layananhukum

Begini Aturan Mengenai Desain Industri yang Wajib Kamu Ketahui

 

    Menjaga Nilai Estetika dalam Arena Industri

    Dalam dinamika persaingan industri modern yang semakin ketat, desain sebuah produk tidak lagi dapat dipandang sebagai sekadar elemen estetika pelengkap. Sebaliknya, desain telah bertransformasi menjadi aset intelektual yang strategis, memiliki nilai komersial yang signifikan, dan berfungsi sebagai pembeda utama di tengah pasar yang jenuh.

    Penampilan visual yang menarik dan unik dapat secara langsung memengaruhi keputusan pembelian konsumen, membangun loyalitas, dan membentuk identitas merek yang kokoh. Kesadaran akan peran vital inilah yang melandasi urgensi perlindungan hukum terhadap kreasi desain.

    Di Indonesia, kerangka hukum fundamental yang mengatur perlindungan ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri selanjutnya disebut “UU Desain Industri”. Legislasi ini merupakan respons negara terhadap kebutuhan mendesak untuk memberikan insentif dan jaminan kepastian hukum bagi para kreator di sektor industri. Lebih dari itu, UU Desain Industri juga menjadi manifestasi komitmen Indonesia dalam tatanan perdagangan global, khususnya dalam pemenuhan kewajiban sebagai anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang terikat pada Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).


    Untuk memahami filosofi dasar yang dianut oleh UU Desain Industri, penting untuk merujuk pada sebuah adagium hukum fundamental, qui prior est tempore, potior est jure. Adagium ini, yang secara harfiah berarti “siapa yang pertama dalam waktu, dialah yang lebih kuat haknya,” merupakan pilar dari sistem pendaftaran yang dianut oleh hukum Desain Industri di Indonesia.

    Makna adagium ini menegaskan bahwa perlindungan hukum tidak diberikan kepada individu yang pertama kali menciptakan atau mendesain suatu produk, melainkan kepada pihak yang pertama kali secara proaktif mengajukan permohonan pendaftaran ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Sistem yang dikenal sebagai  

    first-to-file ini secara inheren memprioritaskan kepastian hukum dan ketertiban administrasi di atas klaim historis penciptaan.

    Implikasi strategisnya sangat jelas yaitu para pendesain dan pelaku usaha didorong untuk tidak menunda proses pendaftaran. Setiap keterlambatan membuka risiko bagi pihak lain untuk mendaftarkan desain yang serupa atau bahkan identik, yang dapat berujung pada hilangnya hak eksklusif atas kreasi yang telah diciptakan dengan susah payah. Dengan demikian, kecepatan administratif menjadi sama pentingnya dengan orisinalitas kreatif.

    Artikel ini akan mengupas secara komprehensif dan mendalam mengenai seluk-beluk aturan Desain Industri di Indonesia. Pembahasan akan dimulai dari pembedahan konsep dasar dan definisi yuridis, dilanjutkan dengan analisis syarat dan prosedur untuk memperoleh perlindungan, menelaah zona abu-abu yang sering kali menimbulkan sengketa, yakni tumpang tindih dengan rezim Hak Cipta, hingga menyajikan perspektif komparatif dari praktik hukum di yurisdiksi lain.


    Melalui tulisan penulis yang terstruktur ini, diharapkan para pembaca dapat memperoleh pemahaman yang utuh dan aplikatif mengenai bagaimana cara melindungi dan mengelola aset desain industri secara efektif.

    Membedah Definisi dan Esensi Desain Industri

    Pemahaman yang akurat mengenai Desain Industri harus dimulai dari definisi yuridis yang menjadi landasan interpretasi hukum. Pasal 1 Angka 1 UU Desain Industri merumuskan definisi ini secara komprehensif, yang menyatakan bahwa:

    “Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang komoditas industri, atau kerajinan tangan.”

    Untuk memahami esensinya, setiap elemen dalam definisi tersebut perlu diurai secara cermat:

    -        “Kreasi”, unsur ini menekankan bahwa desain harus merupakan hasil dari upaya intelektual dan kreativitas manusia. Ia bukanlah sesuatu yang sudah ada di alam atau merupakan hasil peniruan semata;

    -        “Bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna”, frasa ini menjelaskan cakupan objek yang dilindungi. Perlindungan tidak terbatas pada bentuk tiga dimensi (3D) seperti desain botol minuman, bodi mobil, atau model kursi, tetapi juga mencakup komposisi dua dimensi (2D) seperti corak pada kain, motif pada permukaan keramik, atau pola pada kertas dinding;

    -        “Memberikan kesan estetis”, ini adalah jantung dari perlindungan Desain Industri. “Kesan estetis” merujuk pada penampilan luar (external appearance) dari suatu produk yang membuatnya menarik secara visual bagi mata konsumen. Penting untuk dicatat bahwa penilaian estetika di sini bersifat objektif dari sudut pandang konsumen pada umumnya, dan tidak mensyaratkan adanya nilai seni yang tinggi atau kualitas artistik yang mendalam sebagaimana dalam rezim Hak Cipta. Desain yang sederhana dan minimalis pun dapat memenuhi kriteria ini selama penampilannya tidak semata-mata ditentukan oleh fungsi teknisnya;

    -        “Dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk”, kriteria ini menegaskan bahwa desain harus memiliki aspek industrial, yaitu dapat direproduksi secara massal atau berulang-ulang. Hal ini menjadi pembeda yang jelas antara Desain Industri dengan karya seni unik (misalnya, lukisan tunggal atau patung edisi terbatas) yang perlindungannya lebih relevan di bawah rezim Hak Cipta.  

    Dialektika Estetika vs. Fungsionalitas

    Satu di antara batasan paling krusial dalam hukum Desain Industri adalah pemisahan tegas antara aspek estetika dan fungsionalitas. UU Desain Industri secara eksklusif melindungi penampilan luar yang bersifat estetis. Fitur-fitur atau bentuk dari sebuah produk yang keberadaannya didikte sepenuhnya oleh fungsi teknis yang ingin dicapai tidak dapat memperoleh perlindungan Desain Industri. Sebagai contoh, bentuk unik dan ergonomis dari sebuah mouse komputer dapat dilindungi sebagai Desain Industri karena ada banyak alternatif bentuk lain yang bisa menjalankan fungsi yang sama.


    Namun, desain tata letak sirkuit elektronik di dalamnya, yang konfigurasinya ditentukan oleh kebutuhan teknis untuk berfungsi, merupakan ranah perlindungan Paten. Demikian pula, ulir pada baut yang bentuknya spesifik untuk tujuan penguncian adalah murni fungsional dan tidak dapat dilindungi oleh Desain Industri. Pemisahan ini sangat fundamental untuk mencegah monopoli atas solusi teknis melalui rezim desain yang seharusnya hanya melindungi penampilan.

    Ruang Lingkup, Syarat, dan Jangka Waktu Perlindungan

    Untuk memperoleh hak eksklusif, sebuah Desain Industri harus memenuhi serangkaian syarat substantif yang diatur secara ketat dalam UU Desain Industri. Syarat-syarat ini menjadi gerbang penentu apakah suatu kreasi layak mendapatkan perlindungan dari negara atau tidak.

    Kriteria Perlindungan Utama: Syarat “Kebaruan” (Novelty)

    Syarat paling fundamental yang harus dipenuhi adalah kebaruan (novelty). Pasal 2 ayat (1) UU Desain Industri secara tegas menyatakan bahwa:

    “Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru.”

    Selanjutnya, Pasal 2 ayat (2) UU Desain Industri memberikan definisi yuridis mengenai apa yang dimaksud dengan “baru”, yaitu

    “apabila pada Tanggal Penerimaan, Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya.”.  

    Konsep “pengungkapan” (disclosure) menjadi kunci dalam penentuan kebaruan. Suatu desain dianggap telah diungkapkan jika sebelum Tanggal Penerimaan (atau tanggal prioritas, jika ada), desain tersebut telah diumumkan atau digunakan, baik di dalam maupun di luar Indonesia.


    Ini berarti bahwa sistem kebaruan yang dianut bersifat absolut dan universal. Sebuah desain yang telah dipublikasikan di jurnal luar negeri, dijual di pasar negara lain, atau bahkan ditampilkan di sebuah situs web internasional sebelum tanggal pengajuan permohonan di Indonesia, akan dianggap tidak baru lagi dan tidak dapat didaftarkan.  

    Namun, UU Desain Industri memberikan kelonggaran melalui mekanisme masa tenggang (grace period). Pasal 3 UU Desain Industri mengatur bahwa suatu desain tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaannya, desain tersebut:

    a.       Telah dipertunjukkan dalam suatu pameran nasional ataupun internasional yang resmi atau diakui sebagai resmi; atau

    b.      Telah digunakan di Indonesia oleh Pendesain dalam rangka percobaan dengan tujuan pendidikan, penelitian, atau pengembangan.

    Ketentuan ini memberikan “jaring pengaman” bagi pendesain yang perlu menguji pasar atau memamerkan karyanya sebelum secara resmi mengajukan permohonan pendaftaran.

    Batasan dan Pengecualian Perlindungan

    Tidak semua desain yang baru dapat memperoleh perlindungan. Pasal 4 UU Desain Industri menetapkan batasan absolut, di mana Hak Desain Industri tidak dapat diberikan apabila desain tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, agama, atau kesusilaan. Kriteria ini bersifat subjektif dan interpretasinya diserahkan kepada pemeriksa di DJKI dan pada akhirnya, pengadilan.  

    Subjek dan Jangka Waktu Hak

    Subjek yang berhak memperoleh Hak Desain Industri diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU Desain Industri. Pihak yang berhak adalah:


    1.        Pendesain itu sendiri atau beberapa orang secara bersama-sama;

    2.       Pihak yang menerima hak tersebut dari Pendesain (misalnya melalui perjanjian atau pewarisan);

    3.      Dalam hal desain dibuat dalam hubungan dinas atau dalam lingkungan pekerjaan, pemegang hak adalah pihak pemberi kerja, kecuali jika diperjanjikan lain;

    4.       Demikian pula, jika desain dibuat berdasarkan pesanan, maka pihak yang memesan dianggap sebagai pemegang hak, kecuali diperjanjikan lain.

    Adapun mengenai durasi perlindungan, Pasal 5 UU Desain Industri menetapkan bahwa perlindungan diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan. Jangka waktu ini bersifat final dan tidak dapat diperpanjang. Kebijakan ini mencerminkan pandangan bahwa desain industri memiliki siklus hidup komersial yang relatif cepat, terutama di sektor seperti mode dan elektronik. Dengan tidak mengizinkan perpanjangan, undang-undang secara sadar memastikan bahwa setelah satu dekade, desain tersebut akan menjadi milik publik (public domain).


    Hal ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara memberikan monopoli sementara yang cukup bagi kreator untuk memperoleh manfaat ekonomi dari investasinya, dan di sisi lain, mendorong inovasi yang berkelanjutan dengan mencegah stagnasi desain di pasar.

    Prosedur Pendaftaran: Dari Permohonan Hingga Terbitnya Sertifikat

    Memperoleh Hak Desain Industri di Indonesia adalah sebuah proses yang didasarkan pada prinsip konstitutif, artinya hak baru timbul setelah melalui prosedur pendaftaran dan diterbitkannya sertifikat oleh negara. Proses ini diatur secara rinci dalam UU Desain Industri dan peraturan pelaksananya, yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, selanjutnya disebut “PP 1/2005”.  

    Anatomi Permohonan Pendaftaran

    Langkah pertama dan paling fundamental adalah pengajuan permohonan pendaftaran ke DJKI. Sesuai dengan Pasal 11 UU Desain Industri, permohonan harus diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia. Permohonan ini harus dilengkapi dengan serangkaian dokumen administratif yang menjadi dasar pemeriksaan awal, antara lain:  

    1.        Formulir Permohonan yang telah diisi lengkap;

    2.       Contoh Fisik atau Gambar/Foto Desain, ini adalah elemen paling vital. Gambar atau foto harus menampilkan desain dari berbagai sudut pandang (depan, belakang, samping, atas, bawah, dan perspektif) agar keseluruhan bentuk dan konfigurasinya dapat dipahami dengan jelas;

    3.      Uraian Singkat Desain, deskripsi tertulis yang menjelaskan klaim perlindungan atas fitur-fitur estetis dari desain tersebut;

    4.       Surat Pernyataan Kepemilikan, sebuah pernyataan yang menegaskan bahwa desain yang dimohonkan adalah milik pemohon;

    5.       Surat Kuasa Khusus, diperlukan apabila permohonan diajukan melalui Konsultan Kekayaan Intelektual; dan

    6.      Bukti Pembayaran Biaya Permohonan, pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang besarannya telah ditentukan.

    Tahap Pemeriksaan Administratif

    Setelah permohonan diterima, DJKI akan melakukan pemeriksaan administratif atau pemeriksaan formalitas sesuai amanat Pasal 24 UU Desain Industri dan PP 1/2005. Pada tahap ini, DJKI tidak menilai kebaruan atau substansi desain, melainkan hanya memverifikasi kelengkapan dan kesesuaian persyaratan administratif.

    Apabila ditemukan kekurangan, DJKI akan memberitahukan pemohon secara tertulis dan memberikan jangka waktu 3 (tiga) bulan untuk melengkapi kekurangan tersebut. Apabila pemohon gagal memenuhinya dalam batas waktu yang ditentukan, permohonan akan dianggap ditarik kembali.  

    Tahap Krusial: Pengumuman dan Oposisi

    Apabila permohonan dinyatakan lengkap secara administratif, proses akan memasuki tahap yang sangat krusial, yaitu pengumuman. Berdasarkan Pasal 25 UU Desain Industri, DJKI akan mengumumkan permohonan tersebut dalam Berita Resmi Desain Industri selama 3 (tiga) bulan. Tujuan utama dari pengumuman ini adalah untuk memberikan transparansi dan kesempatan kepada publik atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan keberatan (oposisi).  


    Selama periode pengumuman ini, setiap pihak dapat mengajukan keberatan tertulis kepada DJKI dengan alasan-alasan yang bersifat substantif, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU Desain Industri. Alasan utama pengajuan keberatan biasanya adalah bahwa desain yang dimohonkan tidak memenuhi syarat kebaruan (vide Pasal 2 UU Desain Industri) atau bertentangan dengan ketertiban umum (vide Pasal 4 UU Desain Industri). Pihak pemohon kemudian akan diberikan kesempatan untuk menyampaikan sanggahan secara tertulis terhadap keberatan yang diajukan.  

    Pemeriksaan Substantif dan Penerbitan Sertifikat

    Sistem pendaftaran Desain Industri di Indonesia menganut model “pemeriksaan pasif yang diaktifkan oleh oposisi”. Artinya, pemeriksaan substantif untuk menguji kebaruan sebuah desain oleh Pemeriksa DJKI hanya akan dilakukan apabila ada keberatan yang diajukan oleh pihak ketiga selama masa pengumuman (vide Pasal 26 ayat (5)).

    Mekanisme ini secara efektif mengalihkan sebagian beban untuk menjaga validitas pendaftaran dari negara kepada para pelaku industri itu sendiri. Perusahaan dan pendesain dituntut untuk proaktif memantau Berita Resmi Desain Industri guna melindungi kepentingan mereka.  

    Apabila hingga berakhirnya masa pengumuman tidak terdapat keberatan yang diajukan, DJKI akan langsung memproses penerbitan sertifikat. Sesuai Pasal 29 UU Desain Industri, DJKI akan menerbitkan dan memberikan Sertifikat Desain Industri paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah masa pengumuman berakhir. Penting untuk dicatat, meskipun sertifikat baru diterbitkan, tanggal mulai berlakunya perlindungan hukum dihitung surut sejak Tanggal Penerimaan permohonan.

    Zona Abu-abu: Tumpang Tindih Rezim Hak Cipta dan Desain Industri

    Salah satu area paling kompleks dan sering kali menimbulkan sengketa dalam hukum kekayaan intelektual adalah persinggungan atau tumpang tindih (overlapping) antara rezim perlindungan Hak Cipta dan Desain Industri. Keduanya sama-sama dapat melindungi aspek visual dari sebuah karya, namun beroperasi di atas filosofi, syarat, dan prosedur yang berbeda secara fundamental. Hak Cipta, yang diatur oleh undang-undang tersendiri, lahir secara otomatis saat sebuah ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata (prinsip deklaratif) dan melindungi ekspresi seni orisinal. Sebaliknya, Hak Desain Industri memerlukan pendaftaran formal (prinsip konstitutif) untuk melindungi penampilan estetis dari produk yang diproduksi secara industrial.


    Masalah muncul ketika sebuah karya yang tidak diragukan lagi merupakan objek Hak Cipta, seperti lukisan atau patung (seni murni), kemudian diterapkan sebagai elemen dekoratif pada produk yang diproduksi secara massal (seni terapan), misalnya motif lukisan pada kaos atau bentuk patung yang dijadikan model lampu hias. Dalam situasi seperti ini, karya tersebut berpotensi dilindungi oleh kedua rezim hukum secara bersamaan, menciptakan sebuah zona abu-abu yang rawan konflik.

    Kami mengambil contoh, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 238 K/Pdt.Sus-HKI/2014., tertanggal 28 Mei 2015, sebuah yurisprudensi penting yang menyoroti kompleksitas ini, yang mana dalam perkara ini melibatkan sengketa antara Bun Bun Khui alias Radiman sebagai Penggugat, yang merupakan pemegang Hak Cipta atas sebuah seni lukis berjudul “PITA”, melawan PT Tunisco Trading Investment sebagai Tergugat, yang merupakan pemegang Hak Desain Industri untuk sebuah desain kemasan produk yang dinilai menggunakan elemen visual yang sangat mirip dengan lukisan “PITA” milik Penggugat.  

    Duduk Perkara dan Argumentasi Para Pihak

    Bahwa Penggugat mendalilkan bahwa Hak Desain Industri milik Tergugat seharusnya batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat kebaruan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 2 UU Desain Industri. Argumentasi utamanya adalah bahwa ciptaan lukisan “PITA” milik Penggugat telah ada dan diumumkan jauh sebelum Tergugat mengajukan permohonan pendaftaran desain industrinya. Secara spesifik, Penggugat menyatakan bahwa desain tersebut “nyata-nyata tidak baru, karena sudah diproduksi dan dipasarkan jauh sebelum Tergugat mengajukan pendaftarannya” sejak tahun 2009 (vide halaman 2-3, butir 8 dan 12 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 238 K/Pdt.Sus-HKI/2014., tertanggal 28 Mei 2015) dan “tidak murni menciptakan desain baru karena desainnya memasukkan ciptaan milik Penggugat yang berjudul 'PITA' kedalam Desain Industri yang didaftarkan Tergugat” (vide halaman 3, butir 13 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 238 K/Pdt.Sus-HKI/2014., tertanggal 28 Mei 2015). Dengan demikian, keberadaan Hak Cipta yang lebih dulu ada seharusnya menggugurkan unsur kebaruan dari desain industri Tergugat.  

    Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan

    Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari Penggugat, yang berarti menguatkan putusan pengadilan di tingkat sebelumnya yang tidak menerima gugatan. Titik krusial dari putusan ini adalah penerimaan eksepsi Tergugat yang menyatakan bahwa “Gugatan Penggugat Kabur (Obscuur Libel)” (vide halaman 5, butir 2.2 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 238 K/Pdt.Sus-HKI/2014., tertanggal 28 Mei 2015). Tergugat berargumen bahwa Penggugat “telah menggabungkan dalil hukum yang tunduk dalam pengaturan hukum yang berbeda, yaitu hukum dibidang Desain Industri dan hukum dibidang Hak Cipta, dimana secara hukum kedua cabang hak kekayaan intelektual tersebut melindungi dan mengatur hal yang berbeda satu sama lainnya” (vide halaman 6, butir 2.2 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 238 K/Pdt.Sus-HKI/2014., tertanggal 28 Mei 2015).


    Mahkamah Agung Republik Indonesia sependapat dengan argumen ini. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa “konstruksi hukum yang digunakan oleh Penggugat adalah kabur atau tidak jelas, karena ketiga macam hak tersebut diatur dan ditentukan oleh Undang-Undang yang berbeda... demikian pula cara penyelesaiannya bila terjadi sengketa” (vide halaman 9 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 238 K/Pdt.Sus-HKI/2014., tertanggal 28 Mei 2015). Oleh karena itu, Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung tidak melanjutkan pemeriksaan ke substansi perkara (apakah desain tersebut baru atau tidak), melainkan menghentikan proses pada tataran prosedural dengan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke) (vide halaman 6 dan 10 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 238 K/Pdt.Sus-HKI/2014., tertanggal 28 Mei 2015).  

    Putusan ini secara implisit menegaskan doktrin “pemisahan rezim” (separation of regimes). Mahkamah Agung Republik Indonesia, dengan memilih jalur prosedural (menyatakan gugatan kabur), secara efektif menghindari pengambilan keputusan substantif mengenai apakah keberadaan Hak Cipta secara otomatis meniadakan kebaruan suatu Desain Industri. Putusan ini menjadi preseden penting yang memberikan pelajaran bagi para praktisi hukum yaitu untuk membatalkan sebuah Hak Desain Industri yang terdaftar, argumen harus dibangun kokoh di atas fondasi UU Desain Industri itu sendiri. Kepemilikan Hak Cipta atas karya serupa memang merupakan amunisi yang sangat kuat, tetapi ia harus digunakan untuk membuktikan fakta “pengungkapan” publik atas karya tersebut sebelum tanggal penerimaan permohonan desain industri. Fokus pembuktian harus bergeser dari sekadar “kepemilikan hak” menjadi “fakta pengungkapan” yang relevan secara hukum dalam rezim Desain Industri.

    Perspektif Komparatif: Praktik Perlindungan Desain di Panggung Global

    Untuk memperkaya pemahaman mengenai hukum Desain Industri, penting untuk melihat bagaimana yurisdiksi lain menangani isu-isu serupa. Analisis komparatif ini dapat memberikan wawasan tentang pendekatan alternatif dan menjadi bahan refleksi bagi pengembangan praktik hukum di Indonesia. Tantangan utama dalam hukum desain secara global sering kali tidak terletak pada pertanyaan apakah desain harus dilindungi, melainkan pada bagaimana mengukur pelanggaran dan bagaimana menghitung kerugian secara adil, terutama untuk produk-produk modern yang kompleks.

    Australia: Uji Pelanggaran – Substantially Similar in Overall Impression

    Hukum desain Australia menawarkan pendekatan yang holistik dalam menentukan adanya pelanggaran. Hal ini tercermin dalam kasus GME Pty Ltd v Uniden Australia Pty Ltd FCA 520, yang melibatkan sengketa desain mikrofon radio CB. Dalam kasus ini, Pengadilan Federal Australia menerapkan uji “persamaan substansial dalam kesan keseluruhan” (substantially similar in overall impression). Hakim tidak sekadar membuat daftar perbedaan dan persamaan, melainkan melakukan penilaian kualitatif dari perspektif “pengguna yang terinformasi” (informed user). Beberapa prinsip kunci yang diterapkan adalah:

    -        Memberikan bobot yang lebih besar pada persamaan daripada perbedaan;

    -        Mempertimbangkan keadaan prior art (desain-desain yang sudah ada sebelumnya) untuk memahami tingkat kebebasan desain yang dimiliki oleh creator;

    -        Fokus pada kesan visual total yang ditimbulkan oleh kedua desain, bukan pada detail-detail kecil yang terisolasi.

    Pendekatan ini menunjukkan sebuah metodologi yang matang untuk menangani sengketa pelanggaran dengan berfokus pada persepsi visual secara keseluruhan, yang relevan dengan cara konsumen berinteraksi dengan produk di pasar.


    Singapura: Isu Kebaruan sebagai Dasar Pembatalan

    Di Singapura, penekanan pada syarat kebaruan sebagai elemen absolut untuk validitas pendaftaran sangat kuat. Sebuah kasus yang relevan adalah Soon Ailing v. Chen & Partners (S) Pte. Ltd., yang berkaitan dengan permohonan pembatalan pendaftaran desain untuk bezel jam tangan. Dalam kasus ini, pemohon pembatalan mengajukan argumen bahwa desain terdaftar tersebut tidak baru. Pihak pemilik desain terdaftar, meskipun menyangkal, gagal menyajikan bukti yang cukup untuk membantah klaim kurangnya kebaruan tersebut.

    Akibatnya, pendaftaran desain tersebut dibatalkan. Putusan ini menggarisbawahi sebuah prinsip penting: sertifikat pendaftaran bukanlah jaminan perlindungan yang tak tergoyahkan. Ia dapat digugurkan jika syarat substantif, terutama kebaruan, terbukti tidak terpenuhi. Beban pembuktian pada akhirnya dapat beralih kepada pemilik hak terdaftar untuk mempertahankan validitas desainnya ketika digugat.  

    Amerika Serikat: Sengketa Paten Desain Ikonik – Article of Manufacture

    Sengketa paten desain paling monumental dalam beberapa dekade terakhir tidak lain adalah Samsung Electronics Co., Ltd. v. Apple Inc., 580 U.S. ___ (2016). Sengketa ini berpusat pada paten desain Apple untuk iPhone, yang mencakup elemen-elemen ikonik seperti bentuk persegi panjang dengan sudut membulat, bezel di sekeliling layar, dan tata letak grid ikon.  

    Fokus utama dalam putusan Mahkamah Agung AS bukanlah pada isu pelanggaran, melainkan pada interpretasi frasa “artikel manufaktur” (article of manufacture) untuk tujuan perhitungan ganti rugi. Undang-undang Paten AS memungkinkan pemegang paten desain untuk menuntut seluruh keuntungan (total profit) yang diperoleh pelanggar dari penjualan “artikel manufaktur” yang menggunakan desain yang dilanggar.

    Pengadilan tingkat bawah menafsirkan “artikel manufaktur” sebagai keseluruhan produk smartphone, sehingga Apple berhak atas seluruh keuntungan Samsung dari penjualan ponsel yang melanggar. Namun, Mahkamah Agung membatalkan putusan ini. Diputuskan bahwa “artikel manufaktur” tidak harus berarti produk akhir yang dijual ke konsumen. Ia bisa juga merujuk pada komponen individual dari produk tersebut (misalnya, hanya bagian cangkang depan atau layar).


    Oleh karena itu, ganti rugi berupa total keuntungan harus dihitung secara proporsional dari komponen yang desainnya dilanggar, bukan dari seluruh nilai smartphone yang juga mengandung ribuan paten teknologi lainnya. Putusan ini secara fundamental mengubah lanskap perhitungan ganti rugi dalam sengketa paten desain untuk produk multikomponen yang kompleks.

    Meskipun UU Desain Industri Indonesia dalam Pasal 46 hanya menyebutkan “gugatan ganti rugi” tanpa merinci metode perhitungannya, pendekatan dari yurisdiksi lain ini dapat menjadi rujukan berharga bagi praktik peradilan di Indonesia untuk mengembangkan yurisprudensi yang lebih canggih dan adil dalam menangani sengketa desain industri.  

    Refleksi dan Proyeksi Perlindungan Desain Industri

    Analisis mendalam terhadap kerangka hukum Desain Industri di Indonesia menyingkap sebuah sistem yang dibangun di atas prinsip-prinsip fundamental dengan implikasi strategis yang signifikan. Prinsip first-to-file yang dianut menekankan urgensi tindakan administratif, mengubah perlindungan kekayaan intelektual menjadi hak yang harus diperjuangkan secara proaktif. Sistem pemeriksaan yang bersifat pasif, yang hanya aktif ketika dipicu oleh oposisi dari publik, menempatkan beban vigiliansi pada para pelaku industri itu sendiri, menjadikan fase pengumuman sebagai arena krusial untuk mempertahankan hak.

    Tantangan terbesar yang masih membayangi adalah zona abu-abu tumpang tindih dengan rezim Hak Cipta. Sebagaimana ditunjukkan oleh yurisprudensi Mahkamah Agung, penyelesaian sengketa di area ini menuntut kecermatan dalam merumuskan argumentasi hukum yang sesuai dengan rezim yang relevan. Di sisi lain, perspektif dari praktik hukum internasional di Australia, Singapura, dan Amerika Serikat memberikan wawasan berharga mengenai metodologi yang lebih maju dalam menilai pelanggaran dan menghitung ganti rugi, yang dapat menjadi inspirasi bagi pengembangan hukum di masa depan.


    Pada akhirnya, dalam iklim bisnis dan inovasi yang kompetitif saat ini, pendaftaran Hak Desain Industri bukanlah sekadar opsi, melainkan sebuah keharusan strategis. Ia adalah instrumen yuridis yang esensial untuk mengamankan investasi dalam kreativitas, mencegah tindakan peniruan yang merugikan, dan membangun keunggulan kompetitif yang berkelanjutan di pasar. 

    Bagi para kreator, inovator, dan pelaku usaha, memahami dan memanfaatkan sistem perlindungan Desain Industri secara optimal adalah langkah kunci untuk memastikan bahwa nilai estetika yang mereka ciptakan tidak hanya dihargai, tetapi juga dilindungi secara hukum. 

    Ke depan, diharapkan adanya harmonisasi dan klarifikasi lebih lanjut dari legislasi maupun yurisprudensi, terutama pada area persinggungan dengan Hak Cipta, untuk memberikan kepastian hukum yang lebih besar dan ekosistem inovasi yang lebih kokoh bagi Indonesia.

    Informasi dan Konsultasi Lanjutan

    Apabila Anda memiliki persoalan hukum yang ingin dikonsultasikan lebih lanjut, Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui tautan yang tersedia, menghubungi melalui surel di lawyerpontianak@gmail.com, atau menghubungi Kantor Hukum Eka Kurnia Chrislianto & Rekan di sini.