amerika Serikat bergerak cepat mengesahkan Semiconductor Chip Protection Act pada tahun 1984 setelah industri menyadari betapa rentannya desain chip terhadap peniruan.


    Perbedaan teknis antara desain Kilby (hibrida) dan Noyce (monolitik) juga membentuk lanskap hukum awal industri ini. Inovasi keduanya yang saling melengkapi (Kilby mematenkan prinsip integrasi, sementara Noyce mematenkan metode interkoneksi yang praktis) justru memicu perang paten antara Texas Instruments dan Fairchild.

    Sengketa ini pada akhirnya diselesaikan melalui perjanjian lisensi silang (cross-licensing), sebuah praktik yang menjadi ciri khas industri semikonduktor. Sejak awal, industri ini telah diwarnai oleh sengketa kekayaan intelektual yang kompleks dan sering kali diselesaikan melalui negosiasi lisensi, bukan konfrontasi terbuka di pengadilan. Pola ini terus berlanjut hingga hari ini dan menjadi salah satu penjelasan mengapa litigasi DTLST terbilang jarang di banyak negara, termasuk Indonesia.  

    Fondasi Hukum di Indonesia - Membedah UU Nomor 32/2000 dan PP Nomor 9/2006

    Sebagai respons terhadap kewajiban internasional di bawah Persetujuan TRIPs, Indonesia mengundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, yang selanjutnya disebut dengan “UU DTLST”, yang kemudian dilengkapi dengan peraturan pelaksana melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2006 tentang Tata Cara Permohonan Pendaftaran Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, selanjutnya yang disebut dengan “PP 9/2006”. Kedua peraturan ini menjadi fondasi hukum yang mengatur perlindungan DTLST di tanah air.  

    Definisi, Orisinalitas, dan Ruang Lingkup Hak

    Pasal 1 Angka 1 UU DTLST mendefinisikan “Sirkuit Terpadu” sebagai:

    “suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik”.

    Sementara itu, “Desain Tata Letak” sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 2 UU DTLST didefinisikan sebagai:

    “kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu.”

    Penekanan pada “rancangan peletakan tiga dimensi” ini sangat krusial, karena membedakan objek perlindungan DTLST dari paten. Hukum DTLST tidak melindungi fungsi elektronik yang dihasilkan (ranah paten), melainkan topografi atau arsitektur fisik dari sirkuit itu sendiri.  

    Untuk mendapatkan perlindungan, sebuah DTLST harus memenuhi syarat “orisinalitas” sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU DTLST. Standar ini memiliki dua pilar:

    pertama, desain tersebut harus merupakan “hasil karya mandiri Pendesain,” dan kedua, pada saat dibuat, desain tersebut “tidak merupakan sesuatu yang umum (commonplace) bagi para Pendesain”. Standar ini lebih longgar dibandingkan syarat “kebaruan” dan “langkah inventif” dalam hukum paten, namun lebih ketat daripada sekadar “orisinalitas” dalam hak cipta yang hanya menuntut karya tersebut tidak menjiplak secara langsung.


    Setelah mendapatkan perlindungan, pemegang hak diberikan hak eksklusif berdasarkan Pasal 8 UU DTLST untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan tindakan “membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan/atau mengedarkan” barang yang di dalamnya terdapat seluruh atau sebagian desain yang dilindungi. Namun, hak eksklusif ini memiliki pengecualian penting, yaitu untuk kepentingan penelitian dan pendidikan, sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pemegang hak.  

    Prosedur dan Jangka Waktu Perlindungan

    Berbeda dengan hak cipta yang menganut sistem deklaratif (perlindungan timbul otomatis saat ciptaan diwujudkan), perlindungan DTLST di Indonesia menganut sistem konstitutif. Artinya, hak baru timbul dan mendapat perlindungan hukum setelah didaftarkan pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Sistem ini mengadopsi asas first-to-file, di mana pihak yang pertama kali mengajukan permohonan yang akan mendapatkan hak, bukan pihak yang pertama kali menciptakan desainnya.

    Tata cara permohonan pendaftaran diatur secara rinci dalam PP 9/2006. Prosesnya meliputi pengajuan permohonan tertulis dalam bahasa Indonesia menggunakan formulir yang telah ditetapkan, pembayaran biaya, dan melampirkan dokumen-dokumen penting seperti salinan gambar atau foto DTLST beserta uraiannya, surat pernyataan orisinalitas, dan surat kuasa jika diajukan melalui konsultan HKI. DJKI kemudian akan melakukan pemeriksaan administratif. Jika semua persyaratan terpenuhi, DJKI akan menerbitkan Sertifikat DTLST.  

    Jangka waktu perlindungan DTLST, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU DTLST, adalah selama 10 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Jangka waktu ini mulai dihitung sejak tanggal penerimaan permohonan atau sejak tanggal pertama kali desain tersebut dieksploitasi secara komersial, mana pun yang terjadi lebih dahulu. Penting untuk dicatat, jika sebuah DTLST telah dieksploitasi secara komersial, permohonan pendaftarannya harus diajukan paling lambat 2 tahun sejak tanggal eksploitasi pertama tersebut.  

    Pengalihan Hak dan Lisensi

    Seperti aset kekayaan intelektual lainnya, Hak DTLST dapat beralih atau dialihkan. Pasal 23 UU DTLST mengatur bahwa pengalihan dapat terjadi melalui pewarisan, hibah, wasiat, atau perjanjian tertulis. Agar pengalihan tersebut memiliki akibat hukum terhadap pihak ketiga, ia wajib dicatatkan di DJKI.  


    Pemegang hak juga berhak memberikan lisensi kepada pihak lain untuk melaksanakan hak eksklusifnya melalui perjanjian lisensi, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU DTLST. Sebuah ketentuan menarik terdapat dalam Pasal 28 UU DTLST, yang memberikan kewenangan kepada DJKI untuk menolak pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan yang “dapat menimbulkan akibat yang merugikan bagi perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat”. Ketentuan ini mencerminkan adanya kepentingan publik yang harus dijaga dalam pemanfaatan HKI.  

    Meskipun kerangka hukumnya jelas, terdapat ketegangan antara sistem pendaftaran yang formalistik dengan realitas industri semikonduktor yang bergerak sangat cepat. Siklus inovasi chip seringkali hanya 18-24 bulan, jauh lebih pendek dari masa perlindungan 10 tahun. Proses birokrasi pendaftaran, meskipun dirancang untuk efisien, dapat dianggap sebagai beban oleh perusahaan yang meluncurkan puluhan desain baru setiap tahunnya.

    Akibatnya, banyak perusahaan mungkin memilih untuk tidak mendaftarkan DTLST mereka dan lebih mengandalkan strategi lain seperti kecepatan inovasi (speed-to-market) dan perlindungan melalui rahasia dagang. Fenomena ini bisa menjadi salah satu faktor yang menjelaskan kelangkaan sengketa DTLST di Indonesia.

    Arena Sengketa - Realitas Penegakan Hukum DTLST di Indonesia

    UU DTLST telah menyediakan seperangkat mekanisme yang komprehensif untuk penyelesaian sengketa, baik melalui jalur perdata, pidana, maupun alternatif. Berdasarkan Bab VII UU DTLST, pemegang hak dapat mengajukan gugatan ganti rugi dan/atau permintaan penghentian perbuatan pelanggaran ke Pengadilan Niaga. Selain itu, Pasal 39 UU DTLST secara eksplisit membuka pintu bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya, sebuah opsi yang sering kali lebih disukai dalam industri teknologi tinggi.


    Dari sisi hukum pidana, Bab IX UU DTLST memberikan ancaman sanksi yang cukup berat. Pasal 42 UU DTLST menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan yang melanggar hak eksklusif pemegang hak, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000. Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa tindak pidana ini merupakan delik aduan, yang berarti proses hukum hanya dapat dimulai jika ada pengaduan dari pemegang hak yang dirugikan.  

    Meskipun perangkat hukumnya tersedia, setelah kami melakukan penelusuran mendalam terhadap Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia menunjukkan sebuah fakta yang mengejutkan yaitu hingga saat ini, tidak ditemukan satu pun putusan pengadilan yang secara substantif mengadili sengketa pelanggaran Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu di Indonesia. Kasus-kasus yang ada hanya menyebut “Direktorat Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Rahasia Dagang” sebagai pihak Turut Tergugat dalam sengketa HKI lainnya (seperti paten atau desain industri), bukan sebagai sengketa yang berpusat pada DTLST itu sendiri.  

    Ketiadaan litigasi ini mengindikasikan fenomena “hukum yang tidur” (dormant law). Ini bukan berarti tidak ada pelanggaran, melainkan menunjukkan bahwa kerangka hukum ini tidak aktif digunakan karena berbagai faktor.

    Pertama, kompleksitas teknis pembuktian. Membuktikan peniruan DTLST memerlukan analisis forensik chip yang sangat mahal dan rumit, yang mungkin berada di luar kapabilitas teknis dan finansial banyak pihak.


    Kedua, posisi Indonesia dalam rantai pasok semikonduktor global yang lebih banyak berfokus pada tahap perakitan, pengujian, dan pengemasan (assembly, testing, and packaging) daripada desain orisinal, sehingga jumlah pemegang hak domestik yang berpotensi menjadi penggugat relatif sedikit.

    Ketiga, dan yang paling mungkin, adalah sifat industri itu sendiri. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, perusahaan teknologi besar cenderung menyelesaikan sengketa HKI mereka secara rahasia melalui negosiasi lisensi atau arbitrase untuk menghindari publisitas negatif dan keharusan membuka teknologi mereka di ruang sidang. Ketiadaan yurisprudensi ini, bagaimanapun, menciptakan ketidakpastian hukum. Tanpa adanya putusan hakim sebagai panduan, para pelaku industri tidak memiliki gambaran jelas tentang bagaimana pengadilan akan menafsirkan konsep-konsep kunci seperti “orisinalitas” atau “bagian substansial” dari sebuah desain.

    Cermin Internasional - Pelajaran dari Tiga Yurisdiksi Kunci

    Mengingat kekosongan yurisprudensi di dalam negeri, melihat praktik penegakan hukum di negara lain menjadi sangat relevan. Yurisdiksi seperti Amerika Serikat, Australia, dan Singapura menawarkan pelajaran berharga tentang bagaimana hukum DTLST diterapkan dalam sengketa nyata.

    Amerika Serikat - Preseden dalam Pelanggaran dan Reverse Engineering

    Amerika Serikat adalah pionir dalam perlindungan DTLST melalui Semiconductor Chip Protection Act of 1984 (SCPA), sebuah undang-undang sui generis yang menjadi model bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Dua kasus dari AS memberikan pencerahan penting.

    Pertama, dalam kasus Brooktree Corp. v. Advanced Micro Devices, Inc., pengadilan federal menguatkan putusan juri yang menyatakan AMD telah melanggar hak DTLST milik Brooktree. AMD dituduh meniru bagian inti (core cell) dari chip “color palette” milik Brooktree. Putusan ini menetapkan preseden krusial bahwa pelanggaran dapat terjadi bahkan jika hanya bagian yang “material” atau signifikan dari sebuah desain yang ditiru, tidak harus keseluruhan chip. Kasus ini membuktikan bahwa SCPA memiliki kekuatan penegakan yang nyata dengan memberikan ganti rugi yang substansial.  

    Kedua, kasus Altera Corp. v. Clear Logic, Inc. menjadi rujukan utama dalam membedakan antara reverse engineering yang sah dengan pembajakan. Clear Logic berdalih bahwa mereka melakukan reverse engineering yang diizinkan oleh hukum. Namun, pengadilan memenangkan Altera, menegaskan bahwa produk hasil reverse engineering tidak boleh “secara substansial identik” (substantially identical) dengan produk asli dan harus dapat menunjukkan adanya “upaya dan investasi yang substansial” (substantial toil and investment) dalam menciptakan desain baru yang orisinal.  

    Australia - Menjerat Pelanggaran dalam Rantai Distribusi

    Australia melindungi DTLST melalui Circuit Layouts Act 1989. Kasus ikonik di negara ini adalah Nintendo Co Ltd v Centronics Systems Pty Ltd. Dalam kasus ini, Centronics mengimpor dan menjual konsol permainan yang berisi chip tiruan dari desain milik Nintendo. High Court of Australia memutuskan untuk kemenangan Nintendo, dengan argumen hukum yang sangat penting yaitu “eksploitasi komersial” yang melanggar hukum tidak hanya mencakup tindakan pembuatan, tetapi juga tindakan mengimpor dan menjual produk yang mengandung DTLST hasil pelanggaran. Putusan ini memberikan pelajaran penting bagi para distributor dan importir di Indonesia, bahwa mereka juga dapat dimintai pertanggungjawaban hukum jika terbukti mengedarkan produk bajakan, bahkan jika mereka bukan pembuatnya.  

    Singapura - Efisiensi Perlindungan Otomatis

    Berbeda dengan Indonesia dan AS yang mewajibkan pendaftaran, Singapura melalui Layout-Designs of Integrated Circuits Act memberikan perlindungan secara otomatis tanpa perlu registrasi. Perlindungan timbul seketika saat desain diciptakan, asalkan memenuhi syarat orisinalitas. Sistem ini menawarkan keuntungan berupa kecepatan dan minimnya birokrasi, yang sangat sesuai dengan ritme industri teknologi. Namun, sistem pendaftaran seperti di Indonesia memberikan keuntungan berupa kepastian hukum yang lebih kuat melalui sertifikat resmi yang dapat digunakan sebagai bukti kepemilikan yang sah.  

    Yurisprudensi internasional ini berfungsi sebagai “buku panduan” potensial bagi Indonesia. Konsep-konsep dalam UU DTLST Indonesia, seperti “orisinalitas” dan larangan meniru “bagian substansial,” sejajar dengan yang ada di AS dan Australia.


    Namun, UU kita tidak mendefinisikan secara rinci batasan-batasan tersebut. Jika suatu saat sengketa DTLST pertama kali disidangkan di Pengadilan Niaga Indonesia, sangat mungkin para hakim dan pengacara akan merujuk pada putusan-putusan internasional ini sebagai persuasive authority untuk memandu interpretasi mereka.

    Kompas Filosofis - Adagium Hukum dalam Konteks DTLST

    Untuk memahami jiwa dari peraturan DTLST, beberapa adagium hukum dapat menjadi kompas penunjuk arah.

    -        Ubi jus ibi remedium (Di mana ada hak, di sana ada pemulihannya). Adagium ini tercermin jelas dalam struktur UU DTLST. Negara tidak hanya memberikan hak eksklusif (jus) kepada pendesain melalui Bab II, tetapi juga menyediakan mekanisme pemulihan (remedium) melalui gugatan perdata di Pengadilan Niaga (Bab VII) dan sanksi pidana (Bab IX). Namun, seperti yang telah dibahas, efektivitas remedium ini dalam praktik di Indonesia masih menjadi pertanyaan besar akibat fenomena “hukum yang tidur”;

    -        Prior in tempore, potior in jure (Yang pertama dalam waktu, lebih kuat haknya). Adagium ini adalah jantung dari sistem pendaftaran first-to-file yang dianut Indonesia. Pihak yang pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran yang memenuhi syaratlah yang akan diakui sebagai pemegang hak, bukan siapa yang pertama kali menciptakan desainnya. Ini menggarisbawahi betapa krusialnya kecepatan dan ketelitian dalam mendaftarkan aset kekayaan intelektual;

    -        Lex specialis derogat legi generali (Hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum). UU Nomor 32 Tahun 2000 adalah lex specialis dalam rezim HKI. Apabila ada potensi tumpang tindih, misalnya, antara perlindungan DTLST atas topografi tiga dimensi dengan perlindungan hak cipta atas gambar skematik sirkuit dua dimensi, maka ketentuan dalam UU DTLST inilah yang akan diutamakan untuk melindungi objek spesifiknya, yaitu tata letak tiga dimensi.

    Arah Masa Depan Perlindungan DTLST di Indonesia

    Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah aset kekayaan intelektual yang vital, lahir dari sejarah inovasi yang luar biasa dan menjadi tulang punggung ekonomi digital. Indonesia telah memiliki kerangka hukum yang komprehensif melalui UU Nomor 32 Tahun 2000, namun perangkat hukum ini masih kurang teruji di medan pertempuran litigasi. Sementara itu, yurisprudensi dari negara lain telah memberikan pelajaran berharga mengenai interpretasi dan penegakan hukumnya.

    Ke depan, tantangan perlindungan DTLST akan semakin kompleks. Munculnya chip yang dirancang khusus untuk kecerdasan buatan (AI) dan Internet of Things (IoT) dengan arsitektur yang semakin rumit akan membuat deteksi pelanggaran menjadi lebih sulit. Di sisi lain, terdapat peluang bagi Indonesia untuk tidak hanya menjadi pasar atau tempat perakitan, tetapi juga untuk memperkuat ekosistem desain chip dalam negeri. Jika hal ini terwujud, maka relevansi dan urgensi penegakan hukum DTLST akan meningkat secara signifikan.

    Untuk itu, beberapa langkah perlu dipertimbangkan. Peningkatan kapasitas teknis bagi para hakim Pengadilan Niaga, jaksa, dan penyidik HKI menjadi sebuah keniscayaan. Mendorong penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif seperti mediasi dan arbitrase juga dapat menjadi solusi yang lebih efisien bagi industri teknologi tinggi.


    Bagi para pelaku industri, meskipun litigasi jarang terjadi, mengabaikan pendaftaran DTLST adalah sebuah kesalahan. Sertifikat hak yang diterbitkan oleh negara tetap merupakan aset yang sangat berharga dalam negosiasi lisensi, proses merger dan akuisisi, serta sebagai alat pencegah (deterrent) yang efektif terhadap potensi pelanggaran. Pada akhirnya, perlindungan hukum yang kuat dan dapat ditegakkan adalah fondasi bagi tumbuhnya inovasi yang berkelanjutan.

    Informasi dan Konsultasi Lanjutan

    Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.


    [1] 'Barely fifty years ago a computer was a gargantuan, vastly expensive thing that only a handful of scientists had ever seen,' yang menyoroti skala transformasi yang dipicu oleh penemuan microchip T.R. Reid, The Chip: How Two Americans Invented the Microchip and Launched a Revolution, Random House Publishing Group, 2001, halaman pembuka