Di Balik Otak Elektronik Dunia Modern
Setiap kali Anda menggunakan ponsel pintar, menyalakan laptop, mengendarai
mobil modern (mobil Listrik), atau bahkan mengandalkan peralatan medis
canggih, Anda sedang berinteraksi dengan sebuah keajaiban teknologi
mikroskopis yaitu sirkuit terpadu atau chip.
Benda kecil ini adalah otak di balik hampir setiap perangkat elektronik
yang menopang peradaban digital. Namun, di balik fungsinya yang kompleks,
terdapat sebuah aset intelektual yang tak kalah rumit dan berharga, yaitu
Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST). Aset ini bukanlah sekadar ide atau invensi, melainkan sebuah karya seni
rekayasa tiga dimensi yang dilindungi oleh rezim hukumnya sendiri.
DTLST merupakan bentuk kekayaan intelektual yang bersifat
sui generis, unik dan berdiri sendiri. Perlindungannya berbeda dari paten yang melindungi ide fungsional sebuah
invensi, hak cipta yang melindungi ekspresi artistik, maupun desain industri
yang melindungi tampilan luar sebuah produk.
Yang dilindungi oleh hukum DTLST adalah
topografi atau rancangan peletakan tiga dimensi dari jutaan, bahkan
miliaran, elemen elektronik dalam sebuah kepingan semikonduktor. Perlindungan ini adalah pilar fundamental yang menopang industri
semikonduktor global yang bernilai triliunan dolar, memastikan bahwa
investasi masif dalam riset dan pengembangan tidak sia-sia akibat peniruan.
Memahami kerangka hukum DTLST di Indonesia, beserta konteks global yang
membentuknya, menjadi sebuah keharusan bagi para inovator, investor, dan
praktisi hukum yang berlayar di samudra era digital.
Jejak Sejarah - Dari Transistor Tunggal ke Revolusi Silikon
Revolusi digital tidak terjadi dalam semalam. Ia lahir dari sebuah
terobosan fundamental pada tahun 1958, ketika dua insinyur Amerika, yang
bekerja secara terpisah di perusahaan yang berbeda, berhasil memecahkan
“tirani angka”, masalah konektivitas yang menghambat pengembangan sirkuit
elektronik yang semakin kompleks. Mereka adalah
Jack Kilby dari Texas Instruments dan Robert Noyce dari Fairchild
Semiconductor.
Pada musim panas 1958, Jack Kilby mendemonstrasikan sirkuit terpadu pertama
di dunia. Karyanya, yang menggunakan sepotong germanium dengan beberapa
komponen yang terhubung oleh kabel-kabel emas halus, membuktikan bahwa
seluruh elemen sirkuit dapat diintegrasikan dalam satu bahan
semikonduktor tunggal. Beberapa bulan kemudian, Robert Noyce mengembangkan konsep sirkuit
terpadu monolitik yang menggunakan silikon dan proses planar, sebuah metode
yang jauh lebih praktis dan efisien untuk produksi massal, yang kemudian
menjadi standar industri hingga hari ini. Skala transformasi yang dipicu
oleh
penemuan ini
sangatlah masif. Sebagaimana dicatat dalam sebuah buku klasik mengenai
sejarah ini:
“Dalam buku klasiknya, T.R. Reid mengisahkan bagaimana dua penemu Amerika
secara terpisah melahirkan sebuah revolusi. Reid mencatat bahwa
'Barely fifty years ago a computer was a gargantuan, vastly expensive
thing that only a handful of scientists had ever seen,' yang menyoroti
skala transformasi yang dipicu oleh penemuan microchip.”[1]
Penemuan yang hampir bersamaan ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan
puncak dari riset semikonduktor yang intensif pasca-Perang Dunia II. Fakta
bahwa dua pribadi berbeda mencapai solusi serupa mengindikasikan bahwa
industri teknologi secara keseluruhan telah matang untuk sebuah lompatan
kuantum.
Implikasinya, ketika sebuah teknologi baru yang fundamental muncul,
kebutuhan akan kerangka hukum untuk melindunginya juga menjadi mendesak dan
tak terelakkan.
Hal ini menjelaskan mengapa Amerika Serikat bergerak cepat mengesahkan
Semiconductor Chip Protection Act pada tahun 1984 setelah industri
menyadari betapa rentannya desain chip terhadap peniruan.
Perbedaan teknis antara desain Kilby (hibrida) dan Noyce (monolitik) juga
membentuk lanskap hukum awal industri ini. Inovasi keduanya yang saling
melengkapi (Kilby mematenkan prinsip integrasi, sementara Noyce mematenkan
metode interkoneksi yang praktis) justru memicu perang paten antara Texas
Instruments dan Fairchild.
Sengketa ini pada akhirnya diselesaikan melalui perjanjian lisensi silang
(cross-licensing), sebuah praktik yang menjadi ciri khas
industri semikonduktor. Sejak awal, industri ini telah diwarnai oleh sengketa kekayaan
intelektual yang kompleks dan sering kali diselesaikan melalui negosiasi
lisensi, bukan konfrontasi terbuka di pengadilan. Pola ini terus berlanjut
hingga hari ini dan menjadi salah satu penjelasan mengapa litigasi DTLST
terbilang jarang di banyak negara, termasuk Indonesia.
Fondasi Hukum di Indonesia - Membedah UU Nomor 32/2000 dan PP Nomor 9/2006
Sebagai respons terhadap kewajiban internasional di bawah Persetujuan
TRIPs, Indonesia mengundangkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain
Tata Letak Sirkuit Terpadu, yang selanjutnya disebut dengan “UU DTLST”, yang kemudian dilengkapi dengan peraturan pelaksana melalui Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Permohonan Pendaftaran Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, selanjutnya yang disebut dengan “PP 9/2006”. Kedua peraturan ini menjadi fondasi hukum yang mengatur perlindungan
DTLST di tanah air.
Definisi, Orisinalitas, dan Ruang Lingkup Hak
Pasal 1 Angka 1 UU DTLST
mendefinisikan “Sirkuit Terpadu” sebagai:
“suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya
terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut
adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta
dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan
untuk menghasilkan fungsi elektronik”.
Sementara itu, “Desain Tata Letak” sebagaimana ketentuan
Pasal 1 Angka 2 UU DTLST didefinisikan sebagai:
“kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen,
sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta
sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan
tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit
Terpadu.”
Penekanan pada “rancangan peletakan tiga dimensi” ini sangat krusial,
karena membedakan objek perlindungan DTLST dari paten. Hukum DTLST tidak
melindungi fungsi elektronik yang dihasilkan (ranah paten), melainkan
topografi atau arsitektur fisik dari sirkuit itu sendiri.
Untuk mendapatkan perlindungan, sebuah DTLST harus memenuhi syarat
“orisinalitas” sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU DTLST. Standar ini memiliki dua pilar:
pertama, desain tersebut harus merupakan “hasil karya mandiri Pendesain,”
dan kedua, pada saat dibuat, desain tersebut “tidak merupakan sesuatu yang umum (commonplace) bagi para
Pendesain”. Standar ini lebih longgar dibandingkan syarat “kebaruan” dan “langkah
inventif” dalam hukum paten, namun lebih ketat daripada sekadar
“orisinalitas” dalam hak cipta yang hanya menuntut karya tersebut tidak
menjiplak secara langsung.
Setelah mendapatkan perlindungan, pemegang hak diberikan hak eksklusif
berdasarkan Pasal 8 UU DTLST untuk melarang pihak lain yang
tanpa persetujuannya melakukan tindakan “membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan/atau mengedarkan” barang yang di dalamnya terdapat seluruh atau sebagian desain yang
dilindungi. Namun, hak eksklusif ini memiliki pengecualian penting, yaitu
untuk kepentingan penelitian dan pendidikan, sepanjang tidak merugikan
kepentingan yang wajar dari pemegang hak.
Prosedur dan Jangka Waktu Perlindungan
Berbeda dengan hak cipta yang menganut sistem deklaratif (perlindungan
timbul otomatis saat ciptaan diwujudkan),
perlindungan DTLST di Indonesia menganut sistem konstitutif. Artinya,
hak baru timbul dan mendapat perlindungan hukum setelah didaftarkan pada
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Sistem ini mengadopsi asas first-to-file, di mana pihak yang
pertama kali mengajukan permohonan yang akan mendapatkan hak, bukan pihak
yang pertama kali menciptakan desainnya.
Tata cara permohonan pendaftaran diatur secara rinci dalam
PP 9/2006. Prosesnya meliputi pengajuan permohonan tertulis dalam bahasa Indonesia
menggunakan formulir yang telah ditetapkan, pembayaran biaya, dan
melampirkan dokumen-dokumen penting seperti salinan gambar atau foto DTLST
beserta uraiannya, surat pernyataan orisinalitas, dan surat kuasa jika
diajukan melalui konsultan HKI. DJKI kemudian akan melakukan pemeriksaan
administratif. Jika semua persyaratan terpenuhi, DJKI akan menerbitkan
Sertifikat DTLST.
Jangka waktu perlindungan DTLST, sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 UU DTLST, adalah selama 10 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Jangka waktu ini mulai dihitung sejak tanggal penerimaan permohonan atau
sejak tanggal pertama kali desain tersebut dieksploitasi secara komersial,
mana pun yang terjadi lebih dahulu. Penting untuk dicatat, jika sebuah DTLST
telah dieksploitasi secara komersial, permohonan pendaftarannya harus
diajukan paling lambat 2 tahun sejak tanggal eksploitasi pertama tersebut.
Pengalihan Hak dan Lisensi
Seperti aset kekayaan intelektual lainnya, Hak DTLST dapat beralih atau
dialihkan. Pasal 23 UU DTLST mengatur bahwa pengalihan dapat
terjadi melalui pewarisan, hibah, wasiat, atau perjanjian tertulis. Agar
pengalihan tersebut memiliki akibat hukum terhadap pihak ketiga, ia wajib
dicatatkan di DJKI.
Pemegang hak juga berhak memberikan lisensi kepada pihak lain untuk
melaksanakan hak eksklusifnya melalui perjanjian lisensi, sebagaimana diatur
dalam Pasal 25 UU DTLST. Sebuah ketentuan menarik terdapat dalam Pasal 28 UU DTLST, yang memberikan kewenangan kepada DJKI untuk menolak pencatatan
perjanjian lisensi yang memuat ketentuan yang “dapat menimbulkan akibat yang merugikan bagi perekonomian Indonesia
atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat”. Ketentuan ini mencerminkan adanya kepentingan publik yang harus dijaga
dalam pemanfaatan HKI.
Meskipun kerangka hukumnya jelas, terdapat ketegangan antara sistem
pendaftaran yang formalistik dengan realitas industri semikonduktor yang
bergerak sangat cepat. Siklus inovasi chip seringkali hanya 18-24 bulan,
jauh lebih pendek dari masa perlindungan 10 tahun. Proses birokrasi
pendaftaran, meskipun dirancang untuk efisien, dapat dianggap sebagai beban
oleh perusahaan yang meluncurkan puluhan desain baru setiap tahunnya.
Akibatnya, banyak perusahaan mungkin memilih untuk tidak mendaftarkan DTLST
mereka dan lebih mengandalkan strategi lain seperti kecepatan inovasi
(speed-to-market) dan perlindungan melalui rahasia dagang. Fenomena
ini bisa menjadi salah satu faktor yang menjelaskan kelangkaan sengketa
DTLST di Indonesia.
Arena Sengketa - Realitas Penegakan Hukum DTLST di Indonesia
UU DTLST
telah menyediakan seperangkat mekanisme yang komprehensif untuk penyelesaian
sengketa, baik melalui jalur perdata, pidana, maupun alternatif. Berdasarkan
Bab VII UU DTLST, pemegang hak dapat mengajukan gugatan ganti rugi dan/atau
permintaan penghentian perbuatan pelanggaran ke Pengadilan Niaga. Selain
itu, Pasal 39 UU DTLST secara eksplisit membuka pintu bagi
para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase atau alternatif
penyelesaian sengketa lainnya, sebuah opsi yang sering kali lebih disukai
dalam industri teknologi tinggi.
Dari sisi hukum pidana, Bab IX UU DTLST memberikan ancaman sanksi yang
cukup berat. Pasal 42 UU DTLST menyatakan bahwa barang siapa
dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan yang melanggar hak
eksklusif pemegang hak, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000. Namun, penting untuk
digarisbawahi bahwa tindak pidana ini merupakan delik aduan, yang
berarti proses hukum hanya dapat dimulai jika ada pengaduan dari pemegang
hak yang dirugikan.
Meskipun perangkat hukumnya tersedia, setelah kami melakukan penelusuran
mendalam terhadap
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
menunjukkan sebuah fakta yang mengejutkan yaitu
hingga saat ini, tidak ditemukan satu pun putusan pengadilan yang secara
substantif mengadili sengketa pelanggaran Hak Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu di Indonesia. Kasus-kasus yang ada hanya menyebut “Direktorat Paten, Desain Tata Letak
Sirkuit Terpadu, dan Rahasia Dagang” sebagai pihak Turut Tergugat dalam
sengketa HKI lainnya (seperti paten atau desain industri), bukan sebagai
sengketa yang berpusat pada DTLST itu sendiri.
Ketiadaan litigasi ini mengindikasikan fenomena “hukum yang tidur” (dormant law). Ini bukan berarti tidak ada pelanggaran, melainkan menunjukkan bahwa
kerangka hukum ini tidak aktif digunakan karena berbagai faktor.
Pertama, kompleksitas teknis pembuktian. Membuktikan peniruan DTLST memerlukan
analisis forensik chip yang sangat mahal dan rumit, yang mungkin berada di
luar kapabilitas teknis dan finansial banyak pihak.
Kedua, posisi Indonesia dalam rantai pasok semikonduktor global yang lebih
banyak berfokus pada tahap perakitan, pengujian, dan pengemasan (assembly, testing, and packaging) daripada desain orisinal, sehingga jumlah pemegang hak domestik yang
berpotensi menjadi penggugat relatif sedikit.
Ketiga, dan yang paling mungkin, adalah sifat industri itu sendiri. Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, perusahaan teknologi besar cenderung
menyelesaikan sengketa HKI mereka secara rahasia melalui negosiasi lisensi
atau arbitrase untuk menghindari publisitas negatif dan keharusan membuka
teknologi mereka di ruang sidang. Ketiadaan yurisprudensi ini, bagaimanapun,
menciptakan ketidakpastian hukum. Tanpa adanya putusan hakim sebagai
panduan, para pelaku industri tidak memiliki gambaran jelas tentang
bagaimana pengadilan akan menafsirkan konsep-konsep kunci seperti
“orisinalitas” atau “bagian substansial” dari sebuah
desain.
Cermin Internasional - Pelajaran dari Tiga Yurisdiksi Kunci
Mengingat kekosongan yurisprudensi di dalam negeri, melihat praktik
penegakan hukum di negara lain menjadi sangat relevan. Yurisdiksi seperti
Amerika Serikat, Australia, dan Singapura menawarkan pelajaran berharga
tentang bagaimana hukum DTLST diterapkan dalam sengketa nyata.
Amerika Serikat - Preseden dalam Pelanggaran dan Reverse Engineering
Amerika Serikat adalah pionir dalam perlindungan DTLST melalui
Semiconductor Chip Protection Act of 1984
(SCPA), sebuah undang-undang sui generis yang menjadi model bagi banyak
negara, termasuk Indonesia. Dua kasus dari AS memberikan pencerahan
penting.
Pertama, dalam kasus
Brooktree Corp. v. Advanced Micro Devices, Inc., pengadilan federal menguatkan putusan juri yang menyatakan AMD telah
melanggar hak DTLST milik Brooktree. AMD dituduh meniru bagian inti (core cell) dari chip “color palette” milik Brooktree. Putusan ini menetapkan
preseden krusial bahwa pelanggaran dapat terjadi bahkan jika hanya bagian
yang “material” atau signifikan dari sebuah desain yang ditiru, tidak harus
keseluruhan chip.
Kasus ini membuktikan bahwa SCPA memiliki kekuatan penegakan yang nyata
dengan memberikan ganti rugi yang substansial.
Kedua, kasus
Altera Corp. v. Clear Logic, Inc.
menjadi rujukan utama dalam membedakan antara
reverse engineering yang sah dengan pembajakan. Clear Logic berdalih bahwa mereka
melakukan reverse engineering yang diizinkan oleh hukum. Namun,
pengadilan memenangkan Altera, menegaskan bahwa produk hasil
reverse engineering tidak boleh “secara substansial identik” (substantially identical) dengan produk asli dan harus dapat menunjukkan adanya “upaya dan
investasi yang substansial” (substantial toil and investment) dalam
menciptakan desain baru yang orisinal.
Australia - Menjerat Pelanggaran dalam Rantai Distribusi
Australia melindungi DTLST melalui
Circuit Layouts Act 1989. Kasus ikonik di negara ini adalah
Nintendo Co Ltd v Centronics Systems Pty Ltd. Dalam kasus ini, Centronics mengimpor dan menjual konsol permainan yang
berisi chip tiruan dari desain milik Nintendo.
High Court of Australia memutuskan untuk kemenangan Nintendo, dengan
argumen hukum yang sangat penting yaitu
“eksploitasi komersial” yang melanggar hukum tidak hanya mencakup
tindakan pembuatan, tetapi juga tindakan mengimpor dan menjual produk yang
mengandung DTLST hasil pelanggaran. Putusan ini memberikan pelajaran penting bagi para distributor dan
importir di Indonesia, bahwa mereka juga dapat dimintai pertanggungjawaban
hukum jika terbukti mengedarkan produk bajakan, bahkan jika mereka bukan
pembuatnya.
Singapura - Efisiensi Perlindungan Otomatis
Berbeda dengan Indonesia dan AS yang mewajibkan pendaftaran, Singapura
melalui
Layout-Designs of Integrated Circuits Act
memberikan perlindungan secara otomatis tanpa perlu registrasi.
Perlindungan timbul seketika saat desain diciptakan, asalkan memenuhi
syarat orisinalitas. Sistem ini menawarkan keuntungan berupa kecepatan dan minimnya birokrasi,
yang sangat sesuai dengan ritme industri teknologi. Namun, sistem
pendaftaran seperti di Indonesia memberikan keuntungan berupa kepastian
hukum yang lebih kuat melalui sertifikat resmi yang dapat digunakan sebagai
bukti kepemilikan yang sah.
Yurisprudensi internasional ini berfungsi sebagai “buku panduan” potensial
bagi Indonesia. Konsep-konsep dalam UU DTLST Indonesia, seperti
“orisinalitas” dan larangan meniru “bagian substansial,” sejajar dengan yang
ada di AS dan Australia.
Namun, UU kita tidak mendefinisikan secara rinci batasan-batasan tersebut.
Jika suatu saat sengketa DTLST pertama kali disidangkan di Pengadilan Niaga
Indonesia, sangat mungkin para hakim dan pengacara akan merujuk pada
putusan-putusan internasional ini sebagai persuasive authority untuk
memandu interpretasi mereka.
Kompas Filosofis - Adagium Hukum dalam Konteks DTLST
Untuk memahami jiwa dari peraturan DTLST, beberapa adagium hukum dapat
menjadi kompas penunjuk arah.
-
Ubi jus ibi remedium
(Di mana ada hak, di sana ada pemulihannya). Adagium ini tercermin jelas
dalam struktur UU DTLST. Negara tidak hanya memberikan hak eksklusif
(jus) kepada pendesain melalui Bab II, tetapi juga menyediakan
mekanisme pemulihan (remedium) melalui gugatan perdata di Pengadilan
Niaga (Bab VII) dan sanksi pidana (Bab IX). Namun, seperti yang telah
dibahas, efektivitas remedium ini dalam praktik di Indonesia masih
menjadi pertanyaan besar akibat fenomena “hukum yang tidur”;
-
Prior in tempore, potior in jure
(Yang pertama dalam waktu, lebih kuat haknya). Adagium ini adalah jantung
dari sistem pendaftaran first-to-file yang dianut Indonesia.
Pihak yang pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran yang memenuhi
syaratlah yang akan diakui sebagai pemegang hak, bukan siapa yang pertama
kali menciptakan desainnya. Ini menggarisbawahi betapa krusialnya kecepatan dan ketelitian dalam
mendaftarkan aset kekayaan intelektual;
-
Lex specialis derogat legi generali
(Hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum). UU Nomor 32 Tahun 2000
adalah lex specialis dalam rezim HKI. Apabila ada potensi tumpang
tindih, misalnya, antara
perlindungan DTLST atas topografi tiga dimensi dengan perlindungan hak
cipta atas gambar skematik sirkuit dua dimensi, maka ketentuan dalam UU DTLST inilah yang akan diutamakan untuk
melindungi objek spesifiknya, yaitu tata letak tiga dimensi.
Arah Masa Depan Perlindungan DTLST di Indonesia
Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah aset kekayaan intelektual yang
vital, lahir dari sejarah inovasi yang luar biasa dan menjadi tulang
punggung ekonomi digital. Indonesia telah memiliki kerangka hukum yang
komprehensif melalui UU Nomor 32 Tahun 2000, namun perangkat hukum ini masih
kurang teruji di medan pertempuran litigasi. Sementara itu, yurisprudensi
dari negara lain telah memberikan pelajaran berharga mengenai interpretasi
dan penegakan hukumnya.
Ke depan, tantangan perlindungan DTLST akan semakin kompleks. Munculnya
chip yang dirancang khusus untuk kecerdasan buatan (AI) dan
Internet of Things (IoT) dengan arsitektur yang semakin rumit akan
membuat deteksi pelanggaran menjadi lebih sulit. Di sisi lain, terdapat
peluang bagi Indonesia untuk tidak hanya menjadi pasar atau tempat
perakitan, tetapi juga untuk memperkuat ekosistem desain chip dalam negeri.
Jika hal ini terwujud, maka relevansi dan urgensi penegakan hukum DTLST akan
meningkat secara signifikan.
Untuk itu, beberapa langkah perlu dipertimbangkan. Peningkatan kapasitas
teknis bagi para hakim Pengadilan Niaga, jaksa, dan penyidik HKI menjadi
sebuah keniscayaan. Mendorong penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa
alternatif seperti mediasi dan arbitrase juga dapat menjadi solusi yang
lebih efisien bagi industri teknologi tinggi.
Bagi para pelaku industri, meskipun litigasi jarang terjadi, mengabaikan
pendaftaran DTLST adalah sebuah kesalahan. Sertifikat hak yang diterbitkan
oleh negara tetap merupakan aset yang sangat berharga dalam negosiasi
lisensi, proses merger dan akuisisi, serta sebagai alat pencegah
(deterrent) yang efektif terhadap potensi pelanggaran. Pada akhirnya,
perlindungan hukum yang kuat dan dapat ditegakkan adalah fondasi bagi
tumbuhnya inovasi yang berkelanjutan.
Informasi dan Konsultasi Lanjutan
Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.
[1]
'Barely fifty years ago a computer was a gargantuan, vastly expensive
thing that only a handful of scientists had ever seen,' yang menyoroti
skala transformasi yang dipicu oleh penemuan microchip T.R. Reid,
The Chip: How Two Americans Invented the Microchip and Launched a
Revolution, Random House Publishing Group, 2001, halaman pembuka